“Diam! Bisa gak kalian serius!” bentak tuan Wilson, wajah sang kakek berubah menjadi serius. Sontak tawa Nathan dan Mike pun terhenti, keduanya saling bersitatap. Tiba-tiba wajah tuan Wilson menghangat, ia teringat lagi semua masa lalu yang telah terjadi di rumah besar itu.Dulu rumah itu selalu ramai, setiap akhir pekan ia dan istrinya memerintahkan anak menantu serta cucu-cucunya berkumpul. Mereka masak-masak, makan bersama dan anak-anak bermain bareng. Nathan dan Mike selalu bikin keributan, kadang mereka berantem tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. Bahkan di meja makan saja sering bikin gaduh, kalau sudah begitu hanya bentakan sang kakek yang bisa membuat mereka diam.Sekarang mereka sudah dewasa dan masing-masing punya kehidupan sendiri-sendiri, mereka juga tinggal jauh di kota lain. Rumah besar ini menjadi sepi, hanya dia dan para pelayan. Sesekali cucu-cucu perempuan dan anak menantunya datang, namun tidak seintens dulu.Nathan dan Mike tahu apa yang dipikirkan kakek mereka,
“Tunggu!”Tuan Wilson berseru, membuat Nathan, Mike dan tuan Carter terkejut. Ketiganya menatap sang kakek dan menunggu apa yang akan dikatakan kakek Nathan selanjutnya. Tuan Wilson menatap Nathan tajam, namun Nathan sama sekali tidak terpengaruh, wajahnya tetap terlihat tenang. Ia memang sudah siap menghadapi apa pun.“Menikah, kamu bilang? Apa semudah itu kamu bicara pernikahan? Apa kamu kira pernikahan itu hanya sebuah permainan?” tegas tuan Wilson sambil menatap Nathan, namun Nathan menanggapinya dengan tersenyum.“Yang bilang menikah itu sebuah permainan siapa, kek? Bukankah kakek-kakek ini yang membuat pernikahan sebagai permainan dulu, dengan membuat pernikahan kontrak yang palsu?”Kata-kata Nathan itu diucapkan dengan santai dan dihiasi senyuman, namun kata-kata itu penuh sarkas dan tajam menusuk. Wajah tuan Wilson menjadi gelap, namun ia tidak bisa berkata apa-apa, karena apa yang dikatakan cucunya itu benar. Untung saja Nathan sangat berbakti sehingga mau menerima begitu saj
“Syarat? Syarat apa?” tanya tuan Wilson bingung, ia menatap cucunya nyaris tak berkedip, begitupun dengan tuan Carter, ia sudah menduga kemungkinan jika Nathan tidak bersedia, andai pun ia mau pasti karena terpaksa, sebab Nathan sangat tidak bisa menolak permintaan sang kakek. Nathan meraih gelas dan meneguk minumannya, ia menghela napas lalu menatap kakeknya dan tuan Carter secara bergantian. “Kalau memang ingin aku melatih cucu Anda, ada beberapa syarat yang tidak boleh di langgar.” Nathan berkata sambil menatap langsung tuan Carter. “Katakan,” sahut tuan Carter. “Pertama, Bob harus mendengarkan kata-kataku, apa pun yang aku katakan, ingat aku tidak suka dibantah,” ujar Nathan. “Kedua?” tanya tuan Carter. “Yang kedua harus disiplin, mempunyai kemauan keras, bersungguh-sungguh dan tidak mudah mengeluh.” Nathan berhenti sejenak, ia menatap lurus pada tuan Carter yang sedang menyimaknya. “Dan yang ke tiga, yang sangat perlu Anda garis bawahi adalah tidak boleh ada intervensi kelu
"Apa? Dia bilang cucuku pria impotent?” Tuan Wilson bertanya dengan wajah memerah, sungguh suatu penghinaan baginya dengan mengatakan keturunannya impotent. “Yah begitulah, kek.” Mike menyahut. “Apa benar, Tan? Apa kalian yakin Sonya bilang begitu?” Tuan Wilson masih belum yakin, jika Sonya cucu sahabatnya akan menghina keturunannya seperti itu. “Benar,” jawab Nathan sambil mengangguk, “perempuan itu mengatakannya sendiri pada istriku, sebelum kami menikah.” “Jadi, istrimu dan Sonya saling mengenal?” “Yah, perempuan itu mengenal Ninaku, tapi dia tidak tahu kalau Nina adalah istriku.” Nathan berkata sambil tersenyum. “Maksudnya bagaimana?” tanya tuan Wilson bingung. Nathan menghela napas, ia melirik Mike yang dibalas dengan anggukan. Mike pun menceritakan mengenai Nina Evans, seorang CEO muda salah satu perusahaan yang sedang berkembang. Suatu hari, Sonya yang sedang kehabisan uang karena kalah judi, melelang sebagian sahamnya di Wils, dan Nina yang membelinya. Sejak saat itu So
“Apa, Kek? tetap dirahasiakan?” ujar Nathan terkejut, ia menatap sang kakek dengan bingung. Semula ia merahasiakan pernikahannya untuk mencegah supaya tidak digagalkan oleh Sonya, dan sekarang Nathan merasa sudah tidak perlu lagi merahasiakan. Namun mengapa sang kakek memintanya untuk tetap merahasiakan?“Ya, rahasiakan. Aku ada suatu rencana.” Kakek wilson menjawab dengan santai.“Rencana? rencana apa, Kek?” tanya Nathan penasaran. Kakek Wilson menoleh pada Nathan, lalu kembali membuang pandangannya menatap lurus ke depan.“Ketika kalian membuat rencana untuk pernikahan kalian, termasuk membuat trik untuk Sonya, apa kalian memberitahukan orang tua ini?” Kakek Wilson berkata acuh.“Oh, jadi kakek dendam nih ceritanya?” Mike menimpali.“Terserah kalian mau bilang apa.”“Baiklah, Kek. Aku akan ikuti permainan kakek. Tapi ingat, jangan sampai mengusik Ninaku, karena dia adalah hidupku. Mengusiknya berarti mengusik seorang Nathan. Aku tidak akan pernah segan menentang siapa pun yang bera
Wajah Nathan berubah murung, meskipun tidak terlalu kentara namun Nina bisa merasakan dan melihatnya dengan jelas. Hanya saja Nathan segera menutupi semuanya dengan senyuman, ia menjawab dengan santai apa yang ditanyakan istri dari pamannya itu. Nyonya Evelyn, yang merupakan ibu dari Christy menanyakan tanggapan sang kakek mengenai pernikahannya, karena sudah menjadi rahasia umum dalam keluarga besar Nathan, mengenai kontrak pernikahannya dengan Sonya, cucu dari sahabat sang kakek. Nathan sempat terdiam sebelum akhirnya dia tersenyum. “It’s Ok auntie, semua baik-baik saja. Sekarang kontrak dengan keluarga Charter sudah berakhir, besok sebelum kembali ke NYC aku akan membawa istriku bertemu kakek.” Baik Christy maupun ibunya tidak menyadari perubahan sikap Nathan tadi, namun tidak dengan Nina, ia merasa Nathan menutupi sesuatu, hanya saja ia tidak akan menanyakan hal itu dihadapan Christy dan ibunya, jadi Nina pun berusaha tersenyum meskipun ada kegugupan di hatinya. “Kakek itu hany
"Siapa orang tuamu? Apakah ayahmu juga seorang pebisnis?" tanya kakek Wilson sambil menatap Nina, Nathan segera merangkul istrinya yang terdiam, ia mengusap-usap bahu sang istri dengan lembut. Nathan tahu, masalah itu sangat sensitif bagi Nina. “Ibunya adalah Katherine Thompson,” sahut Nathan “salah satu chef ternama di negeri ini.” Tatapan kakek Wilson berpindah kepada Nathan, “aku sedang bertanya pada istrimu, Tan. Kenapa kamu yang jawab?” “Kek, aku dan istriku adalah satu. Suaraku adalah suara istriku, dan suara istriku adalah suaraku, bukan begitu, sayang?” Nathan menatap istrinya mesra, Nina tersenyum sambil mengangguk. “Tidak apa-apa, my king. Kakek ingin aku yang jawab.” Nina menatap kakek Wilson dengan tenang, ia sudah bisa mengontrol dirinya kembali. “Mom adalah Katherine Thompson dari Michigan, setelah menikah pindah ke New York.” Berkali-kali Nina menghela napas. “Tapi sekarang Mom sudah beristirahat di sisi Tuhan, karena kecelakaan beberapa tahun lalu.” Suara Nina ter
Pagi itu, Nina berangkat ke kantor dengan suasana yang berbeda. Kali ini dia keluar dari kediaman suaminya. Semula Nathan mengajaknya untuk berangkat bersama, namun Nina menolak, karena sebagaimana permintaan sang kakek, pernikahan mereka masih harus dirahasiakan. Setelah menyelesaikan sarapan bersama Nathan, Nina berangkat lebih dulu bersama Emi. Kali ini ada sedikit berbeda dengan penampilan wanita muda itu. Biasanya ia ke kantor hanya mengenakan kemeja dan rok pendek, tapi kali ini ia mengenakan setelan blazer dan rok pendek warna ivory yang merupakan warna favoritnya. Rambut panjangnya disanggul dengan gaya french braid, sangat anggun dan mempesona. Selang beberapa saat setelah Nina pergi, Nathan pun berangkat bersama sang asisten, Bill. Sebenarnya Nathan sangat ingin berangkat bersama dengan istri tercinta, dan mengenalkannya dengan bangga kepada seluruh staf dan karyawan Wils, inilah nyonya Nathan. Namun ia masih harus memendam keinginan itu, demi menuruti perintah sang kakek.
Nathan tertegun, “Maaf, maksudnya bagaimana?” “Begini, Sir. Saya adalah president direktur di salah satu perusahaan di Belfast, jadi saya bisa dengan mudah memberikan Anda jabatan di perusahaan saya, sehingga Anda tidak menganggur di sini.” Pria itu berkata dengan bangga, ia adalah suami dari salah satu sepupu Nina yang tidak memiliki peranan di Kastil O’Meisceall, ia bisa hadir di acara itu karena sang istri mendapat undangan, sebab ayahnya adalah salah satu sepupu Lord Arthur. “Oh, terima kasih atas penawaran dan kebaikan Anda.” Nathan menjawab sambil tersenyum, meskipun jauh di hatinya ia kesal, karena secara tidak langsung mereka menuduh Nathan menumpang hidup pada keluarga istrinya. Secara kebetulan Aran mendengar pembicaraan lelaki itu, ia merasa berkewajiban meluruskan semuanya. “Haha, apa yang kau tawarkan pada Sir Nathan Wilson tadi?” Aran tertawa sambil mendekati Nathan dan pria tadi, tentu saja tawa Aran itu mengundang perhatian yang lain, sehingga mereka semua menoleh
“Tan, kamu harus segera kembali ke Philly.” Kakek Wilson meminta Nathan kembali. Nathan tertegun, mengapa kakeknya memintanya kembali. Sang kakek pun menjelaskan kalau ia sudah berunding dengan paman dan tante Nathan akan mengadakan perayaan atas kehamilan Nina. Karena ini adalah cicit pertamanya dan cucu pertama mereka. “Ya ampun aku kira ada apa, Kek.” Nathan tertawa mendengar penjelasan kakeknya. “Tapi maaf kek, aku dan istriku belum bisa kembali dalam waktu dekat ini, karena saat-saat ini adalah saat-saat rawan untuk kehamilan istriku, ia akan kelelahan melakukan penerbangan jauh.” Terdengar helaan napas kakek Wilson. “Apa kondisi Nina kurang bagus?” “Oh, semuanya bagus, kek. Di sini aku tidak perlu khawatir, karena di Kastil ini ada dokter dan perawat keluarga yang mengawasi dengan ketat, termasuk makanan untuk istriku pun dibuat khusus dengan nutrisi yang tepat untuk usia kehamilan istriku. Selain itu, di sini juga aku tidak perlu khawatir ada orang-orang yang berniat tidak b
“Hal penting, hal penting apa Nathany?” tanya Nina bingung.“Sayang, sebulanan ini kita full bercinta, tidak ada libur semalam pun.”“Kamu bosan, Nathany? Atau lelah?” potong Nina cepat, keduanya adalah pasangan muda yang masih sangat bergairah dalam berhubungan intim.Nathan terkekeh mendengar komentar istrinya. “Bagaimana mungkin aku bosan, sayang. Kamu tahu sendiri kan, aku sering minta nambah.”“Hm, terus?” Nina bingung dengan sikap suaminya.“Aku hanya heran untuk bulan ini, buan-bulan sebelumnya aku biasa libur seminggu di awal bulan, menunggu tamu bulananmu selesai, tapi bulan ini ...”“Nathany.” Nina tersentak mendengar suaminya menyinggung soal tamu bulanan, ia segera bangun dan mengambil ponselnya untuk melihat kalender bulanannya.“Ya Tuhan! Nathany!” Nina terpekik seraya menutup mulutnya.“Kenapa, sayang?” Nathan bangun dan ikut tegang.“My Hubby Baby, aku sudah telat 6 hari,” ujar Nina gembira.“Oh, benarkah?” Nathan terkejut, Nina mengangguk sambil menunjukan jadwal kale
“Dad...” Aran bergumam, matanya berkaca-kaca melihat sang ayah terlihat gagah dan sehat. Sungguh suatu keajaiban. Sebelumnya, sang ayah terlihat tak berdaya, jangankan untuk bisa berjalan seperti itu, untuk bangun saja harus dipapah.Lord Arthur tersenyum pada Aran dan Nathan hangat, ia pun menuju kursi tempat duduknya di tengah-tengah, sedangkan Nina duduk di sebelah kanan di dekatnya, Nathan duduk di samping Nina. Aran duduk berseberangan dengan Nina, ia berada di sebelah kiri ayahnya.“Maaf ya kalau kalian lama menunggu, tadi babby Aliceku tertidur,” ucap Lord Arthur tersenyum sambil melihat Nina yang juga tersenyum malu.“Tidak apa-apa, Dad. Aku sangat bahagia melihat kondisi Daddy sekarang, sungguh suatu keajaiban.” Aran berkata dengan antusias.“Itu benar, Aran. Kita akan merayakan kedatangan Lady Maxwell, sekaligus pengukuhan gelarnya dan pencatatan namanya di daftar keluarga Maxwell.”Lord Arthur berkata dengan penuh semangat, ia memerintahkan Fred untuk mempersiapkan segala s
“Masalahnya, aku curiga dengan istriku, kak.” Nathan berujar sambil menatap kakak iparnya, wajah tampannya terlihat serius. Wajah Aran pun tak kalah serius melihat adik iparnya seperti itu, curiga? Curiga apa?“Maksudnya bagaimana? Curiga sama Alice? Curiga dalam hal apa?”Rentetan pertanyaan meluncur dari mulut bangsawan muda itu. Nathan menghela napas, ia menjelaskan kalau Nina masih muda, energik dan bukan tipikal wanita manja yang suka mengeluh. Sejak kecil, ibunya telah melatihnya untuk bisa mandiri. Ia selalu tahan menghadapi kesulitan apa pun tanpa pernah mengeluh. Kalau hanya naik turun tangga, itu bukan hal yang bisa membuatnya mengeluh.Dari semenjak Nathan mengenal Nina, tidak pernah wanita itu mengeluh hal apa pun padanya, mereka memang suka mendiskusikan berbagai hal, namun bukan sebagai keluhan. Namun, Nathan ingat, Nina pernah mengeluh sering lelah, gampang merasa capek dan inginnya bermalas-malasan di kamar. Dan itu terjadi beberapa hari sebelum insiden penabrakan terj
Nina dan Nathan tertegun, berita penting? Berita penting apa? Bukankah jamuan makan malam masih akan berlangsung satu jam lagi? Nina dan Nathan segera menemui tuan Fred, lelaki itu diutus secara pribadi oleh Lord Arthur untuk menjemput Nina ke ruangan pribadinya. Nina tertegun, jantungnya berdetak tak menentu, hal yang telah lama ia nanti-nantikan, bertemu langsung dengan sang ayah sebagai anak dan ayah. Nathan bisa merasakan kegelisahan sang istri, ia menepuk bahu Nina dengan lembut, lalu menggenggam erat tangan Nina yang mulai terasa dingin. Nathan mengangguk sambil tersenyum untuk memberikan dukungan. “Ayo sayang, ini waktu yang sekian lama kamu tunggu-tunggu. Aku akan menggendongmu sampai ke bawah.” Nathan mengelus sang istri dengan lembut, Nina mengangguk, support dari sang suami telah membuatnya tenang. Nathan menggendong Nina menuruni anak tangga, meskipun Nina menolak namun Nathan langsung membopong sang istri. “Silahkan sayang, aku akan menungggumu di depan paviliun ini s
Tiba-tiba, Nina merapatkan tubuh pada suaminya. “Nathany, apa aku bermimpi?” bisik Nina. “Kenapa, sayang?” balas Nathan heran. “Bangunan di depan kita ini seperti ilustrasi di cerita-cerita dongeng.” Nina menatap bangunan tinggi yang berdiri di hadapannya, ada beberapa menara menjulang di tiga sisi. Cahaya terpancar dari setiap jendela yang terlihat di keseluruhan bangunan yang terbuat dari batu alam yang kokoh itu. “Namanya kastil-kastil kuno Eropa ya begini, sayang. Para illustrator kan membuat gambar berdasarkan gambaran real yang pernah ada, lalu mereka menambahkan imajinasi untuk memperkaya kreasi mereka.” Nathan menjelaskan sambil ikut menatap bangunan kuno namun megah itu. “Lho kalian kenapa berdiri di sini?” Aran menghampiri mereka yang masih belum beranjak, padahal kendaraan yang mengantar mereka sudah pergi. “Kami takjub dengan pemandangan kastil ini, kak. Benar kan, sayang?” Nathan menjawab yang ditimpali dengan anggukan Nina. “Sepertinya, usia kastil ini sudah cukup t
“Takut? Takut kenapa, my love?” Nathan tertegun, ia menatap sang istri, dan terlihat kegugupan di wajah cantik itu. “Bukankah ini adalah saat-saat yang sudah lama kamu nantikan, bertemu dengan ayah kandungmu.” “Benar Nathany, aku memang sangat merindukan Daddy, tapi aku bingung apa yang harus aku lakukan nanti, apa yang harus aku katakan? Aku takut nanti malah menjadi asing dengan ayahku sendiri.” Nina menghela napas pelan, pertanyaan demi pertanyaan melintas di pikirannya. “Kamu tahu kan, Nathany. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya pelukan seorang ayah, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi dan berbakti pada seorang ayah.” Nathan terdiam mendengar ucapan istrinya, bagaimanapun ia lebih beruntung dari Nina karena selama delapan belas tahun Nathan hidup dalam kasih sayang kedua orang tua lengkap, jadi ia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Sedangkan Nina, ayahnya meninggalkannya saat ia baru berumur 1 tahun, belum ada memory yang tertinggal di ingatannya tentang sa
“Will, lihat itu!” tukas tuan Carter, matanya tak lepas dari sepasang anak muda yang sedang berdansa diantara pasangan-pasangan lainnya. Kakek Wilson pun mengikuti arah tatapan sahabatnya, kakek Nathan itu tertegun.“Christy? Siapa anak muda itu? Apa mungkin teman kuliahnya?” gumam kakek Wilson.“Itu cucu perempuanmu kan, Will?” tanya tuan Carter memastikan, kakek Wilson mengangguk.“Kamu tahu siapa pemuda yang sedang berdansa dengan cucumu?” tanya tuan Carter lagi, ada riak kegembiraan di wajahnya, sedangkan kakek Wilson hanya mengedikkan bahu.“Itu Bob, cucukku,” jawab tuan Carter sambil tersenyum.“Oh, itu yang namanya Bob?”“Yeah, benar Will. Aku memang belum sempat mengenalkan padamu, selama ini dia sibuk belajar di luar negeri, pas kembali langsung aku suruh memegang perusahaan dibawah bimbingan Nathan.”Kakek Wilson manggut-manggut, tapi bagaimana keduanya bisa saling mengenal dan terlihat langsung akrab begitu? Kedua kakek itu pun heran. Dulu mereka susah payah untuk menyatuka