Poligami, tidak ada sebersit pemikiran untuk akhirnya memiliki dua istri. Terlebih Rere sudah aku anggap seperti adik sendiri. Keputusan menikah kami yang tiba-tiba lantaran keinginan almarhum Nenek Rere. Membuat kaminter belenggu dalam hubungan yang sulit diartikan. Terlebih, sekarang aku telah mencintai Evelyn. Aku menarik napas panjang nan berat. Rasa begitu sesak di dada, mana mungkin aku menyakiti hati dua wanita terlebih, Evelyn, wanita yang kini aku cinta. Aku meraup wajah dengan kedua tangan, gusar sudah pasti. Pembicaraan yang sangat berat terasa memusingkan.
"Saya tidak akan sanggup menjalani ini, saya tidak mungkin bisa adil kepada kedua istri saya," tegasku masih berusaha sopan.
Ibu mertua meraih tanganku, "Nak, kamu lelaki yang baik, kami percaya kamu bi
Diamnya membuat aku semakin khawatir, setelah panggilan berakhir, aku terus memikirkan Evelyn. Kepala terasa berdenyut, hati ikut sakit, mungkinkah sekarang dia sedang menangis sendirian di rumah. Aku menghela napas panjang kemudian berjalan masuk kembali ke dalam rumah Rere. Kulihat mereka masih berkumpul di ruang tengah. Mereka menatapku dengan serius, membuat diri ini semakin canggung. Kutelan saliva dengan susah payah. Langkah ini pun tepat berhenti di hadapan mereka. "Ayah, Ibu, saya berencana pulang malam ini juga," tuturku. "Hari sudah malam, tidak kah lebih baik besok saja, Nak?" tanya ibu Rere. "Saya mengkhawatirkan istri saya, maksud saya mengkhawatirkan Evelyn," ucapku gelagapan. "Mari kita pulang Bang," ujar Rere kemudian. "Tapi Nak … ." kalimat wanita paruh baya tersebut terhenti.
Aku masuk kembali ke dalam kamar Rere, meletakkan nampan berisi segelas susi. Betapa terkejutnya ketika aku menoleh ke raja ranjang. Rere berdiri di sampingnya, dia melepas gamis dan telah berganti mengenakan lingerie warna merah nanti sexy yang dia beli beberapa waktu lalu. Tubuh mulusnya terpampang menggoda, aku menghela napas berat. Berjalan ke arah ranjang meraih selimut untuk kemudian menitipkan badan tubuh yang menampakkan dada bagian atas itu. "Pakailah pakaian hangat, sudah mulai dingin udaranya," ujarku. "Bang, tidak bisakah kita coba jalani kehidupan rumah tangga ini. Tidak bisakah Abang menganggap aku sebagai wanita, sebagai seorang istri bukan seorang adik?" keluh Rere. Linangan bening air meleleh di pipi mulusnya. Ucapannya terasa seperti rajam yang menghantam tubuh. Aku paham benar dia istriku namun, dia milik Kenzo. Tangan halus Rere merangkum wajah ini, dia
Evelyn menatap dengan sendu, senyumnya terlihat terpaksa. Wanita itu menundukkan kepala, aku beralih menatap mantel tidur, rupanya bagian dada terlihat, ada beberapa cupangan dari Rere, ah, istri keduaku melihatnya. Wanita itu masih menunduk ketika aku berjalan mendekatinya. Tangan halus itu kuraih dan ku gandeng memasuki kamar. Kupeluk erat tubuh langsingnya, harum sampo menyeruak ketika aku mendekatkan wajah di kepala bagian samping. Dia menangis, ku elus rambut yang sedikit bergelombang. Evelyn membalas pelukanku dengan erat, rasa sakit itu, yah dia pasti merasakan sakit hati. "Saya sudah berusaha ikhlas Bang, tapi rasanya masih sakit, maaf jika saya egois, berikan saya waktu itu menangani perasaan saya," ujar Evelyn. "Maaf Sayang, maaf," ucapku kebingungan. "Jangan meminta maaf Bang, ini bukan salah Abang," ujar Evelyn lagi, sangat menyakitkan hati. &
Udara terasa dingin menusuk, Evelyn mengenakan piyamanya kembali. Dia membuka gorden dan jendela kamar, menutup mata sejenak menikmati sapuan angin menyapa wajah. Wanita itu kemudian berjalan keluar menuju ke kamar istri pertama sang suami. Pelan dia membuka pintu, senyumnya mengembang melihat Rere masih meringkuk membalut tubuhnya dengan selimut tebal. Evelyn mengedarkan pandang, menyusuri ruangan bercat pink tersebut, dua membuka tirai juga jendela, lalu kembali berjalan ke arah ranjang, duduk di sudut. "Mbak Rere bangun," ucap Evelyn menepuk pipi halus Rere dengan jemari. Rere yang merasakan benda dingin menempel di pipi kemudian bangkit, mengerjap-ngerjapkan mata. "Mbak Eve," ujar Rere. "Selamat pagi Mbak," ujar Evelyn mengulas senyum. "Panggil Rere saja, Mbak Eve kan lebih tua dari saya, tidak enak mendengarnya," keluh Rere manja.
Rere yang tengah mengenakan dress berhenti merapikan bagian bawah, dia beringsut bangkit dari duduk kala mendengar penuturan sang suami. Bagaimana bisa Edzard mengatakan apakah dirinya menyesal telah melepas hal berharga miliknya untuk sang suami. Rere duduk di pangkuan Edzard, dia memeluk tubuh yang terasa hangat dan mendamaikan. Gadis itu menutup mata sejenak, memberanikan diri merangkul ke leher sang suami. "Saya tidak menyesalinya Bang, dan tidak akan," ujar Rere menatap sayu. Edzard menundukkan kepala lalu melumat bibir miliknya dengan lembut. Satu hal yang Rere sadari, Edzard satu-satunya tempat bersandar. Ketika bersama Kenzo, dia berusaha menjadi sempurna. Namun, bersama Edzard Rere tidak canggung tampil apa adanya. Gadis yang selalu merengek manja. Napas keduanya tersengal, Edzard menyatukan kening dengan Rere, embusan hangat itu saling menyapa wajah. Edzard tersenyum menutuo mata sebentar kemudian menarik
Pagi yang cerah, bunga-bunga indah merekah, seperti senyum Rere yang menghias di bibir manisnya. Sapuan angin yang mapir menggoyangkan rambut Rere ke belakang. Nayla sesekali menoleh ke arah sang sahabat dengan kening berkerut. Keduanya kini tengah duduk di sebuah kursi taman bercat putih, di bawah pohon beringin yang rindang. 'Ada yang aneh,' batin Nayla.Sekali lagi Nayla memperhatikan wajah sumringah sang sahabat, ada rasa yang janggal. Mengingat beberapa waktu lalu Kenzo pernah menghubungi bahkan menghampirinya untuk bersua Nayla. Pemuda itu menceritakan tentang perpisahannya dengan Rere. Sedikit terkejut, Rere katanya lebih memilih mempertahankan pernikahan dengan Edzard, kakaknya daripada menanti Kenzo. Jika dia berad
Tepukan di punggung Kenzo untuk yang kesekian kali yang dilakukan Edzard menghantarkan Kenzo ke alam nyata. Memori malam kelabu tersebut perlahan pudar, tersisa hati yang teriris sembilu. Edzard melihat sahabat nya dengan tatapan bingung berkecamuk. Dirinya ikut andil dalam kemalangan yang menimpa Kenzo. "Maaf Ken, maaf," ucap Edzard untuk kesekian kali. "Untuk apa kau meminta maaf, semua sudah terjadi. Itu keputusan Rere, aku juga tidak dapat berbuat banyak hal," keluh Kenzo. "Kau menangis?" tanya Edzard yang suara sesegukan. "Aku tidak menangis, mana ada," kilah Kenzo menghapus dengan cepat linangan bening di pelupuk mata dengan ujung lengan jas warna hitam yang dia kenakan. "Kau ini garang tapi hatimu selembut kapas, kau ini brengsek tetapi mudah iba," ejek Edzard. "Sok tahu," decak Kenzo. &
Akbar dan Nayla saling pandang, Nayla memasang wajah kebingungan. Pasalnya mobil yang dikemudikan Akbar berhenti mendadak di sebuah pinggiran persawahan tempat yang tidak Nayla kenali. Akbar memasang wajah yang tidak dapat diartikan. Entah apa yang dia pikirkan, Nayla kurang paham. "Bang, kenapa berhenti di tempat seperti ini?" tanya Nayla sekali lagi. Akbar melepas sabuk pengaman, dia menoleh ke arah Nayla, menatap tajam. Nayla sampai bergidik melihatnya. Merasa ada yang aneh dengan tingkah laku sang tunangan. Nayla mendelik, dia melepas sabuk pengaman cepat kilat untuk kemudian mencengkeram dompet selempang yang dikenakan. Nayla hendak menimpuk Akbar dengan dompet tersebut jika Akbar berani macam-macam. &
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A