Rere menghela napas panjang, aku melepas pelukan. Kemudian membalikkan tubuhnya. Tatapan begitu tenang, dia tersenyum manis, aku membalas senyum itu. Aku meraih segelas susu tadi, lalu berjalan ke dekat meja makan. Derik kursi terdengar nyaring ketika ditarik untuk duduk. Rere memperhatikanku dengan tatapan yang entahlah, tidak dapat digambarkan dengan kata.
“Kemarilah!” perintahku menepuk-nepuk paha, dimana aku masih mengenakan sarung. Rere tersenyum, ah sebuah senyum yang sangat manis. Wanita muda tersebut duduk di pangkuan. Aku menyesap susu hangat di dalam gelas lalu menyisakan sebagian untuk Rere. Gadis itu kembali tersenyum, dia meraih gelas susu yang aku ulurkan dan meminumnya sedikit demi sedikit.
“Tidak seperti itu juga, Bang,” kata Rere menjeda, “mau mendengar cerita saya?” tanya Rere.
Aku memeluknya, “Katakanlah,” ujarku.
Rere kemudian menceritakan dari
Dalam hidup terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tidak bisa menghakimi, semua mempunyai pilihan masing-masing, sebagai orang terdekat hanya bisa menasehati juga memberi saran. Selebihnya pilihan ada ditangan masing-masing. Masalah yang datang membuat seseorang menjadi lebih baik dalam bersikap. Usai pagi tadi menemui Kenzo, dimana ini demi seorang adik yang aku sayangi. Siang ini aku menemui calon suami Nayla, yaitu Akbar, aku mengajaknya bertemu di sebuah resto. Sejalan dengan apa yang terjadi, aku ingin berusaha meyakinkan, agar hubungan mereka baik-baik saja. Disinilah kami sekarang, duduk berdua menikmati santap siang, lebih tepatnya hanya aku. Akbar terlihat ogah-ogahan, hanya mengaduk-aduk nasi di dalam piring. “Makanlah, aku tidak akan mengobrol denganmu jika kau tidak habiskan makananmu!” perintahku.
Menjelang siang, Nayla mengganti pakaian yang lebih rapi, hari ini dia libur kuliah. Hati sedikit lega usai menceritakan sebagian masalah kepada Edzard. Sang kakak bahkan membantunya untuk berbicara dengan Akbar. Ada sedikit rasa was-was takut lelaki itu tidak mempercayainya, Nayla hanya meminta sedikit waktu kepada Akbar untuk menyelesaikan urusan dengan hatinya. Masa lalu yang membuat terbelenggu, Nayla ingin melepaskan segalanya. Tidak butuh waktu lama, gadis tersebut keluar dari kamar dengan cantik, mengenakan dress overal warna orange dipadukan dengan blazer warna biru cerah. Flat shoes yang dia kenakan sesuai dengan warna tas selempangnya. Kenzo menantinya dengan tidak sabar, dia tengah duduk di sofa ruang tamu. Kedua netra Nayla dan kenzo saling bertemu, mereka melempar senyum. Kenzo begitu terpesona wajah ayu Nayla. “Kita pergi sekarang!” ajak Kenzo. “Iya,” jawab Nayla. Mereka berjalan beriri
Perpisahan, suatu yang sangat menyakitkan ketika harus melepas, meninggalkan hal yang sangat berharga. Separuh hati yang pergi, meninggalkan segala rasa yang pernah singgah, tentu bukan hal mudah. Akan tetapi, ketika hati merasa lelah, melepas belahan jiwa adalah hal yang membuatnya bahagia, maka dengan berat hati memang harus melepasnya. senja dalam cinta, hanyut tenggelam ditelan kenyataan. Senyum itu melebur, melepas yang harus dilepaskan. Hati remuk redam menerima kenyataan, yang baru saja terjadi seolah semu, kebahagiaan yang terenggut sempurna, hilang seiring langkah mulai menjauh. Jalan yang ditempuh, bukan jalan menuju kenyataan manis, Akan tetapi, menapaki terjalnya jalan, sesuatu dari yang tidak dapat kita sentuh. Sakit, itu yang kini Kenzo rasakan, pelabuhan untuk tempatnya singgah sekejap. Kebahagiaan seujung kuku dia rasa. Terpaksa semua kembali pada luka tempat semua berasal. Bukan sebuah harapan hampa yang tidak bertepi, hanya rasa itu memang tidak sehar
Sore hari ketika Edzard baru saja menginjakkan kaki di pelataran rumah, terdengar suara riuh para wanita. Sang surya masih semangat bersinar meski sudah hampir memasuki waktu maghrib. Cahaya sang surya perkasa, menghujani langit yang kemudian berwarna kemerahan, sangat indah. Lukisan nyata dari sang kuasa. Edzard mendongak menikmati sejenak langit sore tersebut lalu dia tersenyum. Menatap ke arah pintu yang sedikit terbuka. Suara lantang Angel terdengar nyaring, diiringi tawa jenaka yang lain. Entah sejak kapan ke empat wanita tersebut menjadi akrab satu sama lain. Bahkan menurut pengakuan Rere, ada satu grup khusus di aplikasi FastaApp, aplikasi untuk berkirim pesan. Edzard membuka pintu rumah, gelak tawa semakin terdengar nyaring. Keempat wanita yang asyik mengobrol tersebut memandang ke arah Edzard, lelaki tampan tersebut mengerutkan kening melihat mereka kompak terdiam. “Kenapa diam?” tanya Edzard. Mereka buk
Setiap kenangan pahit yang terlewat, tanpa sadar memberikan rasa sakit kembali selama puncak duka lara tersebut masih ada. Berada di tempat dan hadir pada masa yang salah. Benarkah rasa cinta itu salah? Jika demikian apa tidak pantas untuk merasa bahagia. Malam yang dingin berselimut kabut mendung hati. Hal paling berat bagi Evelyn kala terbangun dari lelap mimpi. Mengingat kehidupan pernikahan yang membuatnya tak berdaya. Malam waktu paling lama berlalu, berbagi kehidupan berharga, mengingat sang suami bukan hanya milikmu. Kehidupan Evelyn yang menyakitkan. Beberapa kali dia terbatuk lantaran tenggorokan terasa kering. Evelyn menghela napas panjang, memantapkan hat. Kakinya pelan melangkah keluar kamar. Samar Evelyn mendengar erangan bersahutan dari kamar istri pertama sang suami. Sakit, sangat sakit, ketika sebuah hati dan raga harus terbagi. Evelyn mencoba legowo namun, tidak dengan perasaannya. Dia sakit hati, air mata meleleh membasahi
“Kenapa harus sesakit ini.” Kalimat itu yang sempat terlontar dari mulut Kenzo sebelum dia dan Nayla berpisah. “Apa lebih baik aku menjadi seorang mualaf agar bisa menikahimu Nay?” tanya lelaki tersebut. “Abang, rasa ini hanya sementara, itu tidak akan bertahan lama. Semua hanya rasa sesaat yang belum tersampaikan di masa lalu.” Begitu jawaban Nayla kala itu. “Untuk menjadi seorang muslim, itu bukan karena cinta pada sesama, Bang. Namun, harusnya itu niatan dalam hati Abang kepada sang pencipta,” imbuh Nayla. Ucapan dan juga perhatian terakhir yang Kenzo ingat selalu, membuatnya memantapkan hati untuk pergi menjauh sebentar, menenangkan pikiran. Menghilangkan segala hal yang menyakitkan dengan mencoba berada di tempat yang baru. Kini lelaki itu tengah berada di bandara internasional. Langkahnya pasti, senyumnya terukir, meski sakit hati namun, kebersamaan sekejap itu Kenzo rasa menjadi penyemangat dirinya u
Hidangan lezat tidak membuat Nayla lahap menyantapnya. Rasanya makanan yang masuk ke dalam mulut tidak dapat tertelan. Bukan hal mudah bagi Nayla untuk bisa beradaptasi dengan orang baru. Terutama tatapan yang membuat Nayla jengah. Akbar yang mengetahui kegugupan calon istri, dia meraih tangan Nayla dan mencengkram lembut di balik meja. Nayla tersenyum lalu melanjutkan makan bersama. Nayla melongo, tidak hanya berhenti di situ. Mereka kini mengajak Nayla mengobrol santai dengan para wanita. Sedangkan pihak lelaki berkumpul di ruang berbeda membahas bisnis. Terpaksa Nayla berpisah dengan Akbar. Pemuda gagah itu terlihat mencemaskan sang calon istri mengingat para tantenya itu sangat menyebalkan. Perbincangan bisnis tidak berlangsung baik, Akbar lebih banyak diam menyimak tetapi pikiran ke arah Nayla. Saking frustrasinya, Akbar bangkit berdiri membuat para saudara memandang ke arahnya. "Mau kemana Akbar?" tanya sang ayah.
Melihat sang suami memapah istri keduanya, Rere merasa cemburu. Wajar bukan, dia istri pertama Edzard. Ada sedikit rasa tidak suka melihat pemandangan harmonis itu. Mengapa wanita itu yang sang suami cintai, mengapa harus ada orang ketiga pada mahligai rumah tangganya, begitu berontak Rere dalam benak. Ah, semua kesalahan ada pada dirinya, bukan. Waktu lalu dia mengejar cinta lelaki brengsek, bernama Kenzo. Lelaki yang pada kenyataan sesungguhnya mencintai Nayla sang sahabat, orang terdekat Rere. Lalu kejadian tidak terduga, sebuah kesalah pahaman membuat ibu mertuanya menikahkan sang suami dengan Evelyn. Sungguh ironis, begitu bahagia Rere mempersiapkan pernikahan nan mewah, dia turut bahagia, bodoh. Memang bodoh, gadis itu masih menyimpan rasa pada lelaki lain. Hingga ijab qobul kedua yang sang suami ucap membuat dadanya mendadak sesak. Ah, rasa apa itu, Rere belum begitu peduli. Namun, gelebah itu semakin merasuk sukma ketik