Bulu kuduk keduanya terasa merinding merasakan desiran angin sepoi menerpa wajah mereka. Suasana sunyi mencekam membuat keduanya saling memeluk sambil berjalan melihat sekitar pohon. Sejenak berhenti melihat tidak ada tanda-tanda Adrian berada di sekitar pohon itu.“Ini Wandi bohong atau gimana sih ‘Nduk? Anaknya nggak ada gitu loh. Pengen jewer kuping jadinya,” ucap Efendi menahan kesal.“Wandi nggak pernah bo’ong Pak. Apa ... apa mungkin Adrian sudah pulang ya? Kita tadi kog buru-buru ke sini? Nggak nanya dulu sama orang tua Adrian. Barangkali dia udah sampai rumah.”“Iyo bener kui. Lah ngopo tadi nggak kepikiran telpon orang tuanya? Astaga ... kita jadi ikut-ikutan Wandi oleng. Ya udah kita balik saja, coba lu hubungi bapaknya Adrian!” perintah Efendi menarik tangan Tina menjauh dari pohon beringin.Baru beberapa langkah mereka berjalan terdengar sesorang memangil, ”Selamat malam.”Suara terdengar serak laki-laki lamat dari kejauhan. Keduanya saling berpandangan dan menghentikan la
Kakek yang diyakini adalah kakek Hesta menurut Tina, terus bergerak hingga tepat berada di bawah pohon beringin. Terlihat samar pohon bergerak lambat di bawah sinar rembulan. Tidak ada angin yang berhembus, bahkan suasana sunyi mencekam. Suara binatang malam sayup tedengar di sekitar pohon. Tina dan ayahnya tidak sadar jika keduanya sudah berada di dalam pengaruh kakek yang baru saja datang. Mereka terus berjalan megikuti kakek yang mirib dengan kakeknya Hesta.Sayup terdengar suara panggilan seseorang, namun keduanya seolah tidak mendengarkan panggilan tersebut. Mereka hanya fokus dengan tubuh yang terbaring di atas batu yang ditunjuk oleh sang kakek.“Berhenti dan diam di situ!” perintah kakek dengan nada keras.Ayah dan anak pun berhenti tetap saling memeluk. Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Hingga tubuh yang ada di atas batu mulai bergerak berusaha untuk bangun dari tidurnya. Perlahan tubuh itu mulai duduk di atas batu. Tina terbelalak, melihat yang ada di sana samar te
Dia juga terkejut dengan informasi mengenai anaknya. Mereka sepakat mencari bantuan agar anak-anak mereka segera di ketemukan.“Baiklah gue tunggu kalian di sini. Agak cepat ya! Ini anak gue juga sedang pingsan butuh bantuan juga,” ucapnya mengakhiri telpon.Sambil menunggu semua datang Efendi menghubungi keluarganya untuk membawa Tina pulang. Tidak menunggu lama anak sulung dan salah seorang tetangganya datang dengan membawa sepeda motor. Mereka akhirnya membawa Tina pulang dengan mobil dan meninggalkan Efendi sendiri dengan sepeda motor yang baru saja mereka bawa.Dengan rasa dingin yang mencengkeram kulitnya, Efendi masih menyorot segala arah dengan menggunakan ponselnya. Suasana gelap dengan gerimis mulai turun membuat suasana semakin menyeramkan. Terlihat pohon di depan Efendi menggerakkan daun dan rantingnya di bawah sinar rembulan. Bulu kuduk merinding seiring dengan suara binatang hutan yang lirih terdengar di telinga.Meskipun tempat dirinya saat ini jalan raya yang dilewati
Tanpa sadar keduanya sudah berada di dalam salah satu kamar yang ada di rumah itu. Rumah yang bercat abu-abu dan sudah terlinat kuno. Banyak debu dan sawang menempel di dinding ruangan itu. Ranjang yang terlihat kuno dengan ukiran besi jaman dahulu, yang masih terlihat kuat.Tubuh keduanya bergulingan di ranjang dengan masih menggunakan pakaian lengkap. Hasrat yang keluar dari dalam diri Adrian mengalahkan akal sehatnya. Tangannya dengan pelan mencoba membuka kancing Hesta. Tidak ada penolakan ketika satu kancing sudah terbuka.“HAIII KALIAN! Apa ini? KELUARRR ....! CEPATTT!” suara teriakan seoarang laki-laki terdengar memenuhi ruangan. Membuat dua anak muda itu kaget dan merapikan baju masing-masing.“Kakek!” teriak Hesta dengan dengusan kesal.Gadis itu menarik tangan Adrian untuk segera keluar dari ruangan dan melewati kakek yang berdiri denga berkacak pinggang di depan pintu. Sorot mata tajam ke arah dua pasangan beda jenis dan alam. Deru napas memburu terlihat dari kakek saat Ad
Adrian mundur ke belakang saat Hesta berdiri dan berjalan menghampirinya. Ketakutan mulai menyerang Adrian melihat gadisnya tidak seramah tadi. Pikirannya sudah berkecamuk dengan hal-hal yang buruk, akankah berakhir hidupnya saat ini? Suasana mendadak tegang dengan kakek yang ikutan berjalan ke arah Adrian. Tubuh pemuda itu bergetar dan wajahnya pucat. Suara tawa mulai menggema di dalam ruangan membuat Adrian semakin terpojok dan ketakutan.Rasa hangat mulai mengaliri kedua pangkal paha pemuda itu hingga telapak kaki. Rupanya ia kencing di celana karena ketakutan yang hebat. Kakinya tidak dapat menopang tubuh kekarnya lagi. Perlahan dia sempoyongan hampir terjatuh.Belum sampai tubuh Adrian terjatuh di lantai, ada tangan yang merangkulnya. Pemuda yang sudah pasrah dengan keadaan saat ini kemudian membelalakkan mata, melihat siapa yang ada di belakangnya. Wandi, teman yang sudah serasa saudara menatapnya dengan tajam. “Wandi? Lu beneran si Keriting? Wooii ...! Liat gue!” tangan Adrian
Terlihat raut wajah yang kusam, dan murung pucat. Wandi menahan rasa takut yang sejak tadi menyerangnya melihat wajah kakek, demi persahabatan dengan Adrian ia rela melakukan apa saja. Merasa bertanggung jawab atas hilangnya teman dan juga sahabat dekatnya itu.Sementara di dalam kamar, Adrian dan Hesta berdiri tak melepas senyum di wajah keduanya. Adrian melupakan peringai Hesta yang mendadak seram saat di ruang depan. Adrian menerima celana pendek untuk ganti setelah terkena kencing. Tidak sadar jika celananya sudah melorot ke bawah dan terlihatlah kaki panjang tanpa penutup hingga bagian paha. Terlihat benda pusaka miliknya menyembul dari baik kaos yang panjangnya hingga pantat. Namun mata Adrian tidak pernah lepas dari sosok Hesta yang mehan tawa di depannya.Bukan sadar akan keadaanya Adrian ikut tertawa melihat Hesta terpingkal-pingkal hingga memegang perutnya.“Wuuuaaa hahaha ... wwwkkk ... lu lucu banget,” tawanya renyah terdengar memenuhi ruangan.“Hahaha ... ada apa? Ada yan
Tetapi apa yang didengar Adria ternyata hanyalah semu. Setelah memastikan tidak ada suara yang lais selain napas dan gerakan tubuhnya sendiri. Kembali dia merinding bulu kuduknya. Pemuda yang tampannya se RT dan terkenal cuek kembali memanggil nama gadis yang dipujanya. Ia merasa heran suasana mendadak sepi seperti kuburan, padahal hanya ditinggal menggaruk paha yang digigit semut sampai merah. Rasa gatal yang masih terasa panas membuatnya tidak nyaman. Apalagi dia juga tidak mengenakan underwear hingga terlihat benda pusakanya yang masih menonjol tegak. Dapat dibayangkan betapa Adrian kerepotan dengan kondisinya saat ini. Ia tetap melangkah keluar kamar dengan tertatih kaki mengangkang dengan posisi tangan menggaruk pangkal paha.Semut hitam yang terkenal panas saat menggigit ada juga di luar ruangan. Berderet baris barjalan sepanjang tepi dinding. Mata Adrian tidak lepas dari barang yang dibawa oleh semut. Seperti warna putih yang terlihat samar, karena cahaya lampu hanya temaram m
Keadaan yang menkhawatirkan seperti ini, membuat Wandi teringat akan semua keluarganya. Bayangan tidak bisa kembali lagi ke dunia nyata, sudah berada di dalam pikirannya saat ini. Ayah dan ibu yang menyayanginya sejak kecil, meskipun ia memiliki kekurangan. Adrian teman baiknya yang selalu ada di sisinya dan membantu saat ia diejek oleh teman-temannya.Saat itu ia sedang melihat pertandingan sepak bola kampung sendirian. Dia sangat menyukai olahraga sepak bola, namun sayang fisik tak memungkinkan ia mengikuti kegiatan tersebut. Selain badannya yang kurang tegap, tubuhnya juga lebih kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Kondisi tubuh yang sering sakit membuatnya tidak diijinkan orang tuanya mengikuti olahraga sepak bola.“Gue cuma nonton Mak, kagak ikut maen. Di belakang saja lihatnya, dari jauh ... boleh yaaa ...?” pintanya waktu itu kepada Siti.“Emak kagak bisa nemenin elu Wan. Takutnya lu kena buli teman lagi, gimana? Mana emak tega membiarkan elu,” kata Siti sambil membelai ramb