Kavita tidak tahu harus bersikap bagaimana. Jika menuruti napsu, tentu saja dia ingin sekali menjejalkan sepatu hak tingginya ke mulut runcing Monic. “Saya belum hamil, kenapa memangnya?” Ezra tercengang, tidak mengira kalau Kavita akan melontarkan jawaban sejujur itu. “Tidak kenapa-kenapa, tapi lucu juga kalau misalnya kita bisa hamil sama-sama!” Monic meneruskan ocehannya dengan santai, sama sekali tidak peka dengan situasi yang terjadi saat ini. “Silakan hamil duluan kalau memang kedua belah pihak sudah siap,” komentar Kavita, mencoba mengimbangi. “Percuma juga kalau cuma satu pihak yang berencana, tapi pihak lainnya belum sepakat soal itu—benar kan?” Ezra terperanjat saat Kavita menoleh ke arahnya. “Ya sudah kalau memang begitu, aku lihat kalian ini terlalu santai ... Menikah sudah berapa bulan, belum ada tanda-tanda hamil juga.” Monic masih bertingkah seakan sedang mengomentari cuaca yang tidak pasti. “Zra, jangan sampai kamu menyesal kalau aku duluan yang hamil, sementara
“Bisa juga dia merencanakan sesuatu yang tidak bisa kita prediksi?” tebak Shadan. “Apa pun itu, mungkin kita harus selalu waspada.” Monic berpikir keras sebelum menyahut. “Atau jangan-jangan .... perempuan itu tidak bisa kasih anak buat Ezra?” Shadan terdiam, seolah baru saja tersadar akan kemungkinan lain yang bisa membuat Ezra terlihat sesantai itu. “Apa kamu yakin? Sok tahu kamu ....” “Aku juga perempuan! Hal apa lagi yang bisa membuat istri tidak hamil-hamil setelah dia menikah dengan suaminya?” tukas Monic dengan nada yakin. “Tidak mungkin kalau ada hal lain yang membuat Ezra seperti tidak membidik target supaya istrinya cepat hamil, aneh ....” “Bisa jadi apa yang selama ini kalian pikirkan tentang Ezra itu tidak benar!” Pasha tiba-tiba nyelonong masuk ke ruangan Shadan. “Kalau iya, pasti sudah sejak awal istrinya hamil.” Monic berdecak saat Pasha tiba di hadapan mereka. “Lagi-lagi kamu muncul tidak pakai permisi!” kritiknya tajam. “Om Shatrya tidak pernah mengajari kamu so
Lampu kamar saat itu masih menyala terang, Kavita terlelap nyaman dari balik selimut Ezra yang menutupinya. Kemudian, samar-samar terasa sesuatu yang berat mendarat dengan kuat di sekitarnya. Namun, mata Kavita sudah terlalu berat untuk terbuka dan mencari tahu apa yang terjadi .... “Argh!” Kavita terperanjat ketika sesuatu menimpa bahunya, dia mencoba menggerakkan anggota tubuhnya. Namun, pergelangan tangannya langsung dicekal dengan kuat. “Ezra ...?” Mata Kavita terbelalak lebar ketika mengenali arloji yang melingkar di pergelangan tangan orang itu. “Apa yang kamu lakukan?!” Tidak biasanya Ezra muncul dan langsung menyerang Kavita dengan membabi buta seperti ini. “Ezra, stop—lepaskan saya ...!” “Kamu istriku, kan? Kamu istriku atau bukan?” Kavita terus berusaha membebaskan diri, di saat Ezra menciumi leher dan bahunya. “Tolong stop, tidak seperti ini caranya ...!” rintih Kavita tertahan karena tekanan-tekanan yang terus Ezra berikan di banyak titik tubuhnya. “Kamu berisik s
“Dia terjun di bisnis yang sama dengan Ezra,” sahut Shadan acuh.“Bukan! Tapi Ezra tidak akan punya anak karena dokter melarang istrinya untuk hamil,” ralat Monic dengan nada puas. “Itu artinya jalan Ezra untuk mengusik harta ayah sudah terhambat.”Shadan menegakkan punggungnya dan menatap ke arah Monic dengan tatapan menyelidik.“Kamu dapat dari mana informasi itu?”“Rahasia,” sahut Monic singkat.“Aku tidak akan percaya kalau sumbernya saja tidak jelas seperti ini,” komentar Shadan dengan nada meremehkan.“Kamu meragukan informan aku ya?” Monic tidak terima. “Aku baru sempat kasih tahu kamu sekarang, tapi diam-diam aku sudah mencari tahu sejak lama.”“Terus?”“Aku punya kenalan yang kerja di rumah sakit tempat istri Ezra pernah dirawat, dan dia berhasil mendapatkan informasi berharga yang aku butuhkan.”Shadan mendengarkan penjelasan Monic dengan tampang datar hingga sang adik melanjutkan.“Aku curiga karena dalam tim dokter, ada satu dokter kandungan yang diduga ikut berg
“Saya harus apa untuk menebus kesalahan semalam?” tanya Ezra sungguh-sungguh. “Saya tidak sadar kalau ... kalau saya kehilangan kendali dan menyiksa kamu.” “Oh ya? Kamu mau menebus kesalahan kamu?” “Ya! Katakan saja, akan saya lakukan ....” “Kalau begitu ceraikan saya sekarang juga,” pinta Kavita masih tanpa memandang Ezra sedikit pun. “Cerai?” “Ya, cerai.” Ezra menggeleng tak percaya. “Kita tidak mungkin bercerai sekarang,” katanya lirih. “Apa bedanya cerai sekarang atau nanti? Bukankah target dari pernikahan kontrak ini sudah mulai tidak jelas arahnya?” tukas Kavita dengan nada sedingin es. “Saya tidak bermaksud untuk membuatnya tidak jelas, tapi saya melakukannya demi kebaikan kamu.” Ezra berusaha menjelaskan. “Saya rela menunda soal anak untuk sementara waktu, sampai kamu betul-betul dinyatakan sembuh sepenuhnya.” Saat itulah Kavita baru bersedia memandang Ezra. “Apa maksud kamu?” Ezra terperanjat dengan mulut terkatup rapat. “Apa saya punya penyakit menular yang saya
Ezra menepuk bahu saudara sepupunya sambil tersenyum. “Siska setuju untuk mempertimbangkan lamaran ini, tenang saja,” katanya. “Kamu serius?” Tentu saja Pasha tidak percaya. “Yah, paling juga dia mempertimbangkan untuk menolak lamaran itu, aku tahu betul bagaimana karakter Siska.” “Yang penting dia tahu niat kamu,” ujar Ezra. “Aku cuma mencoba membuka jalan bagi kalian berdua ....” “Aku sangat berterima kasih, tapi kelihatannya tidak sesuai hasil yang diharapkan.” Pasha mengangkat bahu, jika dia ingat bagaimana teguhnya prinsip Siska selama. Sekali bilang tidak, maka seterusnya adalah tidak. “Kavita bagaimana?” tanya Pasha mengalihkan topik ketika melihat wajah keruh Ezra. “Sudah membaik.” Mendengar jawaban Ezra yang kurang meyakinkan, Pasha jadi mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh lagi. Setelah pekerjaan di kantornya selesai, Ezra langsung meminta Adya untuk mengantarnya ke rumah sakit. Kavita sedang duduk berbaring dan tidak memberikan sambutan apa pun ketika Ezr
Kavita nyengir. “Aku akan jadi perantara kamu, dengan membujuk Pak Pasha supaya mempercepat pernikahan kalian ....” “Vita!” Satu bulan kemudian, pernikahan Pasha dan Siska akhirnya digelar. Kavita dan Ezra sama-sama hadir untuk ikut merayakan hari bahagia mereka, tidak terkecuali Shadan dan keluarganya yang juga hadir menjadi tamu kehormatan. Di ruang rias pengantin, Kavita sedang menunggui Siska yang masih berdandan dibantu oleh tim juru rias yang kini tengah mengepungnya. “Kamu cantik sekali, Sis.” Kavita berkata kagum saat melihat pantulan wajah Siska di cermin. “Pantas aja Pak Pasha dan Roni tidak bisa mengalihkan wajahnya sedikitpun dari kamu.” “Memangnya kamu tahu?” sahut Siska yang justru merasa kurang percaya diri. “Aku sendiri tidak ngerti apa yang mereka lihat dari aku.” Itu adalah jawaban paling jujur dari Siska. Jika alasannya adalah kecantikan fisik semata, di luar sana bertebaran wanita-wanita yang lebih cantik dan tentunya menggoda. Namun, kenyataannya Roni malah
“Tumben kamu pucat, Vit? Sakit?” komentar Sofi yang baru saja membuat kopi.“Tidak kok, cuma agak capek saja. Mungkin aku terlalu lama duduk,” jawab Kavita dengan wajah letih.“Bikin teh dulu sana, serius itu pucat sekali kamu!”Kavita mengangguk saja dan berdiri meninggalkan ruang satu grupnya.“Akhir-akhir ini aku memang agak capek,” gumam Kavita sambil menyeduh teh. “Padahal kerjaan juga sama saja setiap harinya ....”Dia menyeruput tehnya sedikit dan perlahan merasakan kepalanya berkunang-kunang, karena itu dia urung menghabiskan tehnya dan memilih segera kembali ke ruang kerja.“Wah, langsung habis tehnya!” komentar Sofi ketika Kavita muncul dengan tangan kosong. “Bagaimana, sudah enakan?”Kavita menggeleng sambil meringis. “Yang ada malah pusing.”Sofi mengernyit ketika Kavita duduk sambil meletakkan kepalanya di meja.“Masuk angin mungkin, Vit. Kebanyakan lembur sama Pak Ezra nih!”“Sofiii, jangan bahas soal itu ...” tegur Kavita dengan mata terpejam. “Serius ini kepa
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay