Kavita tertegun sebentar setelah mendengar ocehan Deryl.
“Uang sekolah Karin, listrik, air, kebutuhan dapur juga ya ...” komentar Kavita sementara Yura hanya memeluk nampan dan tidak ikut berkomentar.“Iya, duh ... Jangan bilang kalau kamu lupa transfer!”“Bukan, aku sih tidak lupa—tapi ....”“Tapi apa, Vita? Cepat, jangan bikin aku menunggu!”“Menunggu apa?”“Menunggu ditagih lah! Kita bisa kena denda juga kalau telat bayar air dan listrik, Vit!”Kavita menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan supaya menimbulkan kesan bahwa dia sedang memikul beban yang jauh lebih besar dari seharusnya.“Vita, kamu kok diam saja?” desak Deryl lagi. “Mana uangnya?”“Aku capek sekali, Deryl.”“Kalau begitu habiskan dulu minumannya, ya?” sahut Deryl dengan nada semanis madu. “Biar capek kamu cepat hilang, Yura ini sangat pintar membuat teh!”Yura hanya melempar senyum paksa menanggapi ucapan suaminya.“Bukan itu, aku mau istirahat dulu. Kerja seharian itu berat, tahu.” Kavita melangkah pergi dengan gestur serupa nyonya rumah begitu dia lewat di depan Yura.Deryl berpandangan dengan Yura.“Ini pasti gara-gara teh yang kamu suguhkan kurang enak,” komentar Deryl seolah menyesalkan.“Kok aku yang disalahkan sih?” protes Yura tidak terima. “Yang seharusnya komplain itu aku, Ryl! Belum lama jadi istri kamu saja, aku sudah disuruh-suruh begini ... Memangnya aku pembantu?”Deryl langsung melunak ekspresinya.“Bukan begitu, Sayang! Kamu sama Vita itu sama-sama istri aku, makanya ....”“Terus kenapa kamu suruh aku untuk bikin minuman buat dia? Katanya aku juga istri kamu, itu artinya aku tidak layak melayani dia seperti pembantu.”“Yura!” desis Deryl sembari meletakkan jari telunjuk di bibir istri keduanya. “Jangan banyak protes, lebih baik kamu ikut mengelola toko saja. Lumayan lho keuntungannya ....”Yura tersenyum sinis. Awal dia menerima pinangan Deryl, tentu dia berharap diperlakukan seperti nyonya rumah sungguhan dan tinggal menerima uang bulanan tanpa perlu susah payah banting tulang di luar sana.Namun, belum apa-apa sudah diperintah membuatkan minum untuk kakak madunya.“Ihh, jangan suka nempel jari ke bibirku! Jari kamu bau rokok, Ryl!” dengus Yura sambil melipat tangannya dengan kesal.“Sudah ya, pokoknya kamu nurut saja. Aku juga seperti ini biar bisa rutin kasih nafkah kamu, Yura.”“Oh ya? Dulu kamu bilang kalau kamu buka usaha toko, terus kenapa kamu masih minta biaya listrik dan lain-lain ke Vita?”Deryl sontak tersenyum salah tingkah mendengar ucapan istri keduanya.“Karena ... ya karena aku menafkahi dia kan? Jadi tentu saja itu termasuk biaya listrik, air, dapur, dan macam-macam lagi!”“Hmm, tapi aku dengarnya tidak seperti itu tadi. Kamu jelas-jelas minta uang sama dia, jangan-jangan ke depan kamu juga akan minta uang dari nafkah yang sudah kamu kasih ke aku?” tanya Yura sambil bergelayut manja di lengan Deryl.“Tentu tidak, Sayang!”“Masa? Aku tidak mau ya kalau sampai hal itu terjadi? Pokoknya aku minta nafkah bersih, utuh, dan tidak tercampur sama biaya-biaya rumah tangga lainnya.”“Iya, aku kan juru keuangan di sini. Gampang lah, itu bisa aku atur buat kamu!”“Nah, begitu kan enak!”Di balik tembok, Kavita masih berdiri bersandar dan mendengarkan percakapan kedua insan yang sedang dimabuk cinta itu dengan saksama.Jadi begitu, batinnya dengan tangan terkepal dan dada bergemuruh. Aku yang selama ini kerja keras, tapi justru mereka berdua yang berencana akan memetik seluruh hasil panennya.“Lihat saja nanti,” gumam Kavita sembari melanjutkan langkahnya menuju kamar.Sejak dia menyaksikan sendiri bagaimana Yura menginjakkan kakinya di kamar utama, bahkan selancang itu bermain cinta di atas ranjang yang seharusnya dia tempati, detik itu juga Kavita tidak sudi lagi untuk tidur di sana.Beruntung, rumah yang dia cicil bersama Deryl memiliki satu kamar ekstra yang selama ini difungsikan sebagai ruang kerja. Alih-alih mengusir si adik madu untuk menempati kamar Karin, justru Kavita yang memilih untuk menyendiri di ruang kerja miliknya.Sambil duduk bersandar, Kavita menuliskan pesan untuk atasannya.[Maaf, Pak. Malam ini saya tidak pulang]Setelah pesan itu berhasil dikirim, Kavita meletakkan ponselnya di atas meja dan memeriksa buku keuangan yang dia tinggalkan dengan harapan supaya Deryl tekun mencatat pemasukan dan pengeluaran toko yang dirintisnya.Namun, hal itu ternyata tidak ada gunanya. Setiap lembar buku yang Kavita sediakan jarang sekali digunakan untuk mencatat aktivitas toko.Lamunan Kavita pecah saat mendengar bunyi notifikasi di ponselnya. Dia mengernyit heran saat memeriksa layar dan menemukan pesan baru yang dikirimkan Ezra untuknya.[Masih rindu dengan suamimu yang beristri dua itu?]Kavita memegang keningnya, tidak mengira kalau Ezra akan membalas pesannya dengan kalimat seperti ini.[Tidak Pak, tapi meninggalkan rumah untuk ditempati suami saya dengan istri keduanya juga bukan pilihan yang bijak]Kavita tanpa ragu mengirimkan pesan itu, setelahnya dia berpikir bagaimana caranya dia membalikkan keadaan dengan cara yang sangat elegan.***Pintu kamar terbuka sedikit ketika Kavita tiba, dia tidak peduli dan langsung menerobos masuk begitu saja.“Vita!” Deryl yang sedang ganas bercumbu dengan Yura, nyaris saja menggigit bibir istri keduanya ketika menyadari kedatangan Kavita.“Lanjutkan saja, aku cuma mau numpang mandi.” Kavita berlalu dengan ekspresi tidak peduli.“Numpang mandi? Memangnya di sini tidak ada kamar mandi lain apa?”Kavita masih sempat mendengar komentar Yura yang langsung dibalas dengan teguran dari Deryl tepat setelah dia menutup pintu kamar mandi.Dinginnya air shower mengguyur kepala Kavita hingga kedua matanya terbuka lebar, seolah ingin menyadarkan Kavita bahwa kenyataan tidak seindah bayangannya selama dia bekerja ikut orang.Kalau bukan karena andil Deryl, Kavita tidak akan tanda tangan kontrak dengan Ezra meskipun ide itu berasal dari kepalanya begitu saja.“Istri kontrak atasan kamu?”“Iya, Ryl ... Aku tahu ini gila, tapi atasan aku punya banyak uang dan ....”“Tidak apa-apa kalau memang atasan kamu bisa memberikan bayaran yang setimpal, Vita!”Ketika itu Kavita justru dibuat ternganga atas respons yang diperlihatkan oleh Deryl kepadanya, demi uang untuk bayar utang saja pria itu rela jika istrinya menandatangani kontrak pernikahan dengan atasannya di kantor.“Kamu tidak cemburu sedikit pun, Ryl?”“Tentu saja cemburu sebenarnya, tapi utang aku terlalu banyak dan harus dicicil. Kalau cuma mengandalkan gaji kantor dan penghasilan toko yang tidak menentu, kapan utang-utang itu akan lunas?”Saking gampangnya Deryl memberikan izin saat itu, terus terang sempat terbersit rasa curiga di hati Kavita.Tentang seberapa besar cinta sang suami kepadanya, bukankah cinta yang besar terlihat dari seberapa kuat rasa cemburunya?“Tapi bos aku itu masih muda, kaya, mempesona dan ....”“Aku percaya kalau kamu akan setia sama aku, Vita. Lagipula yang penting kan uang bos kamu itu.”“Yakin? Sebagai istri kontrak, aku akan tinggal satu atap sama dia, Ryl.”“Yang penting tidak satu kamar, oke? Cepat sana temui bos kamu, minta gaji setinggi-tingginya supaya utang aku cepat lunas!”Dari situlah awal kehidupan Kavita menjadi istri kontrak dari pria lain terjadi. Beruntung, Ezra Danadyaksa bukanlah pria hidung belang yang suka bermain perempuan.Selama menjalani kontrak pernikahan dengannya, Kavita diperlakukan dengan cukup sopan dan manusiawi.“Vita, sudah selesai belum?”Terdengar pintu digedor dan suara Deryl yang seketika memaksa Kavita untuk kembali ke alam nyata. Dia tahu bahwa Deryl paling tidak bisa menahan diri ketika istrinya sedang mandi cukup lama seperti ini.Dulu, apa yang Kavita lakukan adalah sebuah kode yang dia berikan kepada Deryl bahwa dirinya siap untuk dimanjakan sampai semalam suntuk.“Dasar buaya darat,” pikir Kavita dalam hati sembari menggosok tubuhnya dengan sabun. Selanjutnya dia membilas diri sampai benar-benar bersih dan wangi semerbak.“Apaan sih, Ryl? Orang mandi juga, ngapain digedor-gedor?” Yura menggerutu, sumpek rasanya ketika dia melihat Deryl yang tidak ada bedanya dengan kuda yang sedang kesetanan.Melihat suami yang telah menikahinya kini sedang menunggu kenikmatan duniawi dari istri pertama, membuat dada Yura seakan sedang dipukul bertalu-talu sampai nyeri.“Kamu sebaiknya ke kamar sebelah dulu, Yura.”“Apa? Kamu ngusir aku karena sekarang sudah ada Vita?”“Shhh, jangan keras-keras! Ini kan kamar utama yang seharusnya dipakai sama Vita.”Yura mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tapi giginya bergemeletuk keras.Perdebatan kecil mereka terhenti saat pintu kamar mandi terbuka dan memperlihatkan Kavita yang hanya mengenakan handuk kimono untuk menutupi lekuk tubuhnya.Bersambung—Air liur Deryl seolah sanggup menetes dari bibirnya ketika lengan Kavita terulur untuk membetulkan handuk yang menutupi kepalanya.“Yura, kamu keluar dulu bantu ibu!” usir Deryl dengan ekspresi menyebalkan. “Vita, kemarin-kemarin kan aku belum sempat bermalam sama kamu ....”“Tidak usah,” tolak Kavita dengan berkelas, dari sudut matanya dia bisa melihat betapa kesalnya Yura dengan sikap yang diperlihatkan Deryl di depan mereka berdua.“Tidak usah bagaimana? Aku kan berusaha untuk bisa adil sama kalian berdua!” kata Deryl gusar. “Aku akan merasa sangat berdosa seandainya ada salah satu dari kalian yang tidak mendapatkan haknya ....”“Contoh?” Kavita menatap Deryl sedingin es.“Ya contohnya nafkah lahir dan juga nafkah batin, kedua hal itu harus seimbang kan?”“Nafkah lahir? Memangnya kapan terakhir kali kamu kasih aku nafkah lahir?” tanya Kavita sembari mengingat-ingat.Ucapan Kavita membuat Deryl mati kutu, terlebih lagi karena dia mengucapkannya tepat di hadapan istri kedua.
Kavita tersenyum bijak. “Bagaimana kalau kita dengar dulu apa pendapat Yura?” Sontak semua orang langsung mengarahkan pandangannya kepada Yura yang terduduk tegak di kursi. “Eh, kok ... kenapa aku?” Dia gelagapan. “Kamu kan istrinya Deryl juga,” komentar Kavita santai. “Jadi kamu harus terlibat setiap kali ada permasalahan seperti ini kan?” Yura diam saja, Kavita sangat menikmati ekspresinya saat berada di tengah-tengah keluarga bermasalah layaknya keluarga Deryl. “Aku percaya kalau Deryl bisa menyelesaikan setiap permasalahan rumah tangga,” cetus Yura kemudian. “Betul kan, Ryl?” Deryl tersentak. “Ah, iya! Tentu saja, tapi ....” “Aku setuju, Deryl selalu bisa menyelesaikan setiap masalah.” Kavita menimpali. “Kamu memang tidak salah memilih suami.” Yura tersenyum miring. “Aku tidak memilih, tapi Deryl sendiri yang memilihku.” Kavita melirik Deryl, yang merespons dengan menghindari tatapannya sekilas. “Kalau begitu aku serahkan pengeluaran ini kepada kalian berdua, termasuk uan
Ezra mengamati tanda tangan Kavita di beberapa kolom yang tersedia, menurutnya dia terlalu mudah percaya dengan apa yang orang lain katakan. Ezra bahkan ragu kalau Kavita sudah betul-betul membaca seluruh pasal kontrak baru ini dengan baik.Bukan salahku, pikir Ezra seraya ikut membubuhkan tanda tangannya juga sembari tersenyum samar. Mungkin dia yang terlalu gegabah memutuskan ....Malam itu Kavita baru bisa tidur dengan tenang setelah Ezra resmi menyetujui perpanjangan kontrak pernikahan mereka, hari-hari ke depan dia tinggal menyusun rencana untuk membuat Deryl sadar diri karena telah menyia-nyiakan pengorbanannya.“Aku bisa saja langsung menggugat cerai kamu, tapi itu terlalu mudah ...” Kavita memandang foto-foto Deryl di galeri ponselnya untuk terakhir kali, setelah itu dia menghapus seluruh foto itu tanpa ada lagi yang tersisa.Kecuali balas dendam.“Jadi apa rencana kamu selanjutnya?” Ezra bertanya saat Kavita muncul ke kamarnya pagi itu untuk membantunya bersiap-siap.
“M—maaf, Pak! Saya terpaksa bilang begitu karena ... Kalau suami saya tahu gaji saya sudah ditransfer, dia akan mengambilnya!” “Ya sudah, kamu masuk saja. Lain kali kamu bisa gunakan pintu belakang kalau situasi seperti ini,” suruh Ezra.Kavita menggigit bibirnya, dia menebak bahwa kemungkinan Ezra belum tahu kalau pintu belakang dilarang digunakan pegawai kecuali dalam keadaan darurat.Sekarang bagaimana?“Saya serius masuk, Pak?” tanya Kavita ragu.“Apa perintah saya tadi kurang jelas?“Suami saya pasti bikin keributan, Pak ....”“Biar penjaga yang akan mengatasinya kalau sampai ada orang mengacau di kantor saya.”Kavita mau tak mau menuruti perintah Ezra, baginya lebih baik menghadapi Deryl sampai berdarah-darah daripada membuat kesalahan dalam pekerjaan dengan Ezra.Karena itulah Kavita meninggalkan warung tenda dan bergegas menuju kantor tanpa mempedulikan keberadaan Deryl dan adik iparnya.Dia lebih takut jika membuat Ezra murka atau tidak puas dengan pekerjaannya.“
Di kantor, pikiran Kavita sudah tidak fokus lagi. Berulang kali dia memeriksa hasil pekerjaan di komputer, berusaha mencari-cari kesalahan yang tadi disebutkan Ezra di depan Deryl. “Vita, itu kamu ngapain sih cek-cek file lama?” tegur salah seorang rekan Kavita, Siska. “Aku takut ada yang salah tanpa disengaja,” jawab Kavita gelisah dengan mata lelah. “Salah dari mana, itu kan file lama yang print-nya saja mungkin sudah disobek-sobek.” “Jangan bercanda, Sis.” “Aku tidak bercanda, memang itu kebiasaan Pak Ezra. Dia tidak mau kalau arsip-arsipnya cuma dibuang ke tempat sampah, harus dibakar atau disobek kecil-kecil.” Kavita diam saja, tapi tetap ucapan Siska tidak membuat hatinya merasa tenang. Kalau Ezra menyatakan seseorang bersalah, maka sudah dipastikan kalau orang itu memang telah melakukan kesalahan. “Daripada kamu cek laporan yang sudah tidak digunakan, lebih baik kamu mulai nyicil laporan untuk bulan ini.” Siska menyarankan. Kavita hanya mengangguk saja, dia tidak akan b
Setelah obrolan dengan Karin berakhir, Kavita mencuci wajahnya dengan pembersih dari serangkaian paket skincare mahal yang dia beli sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri setelah sekian lama hidup irit demi suami dan keluarganya.Tiba-tiba pintu kamar Kavita diketuk beberapa kali dan tanpa pikir panjang dia membukanya.“Pak Ezra?” Dia terperanjat. “Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan?”“Kamu tidur di kamar saya.”Sontak saja Kavita terbelalak kaget.“Apa, Pak?”“Kamu tidak dengar apa yang saya bilang tadi?” Kavita menelan ludah, dia tentu saja mendengarnya dengan sangat baik. Namun ....“Tapi kita kan tidak ... tidak seharusnya kita ...” Kavita semakin terbata-bata berbicara di bawah tatapan mata Ezra. “Bukankah kita sudah sepakat, Pak? Kewajiban apa pun bisa kita lakukan di dalam pernikahan kontrak ini, kecuali tidur di kamar yang sama.”Dan juga melakukan hubungan suami istri, sambung Kavita dalam hati.Ezra menarik napas. “Itu artinya kamu benar-benar tidak memb
“Aku tidak bisa, Ryl. Kenapa harus perhiasan aku? Pakai saja perhiasan Vita,” sahut Yura keberatan. Deryl tertegun, dia ingat kalau Kavita sudah merelakan seluruh perhiasannya untuk mencicil utang. “Yura, jangan seperti ini. Aku itu sedang susah,” keluh Deryl memelas. “Terus? Kamu kan janjinya tidak akan menyusahkan aku, Ryl. Kamu bilang kalau aku mau jadi istri kedua kamu, aku akan hidup bahagia dan berkecukupan. Masa belum punya anak saja, aku sudah disuruh berkorban.” Ibu Deryl yang mendengar jawaban Yura dari luar, tak urung hanya bisa mengelus dadanya dengan masygul. “Istri macam apa itu?” “Biarlah, Bu. Aku mencintai Yura ....” “Bagaimana sama Vita? Kamu tidak mencintai dia lagi?” Deryl diam sejenak. “Aku juga cinta sama dia, tapi ... keuangan dia sedang tidak bisa diharapkan.” Ibu Deryl memandang putranya. “Kamu yakin? Bukan karena Vita menyesalkan perbuatan kamu yang menikah diam-diam di belakangnya?” Deryl menggeleng perlahan. “Aku yakin, Bu. Vita tidak mempermasalah
“Yura, cepat bereskan kamar utama!” suruh Deryl.“Kenapa aku?”“Karena aku harus memberikan Vita haknya!”“Maksud kamu? Malam ini kamu dan dia mau bercampur?”“Memangnya kenapa? Kalau Vita tidak di rumah kan aku setiap hari sudah sama kamu, aku harus memenuhi janjiku untuk bisa adil.”Bukannya senang dengan komitmen Deryl, Yura justru merasa tidak suka mendengarnya.“Cepat, Yura!”“Iyaaa ....”Deryl buru-buru membuntuti Kavita yang sudah sampai di depan pintu ruang kerja.“Sini, biar aku saja yang bawakan tas kamu.”“Tidak usah, ini cuma tas bukan koper.”Kavita dengan tegas menolak uluran tangan Deryl karena dia tahu bahwa suaminya ingin mencari-cari kartu ATM, juga dompet untuk mengambil uang tunai berapapun jumlah yang ada. Kavita sudah sangat hapal dengan tabiat Deryl, tapi kali ini dia tidak akan sepolos itu memberikan kebebasan pada suaminya untuk menggeledah tas.“Aku tahu ini bukan koper, aku cuma berniat baik untuk bantu kamu saja ....”“Tidak usah repot-repot
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay