Kavita mengikuti langkah kaki Ezra sembari menggenggam tangannya erat, dia harus menguatkan mentalnya untuk menghadapi keluarga besar Danadyaksa yang menjunjung tinggi nama baik seseorang.Mereka berempat digiring menuju ruang makan keluarga yang sangat luas, Kavita ingat betul bagaimana suasana ruangan itu, tetap bersih dengan meja dan kursi yang tersusun rapi dengan panci-panci mewah berisi aneka menu makanan.Endrawan sendiri yang menyambut kedatangan Ezra dan yang lain, sementara anggota keluarga Danadyaksa sendiri sudah menempati meja masing-masing.“Selamat datang, ayo duduk! Makan malam akan segera dimulai!”Ezra tahu Endrawan sangat berusaha keras untuk menyiapkan ini semua, tapi dia sama sekali tidak terkesan sedikit pun.Tricya dan tim kuasa hukumnya yang muncul tidak lama setelah Ezra datang, segera ikut bergabung setelah sebelumnya mengontak Ezra.“Kenapa tidak langsung diskusi saja, Yah?” tanya Ezra tanpa berbelit-belit, sebelum ada makanan dan minuman yang melewati
Ezra bertukar pandang dengan Kavita, sebelum akhirnya memerintahkan Tricya untuk mewakilinya bicara. “Baiklah, berikut beberapa tuntutan yang diinginkan klien kami ....” Semua orang yang berada di ruangan menahan napas dan mendengarkan apa yang akan dikatakan Tricya. “Pertama, Pak Shadan harus mengakui kesalahannya di hadapan semua orang, serta meminta maaf secara langsung kepada Pak Ezra dan istri. Kedua, Pak Endrawan diharapkan mengakui status hubungan kekerabatan ayah dan anak terhadap Pak Ezra selaku anak pertama dari ....” “Stop, ini tidak masuk akal!” Shadan langsung meradang. “Jangan menuntut hal-hal yang di luar nalar, kamu kira klien kamu punya hak?” Tricya diam, tidak terpancing dengan kemarahan Shadan yang terpantik nyata. “Shadan, tenang.” Endrawan menengahi. “Silakan lanjutkan, Ibu Pengacara.” “Yah, jangan konyol ....” “Diam, tahan diri kamu.” Tricya berdehem sebentar, lalu melanjutkan tuntutan yang diminta Ezra. “Saya ulangi untuk poin kedua, Pak Endrawan diharap
“Mervia, untuk apa kamu ke sini?” Endrawan mengangkat wajahnya ketika melihat kedatangan sang istri ke ruang rapat. “Untuk mencegah kamu melakukan hal-hal yang konyol.” “Apa maksud kamu berkata seperti itu?” Shadan tentu saja merasa senang ketika dia melihat kedatangan ibu kandungnya. “Ezra mengajukan empat-lima tuntutan yang tidak masuk akal, Bu.” Dia langsung mengadu. Endrawan melempar tatapan memperingatkan kepadanya, tapi Shadan tidak peduli. Menurutnya Endrawan terlalu lemah dalam menghadapi Ezra akhir-akhir ini. “Apa saja tuntutannya?” tanya Mervia ingin tahu. Sebelum Shadan sempat menjawab, Endrawan sudah lebih dulu menyahut. “Kamu tidak perlu ikut diskusi, aku tidak ingin suasana semakin panas karena kamu lebih mengedepankan emosi kamu.” Mervia menatap wajah Endrawan dengan sorot mata curiga. “Aku tidak akan membiarkan kamu mengambil keputusan sembrono gara-gara Ezra, jadi beri tahu aku apa saja tuntutan yang dia minta?” Shadan melirik Endrawan. “Kasih tahu saja, Y
“Dia jahat sekali, semoga dia tidak akan menyakiti kamu lagi.”“Saya yang akan menghabisi Shadan dengan tangan saya sendiri kalau dia mengulanginya lagi, Siska.”Ucapan Ezra sontak membuat Siska terpana hingga shock.“I—iya, Pak.”“Jangan bikin suasana jadi tegang, Zra.” Pasha mengingatkan. “Aku selalu serius, orang seperti Shadan sepertinya harus diberi efek jera supaya dia tidak berpikir untuk melakukan kejahatan lagi.”Pasha sebetulnya sependapat, meskipun sedikit keberatan karena Ezra harus menunjukkan ancamannya secara langsung di hadapan Siska seperti tadi.“Apakah kali ini Shadan akan memenuhi tuntutan kamu?” tanya Kavita ketika dia dan Ezra sudah berada di rumah, dia langsung masuk kamar dan duduk di sofa untuk melepas tekanan di pikirannya.“Kamu tidak percaya pada hasil tadi?” Ezra ikut duduk.“Apakah keluarga besar kamu bisa dipercaya?”“Aku sendiri juga belum seratus persen percaya, tapi seperti yang saya bilang—apa pun keputusan yang mereka pilih, semuanya meng
“Ayah harap kamu tidak menolaknya, Zra. Ayah akan suruh pelayan untuk menyiapkan kamar tamu.” “Aku dan Kavita tidak bawa baju ganti, Yah.” “Jangan khawatir, kami bisa pinjamkan baju. Atau kamu minta Pasha untuk mengambilkan baju kalian,” kata Endrawan. Ezra dan Kavita saling lirik, sorot mata mereka memperlihatkan rasa curiga yang sama. “Menurutmu kenapa kita diminta untuk menginap di sini?” Kavita bertanya setelah tiba di kamar yang baru saja disiapkan untuknya dan Ezra. “Entahlah, mungkin ayah ingin menunjukkan citra yang baik di depan kamera wartawan yang meliput. Setelah ini pasti dokumentasi bocor dan mengundang banyak media untuk memburu berita.” “Jadi ayah mertua ingin menunjukkan kesan kalau anak-anaknya sudah berdamai dan tidak ada lagi masalah.” “Mungkin,” angguk Ezra seraya melepas arloji di tangannya. “Yang penting kita menang, tanpa perlu menunggu kamu hamil lagi.” Kavita tanpa sadar mengusap perutnya yang masih rata. “Kalau begitu tugas saya selesai, kan?” “Apa
Ezra melirik Shadan yang fokus menyantap daging asap yang tersaji di piringnya.“Entahlah, tidak ada yang bisa menjamin.”“Jangan seperti itu, sebaiknya kamu juga mulai membuka diri. Mereka adalah adik-adikmu.”Ezra enggan menanggapi, tapi dalam hati dia berharap jika apa yang dikatakan Pasha betul-betul terwujud tidak lama lagi.Sebelum pergi Kavita dan Ezra meninggalkan kediaman keluarga besar, Monic tiba-tiba muncul di depan kamar tempat mereka menginap.“Ezra, kita jadi jalan-jalan kan hari ini?” Kavita melirik Ezra dengan tatapan curiga. “Kita?”“Iya, aku dan Ezra. Kamu tuh tidak diajak!” Monic tersenyum puas, sebelum Ezra sempat menjawab.“Mau cari kesempatan untuk balikan, ya?” “Iya, memangnya kenapa?” Kavita berdiri dari duduknya. “Kamu sadar kan kalau dia sudah punya istri?”“Ya terus? Aku ini kan adiknya Ezra, ngapain kamu cemburu seperti ini?” Kavita mengepalkan tangan, kemudian menoleh ke arah Ezra yang sedari tadi diam saja.“Kamu ngomong sesuatu lah, buk
Setelah puas meninjau toko, Kavita menghubungi Adya untuk menjemputnya. Begitu mobil sudah tiba, Kavita langsung masuk dan duduk di samping kursi sopir. “Pak Ezra sudah pulang, Ad?” “Sudah, Bu.” Kavita heran karena Adya bersikap formal terhadapnya. Ketika dia melirik spion, terlihat Ezra yang duduk di kursi belakang mereka. “Dari mana kamu?” Ezra bertanya ketika dia dan Kavita tiba di rumah dan sedang menaiki tangga. “Dari toko, bukankah kamu lihat sendiri kalau Adya jemput saya?” Ezra menarik lengan Kavita untuk menghentikan langkahnya. “Kenapa kamu tidak izin dulu sama saya kalau mau pergi?” “Saya sudah bilang sama nenek,” jawab Kavita sembari menarik lepas lengannya dari pegangan Ezra, setelah itu dia masuk kamar untuk melepas penat. Dia cukup puas dengan kemajuan toko miliknya yang dikelola ayah Adya. “Lain kali seharusnya kamu izin dulu sama saya kalau mau ke mana-mana,” kata Ezra menyambung pembicaraan. “Saya sudah bilang sama nenek.” “Yang jadi suami kamu siapa, sa
“Istri tidak cuma butuh uang, Zra. Apalagi Kavita tipe pekerja keras seperti Siska, rasa ketergantungan terhadap suami tidak sebesar istri yang tidak bekerja. Kita macam-macam sedikit, mereka tidak akan ragu meninggalkan kita.” Ezra diam, dia tentu belum lupa bagaimana etos kerja Kavita yang terbilang tinggi. Kavita bahkan rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang untuk bisa mencicil utang-utang suaminya yang terdahulu. “Mana mungkin hal seperti itu terjadi, pikiran kamu terlalu kejauhan.” “Terserah kamu, yang jelas Kavita dan Siska itu memiliki latar belakang yang sama. Mereka istri yang tidak tergantung pada nafkah suami sepenuhnya ....” “Kavita sekarang sudah tidak bekerja lagi karena aku melarangnya, bukankah itu sudah cukup membuatnya jadi bergantung sama aku?” Pasha tersenyum meremehkan untuk kesekian kalinya. “Sebelum-sebelum itu, dia pasti punya tabungan. Bukankah dia punya usaha toko di rumah pribadinya?” Ezra terdiam lagi. Benar juga, selain nafkah pemberiannya, Ka
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay