"Hai." Ben melambaikan tangannya dari kejauhan begitu melihat sosok yang dikenalinya. Ia memicingkan mata demi melihat wajah sedih yang tengah memohon agar pria disampingnya tidak pergi.Ia menunggu beberapa saat sampai pria asing itu berlalu meninggalkan orang yang ingin disapanya."Siapa?" tanya Ben penasaran."Apa yang kamu lakukan disini?" balas Vania ketus.Ben meringis ngeri. "Tak bisakah kamu membuang ekspresi mengerikan itu?" Keluhnya."Hhh … maafkan aku," desah Vania lelah. "Apa yang kamu lakukan disini? Menemui Gaby atau Mike?" Ulangnya kembali dengan nada yang lebih tenang."Dua-duanya, aku datang bersama Alex tapi entah kemana dia sekarang.""Hmm?" Vania mengangkat keningnya bingung. "Alex meninggalkan mu sendirian?"Ben mengendikkan bahunya. "Bisa di bilang begitu. Dia buru-buru pergi begitu menerima pesan dari sahabatmu.""Fey?" Ben mengangguk lesu. "Bersabarlah. Itu cobaan bagi jomblo," hibur Vania sambil menepuk pundak Ben."Lalu, apa itu pasanganmu?" Selidik Ben pe
"Mike, itu semua sudah mustahil dan …""Terlambat." Gaby menatap sayu. Hatinya teriris pilu hanya demi mengucapkan kalimat yang bertentangan dengan hatinya."Gaby."Suara lirih dari mata yang berembun semakin mengoyahkan hati Gaby. Namun ia berkeras hati karena kini akan ada lebih banyak hati yang tersakiti bila mereka melanjutkan hubungan yang kini terlarang.Gaby mendorong pundak Mike hingga mencapai posisi duduk yang nyaman. "Mike, aku dan Harry baru saja sepakat untuk membina hubungan kami ke jenjang yang lebih serius." Ia dapat melihat kilatan amarah di mata Mike setiap kali nama Harry disebut."Lebih baik kita menyudahi takdir buruk ini dan fokus pada masa depan."Mike menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, Gaby. Aku telah gagal mempertahankan cinta kita lima tahun lalu tapi kali ini aku tak akan gagal lagi.""Mike." Gaby terpaku pada raut wajah dengan rahang yang mengeras. Tatapan mata yang menatapnya lekat menunjukkan betapa besar kegigihan Mike untuk kembali memilikinya.Sua
"Gimana?"Vania terkikik geli kala mata bulat berpijar dengan penuh harap—menatap lekat untuk menunggu reaksinya."Enak?" buru Ben tak sabar."Hmm." Gumam Vania sekedarnya. "Hanya, Hmm?" desah Ben kecewa. "Ternyata seburuk itu."Dua jam berpeluh—berkutat di balik meja dapur untuk menyajikan resep andalannya, spaghetti aglio e olio. Ben berharap Vania akan kagum akan kemampuan memasaknya tapi, yang ia dapatkan hanya'lah gumam samar tanpa ekspresi."Buruk?" Vania mengembangkan senyum geli. "Ini luar biasa Ben!""Eh." Ben membulatkan matanya, tak menyadari bahwa Vania tengah mengerjainya."Ini enak banget," seru Vania sambil menyuapkan gulungan mie ke dalam mulutnya."Enyak," gumamnya sambil terus mengunyah dengan lahap."Bercanda mu mengerikan," keluh Ben sambil terkekeh geli."Apa kamu membuka restoran?"Ben mengeleng lemah. "Tidak.""Kenapa?" Vania berseru nyaring. "Masakan mu luar biasa, Ben.""Terima kasih," balas Ben sendu.Vania menangkap raut sedih di balik senyum dari wajah yan
"On time banget, ya," sindir Gaby bernada sarkas begitu melihat dua sahabatnya datang sambil cengengesan.Fey memasang wajah polos sedangkan Vania memilih cuek."Kamu 'kan tahu, Miss Fey ini dijuluki error maps. Kita ngabisin waktu dua jam cuma buat nyari belokan putar arah," cerca Vania. Ia membanting punggungnya di atas kursi ropan."Yah, maap. Namanya juga buta arah," desah Fey pasrah."Buruan pesan. Lapar banget, nih." Vania mengambil alih buku menu yang terbuka di hadapan Gaby. Ia terlalu lelah untuk berdebat setelah menghabiskan waktu dua jam duduk di dalam mobil untuk perjalanan yang biasanya di tempuh selama tiga puluh menit."Tumben kamu nyetir, Fey? Bukannya, belakang ini selalu di antar sopir pribadi?" Goda Gaby."Lagi marahan nggak jelas," sambar Vania sebelum Fey sempat membuka mulutnya.Gaby terkekeh geli. "Kenapa lagi? Ngambek?"Fey menggelengkan kepala. "Cuma lagi pengen bareng kalian aja," ucapnya beralasan."Bohong banget. Pasti kamu lagi nge-tes si Alex 'kan?" Tebak
"Sintia, apa jadwal ku untuk besok?" tanya Alex pada sekretarisnya yang tengah sibuk menyiapkan nota rapat.Sang sekretaris mengalihkan perhatiannya dari laptop untuk menatap layar tablet. "Ada dua jadwal rapat.""Jam sepuluh dengan pihak manajemen dan jam dua siang anda ada rapat perdana penentuan desain bunga untuk dekorasi hotel baru.""Hmm." Alex mengetuk jari telunjuk nya berulangkali di permukaan meja. "Untuk rapat jam dua, kamu saja yang wakilkan dan rapat dengan pihak manajemen pindahkan ke hari Senin," putusnya setelah menimbang-nimbang.Sang sekretaris mengangguk mengerti lalu mengetikkan beberapa perubahan di jadwal yang telah dia susun. "Ada lagi, Pak?""Tidak. Besok saya cuti, kalau ada hal yang mendesak kamu bisa menghubungi ponsel pribadi saja."Sintia kembali mengangguk. "Baik Pak. Nota rapat sudah saya kirimkan ke email anda.""Ok." Alex melirik arloji di tangannya. "Jadwal hari ini selesai. Kamu sudah bisa pulang." Sintia segera merapikan barangnya dan buru-buru kelu
"Aaa ... Jauhkan itu dari ku, Dilan!" Teriak Fey histeris begitu melihat Dilan—keponakan Alex berlari kearahnya sambil mengayunkan cacing tanah—gemuk dan panjang. Orang-orang yang tengah sibuk memetik stroberi, berhenti untuk melihat keributan apa yang sedang terjadi. Mereka tersenyum geli bahkan beberapa sampai tertawa keras melihat kelakuan Fey dan Dilan."Ini lucu dan menggemaskan, loh," ujar Dilan sambil mengayunkan cacing ditangannya dan mengejar Fey yang berlari ketakutan."Nggak mau, aku jijik. Alex ..." Rengek Fey. Ia berlari kearah Alex dan segera memeluk lengan kekar itu erat.Alex menggelengkan kepala melihat tingkah dua bocah disampingnya. Fey dan Dilan di tugaskan memetik stroberi untuk dikumpulkan ke dalam keranjang besar tapi, sedari tadi keduanya hanya mengisi perut masing-masing dan berlarian kesana-kemari."Kalian berdua, berhenti bercanda," sela Alex untuk memisahkan keduanya."Ayolah, ini hanya cacing," ejek Dilan. Dia semakin bersemangat melihat wajah pucat Fey s
Gaby mengerjapkan matanya bingung. Begitu membuka pintu rumahnya, ia langsung disambut buket bunga mawar merah yang sangat besar, nyaris memenuhi lebar pintu masuk rumahnya."Apaan nih?"Wajah Harry muncul dari balik buket. "Buat kamu," ucapnya sambil menyerahkan buket itu ke dalam dekapan Gaby. Mengabaikan wajah bingung sang wanita, Harry melenggang masuk ke dalam melewati pintu apartemen."Semalam kamu menginap disini?"Gaby menutup pintu dan mengikuti langkah Harry yang telah duduk di sofa. "Ya." Ia menuju pantry dan kembali dengan membawa dua kaleng soda."Ngapain kamu ke sini?" tanyanya langsung sambil menyerahkan salah satu kaleng pada Harry.Tiba-tiba tubuh Gaby limbung, jatuh terduduk dalam pangkuan Harry karena pria itu menarik tangannya."Aku kangen banget sama kamu, Gaby," bisik Harry. Hidungnya masuk ke balik geraian rambut Gaby, menghirup aroma yang ia rindukan.Bibir Harry menyentuh lipatan di leher Gaby. Mengigit kecil untuk meninggalkan bercak merah yang menunjukkan t
"Siapa?" Tanya Fey begitu Mama Alex keluar dari mobil.Setelah pertemuan mereka dengan wanita di mall tadi. Alex dan Ibunya mendadak bisu dan menyibukkan diri mereka dengan pikiran masing-masing.Alex menatap Fey dalam. "Hmm, mantan istriku, Fey."Fey menganggukkan kepalanya, mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Sebelumnya dia sudah membaca banyak rumor di media sosial tentang sosok Alex, termasuk tentang mantan istrinya. "Alex, boleh aku tahu penyebab kalian berpisah?" Fey menatap mata Alex. Mencari kejujuran disana."Melissa memilih pria lain," ucap Alex santai. "Tapi itu tidak sepenuhnya salah Melissa.""Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hampir tidak punya waktu bersamanya." Lanjutnya.Fey mengengam tangan Alex. "Kamu menyesal?""Di tahun pertama perpisahan kami, aku sangat menyesal. Lambat laun aku bisa mengatasinya dan setelah bertemu dengan mu, aku yakin tuhan punya rencana lain untuk ku."Fey terdiam. Ia bisa merasakan kejujuran dibalik suara Alex. Pria itu tidak
Alex mengedarkan pandangannya ke sekeliling Bar. Mencari keberadaan kedua temannya yang sejak dua jam llau terus menerornya untuk segera datang."Kenapa, Sob? Ada masalah?" Sapanya sambil menepuk pundak yang menekuk wajahnya.Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi, selama ini ia dan Ben telah menjadi saksi pasang surut hubungan Mike dengan Erika dan betapa pria itu tak pernah bisa melupakan sosok cinta pertamanya."Kamu udah makan malam, Alex?" tanya Ben yang datang dengan sepiring besar lasagna."Belum," sahut Alex lalu melirik Mike yang masih terpekur menatap lantai. "Bagaimana dengannya?"Ben mendesah pelan sambil menunjuk puluhan kaleng minuman yang berserakan di meja hingga lantai. Ia meletakkan piring di atas meja dan membuka kantong sampah yang di bawanya dari dapur, ia mengumpulkan semua kaleng kosong ke dalamnya."Apa yang terjadi? Kamu bertengkar dengan Gaby?" tanya Alex penasaran. Ia mengambil tempat disamping Mike lalu menyendok potongan lasagna ke dalam mulutnya."Aku
"Terima kasih sudah mengantar ku ke sini." Alex mengusap pipi kanan kekasihnya. "Tidak ada kata terima kasih atau maaf dalam sebuah hubungan.""Ini kewajiban, Sayang. Aku tidak akan bisa tidur malam ini kalau membiarkan mu pergi sendirian."Fey berkaca-kaca. Ia menarik Alex lebih dekat dan memeluknya erat. "Alex, izinkan aku mengatakannya untuk terakhir kali,""Terimakasih karena kamu mau bersabar menghadapi ku dan maaf karena membuat mu menunggu lama."Alex mengeratkan pelukan dan membelai punggung Fey penuh kasih sayang."Ehm, ehm ...""Masih lama? Di sini dingin."Alex dan Fey melepaskan pelukan. Keduanya tersenyum canggung pada Gaby dan Vania yang menatap keduanya penuh minat."Apa yang kalian lakukan di luar?" Kata Fey berusaha mengalihkan perhatian kedua wanita itu."Oh, ini." Gaby melambaikan kantong belanjaan di tangannya. "Late snack.""Hah? Gaby, bukannya kamu diet?""Diet apaan! Dia menguras seluruh isi kulkas ku," debat Vania. "Lagian buat apa jomblo diet.""Sejak kapan ka
"Siapa?" Tanya Fey begitu Mama Alex keluar dari mobil.Setelah pertemuan mereka dengan wanita di mall tadi. Alex dan Ibunya mendadak bisu dan menyibukkan diri mereka dengan pikiran masing-masing.Alex menatap Fey dalam. "Hmm, mantan istriku, Fey."Fey menganggukkan kepalanya, mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Sebelumnya dia sudah membaca banyak rumor di media sosial tentang sosok Alex, termasuk tentang mantan istrinya. "Alex, boleh aku tahu penyebab kalian berpisah?" Fey menatap mata Alex. Mencari kejujuran disana."Melissa memilih pria lain," ucap Alex santai. "Tapi itu tidak sepenuhnya salah Melissa.""Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hampir tidak punya waktu bersamanya." Lanjutnya.Fey mengengam tangan Alex. "Kamu menyesal?""Di tahun pertama perpisahan kami, aku sangat menyesal. Lambat laun aku bisa mengatasinya dan setelah bertemu dengan mu, aku yakin tuhan punya rencana lain untuk ku."Fey terdiam. Ia bisa merasakan kejujuran dibalik suara Alex. Pria itu tidak
Gaby mengerjapkan matanya bingung. Begitu membuka pintu rumahnya, ia langsung disambut buket bunga mawar merah yang sangat besar, nyaris memenuhi lebar pintu masuk rumahnya."Apaan nih?"Wajah Harry muncul dari balik buket. "Buat kamu," ucapnya sambil menyerahkan buket itu ke dalam dekapan Gaby. Mengabaikan wajah bingung sang wanita, Harry melenggang masuk ke dalam melewati pintu apartemen."Semalam kamu menginap disini?"Gaby menutup pintu dan mengikuti langkah Harry yang telah duduk di sofa. "Ya." Ia menuju pantry dan kembali dengan membawa dua kaleng soda."Ngapain kamu ke sini?" tanyanya langsung sambil menyerahkan salah satu kaleng pada Harry.Tiba-tiba tubuh Gaby limbung, jatuh terduduk dalam pangkuan Harry karena pria itu menarik tangannya."Aku kangen banget sama kamu, Gaby," bisik Harry. Hidungnya masuk ke balik geraian rambut Gaby, menghirup aroma yang ia rindukan.Bibir Harry menyentuh lipatan di leher Gaby. Mengigit kecil untuk meninggalkan bercak merah yang menunjukkan t
"Aaa ... Jauhkan itu dari ku, Dilan!" Teriak Fey histeris begitu melihat Dilan—keponakan Alex berlari kearahnya sambil mengayunkan cacing tanah—gemuk dan panjang. Orang-orang yang tengah sibuk memetik stroberi, berhenti untuk melihat keributan apa yang sedang terjadi. Mereka tersenyum geli bahkan beberapa sampai tertawa keras melihat kelakuan Fey dan Dilan."Ini lucu dan menggemaskan, loh," ujar Dilan sambil mengayunkan cacing ditangannya dan mengejar Fey yang berlari ketakutan."Nggak mau, aku jijik. Alex ..." Rengek Fey. Ia berlari kearah Alex dan segera memeluk lengan kekar itu erat.Alex menggelengkan kepala melihat tingkah dua bocah disampingnya. Fey dan Dilan di tugaskan memetik stroberi untuk dikumpulkan ke dalam keranjang besar tapi, sedari tadi keduanya hanya mengisi perut masing-masing dan berlarian kesana-kemari."Kalian berdua, berhenti bercanda," sela Alex untuk memisahkan keduanya."Ayolah, ini hanya cacing," ejek Dilan. Dia semakin bersemangat melihat wajah pucat Fey s
"Sintia, apa jadwal ku untuk besok?" tanya Alex pada sekretarisnya yang tengah sibuk menyiapkan nota rapat.Sang sekretaris mengalihkan perhatiannya dari laptop untuk menatap layar tablet. "Ada dua jadwal rapat.""Jam sepuluh dengan pihak manajemen dan jam dua siang anda ada rapat perdana penentuan desain bunga untuk dekorasi hotel baru.""Hmm." Alex mengetuk jari telunjuk nya berulangkali di permukaan meja. "Untuk rapat jam dua, kamu saja yang wakilkan dan rapat dengan pihak manajemen pindahkan ke hari Senin," putusnya setelah menimbang-nimbang.Sang sekretaris mengangguk mengerti lalu mengetikkan beberapa perubahan di jadwal yang telah dia susun. "Ada lagi, Pak?""Tidak. Besok saya cuti, kalau ada hal yang mendesak kamu bisa menghubungi ponsel pribadi saja."Sintia kembali mengangguk. "Baik Pak. Nota rapat sudah saya kirimkan ke email anda.""Ok." Alex melirik arloji di tangannya. "Jadwal hari ini selesai. Kamu sudah bisa pulang." Sintia segera merapikan barangnya dan buru-buru kelu
"On time banget, ya," sindir Gaby bernada sarkas begitu melihat dua sahabatnya datang sambil cengengesan.Fey memasang wajah polos sedangkan Vania memilih cuek."Kamu 'kan tahu, Miss Fey ini dijuluki error maps. Kita ngabisin waktu dua jam cuma buat nyari belokan putar arah," cerca Vania. Ia membanting punggungnya di atas kursi ropan."Yah, maap. Namanya juga buta arah," desah Fey pasrah."Buruan pesan. Lapar banget, nih." Vania mengambil alih buku menu yang terbuka di hadapan Gaby. Ia terlalu lelah untuk berdebat setelah menghabiskan waktu dua jam duduk di dalam mobil untuk perjalanan yang biasanya di tempuh selama tiga puluh menit."Tumben kamu nyetir, Fey? Bukannya, belakang ini selalu di antar sopir pribadi?" Goda Gaby."Lagi marahan nggak jelas," sambar Vania sebelum Fey sempat membuka mulutnya.Gaby terkekeh geli. "Kenapa lagi? Ngambek?"Fey menggelengkan kepala. "Cuma lagi pengen bareng kalian aja," ucapnya beralasan."Bohong banget. Pasti kamu lagi nge-tes si Alex 'kan?" Tebak
"Gimana?"Vania terkikik geli kala mata bulat berpijar dengan penuh harap—menatap lekat untuk menunggu reaksinya."Enak?" buru Ben tak sabar."Hmm." Gumam Vania sekedarnya. "Hanya, Hmm?" desah Ben kecewa. "Ternyata seburuk itu."Dua jam berpeluh—berkutat di balik meja dapur untuk menyajikan resep andalannya, spaghetti aglio e olio. Ben berharap Vania akan kagum akan kemampuan memasaknya tapi, yang ia dapatkan hanya'lah gumam samar tanpa ekspresi."Buruk?" Vania mengembangkan senyum geli. "Ini luar biasa Ben!""Eh." Ben membulatkan matanya, tak menyadari bahwa Vania tengah mengerjainya."Ini enak banget," seru Vania sambil menyuapkan gulungan mie ke dalam mulutnya."Enyak," gumamnya sambil terus mengunyah dengan lahap."Bercanda mu mengerikan," keluh Ben sambil terkekeh geli."Apa kamu membuka restoran?"Ben mengeleng lemah. "Tidak.""Kenapa?" Vania berseru nyaring. "Masakan mu luar biasa, Ben.""Terima kasih," balas Ben sendu.Vania menangkap raut sedih di balik senyum dari wajah yan
"Mike, itu semua sudah mustahil dan …""Terlambat." Gaby menatap sayu. Hatinya teriris pilu hanya demi mengucapkan kalimat yang bertentangan dengan hatinya."Gaby."Suara lirih dari mata yang berembun semakin mengoyahkan hati Gaby. Namun ia berkeras hati karena kini akan ada lebih banyak hati yang tersakiti bila mereka melanjutkan hubungan yang kini terlarang.Gaby mendorong pundak Mike hingga mencapai posisi duduk yang nyaman. "Mike, aku dan Harry baru saja sepakat untuk membina hubungan kami ke jenjang yang lebih serius." Ia dapat melihat kilatan amarah di mata Mike setiap kali nama Harry disebut."Lebih baik kita menyudahi takdir buruk ini dan fokus pada masa depan."Mike menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, Gaby. Aku telah gagal mempertahankan cinta kita lima tahun lalu tapi kali ini aku tak akan gagal lagi.""Mike." Gaby terpaku pada raut wajah dengan rahang yang mengeras. Tatapan mata yang menatapnya lekat menunjukkan betapa besar kegigihan Mike untuk kembali memilikinya.Sua