Mendadak ada sedikit gerakan dari jemari Ezra, Kavita mendapati jarinya sedang menjepit selimutnya dengan rapuh. “Ezra?” panggil Kavita pelan. “Kamu ...?” Kavita memastikan lagi dengan memperhatikan jemari Ezra lebih saksama, hatinya berdebar-debar ingin segera melihat suaminya tersadar. “Ezra?” desah Kavita sedikit kecewa, saat tidak mendapatkan apa-apa. Dia berpikir bahwa yang dilihatnya tadi hanyalah halusinasinya saja. Kavita mengambil tehnya lagi dan mereguknya sampai habis. “Haus sekali, ya?” Mendadak terdengar suara pelan, membuat Kavita menoleh dan menyemburkan tehnya hingga dia terbatuk-batuk hebat. “Jorok sekali, kenapa menyembur sampai sini ...” Ezra menggeleng perlahan sambil memejamkan mata. “Jorok sekali kamu, ya ...” Alih-alih marah, Kavita justru mewek sambil mendatangi Ezra yang telah sadar. “Ezra, kamu jahat! “ “Apa ini, bangun-bangun sudah dikatakan jahat?” komentar Ezra ketika Kavita mendatanginya dengan bercucuran air mata. “Pakai tanya, kamu lebih peduli
“Hati-hati, Ad.” “Baik, Bu.” Setibanya di kamar, Kavita mengucapkan terima kasih kepada Adya dan memintanya untuk kembali bekerja. Sambil memapah Ezra, Kavita melangkah masuk ke dalam kamar utama. “Rasanya sudah lama aku tidak melihat tempat ini,” komentar Ezra ketika Kavita mendudukkannya di sofa. “Tempat ini jadi sepi sejak kamu menghilang.” “Benarkah?” “Begitulah, jadi lebih baik kamu tidak usah lagi berhubungan dengan keluarga Danadyaksa—terutama Shadan.” Ezra tidak menjawab. “Bukankah kamu sudah tidak lagi mentargetkan sesuatu dari keluarga itu? Hak-hak kamu kemarin sudah kamu dapatkan, jadi menurutku ... tidak ada lagi yang harus kamu ambil dari keluarga besar kamu.” “Mungkin kamu benar, aku sudah tidak berambisi untuk mengambil apa yang menjadi hak ibuku dan aku sendiri ... Ganti rugi yang kemarin sudah cukup membuat keluarga besar tidak lagi meremehkan posisiku.” Kavita mengangguk setuju. “Status kamu juga sudah diakui, kan?” Ezra mengangguk singkat. “Jadi apa lagi
“Dia pantas menerima hukumannya, kenapa kamu tidak bisa menjaga suami kamu ....” “Oh ya, seperti Vita yang tidak mampu menjaga Anda sampai cacat begini?” Yura memandang Ezra dari atas ke bawah dengan menghina. “Kalian berdua harus membayar mahal!” “Apa yang akan kamu lakukan?” Ezra menarik diri ketika Yura membungkuk ke arahnya. “Jangan macam-macam kamu!” Yura tersenyum miring. “Lihat diri Anda sekarang, Pak! Menyedihkan, yakin kalau Kavita masih mau setia di samping Anda?” “Apa maksudmu? Kavita tidak seperti kamu ....” “Ya, kami memang tidak sama. Saya masih baik mau berbagi suami sama dia, tapi dia menolak niat baik saya mentah-mentah!” desis Yura penuh dendam. “Gara-gara dia pergi, Deryl jatuh miskin dan saya jadi hidup menderita! Lalu sekarang? Lihat!” Ezra mencengkeram kursi rodanya erat-erat, dia bisa saja mendorong pergi, tapi risikonya bisa fatal jika Yura berbuat nekat. “Kalian menjebloskan suami saya ke penjara! Terus siapa yang akan bertanggung jawab selanjutnya terh
“Kalau kamu berpikir bisa melakukan hal yang sama ketika kamu merebut Deryl dulu, kamu salah besar. Karena Ezra tidak sama dengan Deryl,” tegas Kavita sambil menatap Yura tajam. “Kamu ...” Rasa perih kini menjalar di pipi Yura yang memerah hasil perbuatan Kavita. “Kamu ternyata tidak pernah jera, suka sekali merebut milik orang lain.” “Kamu pikir kamu siapa, Vit?” Yura mengangkat tangannya juga dan bersiap membalas. “Beraninya ....” “Hentikan ini, Ibu-Ibu! Jangan membuat keributan di rumah sakit,” lerai sekuriti. “Terus bagaimana nasib saya ini?” Yura berseru ke arah orang-orang yang menontonnya. “Saya tidak terima ya!” “Aku juga tidak terima karena kamu tidak pernah jera cari masalah sama aku, jangan kamu pikir aku akan diam saja.” Siska cepat-cepat mendekati sekuriti. “Pak, perempuan yang bernama Yura itu sangat meresahkan kaum perempuan, tolong tangkap saja dia.” Yura menoleh ketika Siska menyebut namanya. “Bicara apa kamu?” “Sudah, stop!” Kavita melempar panda
"Aku yakin sebentar lagi," lirih Ezra. "Tunggu saja tanggal mainnya." Kavita melirik Ezra. "Tidak usah dipikirkan, sekarang yang penting kita fokus kesembuhan kamu dulu. Aku akan minta tolong Bu Tricya untuk memproses Yura." Ezra hanya mengangguk dan tidak berkata apa-apa lagi karena ada Adya di tengah-tengah mereka. Sejak kejadian di rumah sakit itu, ponsel Ezra tidak hentinya berdering. "Bisa tidak sih kerjanya nanti-nanti dulu?" tegur Kavita ketika melihat Ezra sibuk memantau ponselnya lebih sering dibandingkan beristirahat. "Beberapa ada yang penting, sebagian lagi mengganggu. Kalau tidak aku selesaikan, nanti akan semakin menyulitkan." "Bukankah Pak Pasha sudah mengambil alih pekerjaan kamu?" "Ya, tapi aku tidak mungkin melempar tanggung jawab sepenuhnya sama dia. Tenang saja, aku tidak akan lupa waktu." Kavita memalingkan wajahnya. "Jangan bilang kalau yang mengganggu kamu salah satunya adalah Yura?" tebaknya jitu, membuat Ezra ternganga. "Kok kamu bisa tahu?" Kavita
“Kenapa kalian tidak jujur?” “Memangnya Kakak bakalan percaya?” Deryl mengacak rambutnya dengan gusar. “Yura selalu bercerita kalau pengeluaran bertambah karena ibu sakit dan harus periksa,” ucap Deryl dengan suara pelan. “Ya ampun, Ibu jarang periksa. Kemarin saja kalau aku nggak paksa, Kak Yura nggak ada inisiatif untuk memeriksakan Ibu. Minimal jadi menantu yang peka, kayak Kak Vita. Dia sangat perhatian sama Ibu, Kakak nggak lupa kan?” Deryl diam membisu. “Sudahlah, Karin. Jangan membicarakan mantan kakak ipar kamu lagi, dia sudah bahagia dengan suami barunya.” Ibu menarik napas. “Ryl, tolong bilang Yura kalau suatu saat nanti kalian bertemu. Suruh dia untuk menjaga kehormatan diri, jangan mudah merusak kebahagiaan orang lain. Cukup kamu dan Vita yang jadi korban.” Deryl ingin membantah, tapi dia tidak tahu harus membela Yura dengan cara apa. Harga dirinya sebagai suami hancur jika benar dia telah menggoda suami Kavita, orang yang telah memasukkannya ke dalam jeruji b
Rasanya seperti melangkah di atas pohon berduri. “Sedikit lagi!” Kavita melambai dengan wajah antusias. “Kamu sampai di tempatku.” Melihat semangat Kavita, Ezra semakin bertekad untuk bisa secepatnya tiba di ujung sana. “Anak manis, sini datang ....” “Jangan menyebutku anak-anak!” dengus Ezra, wajahnya yang bersih seketika memerah. “Terus apa? Anak ibu ....” “Jangan menggodaku!” Kavita melambai dari kejauhan dan sangat menikmati momen-momen langka seperti ini, karena belum tentu di masa depan nanti dia bisa memperlakukan Ezra seperti bocah. “Sedikit lagi, kalau capek lebih baik berhenti dulu.” “Tidak, Kavita. Aku pasti bisa sampai ke tempatmu, tunggu saja.” Senyum di bibir Kavita berangsur lenyap, kesenangan menggoda Ezra ternyata tidak berlangsung lama ketika dia menyaksikan bagaimana sulit perjuangan suaminya untuk tetap menjaga langkah kaki tetap stabil. “Ezra, sudah. Jangan dilanjutkan, kamu sudah kelelahan!” “Sedikit lagi, aku akan sampai ....” “Usaha kamu sudah sanga
“Ya ampun, pasif sekali!” Kavita mendongakkan wajahnya, sementara di saat yang bersamaan Ezra menunduk. Entah siapa yang akhirnya memimpin, yang pasti keduanya telah larut dalam rasa yang sama, gelora yang membuncah meski dalam keterbatasan fisik karena cedera. Kavita tidak memungkiri bahwa kebutuhan Ezra tetap saja harus dipenuhi meskipun situasi sedikit berbeda. “Rasanya aneh,” komentar Ezra singkat setelah mereka selesai menuntaskan dahaga mereka. “Kalau tidak aneh, bukan kamu namanya!” balas Kavita sambil memejamkan kedua matanya di balik selimut yang menyelimuti mereka berdua. ***Dua bulan berlalu, dan kondisi kaki Ezra semakin membaik dari hari ke hari. “Zra, apa aku boleh ajak Siska ke kantor? Dia tidak mau aku tinggal, kebetulan dia ambil cuti ...” Pasha menjelaskan melalui sambungan telepon ketika Ezra sedang sarapan. “Cuti kok masuk kantor, kenapa dia tidak istirahat saja di rumah?” “Siska tidak mau aku tinggal,” ulang Pasha. “Dia mau dekat aku terus, katanya bayi di
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay