Hari ini adalah hari kepulangan Nadia. Mereka telah berkemas, Nadia dirangkul oleh tunangannya keluar dari rumah sakit itu.
“Bar! Karena aku sudah sembuh, kita merayakan dengan makan-makan, ya?” pinta Nadia memelas dengan bola mata yang berkedip seperti boneka.
“Kamu seperti tadi, mirip seperti boneka Annabelle,” ujar Bara, membuat mata Nadia melotot hampir keluar. Cantik seperti ini, dikira boneka Annabelle. Bukannya itu jenis boneka yang terkenal itu, ya? Di film-film, Nadia pernah mendengarnya.
Bara menarik Nadia masuk ke dalam mobil, karena tengah asyik melamun. Bara menutup pintu menyusul Nadia masuk ke kursi pengemudi.
“Kenapa, hem? Kamu beneran mirip.”
"Gue mau negoisasi sama lo."Gadis yang duduk di depannya, menatapnya dengan intens tanpa bersuara."Gue mau lo nyerahin rekaman itu, ke kita. Dan gue akan kasih lo tiga permintaan. Apapun itu gue akan ngabulin.""Lo berurusan dengan orang yang salah."Marisa mengebrak meja, membuat perhatian orang di cafe itu teralihkan kepada mereka."Walaupun lo rusak. Itu ngak akan menghasilkan apapun.""Jangan main-main sama gue! Terus apa niatan lo ketemu sama gue, di sini?""Gue hanya mau lihat wajah lo, senior."
Nadia berjalan sendirian di kampus menuju perpustakaan. Hari ini, ia mencoba menghindar kedua sahabat nya. Karena ia tidak ingin secara terang-terangan menghindari salah satu dari mereka.Banyak mahasiswi kenalannya di organisasi, menyapanya di lorong kampus. Nadia membalas senyuman mereka apa adanya. Mereka tidak banyak bertanya. Karena melihat raut wajah Nadia yang tidak mood hari ini."Nadia!" teriak Lala melangkah ke arahnya. Nadia tidak menengok ke belakang. Ia mempercepat langkahnya menuju ke perpustakaan."Woy, Nad! Lo kok ngak nungguin kita?!" ujar Lala masih setengah berteriak.Nadia menghela nafas. Ia mendengarnya. Namun seakan tidak memperdulikan Lala.N
"Pak Bara!""Hem.""Di bawah ada ibu Celina yang ingin bertemu dengan bapak."Bara menghela nafas pelan. Kenapa Celina ke sini? Padahal semuanya telah jelas. Dirinya akan menjauh dari gadis itu."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Sambungan terputus. Bara kembali mengerjakan beberapa laporan yang akan diperiksa dan di tanda tangani. Mengenai pembangunan hotel di Bali.Bara menyetujui proyek besar tersebut. Karena Nadia ingin bulan madu ke sana. Jadi dirinya mempersiapkannya dari sekarang.
Nadia mengembangkan senyumannya ketika masuk ke dalam ruangan Bara. Ia melangkah dan menaruh kotak makan di atas meja kerja Bara. Segera duduk di depan pria itu, yang sekarang juga menyambutnya dengan senyuman dan pancaran rindu di matanya."Kok kamu bisa tahu, aku akan datang?" tanya Nadia."Aku di kasih tahu sama salah satu karyawan, aku menyuruh nya mengirim pesan. Ketika kamu datang ke kantor, Sayang."Nadia manggut-manggut, mempercayai nya. Sampai segitunya."Kamu sibuk banget, ya?" tanya Nadia melihat tumpukkan berkas di depan Bara. Pria itu mengangguk dengan raut wajah lelah."Iya, Sayang."
Bara menatap datar ke sekelilingnya. Memperhatikan sedari tadi seorang wanita dengan pakain formal, namun terbuka di belahan dada dan rok sepaha. Menggerakkan lidahnya, menjelaskan perjanjian kerja sama di antara mereka.Candra menatap Bara, yang sepertinya tidak menyukai wanita di depan mereka. Padahal sebenarnya, perjanjian kerja sama tersebut sangat menguntungkan perusahaan.“Bagaimana, Pak Barata?” tanyanya dengan suara dilembutkan.“Penjelasan Anda sangat memukau, Ibu Delia.” Candra segera memberikan pujian.Delia tersenyum bukan ke arah Candra. Namun ke arah Bara yang sekarang ikut menatapnya. Membuat wanita itu salah tingkah.“Terima kasih, Pak Candra. Pak Barata, bagaimana tanggapan Bapak
Dengan langkah lebar, Nadia dan Bara berjalan tergesa-gesa menelusuri lorong rumah sakit. Beberapa menit yang lalu. Nadia menerima telepon dari rumah sakit. Mamanya terlibat kecelakaan di jalan bersama dengan sekretarisnya.Tibalah mereka di depan ruang UGD, di sana terlihat seorang pria dengan wajah tertunduk, duduk di salah satu kursi. Dia papa Nadia, yakni Aldi, yang terlihat putus asa. Membuat detak jantung Nadia berdebar dengan sangat kencang.“Pa! Keadaan Mama, bagaimana? Ma...Mama nggak apa-apa kan, Pa?” tanya Nadia dengan suara yang hampir menghilang.Aldi menghela nafas dalam, ia berdiri dan memeluk sang putri dengan erat, “Mama tidak akan kenapa-kenapa, Nadia. Kita tunggu kabar dari dokter.”“Tapi, pya. Nadia khawatir sama Mama. Ap
Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya yang terlihat ramai dengan lalu lalang kendaraan pada pagi hari. Jam berangkat kerja, biasa nya akan ada sedikit hambatan di jalan, yakni macet yang berkepanjangan.“Kita langsung menuju tempat klien, Bu?” tanya Mentari, sekertaris Bella yang masih muda.Bella yang berada di kursi belakang mengangguk, sembari mengecek tabletnya, “Tempat biasa kita bertemu dengan klien, mereka akan tiba beberapa menit lagi. Mentari... jangan ngebut, ya?”“Baik Bu, tapi saya sedikit ngebut ya, Bu? Karena sebentar lagi akan macet, beberapa menit lagi.”“Saya mengerti Mentari. Utamakan keselamatan!” peringat Bella
"Maaf atas ketelodran saya, Bu Nadia, Pak Aldi, Pak Barata. Saya yang bersalah di sini. Saya siap dipecat."Seorang wanita memakai kursi roda, dengan didampingi oleh ibunya. Menemui keluarga atasannya.Nadia tidak menggubrisnya, ia masih sesegukkan menangis dan memeluk tangan sang ibu. Seperti anak kecil yang kehilangan tujuan hidupnya.Aldi menghela nafas pelan, menoleh ke arah Mentari yang sekarang berada di depan pintu ruang inap. Tidak berani mendekati mereka. Masih dengan wajah yang terlihat pucat dan menunduk, memilin jari-jemarinya bergantian."Ini musibah, saya hanya ingin kamu menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi?" sergah Aldi.Dapat mere
Dua bulan telah berlalu. Kedua sahabat Nadia sudah resmi menikah dan sekarang fokus dengan rumah tangga mereka masing-masing.Nadia menghela nafas pelan ketika dirinya akhirnya bisa berjalan kembali, setelah terapi setiap minggu dan memiliki keinginan yang kuat untuk berjalan. Namun jangan lupakan dibalik kesembuhan Nadia, terdapat seorang pria yang setia dan penyabar di sampingnya.Nadia masih tidak menyangka, ternyata Bara adalah jodohnya dan pernikahan mereka sudah berumur tiga bulan. Bara adalah segalanya untuk Nadia. Tuhan menghadirkan Bara sebagai penerang di kehidupan Nadia yang sunyi dan sepi.“Semoga Bara menyukai hadiahku.”Nadia segera bersiap setelah menyiapkan kejutan untuk Bara. Hari
Senyuman Lala luntur ketika melihat calon suaminya mengobrol dengan dokter muda yang terlihat sangat cantik dan dewasa.Lala mengeratkan pegangan tangannya di rantang yang ia bawa untuk dokter Ryan.Lala berdiri di ujung pintu. Sepertinya mereka tidak menyadari dirinya berada di sana. Karena terlalu asyik mengobrol. Lala mundur perlahan dan segera berbalik arah kembali menuruni anak tangga.Ryan menatap dokter Neza dengan pandangan sulit diartikan. Dokter Neza adalah dokter baru di rumah sakit ini dan sepertinya menyukainya. Karena sedari tadi mencoba mencairkan suasana untuk menggodanya.“Dokter Ryan juga berprofesi menjadi seorang dosen? Wah hebat ya. Dokter sanga
“Sebenarnya, aku ada niatan untuk menjenguk nenek di rumah sakit jiwa,” ujar Nadia pelan, membuat semua orang yang ada di meja makan berhenti sejenak dari aktivitasnya.“Tidak!” tegas Bara, membuat Nadia bukannya takut malah pantang menyerah.“Kenapa, Sayang? Sampai mau jenguk nenek kamu yang jahat dan tidak manusiawi itu?” tanya Rani menatap Nadia, membuat Nadia menghela nafas pelan.“Nadia, ingin berdamai dengan semuanya. Tenang, hanya nenek ajha, kok. Ngak sama dia-dia itu,” ujar Nadia lagi.“Dia siapa?” tanya Bara.“Mantan sahabat kamulah. Siapa lagi, yang kamu belain mati-matian sampai membuang cincin ak ....”
Bara meneliti wajah Nadia yang tengah tertidur. Cantik dan manis. Bibir mungil semanis madu itu selalu berhasil membuatnya tidak berhenti mengecupnya seperti sekarang ini.Mereka masih berada di kantor. Sebentar lagi jam pulang kerja tiba. Namun melihat istrinya masih memejamkan matanya. Bara jadi tidak tega membangunkan Nadia.Bara menghela nafas dan merogoh ponselnya. Ia menyalakan kamera dan mengambil gambar Nadia sebanyak-banyaknya."Sayang banget sama kamu." Bara mendusel hidungnya di leher Nadia, membuat Nadia terusik."Eugh …." Akhirnya Nadia terbangun dan bergumam kesal kepadanya. Karena menganggu tidur nyenyak wanita itu."Sayang, dah
Nadia meringis kala merasakan sakit yang menderai . Nadia menatap Bara yang pagi ini sudah rapi untuk berangkat bekerja.“Sayang, ayo mandi. Kita ke kantor.”Nadia terperangah mendengarnya, “Kamu sendirian pergi. Aku di rumah ajha.”“Nggak bisa, Sayang. Kamu harus ada di samping aku setiap waktu.”Tanpa izin, Bara menggendong Nadia dan masuk ke dalam kamar mandi. Dengan telaten, Bara membasuh dan membersihkan tubuh Nadia dengan sangat lembut dan hati-hati.Setelah menghabiskan waktu 5 menit. Bara menggendong Nadia dan mendudukkannya di pinggir ranjang.Bara beralih mencari dress untuk sang istri. Warna marun dan juga mantel tebal untuk sang istr
Seminggu telah berlalu. Sepasang pengantin baru tersebut, sekarang akhirnya pulang ke rumah orang tua Bara. Nadia mengambil nafas panjang ketika Bara dengan seenaknya, tidak ingin menurunkannya ke kursi roda. Bara mengendongnya sampai ke dalam rumah. Nadia hanya bisa pasrah dan mengeratkan pelukannya ke leher suaminya.Barang-barang, semuanya telah dibawa oleh sopir dan para pembantu ke dalam kamar mereka.“Wah, pengantin baru sudah pulang ternyata,” ujar Rani terlihat antusias. Nadia duduk bersama Bara di depan meja makan, bersama dengan kedua orang tua Bara.“Bagaimana bulan madunya, Sayang?” tanya Rani kepada Nadia.Nadia tersenyum kikuk dan menunduk, “Lancar, Ma.”Mereka berdua mengucap
“Bisa gak sih, kamu gak buat masalah sekali saja.” Nadia menyilang tangan di dadanya bersandar di punggung ranjang kamar hotel.Bara menghela nafas pelan, “Ini juga demi kamu, Sayang. Aku gak suka semua orang menghina kamu, Nadia. Tolong ngertiin aku!” Bara sedikit meninggikan suaranya, membuat Nadia menggelengkan kepalanya tidak percaya.“Kamu marah sama aku? Kamu bentak aku?” tandas Nadia.“Sayang, bukan seperti itu.”“Iya, kamu udah gak sayang sama aku. Kamu mengulangi kesalahan yang dulu. Kamu ... hiks.”Nadia merasakan sesak di dadanya. Wanita itu kembali terbayang kejadian yang dulu. Katakan dirinya berlebihan, namun trauma itu kembali muncul.
Hari ini pasangan pengantin baru tersebut memilih menghabiskan waktu di taman. Banyak anak-anak bermain di ujung sana dengan gembira, membuat Bara dan juga Nadia ikut tersenyum melihatnya.“Kamu mau makan apa, Sayang?” Bara mengelus bahu Nadia yang berada di dekapannya.Nadia yang merada di dekapan suaminya mendongak, sejenak memikirkan sesuatu yang akan ia beli. Nadia melonggarkan pelukannya dan mulai mengitari ke segala penjuru taman, dengan bola mata cantiknya, banyak berbagai macam makanan ringan penggugah selera.“Cilok, harga 5 ribuan.” Nadia menunjuk dagang cilok dengan dagunya, yang terlihat memakai sepeda motor tengah dikerumuni banyak orang.“5 ribuan?” Bara mengangkat sebelah alisnya.
“Katanya ... mau istirahat. Ini langsung unboxing kamar hotel.” Nadia mendengus sembari berbaring di atas bantal yang sangat empuk. Warna putih mendominasi, mencirikan mereka tengah berada di hotel bintang lima.Padahal tadi, sebelumnya. Bara sudah berkata bahwa mereka akan istirahat setelah acara pernikahan usai. Tapi apa? Hanya omong kosong saja.Bara membuka jasnya. Pria itu melangkah ke arah kamar mandi dan menutupnya dengan rapat. Ada apa dengannya? Nadia memutus pandangannya dan mulai memejamkan matanya.Beberapa menit telah berlalu. Bara keluar dengan memakai kaos oblong. Pria itu mengusap kepalanya yang perlahan mulai kering karena usapan handuk yang bersih.Bara menghela nafas ketika melihat Nadia memejamkan matanya karena kelelahan. Tapi, bagaimana