Beberapa Minggu setelah sah menjadi istri Mas Adit, ia membawaku pindah ke rumah impian. Rumah yang lumayan besar, terbagi menjadi beberapa ruangan. Ada taman khusus di belakang rumah, tanpa atap sehingga hujan dan sinar matahari pun ikut tembus. Sedangkan di samping rumah, terdapat kolam renang. Aku dan kedua putriku di boyong kemari oleh Mas Adit.
Satu ruangan khusus berisi alat-alat olahraga, seperti alat nge-Gym, juga tersedia di sini. Sengaja ia beri ruang khusus untuk aku dan anak-anak, serta dirinya berolahraga bersam
Sungguh, kasih sayangnya pada kedua putriku, ia torehkan sepenuhnya. Di rumah ini, kami akan membangun hubungan rumah tangga yang baru.
"Gimana? Kamu suka?" tanyanya kala untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini.
"Sukak banget," j
"Yah, Bunda mau ke apotik ya?" ucapku pada Mas Adit. Sambil menyisir rambut yang basah di depan cermin."Mau ngapain, Bun? Bunda gak enak badan?" tanyanya."Bukan, Yah. Bunda mau beli tespact. Nanti kalau gemuknya karena bukan hamil gimana, Yah?""Ya, Bunda harus jaga makan, rajin olahraga," ucapnya."Kalau hamil?""Bunda harus banyak makan. Ayah gak mau, anak Ayah kurang gizi.""Ya udah, aku pergi dulu, Yah," pamitku.****Niat hati ingin ke apotik, tapi kaki berbelok ke dokter kandungan. Akhirnya, masuklah aku ke dokter sepesialis kandungan. Banyak juga dokter yang buka praktek setiap sabtu.&
Saat mata terbangun di pagi hari, ternyata aku sudah ada di tempat tidur. Suamiku juga masih terlelap. 'Agh, pasti dia yang membopongku. Lelah sekali kelihatannya, Yah.'Kuciumi wajah Mas Adit yang masih terlelap, sebelum meninggalkanya membangunkan Kembar untuk berangkat sekolah.Plak!Mas Adit menarik tubuhku ke pelukannya."Bund," rengeknya manja. Kalau begini apalah yang hendak dipintanya."Hem …," ucapku. Aku melirik jam sudah pukul 06.00, jelas ini waktu berangkat sekolah. Aku segera melepaskan diri dari pelukan Mas Adit. Namun, ketika hendak beranjak, ia kembali menarik tanganku, hingga aku kembali terjatuh di pelukannya."Yah! Anak-anak mau sekolah lepasin agh!"
"Pak Bara, anda dibebaskan dari hukuman. Karena Pak Adit, telah mencabut laporannya."Terima kasih, Ayah …," ucap Nanda. Adit memeluk Nanda dan Nindi.Bara dan keluarganya juga mengucap rasa syukur. Beberapa kali mereka mengucapkan kata terima kasih pada kami. Sepertinya, Bang Bara dan keluarganya benar-benar telah menyesali perbuatannya."Kalian pulang bareng kami saja," tawar Mas Adit pada Bang Bara dan keluarganya."Kami naik angkot saja, Nak Adit," ucap Ibu."Loh, bareng aja sama kita, Bu," ucapku."Iya, Nanda dan Nindi, masih kangen sama, Papa. Pulang bareng kami ya," celetuk Nindi memohon."Baiklah, kalau begi
POV NingrumAku Ningrum, berasal dari gadis kampung, yang manis dan lugu. Berumur 23 tahun. Aku mengaku pada calon Bos, kalau aku ini berusia 21 tahun. Aku pandai bermuka dua. Terlihat baik, tapi belum tentu juga. Yang pastinya, siapapun yang mengenal-ku, pasti dia akan tertipu wajah polosku. Kesempatan datang ketika melihat pemuda tampan, tengah kebingungan mencari seorang pembantu untuk meringankan pekerjaan sang istri yang tengah hamil. Saat jumpa pandang pertama, aku telah tertarik padanya. Dia yang sedang berbicara dengan Bu Sum, aku menghampirinya karena mendengar obrolan mereka."Mas cari pembantu?" tanyaku kala itu."Iya, apa Mba ini ada kenalan? Kebetulan, saya mencari di yayasan, juga lagi kosong," ucapnya penuh keramahan-tamahan. Perempuan mana
Perasaan baru kemaren hari Senin. Sekarang sudah hari Sabtu. Waktu memang begitu cepat berlalu.Allhamdullillah, kontrakan untuk Bang Bara dan keluarganya sudah didapat. Dan mulai besok, mereka bisa menempatinya. Untuk pekerjaan, Bang Bara juga bisa langsung bekerja. Hanya saja, mengingat fisiknya kurang sehat, Mas Adit menyarankan untuk beristirahat, dan masuk kantor jika sudah sehat. Suamiku ini sangat berjiwa besar. Aku sangat bangga padanya.Berkali-kali Ida di telpon oleh suaminya, tapi dia tidak berani untuk mengangkatnya.Bermacam nada ancaman memenuhi aplikasi warna hijau. Persis sekali, dengan apa yang Bang Bara lakukan padaku saat aku kembali pulang ke rumah orang tuaku.Siang ini, kami tengah bersantai, Ningrum ikut menghambur
Malam ini aku sungguh merasa jenuh. Yang kutunggu tak kunjung kembali. Siapa lagi kalau bukan Mas Adit. Sedang anak-anak tadi siang dijemput Bang Jaya. Mereka hendak liburan seperti biasa. Kembar kekeh meski aku melarangnya untuk pergi. Mereka bilang, mereka harus ikut karena ada Kakek dan Neneknya. Ada juga Wahyu. Aku ingin ikut, tapi mengingat kehamilanku yang sudah semakin membesar ku-urungkan. Meski baru berusia enam bulanan, tetap saja seperti sembilan bulan. Berat rasanya kandunganku ini. Entahlah, perasaanku sangat tidak enak. Ponsel Mas Adit juga tidak dapat dihubungi. Tidak biasanya seperti ini. 'Ya Allah semoga saja tidak terjadi apa-apa.'"Mbak, gelisah amat?" tanya Ningrum Anak ini memang semakin kesini, semakin terlihat tabiat aslinya. Kalau bukan Bu Sum yang merekomendasikan, sudah kupecat dari rumah ini."Gak tahu ini, pikiranku gak te
"Kembar mana?" tanyaku pada Mas Adit kala aku terbangun. Perasaan, tadi masih pukul lima pagi, kenapa sekarang gelap lagi? Kulirik waktu sudah pukul sepuluh malam. Aku beranjak dari tempat tidur dan bergagas ke kamar kembar. Mas Adit sendiri mengikutiku dari belakang."Kembar!" Ini Bunda, Sayang! Kalian udah makan?" Kedua putriku tak menjawab satupun. Padahal, biasanya mereka langsung menghampiri jika namanya kupanggil."Kembar udah gak ada, Bund. Bunda harus ingat itu. Bunda yang sabar, yang ikhlas," ucap suamiku. Mas Adit merangkulku ke ruang tamu, dan mengajakku duduk di sana. Ada bekas semacam kue, mungkin sisa tahlilan tadi.Rasanya, aku masih tidak dapat percaya mereka pergi secepat itu. Aku merasa, keduanya masih ada, dan aku merasa ini hanyalah sebuah mimpi. Rumah terasa sepi tanpa mereka. "Kembar! Huhuhuhuhuhu!"
"Mas Adit!" pekiku … gemetar tubuhku hingga tak dapat berkata apapun. Kulihat Ningrum dengan pakaian seksi berada di kamarku."Ningrum kamu ngapain?!" tanyaku sedikit emosi melihat pemandangan ini."Bantuin, Mas Adit! Tadi dia berteriak minta tolong! Saat aku masuk, Mas Adit sendiri, udah terkapar di lantai."Bund …," lirih Mas Adit.Hhhoooeekkkk!Hhhoooeekkkk!Mas Adit memuntahkan isi perutnya tepat mengenai tubuh Ningrum. Aku sendiri kaget dengan serangan itu. Sedikit bergedik dan serasa ingin ikut muntah."Ih, jorok!" pekik Ningrum sambil bergidik. "Agh, kan baju aku jadi kotor gini, Mas Adit ni! Udah seksi gini, pake acara dimuntahin! Bukan dipandangin!" cetusnya. Kurasa perempuan ini sedikit setres."Minggir kamu!
ENDING"Apa anda benar-benar tidak tahu dimana keberadaan Milka?" Ilham bertanya pada Rian bos istrinya itu."Saya tidak tahu, Pak Ilham. Benar. Untuk apa saya menyembunyikan istri anda?" jawab Rian mulai terbawa emosi dengan pertanyaan Ilham yang terkesan menyudutkan bahwa Rian mengetahui keberadaan Milka. "Sudah enam bulan ini saya kehilangan kontak dengan Milka semenjak dia mengundurkan diri dari perusahaan saya," lanjut Rian lagi. Ilham pun meminta maaf pada Rian. "Maaf, kalau begitu saya pamit dulu," ucap Ilham kemudian beranjak dari ruangan Rian. Sampai di depan ruangan Rian, Ilham menjambak rambutnya. Menahan pusing dan sakit kepala yang hampir pasrah mencari keberadaan Milka. Bahkan bertanya pada keluarganya pun Ilham tidak mendapatkan jawaban apapun."Kemana kamu, Sayang!" jerit Ilham dalam hati. "Aku sangat merindukan kalian berdua. Istri dan anakku. Rasanya begitu menyiksa. Tolong hubungi aku, Milka. Aku rindu. Aku bisa gila kalau seperti ini terus. Kenapa kamu tega sekali
POV IDA"Gimana?" ulangku bertanya. Setujukah? Biar adil. Hidup itu harus adil!" Aku mendekati wajah suami dan istri sirinya itu. "Kurang ajar kamu!" ucap Putri. "Wah! Aku gak kurang ajar dong. Mas Hildan itu suamiku. Dari mana aku kurang ajar? Disini ada hakku dan anak-anakku. Pilih saja! Kehilangan rumah, atau usaha dengan segala kemewahannya?" Aku kembali mengingatkan kehancuran mereka yang sudah berada di depan mata."Dasar wanita brengsek!" maki Putri tidak terima. Jelas saja aku meringis mendengar makiannya. Rasanya manusia bodoh satu ini memang ingin ditertawakan. "Ha! Aku brengsek? Loh, bukannya kamu yang brengsek?" kataku lagi. Muak sudah aku dengan keduanya. Tak peduli kalau kami harus bercerai. Tapi aku juga tidak mau jika cerai tidak mendapat apapun. Lagi, aku punya dua anak dengan Mas Hildan. "Udah, Mas. Kasih saja. Yang penting perempuan ini enyah dari kehidupan kita," ucap Putri. Aku tersenyum girang. "Yes!" batinku dalam hati. "Satu lagi." Aku kembali berbicara mem
RencanaPOV IDAKeributan besar terjadi di rumah malam ini. Mas Bara membawaku pergi ke sebuah rumah minimalis yang lumayan mewah dan mobil mewah terparkir di halaman itu. Saat kutanya pada Bang Bara itu rumah dan mobil siapa, Bang Bara jawab Hildan. Membuatku tak percaya. Namun ketidakpercayaan itu berubah jadi rasa percaya ketika Hildan keluar dari rumah itu bersama dengan perempuan cantik. Kemudian mereka masuk ke dalam mobil. Yang membuatku lebih kaget lagi, pakaian Mas Hildan sangat berkelas layaknya orang kaya berduit. Jelas saja membuatku terpana. Tega sekali dia berlaku seperti ini padaku dan kedua anakku. Singkat cerita, aku pun mengikuti Mas Hildan dan perempuan itu ternyata mereka pergi ke hotel. Setelah keduanya keluar lagi dari hotel, akupun masuk ke dalam hotel bersama Bang Bara, bertanya pada Resepsionis siapa mereka. Dan yang mengejutkan, ternyata mereka adalah pemilik hotel itu. Aku benar-benar ditipu mentah-mentah. Setelahnya, aku dan Bang Bara memutuskan pulang ke r
Kacau balauIlham menatap pilu kepergian Milka. Rasanya seolah ada yang menyayat hatinya. "Kenapa setelah aku menyadari perasaan sayangku, justru kamu pergi dariku, Milka," lirih Ilham. Laki-laki itu pun melangkah ke kamar dengan perasaan yang tak menentu. Seolah hilang arah dan seketika tidak memiliki semangat dalam hidup. Seharian, Ilham hanya diam di kamar. Tidak makan ataupun minum. Ia hanya meratap memikirkan Milka dan anaknya. Semua seolah berbalik 180 derajat Biasanya saat ada Milka dia tak pernah merasakan hal seperti itu meskipun dalam hatinya dia mencintai Tiara juga. Namun saat ini, perasaan cinta pada Tiara seolah hilang, dan justru terfokus pada Milka dan anaknya. "Seperti inikah rasanya berharga seseorang setelah pergi? Kenapa berharganya seseorang terasa setelah kepergiannya. Kenapa saat bersama seolah semua biasa saja?" lirih Ilham seraya menjambak rambutnya. ***"Bund, Ayah mau ke tempat Ilham dulu. Sudah tiga hari ini, dia tidak masuk kantor. Nomor juga tidak aktif
Butuh Waktu"Hari ini kami tidak boleh berangkat kerja, Milka," cegah Ilham saat Milka sudah siap dengan pakaian kantor dan tas di tangannya."Aku kariawan orang. Tidak bisa seenaknya begitu!" balas Milka. "Tapi aku suami kamu, dan kau berhak melarangmu!" tekan Ilham lagi sembari menghalangi Milka yang sudah siap hendak membuka pintu. Ilham sendiri berdiri di depan pintu kamar lalu mengunci pintunya dan mengambil kunci itu supaya Milka tidak bisa keluar dari kamar. "Awas, Mas! Aku mau kerja nanti kesiangan!" ucap Milka geram. "Kamu gak ada masuk kerja hari ini. Begitupun aku. Aku tidak tahan didiamkan oleh kamu! Kita selesaikan masalah kita. Jangan keras kepala, Milka! Jangan seperti anak kecil! Kamu itu seorang Ibu. Mari bicara dengan kepala dingin!" ujar Ilham. "Duduk!" pintanya sambil mendorong tubuh Milka hingga wanita itu pun terduduk di tepi ranjang. Wajah Ilham mendekat pada Milka, sementara Milka membuang muka. "Aku tanya sama kamu, kamu benar-benar ingin pisah dari aku? T
MenyedihkanTepat pada pukul 20.00 seperti yang telah disepakati, Bara pergi menemui Pak Santoso. Bersyukur Pak Santoso tidak membatalkan proyek kerja samanya. Jadi, Bara pun merasa aman. Setidaknya, Bara tidak kehilangan pekerjaannya. Setelah selesai menemui Pak Santoso, Bara pun langsung berpamitan untuk pulang. Namun, langkahnya terhenti ketika dirinya mendapati Hildan turun dari mobil bersama wanita cantik. Penampilannya juga sangat rapi tidak seperti saat sedang berada di rumah. Bahkan, pakaian yang Hildan gunakan juga tidak sama seperti pakaian yang dipakai saat bertengkar dengan Ida siang tadi. "Masa sih Hildan pura-pura miskin di depan istrinya? Kelewatan," batin Bara. Namun, saat dirinya ingin berontak, Bara kembali teringat kesalahannya di masa lalu. "Tidak mungkin kesalahanku ditanggung oleh Ida. Hildan! Rasanya aku ingin membunuhmu!" batin Bara sambil mengepalkan kedua tangannya. Diam-diam Bara pun mengikuti Hildan dan wanita itu. Langkah kaki Bara terhenti di sebuah ho
Ingatan Masa LaluPOV BaraBetul apa kata Sandra. Tepat pukul 13.00, sepasang suami istri datang melihat-lihat rumah ini. Kemudian, mereka juga memintaku untuk segera berkemas karena besok mereka akan menempati rumah ini. Aku pun dengan pasrah meninggalkan rumah ini beserta isi yang telah kubeli menggunakan uangku. Sandra kelewatan. Padahal rumah itu juga hasil jerih payahku juga. Semoga setelah ini hidupnya hancur. ***"Loh, Bang Bara ngapain kesini bawa-bawa koper?" tanya Ida bingung. "Sandra menggugat cerai dan rumah di jual," singkatku. "Terus Abang gak nuntut apa-apa? Enak banget Sandra," sinis Ida. "Aku malas berdebat. Pusing sakit kepala. Sudahlah biarkan saja. Yang penting aku tidak kehilangan pekerjaan. Sandra wanita ular. Berurusan dengannya membuat hidup tak tenang.""Oh, jadi Abang gak mau nuntut apa-apa?" Ida kembali bertanya dan menegaskan. Aku menggeleng. Aku memang malas berdebat dengan wanita itu. Malas sekali. Sudah pasti aku yang kalah. Lagi pula rumah itu dibel
POV BARAWaktu yang masih ada tidak boleh aku sia-siakan. Aku sangat yakin, kalau hubungan rumah tangga Milka dan Ilham pasti akan sulit dikembalikan seperti semula. Daripada dipecat tidak dapat apa-apa, hancur semuanya. Mending aku hancurin usaha Adit. Setidaknya meskipun aku hancur, Adit dan keluarganya juga sama. Jatuh miskin. Hancurku pun tak percuma. Tidak sia-sia. Kalian salah kalau melawanku. Kalian lupa kalau aku adalah orang yang sangat nekad."Lebih baik, kamu jangan gegabah, Bar. Ingat bagaimana nasib Ibumu, Ida? Mereka butuh kamu. Kalau kamu di penjara gimana? Mending yakinkan Milka saja," kata hatiku bicara demikian membuat aku merasa bimbang karena bertentangan."Aku harus memperbaiki semuanya. Langkah awal aku akan berusaha meyakinkan, Milka."***Tepat pukul 16.00, aku meninggalkan kantor. Kukebut mobil supaya bisa cepat berada di kantor Milka. Sebab, hari ini aku ingin mengajaknya bicara dari hati ke hati. Aku akan berusaha meyakinkan dia dulu. Setidaknya, ku kesampin
##Bab 70Kesempatan dalam kesempitan"Milka, sendirian aja. Aku temani ya?" ujar Bara yang langsung menarik kursi di depan Milka dan duduk dengan santai serta rasa percaya diri. Milka sendiri langsung malas melihat kedatangan Bara. "Ngapain sih nih orang, ganggu aja," kesal Milka dalam hati. "Kamu, Bara. Ngapain?" tanya Milka sambil mengerutkan kedua alisnya."Nggak, aku lihat kamu sendirian sambil melamun. Ada apa? Ada masalah? Coba cerita sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu," tawar Bara. Milka menyunggingkan sebelah bibirnya. Sangat tidak suka dengan ucapan Bara yang dirasanya terlalu ikut campur urusannya."Gak ada apa-apa, Bar. Sok tahu kamu," kesal Milka. Bara menghancurkan suasana tenang di pagi harinya. Milka pun langsung bangun dari tempat duduknya. Melihat respon Milka yang seperti itu, Bara merasa sangat kesal. Tapi dia harus bersabar. "Sombong sekali wanita ini," batin Bara kesal. Diperlakukan seperti itu oleh Milka, membuat Bara malu dan seolah jatuh harga dirinya."Mau k