Tetapi apa yang didengar Adria ternyata hanyalah semu. Setelah memastikan tidak ada suara yang lais selain napas dan gerakan tubuhnya sendiri. Kembali dia merinding bulu kuduknya. Pemuda yang tampannya se RT dan terkenal cuek kembali memanggil nama gadis yang dipujanya. Ia merasa heran suasana mendadak sepi seperti kuburan, padahal hanya ditinggal menggaruk paha yang digigit semut sampai merah. Rasa gatal yang masih terasa panas membuatnya tidak nyaman. Apalagi dia juga tidak mengenakan underwear hingga terlihat benda pusakanya yang masih menonjol tegak. Dapat dibayangkan betapa Adrian kerepotan dengan kondisinya saat ini. Ia tetap melangkah keluar kamar dengan tertatih kaki mengangkang dengan posisi tangan menggaruk pangkal paha.Semut hitam yang terkenal panas saat menggigit ada juga di luar ruangan. Berderet baris barjalan sepanjang tepi dinding. Mata Adrian tidak lepas dari barang yang dibawa oleh semut. Seperti warna putih yang terlihat samar, karena cahaya lampu hanya temaram m
Keadaan yang menkhawatirkan seperti ini, membuat Wandi teringat akan semua keluarganya. Bayangan tidak bisa kembali lagi ke dunia nyata, sudah berada di dalam pikirannya saat ini. Ayah dan ibu yang menyayanginya sejak kecil, meskipun ia memiliki kekurangan. Adrian teman baiknya yang selalu ada di sisinya dan membantu saat ia diejek oleh teman-temannya.Saat itu ia sedang melihat pertandingan sepak bola kampung sendirian. Dia sangat menyukai olahraga sepak bola, namun sayang fisik tak memungkinkan ia mengikuti kegiatan tersebut. Selain badannya yang kurang tegap, tubuhnya juga lebih kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Kondisi tubuh yang sering sakit membuatnya tidak diijinkan orang tuanya mengikuti olahraga sepak bola.“Gue cuma nonton Mak, kagak ikut maen. Di belakang saja lihatnya, dari jauh ... boleh yaaa ...?” pintanya waktu itu kepada Siti.“Emak kagak bisa nemenin elu Wan. Takutnya lu kena buli teman lagi, gimana? Mana emak tega membiarkan elu,” kata Siti sambil membelai ramb
Wandi memutar tubuhnya menghadap cowok itu. Cowok yang lebih tinggi yang menatapnya dan terlihat sangat kesal. Mereka kemudian berkenalan, dan namanya adalah Adrian. Terlihat sangar dan tidak sabar, ia kemudian membawa Wandi pergi dari tempat itu untuk diajaknya pulang ke rumah. Rasa syukur tiada tara menemukan teman di lapangan sepak bola kampungnya. Adrian membawanya pulang karena melihat Wandi diteriki orang banyak. Rasa kasihan melihat Wandi yang sudah terlihat gemetar dan wajah pucat.Mengantar pulang dan bertemu dengan kedua orang tua Wandi. Siti berulang kali mengucapkan terimakasih pada Adrian yang pada saat itu maih sekolah di SD. Ternyata mereka satu sekolah dengan Adrian. Ibu satu anak itu sampai meneteskan air mata. Melihat anak semata wayangnya ada yang memperhatikan.Semenjak kejadian itu, mereka sering menitipkan Wandi kepada Adrian. Meskipun mengetahui bagaimana sifat Adrian, namun mereka tidak lagi mengkhawatirkan anaknya. Bahkan sering kali membawakan makanan kepada
Dengan rasa takut di hatinya Wandi mencoba menarik hendel pintu yang ada di belakang Adrian. Tubuh Adrian yang besar cukup membuatnya kesulitan menggapai benda tersebut. Dengan penuh perjuangan akhirnya Wandi dapat mencapai hendle pintu. Tubuh Adrian yang terdiam seperti patung kini dapat bergerak mundur dan ... bruk ... akhirnya keduanya terjauh di tanah. Tubuh keduanya terdorong keluar saat gagang pintu diputar oleh Wandi. Berhubung mereka berpelukan akhirnya jatuh bersama.“Asem ... sakit tau!” Bentak Adrian kasar karena bokongya terjatuh dengan sangat keras ke tanah.“Lu jangan salahin gue! Tadi lu yang nyuruh buka pintu, sekarang marah,” sanggah Wandi mencoba berdiri dan membantu Adrian untuk bangkit dari tanah.Wandi mengulurkan tangan kepada Adrian yang masih dengan wajah cemberut. Mereka akhirnya dapat keluar dari rumah tua dan kuno. Rumah dengan aura menyeramkan dan pintu yang tertutup rapat saat tubuh mereka keluar terjatuh di tanah. Keduanya merasa heran namun ada terbersi
Dari gelapnya malam, Adrian dan Wandi melihat ada sorot lampu kendaraan dari jauh. Rasa bahagia tak terkira mengingat perut sudah mulai bunyi keroncongan. Terbersit ingatan waktu makan bersama dengan Hesta beberapa waktu lalu di rumah misteri itu. Rasa mual tiba-tiba menyerang Adrian mengingat makanan yang masuk ke dalam perutnya. Wandi melirik sahabatnya matanya menyipit dengan rasa penasaran di hatinya. Namun hal itu tidak berlangsung lama saat kendaraan yang telihat sudah mulai mendekat ke arah mereka. "Semoga yang datang bukan makhluk astral lagi ya? Gue udah panas dingin lagi nih." "Bukan, gak mungkin hantu bisa nyetir. Jangan buat gue ganti baju lagi!" dengus Adrian dengan kesal. Teringat dia sampai pipis di celana karena ketakutan melihat hantu seram. Tidak lama kendaraan datang, keduanya segera melambaikan tangannya dan bergerak agak maju ke tengah jalan. Bunyi rem kendaraan terdengar keras, membuat kedua anak itu menutup telinga. Perlahan mobil berwarna hitam dengan tulis
Mobil yang ditumpangi oleh keempat orang itu menabrak pohon yang ada di tepi jalan. Beruntung laju kendaraan tidak kencang, sehingga tidak menimbulkan bahaya untuk penumpang yang ada di dalamnya. Riyadi berusaha untuk membuka puntu mobil yang terhimpit dengan pohon. Sedangkan supirnya sudah keluar terlebih dahulu dengan tergesa. Gerimis malam tidak mereka hiraukan. Sementara Adrian dan Wandi terbangun akibat guncangan yang cukup keras membuat keduanya terbentur kursi mobil bagian depan.“I-ini ada apa?” tanya Adrian sambil mengguncang tangan Wandi yang masih bengong.Terlihat kedua anak itu belum menyadari jika mereka sedang mengalami musibah. Hingga suara Riyadi menyadarkan mereka untuk segera turun dari mobilnya. Saling dorong kedua pemuda itu turun dengan tangan berdesekap di dada. Hawa malam memang sangat dingin kali ini. Mereka hanya mengenakan baju tipis yang pendek. Berbeda dengan Riyadi dan supirnya yang mengenakan jaket tebal.Supir yang saat ini berada di samping Riyadi memb
Adrian yang menyadari ada bayangan hitam berada di sebelahnya berteriak dengan kencang demikian juga dengan Wandi. Keduanya merapatkan tubuhnya ke samping badan mobil hingga menempel di pintu. Mereka menutup wajah dengan kedua tangan. “Gila, ini setan ngapain ngikutin kita? Ndiii ... lu tadi lupa kagak pamit ama dia?” teriak Adrian kepada Wandi masih dengan menutup matanya. “Astaga ... kenapa kagak lu aja? Ini setan demenan elu, Yan! Lupa kalau dia tertarik ama kolor elu itu?” Adrian membuka tangannya dan sadar dia sudah memakai kolor dari rumah berhantu itu. “Ehh ... busyeeett, napa ini masih nempel di tubuh gue?” ucapnya sambil menarik karetpada kolornya yang berwarna kitam. Dia lupa jika sejak tadi tidak memakai dalaman sehingga rasa dingin menyeruak di bawah sana. “Waduhh ... gue lupa tadi ngompol, hihihi ...,” tawanya lirih. Tapi matanya bersinar melihat sosok bayangan hitam sudah tidak ada lagi di dekatnya. Kembali membuka mulutnya dengan lebar membuat tawanya terdengar dal
Jumari masih bengong melihat anaknya datang dalam keadan utuh tidak kurang satu apapun. Kemudian dia berjalan mendekat dan memutar badan Adrian. “Kamu beneran Adrian? Bukan setan?” “Ye elah, masak kagak percaya ama anak sendiri. Tuh lihat, pegang apa pukul sekalian. Kaki gue juga nyentuh tanah,” ucap Adrian meraih tangan Jumari untuk dan diletakkan di tubuhnya. “Busyett, kamu emang punya nyawa rangkap. Keren amat anakku ini.” ucap Jumari sambil menggelengkan kepalanya. Kedua anak itu terlihat saling memandang dengan melihat ke arah Jumari yang masih tersenyum misterius. Mereka tidak lama teriam mematung di teras kemudian masuk ke lama rumah dan melihat bapak Adrian tetap berada di luar. “Yah, amang berapa lama mau tetap di luar?” kata Adrian agak kencang supaya Jumari mendengarnya. “Astaga, kalian tidak ada sopannya. Bapak malah ditinggal,” ucapnya lantas masuk dan mengunci pintu dari dalam rumah. Jumari langsung masuk ke dalam dapur menemui istinya yang baru saja keluar dari ka