"Papa!" Pemandangan indah di senja hari semakin buram pandangan, sebab semakin dipenuhi udara mata.Pak Rudi berdiri gagah dengan kejemawaan yang kentara. Tatapan tajam menghunus menimbulkan getaran yang cukup dahsyat di hati Zievana. Meski puluhan purnama terlewati tidak menyurutkan pembelian yang terpancar di manik hitam legam milik sang papah. "Dia bukan lagi bagian dari keluarga Hadisusilo, untuk apa dia datang kemari?" Pernyataan Pak Rudi laksana belati menikam tepat di inti jantung Zie.Membeku dengan bahu yang berguncang, Zie hanya pada ujung baju yang kenakan. Berusaha menguatkan diri, meskipun air mata telah banyak berlabuh di wajah."Pah, Zie bagian dari keluarga ini, sudah cukup hukuman yang Papah berikan untuknya. Tiga tahun Zie hidup tanpa kasih sayang dari kita, terlunta-lunta di luar sana. Lihat! Apa kalian tidak menginginkan cucu yang begitu cantik dan menggemaskan ini?!" Vano berdiri di hadapan sang papah sambil memangku Alana.Pak Rudi bergeming, tidak terbesit kein
Ketidakjujuran Zievana awal renggangnya keharmonisan keluarga Hadisusilo, ditambah retaknya rumah tangga Vano. Namun, setelah Pak Rudi memberi kesempatan Andra menjelaskan panjang lebar duduk permasalahan, akhirnya berhasil merangkul kembali Zie ke tengah-tengah mereka.Walaupun diselipi kebohongan pengakuan yang Andra kemukakan, tidak lain demi mengembalikan kepercayaan pasangan suami istri itu pada putrinya dan semua berhasil.Percakapan orang tua dan anak itu berlangsung sambil menatap pasangan yang sedang berdiri di tepian kolam, di mana terdapat rumput sintesis, serta berbagai macam bunga segar lagi mekar yang melengkapi indahnya taman.Percakapan dua sejoli itu tidak mampu di dengar oleh mereka bertiga yang sedang mengamatinya. Hanya kemesraan melalui canda tawa yang diperlihatkan Zie dan Andra."Mereka sangat serasi. Iya, kan, Pah?" ucap wanita paruh baya yang terlihat jauh lebih muda dari usianya, berkat kemahirannya merias, dan merawat kulit, serta pakaian mengikuti trend, ti
Denting sendok beradu dengan piring mengisi kesunyian di meja makan. Semua mata tertuju pada piring di hadapan masing-masing, serta mulut sibuk mengunyah."Bagaimana rencana pernikahannya? Kalian sudah memutuskan kapan waktunya?" Suara berat Pak Rudi memecah keheningan, mendadak suapan Zie terhenti, sekadar untuk mendongak.Lelaki yang selalu terlihat berwibawa itu mengangkat kepala, memandang sejurus wajah putrinya. Bu Hani dan Zevano mengikuti arah pandangan Pak Rudi."Mmm, Pak Andra mau ngomongin dulu sama orang tuanya, Pah," jawab Zie dengan sesungging senyum menghias lengkung tipis merah jambu.Pak Rudi mengangguk-angguk. Meletakan sendok pertanda dia sudah mengakhiri ritual makan malamnya, meneguk air putih, lepas itu dia berkata, "Jika sudah tidak ada hambatan, segerakan lah." Bernada penuh harap.Zie ikut menyudahi mengisi perut, tersebab lambung sudah terasa penuh. Menyiram kerongkongan yang seret oleh sisa makanan."Besok Pak Andra ngajak Zie kembali ke Jakarta. Banyak yang
Andra mengungkapkan hal tersebut dengan Zievana, sebelum akhirnya memadati puncak ubun-ubun Tuan Sanjay sehingga dapat mengakibatkan buruknya pada kesehatan orang tua yang tinggal satu-satunya itu, apalagi pria tua memiliki riwayat penyakit jantung.Masalah tidak dapat dipercaya atau tidaknya sang papah terhadap cerita yang Andra sampaikan, biarlah menjadi urusan belakangan yang penting ia sudah mengetahui kebenaran tanpa ada yang ditutup secuil pun.membenci Tuan Sanjay meluapkan kekecewaan dan kegeramannya dengan mengecam keras bahkan menggebrak meja sehingga menimbulkan kegaduhan sewaktu-waktu. Apa saat Andra mengatakan siapa wanita yang sudah berpaling dari Syahara.Zievana, Tuan Sanjay mengenal gadis itu yang bekerja sebagai staf keuangan di perusahan Pranajaya. Sebesar apa pesona wanita itu sampai bertekuk lutut. Namun, setelah Andra menyebutkan Alana, yang merupakan penerus generasi Pranajaya, perubahan sikap maupun ekspresi sang tuan mulai berubah."Alana? Cucu papah? Bagaiman
Sore itu Rio menjemput Rena tepat di jam bubaran kantor. Canda tawa penuh kegembiraan senantiasa mengiringi perjalanan mereka di atas kendaraan roda dua.Tiba-tiba laju motor berubah haluan, biasanya langsung menuju kontrakan Rena, atau mampir ke kedai jajanan, tidak kali ini. Rio membawa kendaraan ke sebuah rumah mirip vila.Rena hanya bertanya kemana Rio membawanya, tanpa secuil kecurigaan, hingga keduanya tiba di tempat yang mungkin sebelumnya sudah direncanakan sang pemuda.Rumah minimalis disekelilingnya dirimbuni tanaman bunga. Keadaan sekitar cukup sepi, jika diamati tidak terdapat bangunan lain yang jaraknya dekat, hanya ada satu rumah yang nyaris sama, itu pun berjarak puluhan meter.Rio mengatakan rumah ini milik saudaranya yang lama ditinggalkan, tapi dirawat oleh orang suruhan, sehingga terlihat rapi dan bersih. Ia ingin memberi kejutan di hari ulang tahun Rena dengan suasana baru bernuansa romantis.Kegembiraan menaungi wajah Rena, dengan supraise yang diberikan sang puja
Rena masih terus mempertahankan harga dirinya, jangan sampai ia terjatuh kepelukan penuh nafsu sang kekasih."Kamu salah besar, Rio! Aku mencintaimu, bahkan sangat mencintaimu, tapi aku masih waras jika harus menyerahkan keperawananku sebelum kita halal. Aku bukan wanita munafik, tapi sangat menjaga kehormatanku yang kelak ingin kuberikan setelah menikah!" Rena meluapkan kekecewaannya dengan kata-kata, disertai air mata yang membobol pertahanan.Dalam sekejap keromantisan dua sejoli itu digelayuti aura mencekam. Rio mengusap pipi yang terasa panas bekas tamparan. Seringai kecil menghias di salah satu sudut bibirnya, selaksa kemarahan dan aura licik bersatu padu menciptakan angkara pada sisi gelapnya."Kamu ingin bermain kasar, Rena? Ok, akan kuperlihatkan caranya. Dasar perempuan munafik!!!"Diluar dugaan Rena, Rio menarik tubuh mungil itu dengan kasar sampai ia memekik, kemudian membopongnya untuk dijatuhkan di atas karpet lalu menindihnya penuh nafsu."Rio, hentikan! Apa yang kamu
"Zievanaaa!" Teriakan Rena memekakkan telinga. Sontak Zie menutup kuping, supaya gendangnya terhindar dari kerusakan."Eh, Patung Kerdil, itu suara apa toa soak, sih? Bikin sakit kuping orang!"Rena terbahak, paling suka kalau sudah mencandai sahabatnya, seakan terlupa masalah kerumitan hidup. Puas dengan tawanya sampai mengeluarkan air mata, Rena mengembuskan napas sambil menyelipkan anak rambut yang berantakan ke belakang telinga. Mata Rena memindai setiap inci wajah cantik di hadapannya. "Kamu beda banget, Upik Abu. Masyaa Allah, kamu ketiban hidayah dari mana, sampai penampilanmu berubah drastis kek gitu?" Rena berdecak sambil geleng-geleng kepala.Rena mengakui perubahan Zie yang semakin mempesona, pantas saja Andra tergila-gila terhadap sahabatnya itu."Sialan, sahabat gak punya akhlak!" Menjitak gemas jidat Rena. "Masih banyak waktu, ngobrol dulu, yuk!" Zie menarik tubuh mungil sang sahabat, sampai Rena pontang-panting berusaha menyeimbangkan langkah wanita berpostur tinggi it
"Syahraaa! Apa yang kamu lakukan?!""A--an--dra ...." Satu kata terpatah-patah terucap, sebelum akhirnya Syahra benar-benar hilang kesadaran.Untuk mencari Andra terhanyut dalam bingung. Detik kemudian dia mengumpulkan tubuh tidak berdaya itu, kemudian membawanya untuk dibawa ke luar kamar.Menuruni tangga agak kesulitan. Salah seorang pelayan wanita terkejut, kemudian berlari membukakan pintu, agar Andra dapat dengan mudah menuju kendaraannya yang diparkir di halaman."Cepat bukakan pintu mobil belakang!" Tatapan tertuju pada pelayan pria yang sepertinya baru selesai buang sampah, segera dianggukinya mengikuti perintah."Bisa nyetir?" tanya andra.Kembali sang pelayan mengangguk disertai jawaban, "Bisa, Pak.""Cepat ke rumah sakit!"Usai berkata demikian, Andra menempatkan sang wanita di jok belakang bersamanya. Pria itu menjadikan pahanya sebagai alas kepala. Tidak berapa lama kendaraan warna hitam meninggalkan kediaman Syara.Andra membalut yang teriris potongan kaca oleh saputanga