silakan baca ulang dari bab 229 ya karena sudah ada yg lolos revisi. kalo belum berubah, bisa hapus dulu dari rak buku, terus dibuka lagi babnya biar alur ceritanya nyambung. maaf atas ketidaknyamanan ini.
Mobil yang mereka tumpangi melaju zigzag di sepanjang jalanan, memaksa para pengemudi lainnya untuk susah payah menghindari tabrakan. “Jangan gila, Zra!” sembur Shadan. “Kamu yang gila!” balas Ezra. “Hentikan mobilnya sekarang, atau kita mati bersama!” Lewat sudut matanya, Shadan melihat pembatas jembatan yang ada di depannya. “Bodoh, kita mau nabrak!” pekiknya. “Biar aku yang nyetir!” Shadan menyikut kepala Ezra dengan keras agar dia menjauh darinya, tapi terlambat. Saat dia menoleh ke depan untuk mengambil alih kendali, bagian depan mobilnya menghantam batas jembatan dengan keras. Hanya dalam sepersekian detik saja Shadan masih bisa berpikir untuk memundurkan mobilnya yang ringsek berat di bagian depan. Shadan memacu gas, tapi mobilnya mulai tidak bisa dikendalikan lagi. Hingga akhirnya mobil itu menukik tajam ke bawah, menuju jurang yang menganga dengan kedalaman sekitar empat atau lima meter. Sementara itu di kediaman Ezra .... “Aduhh!” Bunyi cangkir jatuh dan pecah terden
Setelah membersihkan sisa pecahan piringnya yang tersisa, Kavita cepat-cepat meluncur ke kantor Ezra untuk mengecek sendiri karena firasatnya sudah semakin tidak enak. Apalagi Adya baru saja membalas pesannya dan meneruskan info dari Tantri bahwa Ezra sudah tidak berada di kantor lagi. Kavita bergegas mencari Adya untuk menanyakan kejadian yang sebenarnya. “Pak Ezra mana, Ad?” tanya Kavita khawatir ketika dia tiba di kantor. “Kamu bilang Pak Ezra tidak di kantor, lalu di mana dia?” Kavita lantas memberi tahu Adya jika Ezra tidak bisa dihubungi sampai sekarang. “Tadi aku baru ambil mobil, biasanya Pak Ezra nunggu aku di sini. Tapi tidak muncul-muncul juga sampai kamu telepon,” ujar Adya bingung. “Tantri bilang apa?” “Katanya Pak Ezra sudah turun dari tadi, Vit.” Mendengar jawaban Adya, perasaan Kavita semakin terasa tidak enak. “Coba kamu telepon Pak Ezra, dari tadi aku sudah coba ... tapi tidak diangkat.” Adya mengangguk. Kavita masuk mobil lalu menelepon Siska. “Halo?” “S
Tidak bisa diukur seberapa tingginya rasa puas yang dirasakan Shadan setelah berhasil menyingkirkan Ezra. Kali ini untuk selamanya. “Pak Pasha, bagaimana ini?” “Kamu tenang ya, saya sudah suruh orang untuk mencari keberadaan mereka.” Di kediaman Ezra, Kavita mengungkapkan keluh kesahnya tentang Ezra yang tidak bisa dihubungi sedari tadi. “Saya juga harus pergi mencarinya, Pak.” Pasha diam, lidahnya terasa kelu untuk memberi tahu Kavita tentang kejadian yang sebenarnya sedang menimpa Ezra. “Vit, kamu sabar ya? Orang-orang pasti sudah bergerak untuk mencari Pak Ezra.” Kavita mengangguk, tapi tetap saja apa yang dikatakan Siska maupun Pasha tidak lantas membuatnya merasa tenang. “Adya, tolong antar aku ....” “Ke mana, Bu?” “Mencari Pak Ezra.” Siska dan Pasha saling pandang. “Kavita, saya sudah suruh orang untuk mencari Ezra. Kamu sebaiknya di rumah saja dan tinggal menunggu kabar ....” “Maaf, saya tidak bisa berdiam diri saja seperti ini. Saat ponsel Pak Ezra tidak merespons
“Shadan?” seru Ezra tertahan saat dia menoleh dan melihat wajah korban yang diselamatkan oleh warga. Ezra menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat Shadan dibaringkan di sampingnya dengan kondisi sekujur tubuh berbalut lumpur kecokelatan. “Sekarang bagaimana? Kita tidak bisa evakuasi keduanya sekaligus,” kata seorang warga. “Tandunya cuma satu, tenaga juga terbatas ...” “Aku cari tambahan bantuan dulu,” sahut warga yang lain. “Pak, saudara saya ... masih hidup kan?” tanya Ezra memastikan. “Masih Pak, dia pingsan karena separuh badannya tertimbun. Sabar ya, kami harus cari tambahan bantuan biar kalian berdua bisa dievakuasi bareng,” jawab warga yang sedari tadi menemani Ezra. “Pak, kalau boleh ... saudara saya dulu yang dievakuasi,” pinta Ezra. “Saya ... kelihatannya masih bisa bertahan ... tapi saudara saya ...” Ezra melirik Shadan yang tampilannya begitu menyedihkan. Ingin sekali rasanya melihat adik tidak tahu diri itu mati, tapi hati kecil Ezra menolaknya untuk berdiam diri
“Ini Bu,” ujar Alvan sambil mengulurkan ponsel milik Ezra. “Niat saya cuma jaga-jaga saja kok.”Kavita menerima ponsel Ezra dengan wajah sedih.“Sepertinya kita harus lapor ... tapi aku harus tetap cari Ezra sampe ketemu, Sis..” Siska mengangguk dan bergegas mendatangi Kavita yang sedang berjalan lesu ke arah mobil.“Sekarang apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Siska dengan suara bergetar. “Menunggu polisi yang bertindak?”“Kavita tidak bakal mau,” jawab Pasha. “Dia bilang akan mencari Ezra sampai ketemu.”“Kasihan juga,” komentar Siska. “Kita tidak bisa diam saja seperti ini.”“Mumpung belum terlalu malam, bagaimana kalau kita menyisir jurang untuk mencari suaminya?” usul Alvan yang ternyata mengikuti langkah mereka. “Saya lumayan paham medan di sana, Pak. Siapa tahu kita bisa menemukan petunjuk. Kasihan ibu yang tadi.”“Kamu serius mau bantu kami?” tanya Pasha lambat-lambat. “Kamu kan masih di bawah umur ....”“Tidak ngaruh Pak, saya sudah biasa keluyuran di sana dari kec
Mendadak ada perasaan aneh yang perlahan menjalari tubuhnya, dia tahu kalau korban yang satunya lagi pasti Ezra. Namun, kenapa dia tidak merasa bangga setelah tahu bahwa saudaranya berhasil tersingkir? Kenapa rasa sesak ini tiba-tiba muncul memenuhi rongga dadanya?“Tidak, tidak!” Shadan menggelengkan kepalanya. “Ini yang terbaik ... memang dia harusnya pergi.”Shadan memejamkan matanya, tapi ada sensasi tidak nyaman yang mengganjal di bawah kedua kelopaknya. Belum lagi hatinya yang mendadak penuh oleh rasa gelisah entah karena apa.Kata-kata petugas tadi kembali terngiang di kepala Shadan dan membuat tubuhnya terpaku di tempat tidur.‘Saat dia mau dievakuasi, ada warga lain yang melihat Anda pingsan tertimpa longsoran batu. Karena tandunya cuma satu dan terbatasnya tenaga, dia meminta para warga untuk menolong Anda lebih dulu.’Shadan mengusap wajahnya dengan tangan yang terpasang jarum infus, dia ingin sekali mengenyahkan perasaan tidak nyaman ini. Perasaan yang belum pernah dia ra
Shadan baru menyadari bahwa uang yang selama ini dia dewakan tidak selalu bisa membantunya. Apalagi di saat sekarang, di mana uang yang dia miliki tidak bisa lagi dipakainya untuk membayar kontan nyawa Ezra yang sudah di ujung tanduk. Kavita dan tim yang dipimpin Alvan tanpa sengaja bertemu dengan beberapa warga saat mereka kembali ke atas dengan tangan kosong. “Kalian tidak habis dari jurang kan, Van?” tegur salah satu warga. “Bahaya lho, baru aja ada korban yang dievakuasi.” “Hah, siapa Pak?” tanya Alvan terkejut. “Berapa orang?” “Dua,” jawab salah satu warga. “Yang satu sudah berhasil selamat, tidak tahu kalau yang terakhir ...” Wajah Kavita langsung berubah keruh. “Katanya dua orang dievakuasi, berarti selamat semua kan Pak?” tanya Pasha ingin tahu. “Yang satu udah ditangani, kalau yang satunya lagi kurang tahu, Pak. Soalnya terlalu lama di jurang karena tidak bisa dievakuasi sekaligus.” Warga itu menjelaskan. “Bapak tahu yang selamat namanya siapa?” tanya Kavita dengan su
“Kamu katanya ngamuk, Vit?” tanya Adya, perhatiannya teralihkan kepada Kavita yang sedang memakai kembali sepatunya.“Iya Ad, aku kesal melihat Shadan pura-pura lemah tadi.” Kavita menyahut puas. “Oh iya, kamu sudah tahu Ezra ada di mana?”Adya seketika terdiam dan tidak segera menjawab pertanyaan Kavita.“Sha?” Siska mengangkat dagunya ke arah Pasha. “Ruangan Pak Ezra ketemu belum?”Pasha menoleh memandang Adya dengan ragu-ragu, sementara yang dipandang malah tersenyum tidak enak.“Kok kalian diam?” desak Kavita sambil memandang mereka satu per satu. “Sudah tahu belum Ezra ada di mana?”“Ezra ... belum boleh ditengok,” kata Pasha pelan. “Susternya bilang dia ...”Pasha terlihat ragu-ragu, membuat Kavita menjadi tidak sabar.“Di mana kamarnya Ezra?” tanya Kavita mendesak. “Ad, kasih tahu aku Ezra ada di mana!”“Aku cuma dengar sekilas saat petugas bilang kalau kita disuruh sabar, kemungkinan sadarnya masih lama atau bagaimana ... tahu-tahu Siska menelepon,” jelas Pasha. “Katanya kamu s
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay