Nayla tampil anggun dalam balutan dress di bawah lutut, midi dress kerah v neck, lengan panjang berbahan, silk polyester, berwarna hijau kebiruan, dengan motif bunga-bunga. Riasannya terlihat natural, rambut bagian bawah dibuat ikal, sangat cantik berkat salon langganan milik Kenzo. Namun, kehadirannya di pesta membuat Edzard, sang kakak sirap hati. Panjang lebar Nayla menjelaskan kepada sang kakak. Tidak ada amarah di mata Edzard, hanya sedikit kekhawatiran saja. Pasalnya Nayla tidak pernah ke luar kota bersama lelaki. Edzard kemudian membiarkan adiknya menikmati pesta bersama tunangannya. Sedangkan Kenzo langsung dikerubuti para pengusaha, yang begitu mengelu-elukannya. Dia menggunakan dalih menemani Edzard ke pesta. Kedua pemuda tersebut langsung menjadi pusat perhatian.
Evelyn kemudian menyingkir ke belakang agar tidak terdesak kerumunan. Dia tersenyum menyaksikan du
Riuh suara banyak orang menggema. Di pesta yang semakin riuh, dentuman suara musik semakin menambah gaduh. Usai menjawab beberapa pertanyaan dari rekan bisnis, aku dan Kenzo berjalan menuju ke sebuah meja. Dimana Akbar bersama Nayla turut duduk manis menanti kami. Akbar terlihat berbincang dengan beberapa orang yang menyapa lalu pergi. Mereka berdua tersenyum menyambut kedatangan kami. Aku mengalihkan pandang ke arah lain mencari Evelyn."Kalian berdua saja, Eve dimana?" Alu memincingkan mata ke arah sepasang sejoli tersebut bergantian."Kami tidak tahu Bang, kan tagi Mbak Eve bareng Abang," ujar Nayla yang sesekali terlihat menguap.Aku menghela napas panjang nan berat. Melihat jam tangan telah hampir menunjukkan pukul dua bel
Langkahnya gontai, entah berapa gelas dia minum. Namun, tingkahnya ini mirip orang mabuk yang habis minum banyak. Sepertinya tubuh Eve memang tidak memiliki toleransi pada alkohol. Dia semakin meracau, bernyanyi lagu yang aku sama sekali tidak tahu, suaranya lirih, namun terdengar merdu. Aku bergegas keluar lift hendak membawa ke kamarnya. Baru aku sadar ada Nayla di sana. Kepalaku pusing memikirkan, apa kata Nayla jika dia tahu Eve seperti ini. Masih dilanda kebimbangan, Eve kembali merangkulku, kali ini kedua tangannya bergelayut di leher. Tatapannya terlihat sayu namun menggetarkan hati. Aku benar-benar tidak sanggup mengelak pesonanya. Kewarasanku hampir hilang, dalam hati kecil menolak. Namun, kaki ini malah melangkah berjalan masuk ke dalam kamar. Badan terasa sangat panas dingin seketika, jantung, yah, jantung ini semakin meronta-ronta dengan letupan tidak beriramanya. Aku membimbing Evelyn duduk di pojok ranjang, memeja
Sekali lagi teriakan Evelyn terdengar melengking, ada kebahagiaan tersendiri menggodanya, seperti sebuah hiburan. Tawa ini meledak, menggema ruang kedap suara, melihat wajah cantik itu kebingungan. Kulit lembut pipinya itu sangat halus terasa, kala tangan ini menyentuhnya. Aku tengah duduk di pojok ranjang saat ini, menatap wajah wanita yang seharusnya tidak aku sentuh. Namun, naluri lelaki dalam diri meronta-ronta. Terbesit rasa bersalah, ada hati seorang istri yang harus aku jaga. Rere, gadis cantik itu, meski pernikahan kami bukan sesuatu hal yang, entahlah. Sulit menjabarkan dengan kata, napas ini terasa berat terhela. Aku kembali menatap Evelyn, manik mata kami bertemu pandang. Wajah cantik itu cukup menyita perhatian, ada gejolak rasa yang menyergap dada. "Berhentilah berteriak, dan pergilah mandi Eve," ucapku lirih.
Bukan ucapan salam manis yang harus diterima. Melainkan nada tinggi namun, masih terdengar merdu melengking di pendengaran. Suara ibu terdengar syahdu begitu marah. Aku tebak Nayla menceritakan hal yang tidak-tidak pada ibu. Aku menghela napas mencoba mendengarkan ceramah ibu yang panjang sangat. "Apa yang kamu lakukan anak nakal, Ibu menyuruhmu menikah lagi tidak mau tapi malah meniduri anak orang. Ibu tidak pernah mengajarkan kamu berbuat hal tidak terpuji seperti itu," berondong ibu di akhir alunan yang mirip rapper dadakan, ucapannya panjang dan terlontar dengan cepat. Aku menghela napas berat kemudian menggelengkan kepala. "Ibu, semua hanya salah paham," sanggahku. "Salah paham jidatmu, Nayla melihat kau dan Evely
Kami kompak menoleh ke arah Kenzo, tawa sombong itu lenyap seketika. Nayla mendelik, menatap Kenzo dengan mata tidak berkedip. Bisa-bisanya pemuda tersebut bahagia setelah dia membuat calon adik iparku mabuk. Aku paham benar Akbar bukan seorang peminum. Entah bujukan apa yang Kenzo katakan hingga Akbar ikut minum. Ada hal yang membuatku penasaran tentang ucapan ngawur Akbar tadi. Tidak akan mungkin Kenzo mencintai Nayla, pasalnya Kenzo sudah menganggap Nayla seperti adik sendiri. Tidak ada jarak di antara kami. Bahkan kedua orang tua Kenzo juga sangat menyayangi kami terutama Nayla. Setiap ada suatu hal penting, mereka lebih memilih mengajak Nayla dibanding Kenzo yang putra kandungnya. Kenzo juga tidak keberatan pada sikap kedua orang tuanya, asal semua bahagia, begitu kata yang selalu terlontar kala aku bertanya. "Kenapa menatapku sedalam itu Nay?" tanya Kenzo me
Sampai di depan rumah baruku --- rumah nenek Rere yang aku beli --- kami dikejutkan dengan adanya keramaian. Banyak orang berlalu lalang, terlihat taman mulai dihiasi dengan lampu-lampu kelap-kelip padahal belum masuk waktu malam. Ada gazebo dengan hiasan bunga mawar di atas, kain berwarna putih menyelimuti besi penyangga. Sangat kontras dengan hijaunya rerumputan yang terawat dengan baik. Meja yang berada di depannya. Sekali lagi bunga mawar juga menghias sebuah meja yang telah di balut kain putih. Ada empat kursi dengan balutan kain warna sama. Bunga-bunga yang tumbuh sugur menyejukkan pandang. Kami yang keluar dari mobil mendadak terbengong. Menatap tukang dekorasi yang sibuk. Syukuran ruamah baru sudah aku laksanakan beserta pengajian, sehari setelah aku membeli. Lalu untuk apa ibu mengadakan pesra lagi? Pertanyaan itu terngiang dalam benak. Rere menyembul keluar pintu, berlari menghampiri kami, senyum simpulnya tersungging
Sakit, sudah pasti, meski keduanya terikat dengan pernikahan tanpa cinta. Namun, hati wanita mana yang rela jika sang suami menikah lagi dengan wanita lain. Menghiasi kamar untuk sang suami dan madunya, ah, sangat luar biasa terasa. Hidup yang Rere jalani begitu menyakitkan, kisah cinta yang terjalin juga tidak semulus itu. Perbedaan agama yang menjadi penghalang. Kasih sayang yang nyata dia dapat dari Edzard, sedikit membuat dirinya terlena. Perhatian kecil yang awalnya adalah hal biasa, tidak terasa akan membuat Rere sedikit teralih pada luka hati. Kenyataan pahit bertubi, dimana sebuah kebenaran, jika Kenzo sang kekasih pernah menaruh hati pada sahabatnya. Belum usai dengan rasa, Rere harus menjalani pernikahan yang tidak dia inginkan demi sang nenek, lalu sekarang, sang suami akan menikahi wanita lain. Masih bisakah dia bertahan? Jawabannya tidak, itu terlalu sakit. Genangan air di pelupuk mata mulai menetes, ada rasa kecew
Rere tersenyum, setidaknya ada sahabat yang akan selalu menjadi sandarannya. Mengingat semua hal yang terjadi, Nayla teman yang dapat diandalkan selalu. Saat berjalan menuruni tangga, Rere sempat melihat Kenzo dan Edzard duduk di sofa ruang menonton TV, mereka terlihat bergurau. Namun, pandangan Rere terfokus pada Edzard. Suaminya semakin terlihat gagah mengenakan setelan tuxedo warna putih. Wajahnya tiba-tiba merona merah. Beruntung yang dipandang tidak menyadari. Rere langsung bergegas masuk ke dalam salah satu kamar tamu, dimana Evelyn juga masih di rias. Ada dua orang wanita yang mempersilahkan duduk di dua buah kursi plastik, mereka terlihat ramah. Rere sesekali melirik ke arah Evelyn wanita itu nampak cantik dalam polesan khas Jawa dengan sanggul dan juga hiasan bunga melati. Rasa iri tiba-tiba menyergap, Rere berpikir, apakah harusnya pernikahannya dulu seindah itu. Rere dulu hanya mengenakan make up natural dari salin. Pakaian kebaya juga sangat sederhana, berb
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A