Gwen mengangkat telepon dari Jill sebelum wanita itu hilang kesabaran. Gwen sadar kalau Jill bisa menggerutu dari Sabang sampai Merauke hanya karena dirinya lama merespon teleponnya. Dan karena saat ini Gwen sedang tidak ingin mendengar ceramah dari siapapun, terlebih lagi ceramah dari Jill yang biasanya memang unfaedah sama sekali, jadi lebih baik mengangkatnya segera mungkin.
“Halo, Jill?”Tidak ada jawaban, hanya ada isak tangis kecil yang Gwen dengar. Rasa cemas menyerbu hatinya, sadar kalau masalah yang Jill alami tidak dapat dilalui dengan mudah, bahkan perbincangannya dengan sang papa mungkin saja berlangsung panas. Mengingat ayah dan anak itu sama-sama keras kepala!“Jill? Are you okay?”Namun detik selanjutnya Gwen mengutuk pertanyaannya yang terdengar begitu bodoh. Orang lagi nangis gitu masa iya ditanya ‘are you okay?’ pasti jawabannya nggak okelah! Kalau oke nggak mungkin nangis kan? Dasar Gwen bodoh!Rasanya kecerdasan Gwen seolah lenyap karena seoGwen merasa dunia di sekitarnya hening atau hanya hatinya yang hening? Entah! Informasi yang baru saja disampaikan oleh Jill membuat Gwen membeku, tidak tau harus merespon apa. Sungguh, Gwen tidak menyangka kalau Matthew akan berangkat ke Amerika secepat ini. Gwen pikir dirinya masih memiliki kesempatan.Tapi ternyata benar kalau kesempatan memang tidak datang dua kali dan sayangnya Gwen telah mengabaikan kesempatan yang datang padanya. Mengabaikan usaha Matthew untuk menghubunginya. Bodoh!Ternyata ucapan Jill benar. Matthew memang pergi ke Amerika secepat ini! Harapan Gwen untuk dapat bertemu Matthew harus pupus! “Gwen?” panggil Jill cemas.Gwen tersentak kaget saat mendengar panggilan Jill. Pelan memang, tapi karena Gwen sedang memikirkan hal lain, memikirkan Matthew dan keberangkatannya lebih tepatnya, maka Gwen tetap terlonjak kaget.“Ya?” jawab Gwen linglung yang langsung disadari oleh Jill kalau sahabatnya pasti sedang shock akibat berita barusan.“Lo
Jill mematut diri di depan cermin, meski malas, tapi Jill tidak ingin membuat papanya malu. Jadi dirinya harus tetap tampil maksimal atau setidaknya jangan malu-maluin! Kasihan papanya nanti. Apalagi ini berhubungan dengan masalah bisnis yang bisa dibilang acara formal! Benarkan?“Sudah siap?”Jill mengangguk, malas menjawab, setelah perbincangan terakhir dengan papanya, Jill masih terlibat perang dingin. Enggan menjawab jika tidak terpaksa. Masih merasa kesal dengan keputusan sepihak yang diambil oleh papanya, padahal itu untuk masa depan Jill!Papa Edbert hanya bisa mendesah pelan, sadar kalau Jill masih begitu kesal padanya, tapi tidak berucap apapun, tidak ingin menyulut pertengkaran kembali. Tidak disaat mereka hendak menghadiri satu acara penting.Mereka tiba di lokasi acara beberapa waktu kemudian, Jill memandang sekeliling, ke area tempat diadakannya pesta sederhana. Tidak semegah rumah Revel pastinya, tapi tetap terasa cukup nyaman untuk pesta sederhana sepe
Jill menguatkan diri untuk melanjutkan langkahnya, pergi begitu saja, tidak peduli kalau nanti orangtuanya akan mencari dirinya. Saat ini Jill perlu udara segar untuk melegakan hatinya agar tidak sesak seperti ini.Jill berjalan cepat dan di saat kakinya sudah begitu lelah, sebuah taksi muncul bagaikan dewa penolong. Jill menghentikan taksi dan menyebutkan alamat rumah Gwen. Saat ini Jill tidak mungkin pulang ke rumah. Tidak mungkin sanggup bertemu dengan papanya!Gwen menyambut kedatangan Jill dengan pekikan kaget. Kenapa sahabatnya terlihat sekacau ini? Apa yang sudah terjadi? Begitu banyak pertanyaan yang berkelebat di dalam otak Gwen, namun gadis itu sadar tidak bisa memborbardir Jill dengan pertanyaan saat ini. Gwen harus memberikan Jill waktu untuk menenangkan diri.Jill termenung di dalam kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang terasa begitu lengket karena sudah banyak berjalan sebelum menemukan taksi tadi. Mengabaikan tatapan bertanya-tanya yang dilontarkan oleh
Jill begitu gelisah dalam tidurnya, sepertinya saat mengetahui kalau Alvaro adalah pria yang dijodohkan dengannya membuat Jill dihantui mimpi buruk, tidak heran Jill terbangun dalam kondisi hati berdebar kencang, bahkan peluh membasahi keningnya. Dan saat itulah Jill menyadari kalau Gwen hilang entah kemana karena tidak ada di sampingnya. Kemana anak itu? Jill memicingkan mata ke arah jam digital dan terheran, sudah hampir tengah malam tapi sahabatnya itu kemana? Kenapa tidak ada di ranjang? Jill melirik ke arah kamar mandi, tapi pintunya terbuka lebar, jadi Gwen tidak mungkin ada di dalam sana. Dan ujung mata Jill menangkap gerakan samar dari arah balkon.Meski malas, tapi Jill tetap menyibak selimut dan melangkahkan kaki ke arah balkon, hendak meyakinkan diri kalau memang Gwen yang ada di sana. Keadaan yang cukup gelap membuat Jill tidak dapat melihat dengan leluasa, tapi dirinya yakin kalau Gwen sedang berbicara di telepon. Yang Jill tidak tau adalah dengan sia
“Mungkin kita bisa undang Mr. Bobby untuk makan malam bersama?” usul Claire membuat Revel tersedak air yang sedang diminumnya.“Makan malam bersama? Buat apa, Ma? Mama setuju kalau aku dijodohkan dengan Jessie?” tanya Revel kesal.“Kamu tuh udah marah-marah aja!” sungut Claire, kesal saat Revel salah sangka padanya, padahal Claire sama sekali tidak ada maksud seperti itu!“Terus kenapa?”“Di saat makan malam itu Mama akan tegaskan kalau di keluarga kita tidak akan pernah ada perjodohan! Dengan siapapun! Mama dan Papa sepakat tidak akan pernah melarang kalian untuk memilih pasangan hidup kalian masing-masing kan? Dan Mama akan memberitahu Mr. Bobby secara langsung agar pria itu mundur. Atau kalau Mr. Bobby masih bersikeras dengan rencana busuknya, maka Papa kamu harus memutuskan kerjasama dengannya!” jelas Claire sambil menatap tajam ke arah Levin.“Kamu ngerti maksud aku kan, Levin?” tanya Claire memastikan.Levin mengangguk, tentu saja paham, Claire tidak ak
Mama Lea menoleh kaget menatap Jill, tidak menduga kalau penyebab kandasnya hubungan mereka adalah karena Alvaro selingkuh. Pantas Jill tampak membenci Alvaro! Sedangkan papa Edbert terdiam mendengar ucapan Jill.“Jangan mengada-ada, Jill!”“Aku tidak mengada-ada, Pa! Memang itulah kenyataannya! Jika tidak, aku tidak akan mungkin memutuskan hubungan dengan pria yang sudah aku kencani selama tiga tahun terakhir! Alvaro lah yang membuatku mengambil keputusan itu!”“Pasti ada kesalahpahaman di antara hubungan kalian. Bisa saja ada yang tidak suka dengan hubungan kalian dan menjebak Alvaro, Jill! Papa tidak percaya kalau Alvaro akan melakukan hal buruk seperti itu pada kamu!” bela papa Edbert, tidak percaya pada ucapan putri semata wayangnya.“Tidak mungkin, Pa! Aku memergoki langsung apa yang Alvaro lakukan saat itu! Jadi aku tidak mungkin salah!” bantah Jill.“Jill….”“Jangan membela pria brengsek itu lagi, Pa!” sela Jill cepat.“Kamu…”“Aku tetap pada
“Apa anda berniat untuk menjodohkan putri anda dengan putra saya, Mr. Bobby? Makanya anda merasa tersinggung dengan ucapan saya barusan?” cecar Claire, tidak ingin menyerah untuk mendapatkan jawaban secara terang-terangan.Mr. Bobby dilema, apakah dirinya harus mengakui rencananya? Atau menyangkalnya saja agar kerjasama mereka dapat tetap berjalan lancar? Bukankah tadi Mrs. Claire bilang kalau dirinya bisa meminta suaminya untuk membatalkan kerjasama di antara mereka? Jika begitu, bukankah dirinya yang akan merugi karena melepaskan kerjasama dengan perusahaan yang paling berpengaruh hanya karena ambisinya untuk menjodohkan Jessie dengan Revel? Tidak bisa! Kerjasama itu harus tetap berjalan atau dirinya sendiri yang akan rugi besar! Sebagai pengusaha, dirinya pasti tidak mau rugi!Apalagi dirinya juga memang belum mengatakan niatnya secara resmi, baru hanya sekedar omongan dengan istri dan putrinya saja. Jadi masih ada kesempatan untuk menutupi dan menyangkalnya! Ya, beg
Jill menatap papa Edbert dengan raut terluka, hilang sudah rasa hormatnya kepada sang papa. Yang kini Jill rasakan hanyalah rasa benci! Benci pada ayah kandungnya sendiri yang sudah tega menampar dirinya!“Jill….” lirih papa Edbert saat dirinya sadar kalau sudah melakukan hal yang tidak seharusnya. Bagaimana bisa seorang papa menyakiti putrinya sendiri? Papa Edbert ingin mengucapkan kata maaf, namun lidahnya kelu. Ego dan harga dirinya sebagai seorang papa menghalangi niatnya untuk mengatakan hal itu!Namun Jill bergeming, meski air matanya mengalir turun, tapi nada suaranya masih terdengar begitu tegas dan jelas, bercampur sakit hati.“Papa nggak perlu bilang apapun lagi, akhirnya sekarang aku tau kalau buat Papa yang terpenting hanyalah perusahaan! Kalau begitu anggap saja kalau aku sudah mati! Anggap saja kalau Papa tidak pernah memiliki anak sepertiku!” geram Jill dan langsung berderap pergi tanpa menoleh sedikitpun meski kedua orangtuanya memanggil namanya berulang
Satu tahun kemudian…Di salah satu hotel bintang lima terlihat dekorasi yang begitu mewah namun terkesan elegan, tidak norak. Jill memasuki ballroom sambil menggandeng lengan Revel yang sedang menggendong baby Luiz. Di umur yang hampir menginjak tiga tahun, baby Luiz terlihat semakin tampan, mengikuti wajah Revel.Di belakang mereka ada seorang baby sitter sambil mendorong stroller kosong, untuk jaga-jaga jika Luiz mengantuk di tengah acara pesta. Sejak beberapa bulan yang lalu, Jill akhirnya menyerah pada bujukan Revel dan mengikuti keinginan suaminya yang tidak tega melihatnya kelelahan jika harus mengurus Luiz sendirian.‘Aku nggak mau kamu terlalu capek dan jatuh sakit, Baby. Apalagi selain mengurus Luiz, kamu juga masih harus mengurusku.’Ya, sejak menikah dengan Revel, Jill memang ingin mengurus keperluan suami dan anaknya sendiri, bahkan dirinya sampai rela berhenti kerja hanya untuk mengurus rumah tangganya. Jill lebih memilih menjadi ibu rumah tangga daripad
Beberapa bulan kemudian….Revel menatap bangga pada putranya yang semakin pintar, lucu dan menggemaskan. Disela-sela kesibukannya sebagai seorang pengusaha, bermain dengan buah hatinya merupakan kebahagiaan tersendiri untuk Revel. Dan sekarang di waktu santai, itulah yang dirinya lakukan.Bermain dengan Luiz sepuasnya sekalian menggantikan tugas Jill menjaga anak meski hanya sementara. Perhatian Revel beralih dari Luiz kepada Jill yang baru saja memasuki ruang keluarga dengan piring buah di tangannya. Hal yang memang biasa dilakukan setiap hari. Makan buah agar sehat.Senyum lebar mengembang di wajah cantik Jill yang tampak polos, tanpa adanya jejak make up sama sekali, namun tidak menutupi kecantikan alami yang terpancar jelas. Kecantikan yang membuat Revel tidak bisa mengalihkan pandangan barang sedetik pun dari istrinya. Dari dulu.“Hei, kamu lagi main apa sama Papa? Kok senang banget sih?” tanya Jill sambil menggoyangkan tangan kecil Luiz. Tidak ada jawaban
“Jadi siapa nama cowok yang kemarin, Jill?” cecar Jessie tidak sabar saat datang ke rumah Jill pagi-pagi, persis dengan gaya ibu-ibu komplek yang begitu penasaran akan gossip terbaru! Tidak ingin ketinggalan berita! “Cowok? Oh yang itu! Masa lo nggak kenal sih? Bukannya udah pernah ketemu ya pas pergi sama gue?” tanya Jill masih tidak percaya kalau Jessie tidak mengenal pria yang kemarin membuat gadis itu sampai ternganga takjub!“Mana ada? Belom lah! Kalau udah gue nggak mungkin lupa sama cowok ganteng begitu!” sanggah Jessie yakin, mengulang ucapannya kemarin.“Masa iya sih?” tanya Jill sambil mengusap dagunya pelan, berpikir keras.“Jangan kebanyakan mikir! Cepet kasih tau gue siapa namanya? Gue udah penasaran dari kemarin tau!” cecar Jessie lagi membuat Jill berdecak sebal karena seperti sedang dikejar oleh debt collector!“Tuh cowok namanya Jayden! Dia temen gue yang kerja sebagai bartender!”“Bartender?” ulang Jessie lemas. Seolah harapannya untuk
Matthew menatap Gwen yang baru saja selesai mandi. Akhirnya malam ini mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Hal yang tidak berani Matthew bayangkan sebelumnya, terlebih saat mengingat waktu Gwen menjauhinya dulu, begitu membuatnya frustasi. Apalagi istrinya itu sangat sulit dibujuk!Hati Matthew menghangat saat melafalkan kata ‘istri’ meski hanya dalam hati. Dadanya bergemuruh dipenuhi euphoria yang bernama kebahagiaan. Matthew masih asyik dengan pikirannya saat Gwen bertanya dengan nada heran,“Kamu belum mau mandi?”“Ini aku baru mau mandi,” jawab Matthew agak kikuk, belum terbiasa berada berduaan dengan wanita yang telah resmi menjadi istrinya hari ini dalam satu kamar. Gwen mengambil hairdryer dan mengeringkan rambut, tidak ingin tidur dalam keadaan rambut basah karena bisa bikin kepalanya sakit nanti. Gwen sedang fokus dengan rambut dan hairdryer di tangannya saat tangan Matthew memeluk pinggangnya dari belakang. Refleks wanita itu memekik kaget!“Asta
Lamunan Revel mengenai perusahaan pupus saat melihat Jill menggeliat dan membuka matanya perlahan, berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya matahari sore yang menerpa indera penglihatannya. “Hei, kamu udah pulang dari tadi?”“Nggak kok, baru aja. Kamu pasti capek banget sampe ketiduran gini.”“Nggak juga kok, cuma anginnya enak aja bikin aku ngantuk dan ketiduran,” kilah Jill tidak ingin membuat Revel khawatir dan malah menambah beban pikiran sang suami yang pasti sudah begitu banyak, apalagi dengan masalah perusahaan yang pasti tidak akan pernah ada habisnya.Revel hanya mengangguk, sadar kalau Jill tidak ingin membuatnya khawatir.“Jadi gimana kantor hari ini? Banyak kerjaan?”“Ya begitulah, setiap hari pasti ada aja.”“Tapi nggak ada masalah kan?”“Nggak kok, semuanya aman. Kamu tenang aja, okay?”Jill mengangguk, menggendong baby Luiz perlahan agar tidak membuatnya terbangun dan membaringkannya di baby box.Beberapa bulan kemudian…
Dokter dan suster yang melihat kejadian itu tidak urung menatap Revel dengan raut kasihan tapi juga geli. Revel yang menyadari kalau mereka hampir terbahak melihat apa yang terjadi barusan hanya bisa menunduk, karena lagi-lagi harus menahan malu akibat ulah istrinya! Nasib!Sejak dulu Jill memang sudah menjadi titik kelemahannya. Begitu juga kali ini, Revel harus rela menurunkan wibawanya di depan dokter dan suster yang bertugas. Revel sadar kalau sebentar lagi cerita mengenai dirinya yang dianiaya oleh Jill pasti akan tersebar luas! Tapi ya sudahlah, terima nasib aja! Siapa yang menyangka kalau Revel akan cinta mati pada wanita sebar-bar ini? Iya kan?“Selamat ya, Pak. Bayinya laki-laki dan terlahir sehat,” ucap dokter.Dengan penuh haru Revel menatap bayinya. Bayi yang merupakan perpaduan antara dirinya dengan Jill! Astaga! Bagaimana bisa Tuhan menciptakan bayi setampan ini? Memang sih, Revel sadar kalau dirinya tampan dan Jill juga cantik, tapi tetap saja dirinya
Revel berdecak gemas karena pertanyaannya malah dijawab asal-asalan oleh Jill! Padahal dirinya sedang bertanya serius! Sangat amat serius! Revel ingin segera tau hasil testnya! Revel ingin tau apakah usahanya hampir setiap malam sudah membuahkan hasil atau belum! Jika belum, Revel tidak akan bosan untuk terus berusaha sampai Jill positif hamil! Usaha yang akan Revel lakukan dengan senang hati karena sama-sama dapat enak! “Aku serius, Jill!” sergah Revel menahan sabar. Jill meringis saat Revel sudah memanggil namanya dengan nada seperti itu, tanda kalau pria itu sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya. “Itu kan yang muncul garis dua, yang artinya aku positif. Dan karena ini testpack kehamilan, berarti tandanya aku positif hamil, Revel. Bukan positif covid,” jelas Jill, tidak ingin diomeli oleh suaminya yang terkadang bisa bersikap menyebalkan juga. “Serius?” lirih Revel dengan suara tercekat, tidak percaya kalau akhirnya Tuhan ke
“Hmm…. Matthew kemarin ngajakin gue merit,” aku Gwen dengan suara lirih. Jill ternganga sejenak sebelum akhirnya memekik kaget.“What?! Lo serius?!” “Seriuslah!”“Brengsek juga tuh cowok!” omel Jill membuat Gwen mengernyit bingung. “Kenapa jadi brengsek, Jill?”“Ya brengsek lah! Masa ngomong soal pernikahan melalui video call sih? Itu kan hal serius, Gwen! Harusnya Matthew bahas soal itu face to face sama lo!” sungut Jill tidak terima. Untung Revel tidak melakukan hal itu, jika tidak, Jill pasti akan kesal!“Tapi lo tau sendiri kalau Matthew kan nggak mungkin datang ke Jakarta cuma buat ngajakin gue merit!” bantah Gwen membela kekasihnya. Gwen tidak terima waktu Jill mengatai Matthew brengsek. Enak aja!“Cuma lo bilang? Ngajakin lo merit bukan sekedar ‘cuma’, Gwen! Itu hal serius! Mana ada sih cowok yang ngelamar ceweknya melalui video call? Lagian dia bisa aja bahas soal itu langsung pas datang ke acara resepsi pernikahan gue sama Revel! Padahal dia ka
Dua bulan kemudian…..Revel memijat keningnya yang terasa pusing, sudah dua minggu terakhir ini pekerjaannya begitu menumpuk. Siapa yang mengira kalau mengurus perusahaan akan jauh lebih melelahkan dan memusingkan daripada kuliah? Tidak heran kalau papanya ingin pensiun dini dan memilih menikmati hari tua bersama mamanya!Tentunya saat Revel sudah bisa mengurus perusahaan sendiri nantinya! Bukan sekarang! Untung sampai saat ini papanya dan uncle Nick selalu membantunya, tidak membiarkan Revel melangkah seperti anak hilang sendirian! Revel berhenti memijat keningnya saat mendengar pintu ruangannya diketuk dan muncul wajah papanya.“Kamu kenapa, Revel? Kok keliatannya pusing banget?” “Emang aku lagi pusing, Pa!”“Kenapa? Ada masalah pekerjaan?”“Nggak sih, cuma kayaknya aku kebanyakan lembur jadinya agak drop,” jelas Revel.“Ya udah, malam ini jangan lembur dulu. Maksud Papa jangan lembur di kantor ataupun di rumah. Paham maksud Papa kan?” tanya Levin