"Sampai jumpa lagi, Gio!" Setelah mempersiapkan kepulangan Gio yang mendadak sejak sore hari, akhirnya saat hari mulai gelap, barulah semuanya selesai dan Gio diijinkan pulang. Martin memastikan kondisi Gio lagi dan Suster pun memberi arahan untuk obat yang harus Gio minum setiap harinya. Refi pun membantu membawa semua barang Gio, sedangkan Hanna dan Gio berpamitan pada semuanya. Louis sendiri hanya berdiri tidak jauh dari Hanna dan tidak banyak bicara. "Terima kasih banyak, Suster! Aku benar-benar berhutang pada semuanya karena sudah menjaga Gio saat aku tidak ada. Terima kasih!" Hanna membungkuk dengan sopan dan para suster pun melakukan hal yang sama. Gio tidak pernah dirawat selama ini karena biasanya Hanna selalu membawanya pulang setelah kondisinya membaik. Namun, operasi besar membuat Gio harus dirawat lebih lama. "Kami senang sekali akhirnya Gio bisa pulang. Semoga lekas sembuh dan beraktivitas normal kembali ya, Gio." Para suster berpamitan, sebelum Martin ikut berpa
"Terima kasih sudah membuat Gio terus tertawa sepanjang makan malam tadi, Pak." Hanna akhirnya berterima kasih dengan tulus pada Louis saat mereka sudah ada dalam perjalanan pulang. Refi menyetir mobil di depan. Louis dan Hanna pun duduk di belakang, sedangkan Gio yang kenyang pun tertidur dengan kepala di pangkuan Hanna dan kaki di pangkuan Louis. Awalnya, kaki Gio masih menggantung saat anak itu duduk, tapi saat anak itu mulai tertidur dan kepalanya jatuh ke pangkuan Hanna, tanpa ragu, Louis mengangkat kaki Gio ke pangkuannya agar anak itu merasa nyaman. Dan semua tentang Gio selalu membuat Hanna lemah. Sekeras apa pun Hanna, saat ada orang yang baik pada Gio, Hanna bisa membalas kebaikan itu berkali-kali lipat. "Jangan berlebihan, Hanna. Aku hanya kasihan melihatnya lapar. Makanan rumah sakit memang sangat tidak enak dan tidak ada yang bisa dimakan," sahut Louis. Hanna mengangguk. "Tetap terima kasih, Pak. Gio senang sekali barusan, terlihat dari tawanya yang sangat lebar."
"Sial! Dasar pengecut! Pria brengsek! Tidak punya perasaan!"Hanna tidak berhenti menggeram sambil menggenggam ponselnya karena ia sama sekali tidak bisa menghubungi Tama. Awalnya ponsel Tama masih aktif, tapi setelah Hanna terus meneleponnya, mendadak ponselnya mati. "Terbuat dari apa hatimu, Tama? Aku benar-benar akan membunuhmu kalau aku sampai menemukanmu!" geram Hanna lagi sampai urat lehernya tercetak jelas.Mereka sendiri masih berada di dalam mobil setelah mereka pergi dari rumah Hanna. Refi menghentikan mobilnya di depan sebuah minimarket, Louis membelikan Hanna air minum dan Hanna terus mencoba menelpon Tama."Hanna ...," panggil Louis lembut. "Aku baik-baik saja, Pak. Tidak usah mempedulikan aku, tidak sepantasnya Anda melihat ini. Tapi kalau tidak keberatan, tolong antarkan aku ke rumah sakit saja," seru Hanna dengan suara yang bergetar. Air matanya belum juga kering, tapi Hanna berusaha setegar mungkin. Pengalaman kehilangan banyak hal dalam hidupnya membuatnya masih
Di mana pun aku berada, di sanalah rumahmu. Ucapan Louis benar-benar terdengar indah sampai Hanna tidak bisa berkata-kata lagi. Ucapan itu seolah menggambarkan sebuah hubungan yang hangat dan saling memiliki. Seolah Hanna akan selalu punya rumah tempatnya pulang, yaitu ke pelukan pria itu. Seolah pria itu akan melindunginya, seolah pria itu akan selalu ada untuknya, dan seolah pria itu mencintainya. Walaupun kenyataannya sama sekali tidak seindah itu. Bahkan, begitu tiba di rumah Louis malam itu, Hanna langsung disambut oleh kemarahan Indira. "Apa maksudmu membawa Hanna dan adiknya kemari, Louis?" Indira tahu tentang insiden di resort, tentang kaki Hanna yang terkilir, dan tentang Louis yang membawa Hanna pulang. Bahkan, Indira bertemu dengan Samuel di resort. Indira pun terus uring-uringan sepanjang hari dan ia menunggu Louis pulang sampai malam hari. Indira berharap Louis akan minta maaf padanya karena sudah lebih mementingkan Hanna daripada dirinya. Namun, alih-alih perminta
"Hati-hati, Hanna!" Louis kembali memapah Hanna sampai ke kamar Hanna di lantai atas. Refi yang menggendong Gio juga langsung membaringkannya di ranjang lalu ia segera keluar dari kamar itu. "Aku tahu Bu Indira sangat marah, Pak." "Tidak usah memikirkannya, dia sudah setuju kau tinggal di sini." "Itu tidak ikhlas, Pak." "Sudah kubilang tidak usah dipikirkan, Hanna! Istirahat saja!" Hanna sudah duduk di ranjangnya dan Louis berdiri di sampingnya. Tangan Louis pun mendadak membelai kepala Hanna sampai debar jantung Hanna memacu begitu kencang. Entah apa yang dipikirkan Louis sampai pria itu membelai Hanna begitu lembut. Namun, Hanna tidak berani berharap apa pun. Louis pun akhirnya meninggalkan Hanna. Dan alih-alih istirahat, Hanna malah tidak bisa tidur sama sekali. "Selamat datang di rumahku, Hanna."Ucapan Indira tadi terus menggema di benaknya. Nada suaranya memang manis, tapi sorot matanya begitu mengerikan. Kalimat itu bukanlah sambutan. Itu peringatan. Ancaman terselubun
Indira dan Linda sudah duduk berdua di ruang makan setelah Louis pergi pagi itu. Louis pergi pagi-pagi sekali dan berpesan banyak hal pada Indira tentang Hanna. "Hari ini hari libur, jadi biarkan Hanna libur juga, jangan memberinya pekerjaan apa pun! Kakinya juga masih sakit. Lalu biarkan dia tinggal di sini dengan tenang, Indira! Tolong jangan mencari masalah dengannya, Indira. Aku harus pergi karena aku baru ingat ada pertemuan penting pagi ini. Tolong bekerja samalah!" Pesan Louis benar-benar membuat Indira murka sampai Indira pun memanggil Linda untuk berunding. Linda yang biasa berolahraga sangat pagi itu pun langsung datang ke rumah anaknya itu sambil menunggu kapan tuan putri itu akan bangun dari tidur panjangnya. "Tuan Putri belum bangun juga?" "Tentu saja dia tidur begitu nyaman di rumah bagus, Ibu." "Ck, Ibu sudah mengira hal ini akan terjadi, Indira! Awalnya hanya ibu pengganti, lama-lama dia meminta lebih! Ibu tidak percaya kalau Louis mendadak baik padanya dengan s
"Aku tidak bisa tinggal di sini, Pak. Aku akan mencari kontrakan saja," seru Hanna pagi itu saat Louis masuk ke kamarnya. Saat biasanya Louis tidak peduli pada keberadaan Hanna di rumah, sekarang Louis benar-benar berubah dan tidak segan lagi masuk kamar Hanna. Itu bagus, karena Hanna tidak berani keluar dan bertemu dengan Indira. Hanna pun sudah berpikir semalaman sampai ia tidak bisa tidur. Satu kesalahan besar yang ia lakukan adalah tetap tinggal di rumah ini. Louis sendiri langsung mengembuskan napas kesalnya. "Hanna, aku sudah bilang kau istriku kan? Jadi di mana aku tinggal, kau harus tinggal di sana juga," jawab Louis sambil mendesis agar Gio tidak mendengar ucapannya. "Tapi tidak bisa seperti ini, Pak!" "Apanya yang tidak bisa?" "Bu Indira ...." "Aku sudah mengatasinya, Hanna! Aku tidak mau mendengar kau minta pergi lagi. Lagipula kau mau pergi ke mana? Bagaimana dengan Gio?" Hanna menghela napas panjang dan tidak menyahutinya lagi. Percuma bicara dengan Louis karena
Louis terus menatap ponselnya malam itu. Ia mengirim pesan pada Hanna sejak sore, tapi wanita itu hanya membaca tanpa membalasnya. "Berani sekali dia tidak membalas pesanku?" geram Louis. Sejak pergi tadi pagi, perasaannya tidak tenang. Entah mengapa ia ingin sekali menghabiskan waktunya dengan Hanna dan Gio. Louis menyukai Gio dan ia juga suka berdekatan dengan Hanna. Ia tidak berpura-pura lagi sekarang. Dan meninggalkan mereka saat keduanya baru saja pindah ke rumahnya itu terasa sangat berat. "Semoga saja Indira tidak melakukan hal yang aneh-aneh lagi!" geram Louis tanpa henti. Refi yang melihatnya sampai mengernyit sendiri. "Apa ada yang Anda pikirkan, Bos? Bukankah pertemuannya berjalan dengan lancar tadi?" "Ya, syukurlah pertemuannya berjalan lancar. Tapi bagaimana dengan rumah Hanna, Refi? Kau sudah punya data tentang para preman brengsek itu?" "Ah, sudah, Bos! Aku tidak tahu di mana makhluk bernama Tama itu berada, tapi aku sudah tahu identitas para preman yang merebut
Hanna bangun begitu pagi hari itu dan pemandangan yang ia lihat saat ia membuka matanya adalah Gio dan Louis yang masih tertidur begitu lelap di ranjangnya. Postur tubuh Gio yang sudah cukup besar membuat Louis harus tidur di sudut ranjang, tapi sepertinya itu tidak masalah untuk Louis. Perlahan senyuman pun terbit di wajah Hanna. Rasanya masih seperti mimpi bisa mendapatkan suami bosnya tidur di ranjang Hanna sekarang. Rasanya hangat sekali, walaupun tetap salah. Hanna mengembuskan napas panjangnya dan berniat beranjak dari ranjang untuk ke kamar mandi, tapi gerakan Hanna mendadak membuat Louis terbangun dan langsung siaga. "Kau mau ke mana, Hanna?" Hanna sontak menoleh kaget. "Ah, aku mau ... ke kamar mandi, Pak." "Pak lagi! Sudah kubilang panggil namaku saja, tapi aku akan membantumu. Kakimu tidak boleh banyak digerakkan." Louis langsung beranjak dari ranjangnya dan menghampiri Hanna. Dengan cepat mengendong istrinya itu dan Hanna langsung memeluk leher Louis. Sejenak merek
"Apa masih sakit?" Hanna sudah duduk bersandar di ranjangnya malam itu dengan baju dan tubuh yang bersih. Setelah melayani suaminya, Hanna mandi dibantu oleh suaminya yang mendadak lembut. Mereka mandi bersama, lalu Louis mengoleskan salep di kaki Hanna sampai Hanna begitu tersentuh pada kelembutan suaminya itu. "Tidak terlalu sakit, tapi bengkaknya tidak mau kempis," sahut Hanna sambil menatap bengkak di kakinya. "Pelan-pelan! Kalau kau terus bergerak, bengkaknya tidak bisa kempis," seru Louis lembut sambil terus membelai kaki Hanna. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar diketuk dan suara-suara berisik dari luar kamar. "Jangan dulu, Gio! Kakak takut Kak Louis marah," seru Refi takut. Namun, Gio tetap membuka pintu kamar yang sudah tidak terkunci itu. Setelah mandi, Louis sempat keluar kamar dan mengambil bajunya, lalu masuk lagi. Louis juga sempat melihat pesan dari Indira yang mengatakan bahwa istrinya itu menginap bersama Linda. Entah mengapa, pesan itu malah memb
Semua orang masih terdiam mendengar ucapan Louis yang memang mengejutkan. Hanna dan Refi sudah menahan napasnya sejenak, tidak percaya Louis akhirnya membocorkan hal yang sangat rahasia itu di depan umum, apalagi ada Susan, salah satu karyawan kantor juga. Susan sendiri hanya menganga tidak percaya pada pendengarannya. Sedangkan Martin sama bingungnya, tapi ia yang paling bereaksi keras. Martin pun tertawa kesal menatap Louis yang makin tidak rasional. "Istri? Apa maksudmu? Kau sadar apa yang kau katakan, Pak Louis? Istrimu adalah Bu Indira! Bagaimana caranya Hanna bisa menjadi istrimu juga?" "Kau pikir aku sudah gila mengakui orang lain sebagai istri kalau itu bukan kenyataannya? Indira memang istriku, tapi Hanna juga istriku! Aku punya dua istri, lalu apa itu masalah untukmu?" Sial!Louis pasti sudah gila karena mengakui ini. Sejak awal, mereka sudah sepakat bahwa ini akan menjadi rahasia di antara mereka. Louis tidak sudi menikahi wanita lain selain istrinya dan ia tidak akan
"Aku pulang! Hanna! Gio!" Louis tiba di rumah malam itu. Alih-alih Indira, ia malah langsung mencari Hanna serta Gio. Namun, anehnya, rumahnya terlihat begitu sepi. Jam segini biasanya Indira memang belum pulang karena Indira sangat sibuk, tapi Hanna yang tidak bekerja, seharusnya di rumah. Begitu juga dengan Gio yang pastinya tidak betah berdiam di kamar. Bahkan, Louis sudah meminta Bik Yus menemani Gio bermain kalau anak itu ingin bermain di kolam renang. Bayangan berkumpul bersama Hanna dan Gio pun membuat Louis antusias pulang lebih cepat. Namun, Louis malah tidak menemukan siapa pun di kamar, tas Hanna pun tidak ada sampai membuat Louis panik sendiri. "Bik Yus! Bik Yus!" panggil Louis. Bik Yus yang mendengar suara Louis buru-buru naik menghampiri Louis. "S-selamat malam, Pak Louis." "Mana Hanna dan Gio?" "Itu ... itu ...." Louis langsung mengernyit melihatnya. Ia masih menenteng mainan yang baru ia beli untuk Gio. "Ada apa? Ke mana mereka?" "Mereka ... Hanna sudah perg
"Tidur di mana kau semalam?" Pagi itu, Hanna kembali masuk bekerja. Namun, kali ini, Gio dititipkan pada ibu kos yang baik dan Hanna pun bisa tenang. Begitu Hanna masuk ke ruangan Indira, suara Indira langsung menyapanya, terdengar dingin, tapi juga penasaran. "Aku tidur di kos Susan, Bu." "Bagus! Aku lebih suka kau yang mandiri seperti itu, Hanna. Jangan menyusahkan orang lain, apalagi itu adalah bosmu sendiri. Kau sadar kalau kau sudah terlalu banyak berhutang pada kami kan?" "Aku tahu, Bu. Jangan khawatir, aku sadar diri.""Baguslah! Aku suka kau yang kembali seperti dulu. Dan tentang perjanjian itu, kita akan membicarakannya lagi. Tapi setelah semua yang terjadi, ada beberapa hal yang harus kutegaskan padamu!" Indira yang tadinya duduk bersandar mulai memajukan posisinya dan menatap Hanna lekat-lekat. "Kau sudah bersikap berlebihan, Hanna! Bukan hanya sikapmu, tapi semuanya. Ranah yang seharusnya bukan ranahmu, kau berusaha keras memasukinya." Tatapan Hanna goyah dan ia me
Louis terus menatap ponselnya malam itu. Ia mengirim pesan pada Hanna sejak sore, tapi wanita itu hanya membaca tanpa membalasnya. "Berani sekali dia tidak membalas pesanku?" geram Louis. Sejak pergi tadi pagi, perasaannya tidak tenang. Entah mengapa ia ingin sekali menghabiskan waktunya dengan Hanna dan Gio. Louis menyukai Gio dan ia juga suka berdekatan dengan Hanna. Ia tidak berpura-pura lagi sekarang. Dan meninggalkan mereka saat keduanya baru saja pindah ke rumahnya itu terasa sangat berat. "Semoga saja Indira tidak melakukan hal yang aneh-aneh lagi!" geram Louis tanpa henti. Refi yang melihatnya sampai mengernyit sendiri. "Apa ada yang Anda pikirkan, Bos? Bukankah pertemuannya berjalan dengan lancar tadi?" "Ya, syukurlah pertemuannya berjalan lancar. Tapi bagaimana dengan rumah Hanna, Refi? Kau sudah punya data tentang para preman brengsek itu?" "Ah, sudah, Bos! Aku tidak tahu di mana makhluk bernama Tama itu berada, tapi aku sudah tahu identitas para preman yang merebut
"Aku tidak bisa tinggal di sini, Pak. Aku akan mencari kontrakan saja," seru Hanna pagi itu saat Louis masuk ke kamarnya. Saat biasanya Louis tidak peduli pada keberadaan Hanna di rumah, sekarang Louis benar-benar berubah dan tidak segan lagi masuk kamar Hanna. Itu bagus, karena Hanna tidak berani keluar dan bertemu dengan Indira. Hanna pun sudah berpikir semalaman sampai ia tidak bisa tidur. Satu kesalahan besar yang ia lakukan adalah tetap tinggal di rumah ini. Louis sendiri langsung mengembuskan napas kesalnya. "Hanna, aku sudah bilang kau istriku kan? Jadi di mana aku tinggal, kau harus tinggal di sana juga," jawab Louis sambil mendesis agar Gio tidak mendengar ucapannya. "Tapi tidak bisa seperti ini, Pak!" "Apanya yang tidak bisa?" "Bu Indira ...." "Aku sudah mengatasinya, Hanna! Aku tidak mau mendengar kau minta pergi lagi. Lagipula kau mau pergi ke mana? Bagaimana dengan Gio?" Hanna menghela napas panjang dan tidak menyahutinya lagi. Percuma bicara dengan Louis karena
Indira dan Linda sudah duduk berdua di ruang makan setelah Louis pergi pagi itu. Louis pergi pagi-pagi sekali dan berpesan banyak hal pada Indira tentang Hanna. "Hari ini hari libur, jadi biarkan Hanna libur juga, jangan memberinya pekerjaan apa pun! Kakinya juga masih sakit. Lalu biarkan dia tinggal di sini dengan tenang, Indira! Tolong jangan mencari masalah dengannya, Indira. Aku harus pergi karena aku baru ingat ada pertemuan penting pagi ini. Tolong bekerja samalah!" Pesan Louis benar-benar membuat Indira murka sampai Indira pun memanggil Linda untuk berunding. Linda yang biasa berolahraga sangat pagi itu pun langsung datang ke rumah anaknya itu sambil menunggu kapan tuan putri itu akan bangun dari tidur panjangnya. "Tuan Putri belum bangun juga?" "Tentu saja dia tidur begitu nyaman di rumah bagus, Ibu." "Ck, Ibu sudah mengira hal ini akan terjadi, Indira! Awalnya hanya ibu pengganti, lama-lama dia meminta lebih! Ibu tidak percaya kalau Louis mendadak baik padanya dengan s
"Hati-hati, Hanna!" Louis kembali memapah Hanna sampai ke kamar Hanna di lantai atas. Refi yang menggendong Gio juga langsung membaringkannya di ranjang lalu ia segera keluar dari kamar itu. "Aku tahu Bu Indira sangat marah, Pak." "Tidak usah memikirkannya, dia sudah setuju kau tinggal di sini." "Itu tidak ikhlas, Pak." "Sudah kubilang tidak usah dipikirkan, Hanna! Istirahat saja!" Hanna sudah duduk di ranjangnya dan Louis berdiri di sampingnya. Tangan Louis pun mendadak membelai kepala Hanna sampai debar jantung Hanna memacu begitu kencang. Entah apa yang dipikirkan Louis sampai pria itu membelai Hanna begitu lembut. Namun, Hanna tidak berani berharap apa pun. Louis pun akhirnya meninggalkan Hanna. Dan alih-alih istirahat, Hanna malah tidak bisa tidur sama sekali. "Selamat datang di rumahku, Hanna."Ucapan Indira tadi terus menggema di benaknya. Nada suaranya memang manis, tapi sorot matanya begitu mengerikan. Kalimat itu bukanlah sambutan. Itu peringatan. Ancaman terselubun