Perpisahan, suatu yang sangat menyakitkan ketika harus melepas, meninggalkan hal yang sangat berharga. Separuh hati yang pergi, meninggalkan segala rasa yang pernah singgah, tentu bukan hal mudah. Akan tetapi, ketika hati merasa lelah, melepas belahan jiwa adalah hal yang membuatnya bahagia, maka dengan berat hati memang harus melepasnya. senja dalam cinta, hanyut tenggelam ditelan kenyataan. Senyum itu melebur, melepas yang harus dilepaskan. Hati remuk redam menerima kenyataan, yang baru saja terjadi seolah semu, kebahagiaan yang terenggut sempurna, hilang seiring langkah mulai menjauh. Jalan yang ditempuh, bukan jalan menuju kenyataan manis, Akan tetapi, menapaki terjalnya jalan, sesuatu dari yang tidak dapat kita sentuh. Sakit, itu yang kini Kenzo rasakan, pelabuhan untuk tempatnya singgah sekejap. Kebahagiaan seujung kuku dia rasa. Terpaksa semua kembali pada luka tempat semua berasal. Bukan sebuah harapan hampa yang tidak bertepi, hanya rasa itu memang tidak sehar
Assalamu'alaikum, untuk pemenang give away saya umumkan besok ya.
Sore hari ketika Edzard baru saja menginjakkan kaki di pelataran rumah, terdengar suara riuh para wanita. Sang surya masih semangat bersinar meski sudah hampir memasuki waktu maghrib. Cahaya sang surya perkasa, menghujani langit yang kemudian berwarna kemerahan, sangat indah. Lukisan nyata dari sang kuasa. Edzard mendongak menikmati sejenak langit sore tersebut lalu dia tersenyum. Menatap ke arah pintu yang sedikit terbuka. Suara lantang Angel terdengar nyaring, diiringi tawa jenaka yang lain. Entah sejak kapan ke empat wanita tersebut menjadi akrab satu sama lain. Bahkan menurut pengakuan Rere, ada satu grup khusus di aplikasi FastaApp, aplikasi untuk berkirim pesan. Edzard membuka pintu rumah, gelak tawa semakin terdengar nyaring. Keempat wanita yang asyik mengobrol tersebut memandang ke arah Edzard, lelaki tampan tersebut mengerutkan kening melihat mereka kompak terdiam. “Kenapa diam?” tanya Edzard. Mereka buk
Setiap kenangan pahit yang terlewat, tanpa sadar memberikan rasa sakit kembali selama puncak duka lara tersebut masih ada. Berada di tempat dan hadir pada masa yang salah. Benarkah rasa cinta itu salah? Jika demikian apa tidak pantas untuk merasa bahagia. Malam yang dingin berselimut kabut mendung hati. Hal paling berat bagi Evelyn kala terbangun dari lelap mimpi. Mengingat kehidupan pernikahan yang membuatnya tak berdaya. Malam waktu paling lama berlalu, berbagi kehidupan berharga, mengingat sang suami bukan hanya milikmu. Kehidupan Evelyn yang menyakitkan. Beberapa kali dia terbatuk lantaran tenggorokan terasa kering. Evelyn menghela napas panjang, memantapkan hat. Kakinya pelan melangkah keluar kamar. Samar Evelyn mendengar erangan bersahutan dari kamar istri pertama sang suami. Sakit, sangat sakit, ketika sebuah hati dan raga harus terbagi. Evelyn mencoba legowo namun, tidak dengan perasaannya. Dia sakit hati, air mata meleleh membasahi
“Kenapa harus sesakit ini.” Kalimat itu yang sempat terlontar dari mulut Kenzo sebelum dia dan Nayla berpisah. “Apa lebih baik aku menjadi seorang mualaf agar bisa menikahimu Nay?” tanya lelaki tersebut. “Abang, rasa ini hanya sementara, itu tidak akan bertahan lama. Semua hanya rasa sesaat yang belum tersampaikan di masa lalu.” Begitu jawaban Nayla kala itu. “Untuk menjadi seorang muslim, itu bukan karena cinta pada sesama, Bang. Namun, harusnya itu niatan dalam hati Abang kepada sang pencipta,” imbuh Nayla. Ucapan dan juga perhatian terakhir yang Kenzo ingat selalu, membuatnya memantapkan hati untuk pergi menjauh sebentar, menenangkan pikiran. Menghilangkan segala hal yang menyakitkan dengan mencoba berada di tempat yang baru. Kini lelaki itu tengah berada di bandara internasional. Langkahnya pasti, senyumnya terukir, meski sakit hati namun, kebersamaan sekejap itu Kenzo rasa menjadi penyemangat dirinya u
Hidangan lezat tidak membuat Nayla lahap menyantapnya. Rasanya makanan yang masuk ke dalam mulut tidak dapat tertelan. Bukan hal mudah bagi Nayla untuk bisa beradaptasi dengan orang baru. Terutama tatapan yang membuat Nayla jengah. Akbar yang mengetahui kegugupan calon istri, dia meraih tangan Nayla dan mencengkram lembut di balik meja. Nayla tersenyum lalu melanjutkan makan bersama. Nayla melongo, tidak hanya berhenti di situ. Mereka kini mengajak Nayla mengobrol santai dengan para wanita. Sedangkan pihak lelaki berkumpul di ruang berbeda membahas bisnis. Terpaksa Nayla berpisah dengan Akbar. Pemuda gagah itu terlihat mencemaskan sang calon istri mengingat para tantenya itu sangat menyebalkan. Perbincangan bisnis tidak berlangsung baik, Akbar lebih banyak diam menyimak tetapi pikiran ke arah Nayla. Saking frustrasinya, Akbar bangkit berdiri membuat para saudara memandang ke arahnya. "Mau kemana Akbar?" tanya sang ayah.
Melihat sang suami memapah istri keduanya, Rere merasa cemburu. Wajar bukan, dia istri pertama Edzard. Ada sedikit rasa tidak suka melihat pemandangan harmonis itu. Mengapa wanita itu yang sang suami cintai, mengapa harus ada orang ketiga pada mahligai rumah tangganya, begitu berontak Rere dalam benak. Ah, semua kesalahan ada pada dirinya, bukan. Waktu lalu dia mengejar cinta lelaki brengsek, bernama Kenzo. Lelaki yang pada kenyataan sesungguhnya mencintai Nayla sang sahabat, orang terdekat Rere. Lalu kejadian tidak terduga, sebuah kesalah pahaman membuat ibu mertuanya menikahkan sang suami dengan Evelyn. Sungguh ironis, begitu bahagia Rere mempersiapkan pernikahan nan mewah, dia turut bahagia, bodoh. Memang bodoh, gadis itu masih menyimpan rasa pada lelaki lain. Hingga ijab qobul kedua yang sang suami ucap membuat dadanya mendadak sesak. Ah, rasa apa itu, Rere belum begitu peduli. Namun, gelebah itu semakin merasuk sukma ketik
Sunyi, gambaran pada malam syahdu dimana angin malam sayup-sayup halus menyapa. Gerakan anggun Rere menapaki rerumputan di sekitar taman. Sesekali dia membenahi letak syal yang merosot ke bagian lengan. Edzard berjalan di sampingnya, sepasang suami istri itu nampak harmonis, senyum Rere mengembang. Sejenak Edzard menghentikan langkah, memandangi wajah sang istri dalam remang semburat cahaya candra yang mengguyur tubuh keduanya. Langit malam nan indah bertabur bintang menjadi saksi bisu keadaan yang sangat Rere ingin, berdua bersama sang suami. Egois benar memang egois, dia ingin merengkuh sang suami untuk dirinya sendiri, setidaknya untuk malam ini. Edzard membelai rambut panjang Rere yang tergerai indah menjuntai ke bawah. Lelaki itu mengecup kening sang istri. Gelayar aneh menjalar di tubuh keduanya, tatapan mereka bertemu pandang. Cukup lama, sampai akhirnya Edzard menarik tubuh Rere dalam dekap hangat. Nyaman, wanita muda tersebut merasa
Hari masih gelap ketika Rere terbangun dari tidur, dengan keadaan masih polos. Sang suami sudah tidak lagi berada di tempatnya. Miris, dia tersenyum kecut, dada terasa sesak menyeruak, dia tidak menjadi istri Edzard sendirian, ada Evelyn di sisinya. Sepi, terasa hampa, Rere harus terima kenyataan pahit itu lapang dada, matanya berembun seketika. Dia beringsut bangun dari, ada rasa nyeri di area punggung dan perut, Rere menggigit bibir bawah, meraih selimut menutupi tubuh telanjangnya. Persetubuhan semalam lebih terasa luar biasa mengingat Edzard tidak menyentuh istri-istrinya beberapa hari. Rere sampai tidak bisa mengimbangi permainan Edzard yang lagi dan lagi. Dia tersenyum lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Malu pada diri sendiri yang berpikiran mesum. Rere menyentuh area leher, kemudian dada dan lengan yang terasa sedikit perih. Gigitan juga cupangan Edzard masih membekas. Tubuh telanjang yang sangat mempesona itu juga masih Rere ingat dengan baik. Jantungnya m
Edzard terkekeh melihat tingkah laku menggemaskan Rere. Dia bangkit berdiri mencubit pipi Rere dengan gemas, lalu menciumnya bertubi-tubi. Rere meronta-ronta antara bahagia dan malu bercampur menjadi satu. Dekapan hangat sang suami, aroma parfum maskulin itu benar-benar terasa membahagiakan. Edzard menghentikan aksinya setelah mengecup bibir Rere. Dia mengajak Rere berdiri, menggandengnya hingga depan meja rias. Edzard mengeringkan rambut sang istri dengan hair dryer. Rere tersenyum malu sedikit menundukkan kepala, ah, betapa bahagianya dia kini. Kalau boleh memohon, Rere berharap waktu berhenti sejenak agar waktunya dengan sang suami lebih lama lagi. Andai saja, sayangnya apa yang Rere harap tidak seperti apa yang dia inginkan. Istri pertama akan tetapi lebih seperti seorang selingan, seperti dibutuhkan ketika butuh saja, sakit tentu saja. Bukan Rere namanya jika tidak berusaha bertahan. Ketika cinta Kenzo dulu untuk Nayla, Rere pun b
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A