Merasa ini adalah hal yang sangat mendesak, Pasha akhirnya mengambil risiko besar itu untuk pergi ke kantor Ezra. Dia berpesan kepada sekretaris Shadan jika dirinya ingin membeli obat di apotek. “Anda sakit apa, Pak?” Pasha berpikir sebentar. “Perut saya rasanya tidak enak, dari tadi ke toilet terus.” “Ah, semoga cepat sembuh, Pak!” Sekretaris Shadan tidak bertanya apa-apa lagi. Tanpa menunggu waktu lama, Pasha segera melajukan mobilnya ke apotek untuk membeli obat. Sengaja dia memilih apotek yang letaknya dekat dan searah dengan kantor Ezra supaya sekalian bisa mampir untuk membahas tentang pencapaian anak buah mereka. “Selamat siang, Pak Pasha!” “Tantri, Ezra ada tamu?” “Tidak Pak, silakan masuk saja.” Tantri tidak perlu minta izin terlebih dahulu karena Ezra tidak pernah keberatan jika Pasha langsung masuk ke ruangannya. “Zra! Dari tadi kamu ngapain saja sih?” Ezra menoleh sekilas. “Kerja.” “Ponselmu kenapa tidak aktif?” tuntut Pasha dengan wajah pias, tidak biasanya yan
Nanti kamu tidak perlu jemput saya,” kata Ezra ketika Adya menghentikan mobil yang ditumpanginya telat di halaman Dyaksa Company. “Anda pulangnya bagaimana, Pak?” “Nanti saya hubungi kamu kalau waktunya mencukupi, kalau tidak kamu pulang saja tidak apa-apa.” “Baik, Pak.” Adya mengangguk saja tanpa berani bertanya lebih jauh lagi. “Apa Pasha sudah datang?” tanya Ezra kepada Tantri yang pertama kali dia lihat saat akan masuk ke ruang kerjanya. “Belum, Pak.” “Nanti suruh langsung masuk saja, saya menunggu.” Tantri menganggukkan kepala, pertanda bahwa dia mengerti apa yang diinstruksikan oleh Ezra. Setibanya di ruang kerja, Ezra langsung mengubah ulang jadwal kegiatan khusus hari itu saja. “Sudah beres semua?” Pasha tiba kira-kira sepuluh menit kemudian. “Begitulah, aku bilang harus ke luar kota untuk urusan bisnis. Kamu?” “Alasan yang sedikit beda, aku bilang sama Siska kalau aku harus mendampingi kamu ke luar kota.” “Bagus, aku punya firasat kalau Kavita pasti akan telepon Si
“Kamu lupa? Deryl tidak pernah punya nyali untuk menghadapiku satu lawan satu,” ucap Ezra tegas. “Aku cuma ingin bicara empat mata sama dia, kamu cukup berjaga-jaga saja di luar. Aku akan panggil kamu kalau situasi tidak bisa aku atasi, oke?” “Terserah kamu, tapi hati-hati.” Ezra mengangguk dan segera memasuki ruangan yang menyembunyikan Deryl di baliknya. “Kalian jaga di luar bersama Pasha.” “Baik, Pak.” Dua orang yang berdiri tegap di depan Ezra seketika menyingkir pergi ke luar ruangan, meninggalkan Ezra bersama dengan seorang pria yang duduk terikat di atas kursi. “Kamu!” tunjuknya dengan sorot mata permusuhan ketika Ezra mendekat. “Sudah aku duga kalau kamu pasti di belakang semua ini!” Ezra meraih satu kursi ke arahnya dan duduk di hadapan Deryl. “Memangnya aku kenapa?” Dia tatap wajah Deryl yang ditumbuhi berewok lebat hingga nyaris tak dikenali. “Ini betul-betul kamu? Mantan istri Kavita?” Dilihat dari penampilan, Deryl yang sekarang tampak jauh sangat berbeda dibandin
“Mereka ini terbagi di masing-masing titik dengan tugas yang berbeda-beda pula,” lanjut Pasha. “Ada yang mengamati tempat kejadian, menyabotase kamera pengawas, menghalangi pandangan kamera jika risiko sabotase mereka mengalami kegagalan. Dan yang paling fatal adalah orang yang ditugaskan untuk menusuk Kavita sampai kritis.”Deryl menatap keempat orang itu bergantian.“Pura-pura tidak kenal?” Ezra menoleh ke arah Deryl. “Masih mau membela diri?”“Bedebah.”“Masih bisa mengumpat, oke. Orang yang tadi aku suruh untuk meratakan rumah kamu dengan tanah sudah dalam perjalanan menuju ke sana.”“Bangsat, kamu ....”“Tidak usah takut kalau kamu memang tidak bersalah,” kata Ezra tenang, sambil menunjuk keempat orang yang masih berdiri diam. “Cukup mereka saja yang kami urus dan kamu akan tetap di sini sendiri sampai membusuk.”Deryl menggeser tatapannya.“Kamu tidak menjebloskan aku ke penjara?”“Tidak, penjara masih terlalu nyaman buat kamu. Di sana kamu masih dapat makan dan minum d
Kavita sedang fokus menonton televisi ketika kamar Ezra terbuka dan dia refleks menolehkan kepalanya. “Belum tidur?” tanya Ezra dengan nada dasar khas miliknya. “Saya nunggu kamu,” jawab Kavita jujur seraya mendatangi Ezra yang tiba-tiba memeluknya erat. “Ezra, apa yang terjadi?” Tidak ada jawaban selain hanya tarikan napas berat dan dalam. “Apa ada masalah? Bagaimana pekerjaan kamu hari ini? Gagal atau ...?” Pertanyaan beruntun itu terlontar begitu saja dari bibir Kavita. “Tidak, semuanya lancar-lancar saja.” “Kamu serius kan?” “Sangat serius.” “Terus kenapa ...?” Kavita sangat ingin bertanya perihal Ezra yang tiba-tiba memeluknya begitu dia pulang, tapi sebagian kata-katanya terasa tertelan begitu saja di kerongkongan. “Kamu pasti capek, saya siapkan air hangat untuk kamu mandi ya?” Kavita mengalihkan topik ketika Ezra melepas pelukannya dan mengangguk singkat. Dengan suasana hati yang jauh lebih ringan, Kavita bergegas menyiapkan handuk, satu setel baju bersih dan air han
“Pasha sudah kasih tahu kamu kalau Monic masuk rumah sakit karena keguguran kan? Kamu ini kakaknya, paling tidak tunjukkanlah empati kamu sedikit saja.” Ezra menarik napas. “Aku ikut sedih mendengarnya, tapi cuma sebatas itu.” “Kamu ...” Endrawan bukan tidak tahu tentang masa lalu yang terjadi antara Ezra dengan Monic di masa lalu hingga sempat membuat keluarga besar Danadyaksa gempar. Namun, salahkah dia jika menginginkan hubungan baik kembali terjalin di antara seluruh anaknya? “Zra, Monic adik kamu.” “Aku tahu, Yah. Maaf, aku tidak ingin membuat suasana di antara kami semakin runyam. Ada dua hati yang harus aku jaga, pertama istriku dan yang kedua adalah suami Monic.” “Jangan jadikan mereka sebagai alasan, Zra. Mereka berdua tahu pasti kalau kamu adalah kakak Monic, jadi tidak masalah kalau kamu datang untuk menjenguk adikmu.” Ezra terngiang kembali ucapan Kavita pada malam itu. ‘Monic seperti ... belum bisa melupakan kamu. Dia mungkin masih memendam perasaan yang kini terha
“Apa Shadan masih ada di sana?” tanya Ezra waspada. Bukannya dia takut, hanya saja dirinya tidak ingin jika suasana tenang di rumah sakit mendadak berubah jadi ribut-ribut jika Shadan berjumpa dengannya. “Ayah sudah menurunkan dia di kantor tadi,” sahut Endrawan. “Sebentar lagi kita sampai di ruangan rawat inap adikmu.” Monic terperangah tak percaya ketika Endrawan datang berkunjung lagi ke ruang rawat inapnya, apalagi kali ini dia datang bersama Ezra. Seseorang yang pernah menempati tahta tertinggi dalam relung hatinya, itu sebelum dia tahu bahwa mereka berdua ternyata memiliki hubungan darah. “Kalian berdua, dengarkan ayah baik-baik.” Endrawan menatap Ezra dan Monic bergantian. “Ayah sudah tua, karena itu ayah mau anak-anak ayah hidup rukun tanpa mengingat-ingat lagi masalah yang terjadi pada masa lalu.” Baik Ezra maupun Monic tidak ada yang bereaksi. “Semua salah ayah, tentu saja ayah mengakui itu. Siapa yang bisa melawan takdir? Tidak ada,” imbuh Endrawan. “Monic, ayah berk
“Kalau kamu menyiksanya terlalu lama, kamu juga yang akan rugi.” Pasha berkomentar. “Aku tahu, menghadapi Deryl memang tidak bisa sembarangan. Apa susahnya juga sih dia buka mulut?” Pasha mengangkat bahu. “Jangan terlalu lama menyekapnya, bisa-bisa polisi menjerat kita dengan pasal-pasal penganiayaan, penculikan, atau apalah itu ....” “Semua akan aman, yang penting polisi tidak tahu.” Ezra menyahut santai. “Hari ini juga, suruh orang untuk mengangkut istri dan keluarga Deryl dari rumah mereka dan siapkan alat-alat berat di sana.” Mata Pasha terbelalak mendengar perintah Ezra. “Setelah itu pertemukan Deryl dengan keluarganya, aku ingin tahu sekuat apa dia menutupi rahasia.” “Kamu yakin, Zra?” “Tentu saja, aku tidak pernah main-main. Kalaupun aku sedikit mengulur waktu, itu karena aku ingin menunggu waktu yang tepat. Jadi lakukan sekarang.” “Oke, aku akan segera suruh orang untuk melaksanakan instruksi kamu.” Ezra mengangguk puas, selanjutnya dia meminta Tantri untuk menghandle
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay