Kavita menarik napas, beban yang dia pikul jelas lebih besar karena selain label janda yang dibahas, juga ada kisah pernikahan kontrak dirinya dan Ezra yang terjadi saat dia masih menjadi istri sah dari suami pertamanya. Tentu saja banyak komentar pembaca yang menyudutkan Kavita sebagai wanita matre, haus harta dan juga gila karena seorang perempuan tidak diperkenankan untuk memiliki dua suami dalam satu waktu. “Vit, maaf sebelumnya. Apa aku boleh tanya sesuatu?” ucap Siska hati-hati mengingat apa yang dia katakan merupakan topik paling sensitif. “Soal apa?” Siska menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya. “Soal pernikahan kamu sama Pak Ezra yang katanya terjadi di saat kamu masih jadi istri sah Deryl, apa itu ... benar?” Kavita terdiam. “Maaf, aku tidak bermaksud kepo sama urusan kamu. Aku Cuma tidak ingin termakan berita di luar sana,” kaya Siska cepat-cepat. Kavita mengangguk. “Itu benar, Sis. Bukan tanpa alasan aku melakukannya, toh itu juga atas persetujuan D
Ezra mengangguk. “Bisa jadi kan? Pemberitaan itu sangat menguntungkan mereka, terlebih para pesaing pasti berlomba untuk mengambil hati para klien yang membatalkan kerja sama dengan perusahaan.” Pasha paham sekarang. “Aku akan terus mengusutnya, jangan khawatir.” Ezra tidak lagi berkomentar, kini jemarinya sibuk berbalas pesan dengan salah satu klien. “Pembatalan lagi,” katanya sembari menatap Pasha. “Dia bilang baru saja mendapatkan tawaran bagus dari Metalic ....” “Tunggu sebentar, Metalic? Kamu tadi bilang Metalic?” sela Pasha buru-buru. “Iya, yang edisi sebelumnya terpilih mendapatkan kontrak selain aku.” “Itu kan perusahaan Roni, mantan suaminya Siska!” “Oh, aku tidak memperhatikan. Selama ini belum pernah ada kerja sama yang melibatkan kami.” Pasha menyandarkan punggungnya di kursi yang menghadap meja kerja Ezra. “Kalau aku curiga sama Roni, logis atau tidak menurut kamu?” Ezra berpikir sebentar. “Dia mantan suaminya Siska kan? Enam puluh persen logis, apalagi kalau di
“Baik, Pak. Kami masih menyelidiki beberapa orang, tidak menutup kemungkinan kalau pelaku akan bertambah lagi jumlahnya.” Ezra mengangguk dan segera pergi meninggalkan kantor polisi. “Kenapa kamu?” Ezra keheranan karena Pasha terus diam sepanjang perjalanan menuju kantornya. “Bukankah tadi kamu sangat bersemangat?” Pasha menarik napas. “Kamu tahu siapa salah satu dari mereka?” “Tidak ....” “Dia istri Roni.” “Kamu yakin?” Pasha mengangguk kuat-kuat, dia sendiri tidak habis pikir apa motif Ririn melakukan itu. Disuruh Roni kah? Terjadi kesunyian panjang ketika Ezra dan Pasha kembali dari kantor polisi. “Bagaimana keadaan Kavita?” tanya Pasha ingin tahu. “Sangat tertekan, tentu saja.” Pasha menarik napas panjang. “Sama seperti Siska, biarpun dia berusaha menutupinya dariku.” Mereka tidak bicara lagi sampai mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman kantor Dyaksa Company. “Jadi bagaimana? Apa yang selanjutnya harus kita lakukan untuk memulihkan mental istri-istri kita yang su
Kavita mengangguk. Ezra memang tidak bisa menghiburnya dengan kata-kata romantis, tapi pelukan yang dia berikan jauh lebih mujarab sebagai obat. Setelah melalui berbagai proses panjang dan melelahkan, Ririn akhirnya dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara karena dia adalah otak dari pencemaran nama baik yang telah dilakukannya terhadap Siska dan Kavita. Belum lagi denda lima ratus juta yang harus dia tanggung untuk kesalahannya. “Cuma satu tahun?” Siska terenyak di kursinya. “Tidakkah ini terlalu ringan, Sha?” “Jangan lupakan denda lima ratus juta yang harus Ririn tanggung, aku yakin Roni akan kehilangan banyak uang karena denda itu.” Siska menggelengkan kepala. Menurutnya hukuman itu tidaklah sepadan, satu tahun dengan denda lima ratus juta? Akan jauh lebih memuaskan seandainya diubah menjadi setidaknya lima tahun kurungan penjara dan denda tiga ratus juga, itu pendapat Siska. “Bagaimana, Vit?” Siska menoleh kepada Kavita yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Aku ...” Kavita men
Kavita mengangguk saja, rasa traumatis terhadap kakak beradik psikopat itu sudah mulai berkurang sehingga dia tidak keberatan untuk datang memenuhi undangan ayah mertua. Shadan menatap lurus ke arah Ezra yang datang bersama Kavita, disusul Pasha dan juga istrinya di belakang mereka. “Bagus, mereka jadi semakin punya muka untuk datang ke sini.” Monic mendengus lirih di telinga Shadan. “Dicky mana?” “Sedang mengambil hadiah untuk ayah dan ibu kita.” Shadan mengangguk mengerti. Ketika beberapa anggota lain menjabat tangan Ezra, dia ikut berdiri untuk menyambut kedatangan sang kakak yang selama ini tidak pernah dianggap. “Selamat datang,” kata Shadan kaku. Ezra mengangguk untuk menghargai niat baik adiknya. “Terima kasih.” Monic menatap kepergian Ezra dengan mata memicing. “Kamu salah makan apa sih, Dan? Tumben sekali kamu mau menyapa Ezra,” kritik Monic heran. “Jika tadi itu adalah sandiwara, aku sangat menaruh hormat sama kamu.” “Aku tidak bersandiwara,” bantah Shadan seraya du
Shadan tertawa lagi, kali ini kentara sekali mengejek Ezra. “Kalau ada hal yang tidak aku benci dari kamu itu adalah kepolosan kamu, Zra!” katanya tergelak. “Buat apa kamu memikirkan ayah? Kamu itu sebenarnya dianggap aib sama ayah kita, hahaha! Namanya juga anak haram, iya kan?” “Cukup,” sentak Ezra. “Kamu tidak berhak menghakimi aku atas masa lalu yang bahkan tidak aku ketahui. Apa kamu pikir aku senang dengan kenyataan ini?” “Menurut kamu?” sahut Shadan menghina. “Setelah kamu muncul, tujuan aku adalah merebuat semua hal dari tangan kamu. Memang kamu pikir aku sengaja mengalah dulu buat apa? Mikir, Zra. Pakai otak kamu.” Shadan menusukkan jari telunjuknya sendiri ke pelipisnya. “Aku membawa Kavita pergi, itu cuma buat bikin kamu hancur untuk yang kedua kalinya,” sambung Shadan. “Kalau kamu pikir aku cinta sama Kavita, itu salah.” Ezra mengangguk paham. “Tapi soal ayah kita, aku harap kamu tidak sepenuhnya benar karena akhir-akhir ini dialah yang berusaha menemui aku ...” “Al
Mobil yang mereka tumpangi melaju zigzag di sepanjang jalanan, memaksa para pengemudi lainnya untuk susah payah menghindari tabrakan. “Jangan gila, Zra!” sembur Shadan. “Kamu yang gila!” balas Ezra. “Hentikan mobilnya sekarang, atau kita mati bersama!” Lewat sudut matanya, Shadan melihat pembatas jembatan yang ada di depannya. “Bodoh, kita mau nabrak!” pekiknya. “Biar aku yang nyetir!” Shadan menyikut kepala Ezra dengan keras agar dia menjauh darinya, tapi terlambat. Saat dia menoleh ke depan untuk mengambil alih kendali, bagian depan mobilnya menghantam batas jembatan dengan keras. Hanya dalam sepersekian detik saja Shadan masih bisa berpikir untuk memundurkan mobilnya yang ringsek berat di bagian depan. Shadan memacu gas, tapi mobilnya mulai tidak bisa dikendalikan lagi. Hingga akhirnya mobil itu menukik tajam ke bawah, menuju jurang yang menganga dengan kedalaman sekitar empat atau lima meter. Sementara itu di kediaman Ezra .... “Aduhh!” Bunyi cangkir jatuh dan pecah terden
Setelah membersihkan sisa pecahan piringnya yang tersisa, Kavita cepat-cepat meluncur ke kantor Ezra untuk mengecek sendiri karena firasatnya sudah semakin tidak enak. Apalagi Adya baru saja membalas pesannya dan meneruskan info dari Tantri bahwa Ezra sudah tidak berada di kantor lagi. Kavita bergegas mencari Adya untuk menanyakan kejadian yang sebenarnya. “Pak Ezra mana, Ad?” tanya Kavita khawatir ketika dia tiba di kantor. “Kamu bilang Pak Ezra tidak di kantor, lalu di mana dia?” Kavita lantas memberi tahu Adya jika Ezra tidak bisa dihubungi sampai sekarang. “Tadi aku baru ambil mobil, biasanya Pak Ezra nunggu aku di sini. Tapi tidak muncul-muncul juga sampai kamu telepon,” ujar Adya bingung. “Tantri bilang apa?” “Katanya Pak Ezra sudah turun dari tadi, Vit.” Mendengar jawaban Adya, perasaan Kavita semakin terasa tidak enak. “Coba kamu telepon Pak Ezra, dari tadi aku sudah coba ... tapi tidak diangkat.” Adya mengangguk. Kavita masuk mobil lalu menelepon Siska. “Halo?” “S
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay