Sudah beberapa hari setelah kejadian waktu itu, Andre seakan kehilangan gairah hidupnya. Ternyata ia terlalu naif, cintanya memang terbalaskan. Namun, sang pujaan hati memilih untuk menjauh. Andaikan saja waktu bisa diulang kembali, maka Andre lebih memilih menjadi adik ipar Amera untuk selamanya dari pada wanita itu menjaga jarak seperti sekarang.
"Ndre! Kenapa sih wajahmu ditekut terus? Hari ini kamu akan menikah!"Andre hanya memutar bola matanya malas, pemuda itu enggan meladeni ucapan sang mama yang datang menghampirinya. Padahal ijab qobul sebentar lagi akan segera dimulai.Mungkin Rossa berhasil membuat Andre mau menikah dengan Hesti, tapi tidak dengan hati dan juga raga putranya yang masih tertinggal kepada Amera.Dengan langkah gontai Andre ditarik paksa Rossa untuk segera keluar dari kamar, bisa-bisa dirinya dipermalukan oleh putranya itu jika para tamu mereka kelamaan menunggu."Mohon maaf Pak, Bu, Andre kelamaan dirias," kata Rossa tersenyum lebar seraya meminta maaf kepada bebeapa orang yang sedari tadi menunggu di ruangan tamu rumah mereka.Sesuai dengan syarat yang Andre ajukan, bahwa hanya akan ada ijab qobul. Tidak ada resepsi pernikahan untuk hari yang seharusnya pemuda itu bahagia, namun hanya ada guratan keterpaksaan.Pernikahan tanpa dasar cinta, bagaikan masakan tanpa garam. Rasanya hambar dan tidak enak untuk dimakan."Oh iya, Bu. Silahkan Nak Andre duduk di sana," pinta Ronal–adik dari mendiang ayah Andre yang diminta oleh Rossa menjadi saksi hari bersejarah untuk sang keponakan.Andre hanya bisa menurut seraya berjalan dan mendudukkan bongkoknya di depan seorang penghulu yang dibatasi oleh sebuah meja kecil.Berkali-kali Andre membuang nafas panjang, entah bagaimana hati dan perasan Amera saat ini kalau melihat dirinya sebentar lagi akan menikah dengan wanita lain."Apakah Pak Andre sudah siap?" tanya sang penghulu. Andre hanya mengagguk kecil, siap ataupun tidak, dirinya harus melakukan pernikahan ini. Kalau tidak, sang mama akan membekukan semua rekening Amera dan membuat kakak iparnya itu akan mengalami kesulitan ekonomi.Semua kendali masih berada ditangan Rossa, segala aset rumah dan perusahaan atas nama wanita itu. Andre bisa apa untuk melawan mamanya? Terlebih diancam demikan, mana bisa ia membiarkan Amera dan Kejora sampai mati kelaparan nantinya."Baiklah, kita akan segera melaksanakan pernikahan Pak Andre dan Ibu Hesti," jelas sang penghulu.Di saat Andre tersiksa akan pernikahan tersebut, Hesti malahan tersenyum bahagia. Wanita itu sebentar lagi akan menjadi nyonya dari Andre Satiawan, tidak akan ada yang berani meremehkannya lagi.Hesti tidak perduli dengan apa yang telah terjadi sebelumnya, bagi wanita itu apa yang ia dapatkan hari ini merupakan rezeki nomplok. Mendapatkan lelaki kaya dan tampan berserta ibu mertua yang baik, nikmat mana lagi yang bisa ia dustakan.Hingga ijab qobul pun berjalan dengan lancar tanpa hambatan, walaupun Andre sempat salah menyebutkan nama ayah Hesti. Namun akhirnya mereka pun telah sah menjadi pasangan suami–istri."Selamat ya, Dek. Semoga kamu bahagia."Jantung Andre seakan berhenti berdetak seketika, manik matanya menatap tidak percaya dengan wajah cantik yang tersenyum tulus tersebut.Tanpa Andre sadari air matanya menetes begitu saja, ia menahan tangan Amera. Seakan tidak ingin kakak iparnya itu pergi, hati Andre tersiksa akan semua ini.Hesti yang berada di samping Andre merasa cemburu dan dengan kasar ia menarik tangan lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu."Tolong ya Bu Amera, jangan gatel jadi janda!"Hati Amera terasa diremas akan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Hesti, dirinya tidak menyangka sama sekali. Kalau yang merebut Andre darinya adalah teman baiknnya dulu ketika masih bekerja.Sedangkan Andre yang tersadar dari perasaannya segera memarahi Hesti, walaupun wanita itu adalah istrinya."Kamu kenapa bicara seperti itu! Hah!"Karena Amera tidak ingin terjadi keributan, kemudian memilih untuk segera berlalu. Andaikan saja dirinya tidak memikirkan bahwa Andre adalah paman Kejora, mungkin dirinya tidak akan datang hari ini.Bik Tini juga ikut andil dalam memujuk Amera, setidaknya mereka harus berpamitan kepada Andre dan Rossa. Sebab, ada ikatan darah antara Kejora dengan kedua orang tersebut."Mas, aku ini istrimu! Sedangkan dia hanya—""Cukup Hesti! Kamu hanya istri di atas kertas!" teriak Andre nyaring dan segera menyusul Amera yang sudah berlalu.Semua orang yang berada di dalam ruangan tersebut bungkam seketika, terlebih Hesti yang menangis tersedu-sedu dan Rossa berusaha membujuk menantu barunya itu."Ma, Andre tega sama aku," adu Hesti."Sabar ya Sayang, Andre memang sudah keterlaluan!" kata Rossa kesal akan sikap putranya barusan yang telah membuatnya menjadi malu.Sedangkan Andre yang mengajar Amera berhasil meraih tangan kakak iparnya itu, ia benar-benar merasa bersalah. Mungkin ini adalah kesempatannya untuk menjelaskan kebenarannya."Mbak, tunggu dulu," kata Andre.Amera berbalik badan dan menatap pemuda tersebut, kini kedua manik mata mereka saling bertemu. Ada rasa cinta dan rindu yang tergambar, tapi semuanya ditutupi oleh rasa sakit dan benci."Kamu mau apalagi, Dek?" tanya Amera membuat Andre tersadar."Aku mau menjelaskan semuanya, Mbak. Sebenarnya—"Amera segera memotong ucapan Andre dan membuat pemuda itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya."Semuanya sudah jelas, Dek. Mbak baik-baik saja, malahan Mbak berbahagia atas pernikahanmu," jelas Amera.Bohong! Semuanya adalah kebohongan yang diucapkan oleh bibir manis Amera, di dalam hati wanita itu terus saja menjerit-jerit menahan rasa sakit dan pilu ketika melihat Andre bersanding dengan Hesti.Andre yang masih menggenggam tangan Amera kembali berusaha mempertahankan agar kakak iparnya itu masih bisa berada didekatnya."Aku hanya mencintaimu, Mbak. Aku menikah dengan Hesti karena Mama."Amera merasa muak dengan apa yang baru saja ia dengar, jika Andre bisa menikah dengan Hesti karena permintaan Mama Rossa. Maka akan mudah bagi Andre juga melupakannya, jika Mama Rossa meminta hal itu.Ternyata sesakit ini mencintai seseorang dengan tulus dan mengorbankan perasan sendiri, demi kebahagiaan orang yang dicinta. Benar adanya, kalau cinta itu buta dan bodoh."Maafkan Mbak, Dek. Sebenarnya Mbak hanya ingin berpamitan padamu, tolong ... temui Kejora untuk terakhir kalinya," jelas Amera langung pada niat awalnya datang.Tubuh Andre seketika terasa lunglai, seakan tidak memiliki tulang lagi. Ia menatap tidak percaya kearah Amera dan menggeleng cepat."Mbak, gak sedang bercanda 'kan?" tanya Andre penuh harapan."Sekali lagi mohon maaf, Dek. Mungkin ini yang terbaik untuk kita, bahagialah dengan istrimu. Doa Mbak selalu menyertai kalian."Amera berusaha untuk tetap terlihat tegar, ia ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat. Sebab, semakin lama menatap Andre membuatnya tidak kuat untuk berpisah.Cukup lama Andre terdiam dan mencerna ucapan Amera, mungkin benar jika ini yang terbaik untuk mereka berdua. Akhirnya Andre memilih mengalah dan minta dipertemukan dengan Kejora yang ternyata masih menunggu di dalam mobil bersama Bik Tini.Andre segera memeluk tubuh Kejora dan menciumi seluruh pipi gadis kecil itu, mungkin hal ini merupakan terakhir kalinya dan akan sangat ia rindukan nanti. Sebab, Andre tidak bisa menghentikan keinginan Amera."Ayah, hentikan! Geli!" gelak Kejora menahan wajah Andre yang terus menciumi wajahnya sampai keleher."Sayang, Ayah minta kamu jagain Bunda ya? Jangan biarkan Bunda dekat sama Om-Om," pinta Andre seraya mencuibit gemas hidung Kejora yang telah ia anggap seperti anak sendiri. Setelah mendapatkan anggukan dari gadis itu barulah Andre menyerahkan kepada Bik Tini dan menutup pintu mobil kembali."Jaga diri, Mbak. Aku selalu mencintaimu," kata Andre yang bagaikan angin lalu untuk Amera. Kemudian mobil tersebut pun melaju menjauh, lagi dan lagi Andre harus menelan pil pahit."Mana pelakor tadi?" pekik Hesti."Apalagi ini ya Tuhan?" gumam Andre."Apalagi ini, ya Tuhan?" gumam Andre. Andre hanya mampu membuang nafas panjang akan sikap Hesti yang terlalu kekanak-kanakan, padahal jika istri barunya itu sedikit saja sadar diri. Bahwa yang sebenarnya pelakor adalah dia, tapi wanita itu malahan mengatai Amera sebagai pelakor.Pepatah lama menyebutkan, 'Maling teriak maling, tidak adakan ada maling yang mau mengaku. Jika sampai itu terjadi, maka penjara akan penuh.'"Mas! Kamu mau ke mana?" pekik Hesti melihat Andre yang melewatinya begitu saja. Namun, tidak digubris sama sekali oleh suaminya itu.Di saat Hesti dan Andre yang tengah marah-marahan, saling menyalahkan satu dan lainnya. Kini Amera yang masih melajukan mobilnya berusaha untuk tetap tegar.Hati Amera terasa sakit, setiap kali mengingat bagaimana senyum bahagia diwajah Mama Rossa yang selama ini tidak pernah ditujukan kepadanya selama menjadi menantu."Nak, kamu harus kuat." Amera menatap sekilas ke arah Bik Tini yang memberinya semangat."Iya Bun, Bunda harus kuat. J
Amera merasa begitu senang karena bisa dibantu oleh Selvi, sampai wanita itu memberikan dirinya tempat tinggal di kota ini.Tidak henti-hentinya Amera mengucapkan terimakasih kepada teman lamanya itu, sedangkan Selvi hanya tersenyum ramah kepadanya."Sekali lagi, gue berterimakasih benget sama loe, Vi," kata Amera yang kesekian kalinya."Biasa aja deh, Ra. Oh iya, gue cabut dulu, ya. Nanti berkas loe, bakalan gue kirim ke atasan perusahan tempat gue kerja," jelas Selvi seraya berlalu.Amera mengantar wanita cantik itu sampai ke pintu luar, perasaannya menjadi lega karena apartemen yang diberikan oleh Selvi begitu luas. Cukup untuk dirinya dan Bik Tini serta Kejora tinggal. Apartemen itu memiliki dua kamar tidur dan ruang tamu yang cukup luas berserta ruangan dapur yang menyatu dengan ruang makan, terlebih semua fasilitas yang ada di apartemen itu gratis.Baru saja Amera menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, Bik Tini mendekat dan mempertahankannya tentang Selvi."Nak, temanmu tadi kayakn
Pagi menyapa para penghuni bumi, Amera beberapa kali menatap dirinya dari pantulan cermin. Memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna, seraya memutar-mutarkan tubuh rampingnya yang nampak berisi.Amera mengenakan pakaian kemeja putih yang dipadupadankan dengan rok berwarna biru tua sebatas lutut, rambut panjangnya dibiarkan berderai begitu saja menambah kesan elegan untuk wanita yang usianya sudah hampir 30 tahun itu.Sesekali Amera mengoleskan lipstik berwarna merah muda pada bibirnya yang mungil itu, tidak lupa parfum aroma vanilla yang membuat aura janda anak satu itu tambah memikat.Bik Tini sampai terperangah dengan mulut terbuka lebar melihat penampilan Amera pagi ini yang belum pernah wanita paruh baya itu lihat sebelumnya."Nak Amera benar-benar mau kerja?" tanya Bik Tini dengan polos membuat Amera tersenyum dan mengangguk cepat seraya duduk untuk sarapan."Oh iya, Bu. Kejora masih tidur, aku sengaja tidak memban
"Mas Rudy!" panggil Amera dengan suara yang nyaring. Entah benar atau salah yang telah Amera lakukan, ia memanggil nama suaminya yang sudah meninggal. Mungkin Amera berharap roh Rudy bisa datang dan menolongnya, seperti film cassper.Tiba-tiba saja pintu yang awalnya tertutup di buka dengan begitu kasar dan menampakkan seorang lelaki paruh baya dengan wajah memerah, seolah menahan amarah."Bowo!" teriak lelaki itu dan membuat Pak Bowo sontak saja menarik tubuhnya dari Amera yang kini menangis ketakutan, karena hampir dilecehkan.Lelaki itu segera mendekat dan melayangkan kepalan tangannya tepat di wajah Bowo, membuat Bowo mengeluarkan sedikit darah dari sudut bibirnya.Tidak sampai di situ, lelaki itu meraih kerah baju Bowo dan melayangkan kembali bogem mentahnya. Kali ini tepat di mata Bowo dan membuatnya tergolek ke lantai."Dasar lelaki m*s*m!" teriak lelaki itu dengan nyaring.Amera yang melihat semua itu hanya diam, ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Seraya memeluk tubuh
"Maaf."Herman menunduk kepadanya, menyesal dengan kejadian yang baru saja mereka alami tadi. Namun, ia berusaha untuk tetap meraih tangan Amera yang Herman tahu masih marah padanya."Paman jahat!" pekik Amera dengan lantang seraya menatap tajam ke arah Herman.Hatinya terasa diremas, ketika mengetahui siapa lelaki yang telah menyelamatkannya itu. Lelaki yang kini berdiri tegap di hadapannya, nafas Amera terasa sesak. Setiap kali tersadar, bahwa Herman adalah lelaki yang telah menghilang dari hidupnya dan meninggalkan sejuta tanda tanya serta luka yang mendalam.Namun, semakin memikirkan hal itu membuat Amera semakin sadar. Bahwa tidak ada orang yang benar-benar baik dan mau mengulurkan tangan kepadanya, selain ia yang harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri untuk tetap bertahan.Berdiri tegak dan menantang hidup yang begitu berat dengan sebuah prestasi serta kesuksesan, agar dirinya tidak mudah diinjak atau diremeh
"Gila!" pekiknya nyaring.Amera merasa Herman telah kehilangan akal sehatnya lagi, ia merasa sudah masuk ke dalam sarang buaya setelah berhasil lepas dari kandang macan.Berkali-kali Amera mengelus dadanya, memperbanyak mengingat Tuhan. Lama-lama ia bisa kena serangan jantung, hari ini benar-benar membuatnya merasa lelah.Setelah beradu jotos dan mulut dengan Siska, terlebih hampir dilecehkan oleh Bowo. Sekarang ia diminta untuk menjadi Sugar Beby oleh Herman, dunia ini memang tidak pernah mau ramah dengannya."Paman beri kamu waktu sampai besok, kamu bisa hubungi Selvi kalau sudah memiliki jawab yang pasti. Pikiran saja baik-baik dulu," jelas Herman dengan santai.Lagi dan lagi nama Selvi yang dibawa-bawa membuat Amera benar-benar harus waspada kepada tamannya itu, ternyata kecurigaan Bik Tini bukan hanya isapan jempol saja.Namun, apa yang menjadi dasar Selvi melakukan hal ini kepadanya? Apakah benar ad
Setelah puas bermain dengan Kejora dan sesekali bertengkar dengan Bik Tini, Hermawan memilih berpamitan.Tidak henti-hentinya lelaki itu membujuk Amera untuk bekerja di perusahaan miliknya, walaupun Bik Tini berkali-kali juga meminta Amera untuk menolaknya.Amera menjadi bingung, ucapan siapa yang harus ia ikuti. Hingga malam harinya, wanita itu melamun di balkon kamarnya yang menghadapan langsung ke arah jalan raya."Mas, apa Paman Hermawan bisa aku percaya?" gumam Amera berbicara sendiri seraya melihat germelap lampu jalan berada di bawah sana serta kendaraan yang berlalu lalang.Tidak bisa Amera pungkiri, kalau benar-benar kehilangan sosok lelaki yang begitu ia cintai. Rudy meninggalkan sejuta kisah yang tidak bisa Amera lupakan. Hingga tragedi waktu itu menghantuinya kembali."Mbak Amera! Mbak!" teriak Andre dengan begitu keras seraya mencari keberadaan Amera yang kini tengah berada di kamarnya.Ia menatap heran wajah adik iparnya yang nampak pucat dengan keringat mengucur deras m
Matahari menyapa para penghuni bumi, dengan cahaya yang terang dan hangatnya membuat setiap hari menjadi lebih ceria.Begitupun dengan Amera yang telah semangat dan ceria kembali, setelah berbagi cerita dengan Bik Tini malam ini. Ia berniat untuk bertemu dengan Hermawan di perusahaan lelaki itu.Setelah menghubungi Selvi, wanita itu yang akan menjemputnya pagi ini. Setelah sarapan dan terlihat modis dengan setelah baju ala karyawan perkantor, Amera telah siap untuk mulai bekerja yang sebenarnya."Nak, kamu yakin akan pergi ke kantor Hermawan?"Amera menghentikan langkahnya dan berbalik badan untuk menatap Bik Tini yang bertanya."Aku sudah yakin, Bu. Kita gak mungkinkan hanya berdiam diri saja? Sedangkan kebutuhan sehari-hari tidak ada yang akan kasih seperti sebelumnya," jelas Amera apa adanya. Namun, tanpa ia sadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan Bik Tini.Wanita paruh baya itu hanya diam, sadar
Di saat Amera berniat untuk melarikan diri, tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicengram erat oleh Andre.Lelaki itu menariknya masuk ke ruangan di mana ada Mama Rossa yang tengah di rawat, jantung Amera berdetak semakin kencang. Terlebih ketika matanya menatap ke arah ranjang rumah sakit, di mana wanita yang ia ingin hindari itu tengah terbaring lemah."Mama," panggil Andre dengan suara pelan seraya meraih tangan Mama Rossa. Wanita itu mengalihkan perhatiannya sejenak untuk menatap wajah Andre, sebelum membuang kembali wajahnya ke arah berlawanan."Kenapa kamu bersama dia?" tanya Mama Rossa membuat hati Amera tersentil.Andre menatap ke arah Amera sejenak dan tersenyum lebar, seolah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.Kemudian Andre kembali mengajak Mama Rossa berbicara tentang penyebab wanita yang telah melahirkannya itu bisa masuk ke rumah sakit."Mama lelah, bisa tinggalkan Mama? Mama ingin beristirahat," kata Mama Rossa dengan nada pelan."Baiklah, aku akan pergi. Ta
Amera hanya bisa menggigit bibir bawahnya ketika Hesti datang dengan keadaan marah-marah dan menarik tangan Andre untuk keluar dari ruangan tersebut.Kini hanya ada Amera seroang diri di dalam kamar, ia menutup pintu yang masih terbuka lebar itu dan berjalan gontai menuju ke ranjang."Selalu aku yang bersalah," gumamnya pelan seraya menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.Terlalu munafik untuk Amera mengatakan dirinya baik-baik saja saat ini, padahal ia juga seroang wanita yang memiliki perasaan.Semua yang teradi di dalam hidupnya terlalu berat untuk ia pikul seroang diri, terlebih harus berhadapan dengan Hesti yang menjadi madunya."Ya Tuhan, kuatkanlah aku," batin Amera, kemudian ia pun memejamkan kedua matanya.Di saat Amera tengah merasa kesepian dan rasa sedih yang mendalam akan semua hal yang terjadi, Andre dan Hesti malahan melakukan hal lain.Kedua insan itu menghabiskan beberapa ronde malam pertama yang mereka lewatkan begitu saja, Andre benar-benar lepas kendali sampai tum
"Mas, aku—" Suara Hesti tercekat di leher, ketika melihat sebuah adengan yang tidak senonoh dari suami dan madunya itu.Nampan yang dibawa oleh wanita itu sampai terjatuh dan menimbulkan suara yang cukup keras, membuat Amera dan Andre tersadar.Mereka berdua kembali berusaha untuk bangun, walaupun Amera merasa kesulitan dan tidak sengaja menyentuh sesuatu yang terasa keras."Kalian!" pekik Hesti dengan mata yang memerah. Antara marah dan merasa cemburu, mata wanita itu mengembun.Hati Hesti benar-benar terasa dicabik-cabik, ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi dan bergegas menghampiri Amera."Dasar! Wanita pelakor!" teriak Hesti murka dan menjambak rambut Amera dengan begitu kerasnya dan membuat wanita itu meringis kesakitan.Andre yang melihat keganasan Hesti pun berusaha untuk melerai dengan cara menarik tubuh Hesti yang masih menggenggam erat rambut Amera."Lepaskan, Hes!" perintah Andre. Namun, seolah tuli. Hesti tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh Andre.Wanita itu
Di saat Amera yang tengah merasa sedih dengan penolakan yang dilakukan oleh Kejora yang berada di bawah pengaruh Hermawan, kini kepala Andre malahan semakin terasa ingin pecah.Semenjak kepergian Amera dan Hesti, Andre mulai mengerjakan sesuatu dan menemukan sebuah fakta yang sulit ia terima."Dasar!" geram Andre seraya menjambak rambutnya. Mata elang lelaki itu menatap tajam sebuah laporan yang dikirim ke alamat emailnya, sesuatu hal yang sama sekali tidak pernah bisa ia bayangkan.Kemudian Andre terdiam sejenak, memikirkan jalan keluar yang akan dirinya ambil untuk selanjutnya. Semua yang terjadi benar-benar membuat otak lelaki tampan itu terasa buntu, sampai sebuah ide melintas begitu saja."Baiklah, aku akan mengikuti permainanmu. Tapi, jangan salahkan aku, jika nanti kamu akan menyesali semuanya," senyum smirk nampak mengerikan disudut Andre yang telah memikirkan sebuah rencana untuk menjebak seseorang yang telah membuatnya panik bukan kepalang.Hingga Andre bekerja sampai sore
Di saat Andre harus memutar otak untuk bisa menutupi pengeluaran yang diakibatkan oleh Hesti yang mengambil uang perusahaan untuk biaya berobat Mama Rossa dan Bik Tini yang berada di rumah sakit.Siang ini lelaki itu kembali dihadapkan dengan meeting mendadak yang diminta oleh pihak Hermawan, membuat kepala Andre terasa ingin pecah."Apakah Mbak yakin akan tetap melakukan meeting ini?" tanya Andre dengan nada khawatir seraya memijat pelan kepalanya. Tatapan mata lelaki itu tidak bisa lepas dari wanita cantik yang tengah duduk manis dihadapannya.Amera mendekati Andre dan meraih tangan suaminya itu, apa yang dilakukan oleh Amera sedikit membuat Andre terkejut. Sebab, begitu banyak hal yang terjadi dalam waktu dekat ini membuat hubungan mereka terasa aneh.Andaikan Amera masih menjadi Kakak iparnya, mungkin Andre akan menghindari tatapan lekat dan lembut wanita itu, namun sayang. Mereka telah sah menjadi suami istri dan hal itu membuat Andre harus terbiasa bersentuhan dengan Amera."Nan
Hesti mulai menjalankan rencananya, ia akan membuat hidup Amera bagaikan di dalam sebuah neraka yang tidak pernah berujung.Pagi ini, dengan senyuman manis wanita itu menyambut kedatangan suaminya dan adik madu yang amat ia benci."Aku pikir kalian akan menghabiskan waktu untuk berbulan madu di hotel?" tanya Hesti dengan nada menyindir. Namun, diabaikan oleh Andre dan Amera yang langsung masuk ke rumah.Melihat betapa angkuhnya pasangan itu membuat Hesti geram dan menghentakkan kakinya, ia menatap tajam punggung suami dan adik madunya itu."Permainan baru saja dimulai," batin Hesti.Mau bagaimana pun juga, Hesti adalah istri pertama Andre dan tentu saja wanita itu memiliki derajat lebih tinggi daripada Amera.Namun, apapun yang akan dilakukan oleh Hesti. Tidak akan berpengaruh signifikan terhadap Andre dan Amera yang memang memiliki tujuan lain atas pernikahan yang keduanya lakukan.Kini Andre dan Amera yang baru saja masuk ke kamar meletakan koper mereka di samping lemari, kemudian k
Entah setan mana yang merasuki Andre, kini dirinya hanya bisa menjabak rambutnya dengan kasar seraya menatap Amera yang terbaring lemah di atas ranjang.Andre benar-benar lepas kendali, ia hanya manusia biasa. Di mana terlalu banyak tekanan yang diterima dan tidak bisa ia luapkan."Arggg," geram Andre kesal dengan keadaan. Namun, ia tidak bisa menyalahkan apa yang sudah terjadi. Andaikan saja Hermawan tidak mengancam dirinya, mungkin Amera tidak akan sekecewa itu padanya."Maafkan aku, Mbak," kata Andre dengan raut wajah yang begitu menyesal. Padahal, Amera telah sah menjadi istrinya dan apapun yang ada pada Amera merupakan hak sah untuknya. Namun, seolah yang baru saja ia lakukan adalah sebuah dosa dan kesalahan besar sampai membuat Andre meminta maaf.Sedangkan Amera hanya mampu terdiam dengan lelehan air mata, ia melihat betapa brutalnya Andre menggauli tubuhnya.Bahkan suaminya terus merancau dengan menyebut nama Kejora, andaikan dirinya mau mendengarkan alasan Andre sebentar saja
Andre telah mengatur semuanya, mulai dari acara repsepsi sampai keamanan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.Acara tersebut di mulai dari jam 8 malam dan berada di hotel ternama, setelah tadi pagi mereka melakukan acara ijab kobul. Kini rencana kedua pun mulai dijalankan."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Andre kepada anak buahnya, sebab sebentar lagi para tamu undangan akan berdatangan."Sudah Tuan," jawab seseorang dengan berpakaian serba hitam."Baiklah, lakukan dengan sebaik mungkin! Aku tidak ingin ada kesalahan sedikitpun!" perintah Andre dengan menekankan setiap ucapannya dan mendapatkan anggukan dari anak buahnya itu. Kemudian lelaki itu pun pergi, kini Andre melangkah menghampiri Amera yang telah duduk di atas pelaminan.Malam ini bukan hanya acara resepsi pernikahan mereka saja, melainkan acara pelantikan Amera sebagai pemilik sah perusahan Darati Utama."Apakah Mbak merasa gugup?" bisik Andre tepat di samping telinga Amera yang nampak dari tadi tidak tenang.
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Andre sebelumnya, pagi hari ini mereka akan mengadakan acara ijab kobul. Dikarenakan Amera yang tidak memiliki orangtua dan sanak saudara, maka diputuskan mereka mengambil wali nikah Amera dari pihak KUA sebagai wali hakim.Tidak ada pernikahan yang mewah seperti sebelumnya, hanya sebuah ijab kobul yang sederhana dan disaksikan oleh beberapa orang saja. Sebab, mereka memiliki sebuah rencana besar."Saya terima nikah dan kawinnya Amera Darati binti Amar dengan mas kawinnya Perusahan Darati Utama dibayar tunai!" ucap Andre dengan sekali hentakan nafas saja dan mengguncang tangan penghulu yang berada di hadapannya.Kemudian sang penghulu tersebut menatap ke arah saksi yang berada di kiri dan kanannya, lalu keduanya mengucapkan sah bersamaan.Doa-doa pun mulai di lantunkan, sampai di mana Amera di minta untuk mencium tangan Andre yang telah sah menjadi suaminya.Tangan Amera nampak begitu bergetar, hal itu membuat Andre berinisiatif untuk mengusap lem