Abigail mengeluarkan suntikan dari balik saku bajunya dengan senyuman licik. Matanya berbinar penuh kepuasan saat melihat ekspresi ketakutan yang terpampang jelas di wajah Tuan William."Suamiku, kau harus menyusul istrimu, agar semua hartamu aman di tanganku," ujarnya dengan suara perlahan namun penuh ancaman.Tuan William merasa seperti terperangkap dalam situasi tanpa jalan keluar. Ia menatap Abigail dengan tatapan penuh ketidakpercayaan dan sedikit harapan bahwa ada seseorang yang bisa menyelamatkannya dari situasi berbahaya ini."Kau ambillah semua hartaku, biarkan aku hidup," pintanya lirih, mencoba merayu hati Abigail untuk memberinya kesempatan hidup.Namun senyum sinis yang terukir di wajah Abigail semakin membuat bulu kuduk Tuan William merinding. Tatapannya yang dingin seolah menusuk-nusuk jiwa dan pikirannya."Oh, William, sayangnya hidupmu tidak termasuk dalam perhitunganku. Aku sudah muak dengan dirimu yang menjijikkan. Dan sekarang, saatnya bagiku untuk mengambil alih s
Alexander menatap Clara dengan penuh keyakinan, "Cukup Ma! Sampai kapanpun Alex tidak akan meninggalkan Clara," ujarnya tegas. Clara merasa tersentuh mendengar kata-kata sang bos yang begitu gigih memperjuangkan pernikahan mereka.Selma mencoba untuk ikut campur dalam situasi tersebut, "Alexander, lihatlah Bertha. Dia saat ini lumpuh, kau harus bertanggung jawab," desaknya dengan suara lemah. Namun Alexander tetap kukuh pada pendiriannya, "Ma, bukalah matamu. Semua yang Bertha alami saat ini adalah hasil dari perbuatannya."Clara terdiam sejenak, mengingat keadaan Bertha dan segala hal yang telah terjadi. Selma kemudian berbicara lagi kepada Clara, "Clara, bukankah kau tau sendiri bagaimana keadaan Bertha. Apakah kau tidak mau berbelas kasihan kepadanya? Tinggalkan Putraku dan biarkan dia hidup bahagia bersama dengan sahabat masa kecilnya," pintanya penuh harap kepada Clara.Clara merasa dilema. Dia mencoba memikirkan semua konsekuensi dari setiap pilihan yang akan dia ambil. Keputusa
"Papa, kenapa wajahmu terlihat panik? Katakan kepadaku apa yang Abigail lakukan kepadamu!" seru Clara.Tuan William akhirnya berkata yang sejujurnya kepada Clara tentang kejadian mengerikan malam itu ketika Abigail berusaha untuk membunuhnya. Dia merincikan setiap detail dari insiden tersebut, membuat Clara semakin terkejut dengan tindakan nekad Abigail."Papa tenang saja, Clara tidak akan membiarkan Abigail menyakiti Papa," tutur Clara sambil mencoba menenangkan ayahnya. Tuan William mengedipkan matanya pelan, dia merasa lega saat ini memiliki dukungan dan perlindungan dari putrinya.Clara keluar menemui Alexander yang duduk di depan kamar Tuan William. "Ada apa Clara?" tanya Alexander dengan ekspresi cemas melihat wajah tegang Clara. "Tuan, Abigail berusaha untuk membunuh Papa," ujar Clara sambil air mata mengalir tanpa henti. Mendengar kabar tersebut, Alexander langsung mengajak Clara duduk untuk memberikan dukungan dan kenyamanan padanya."Tenanglah, jangan sedih Clara. Anak buah
Clara menatap Alexander dengan tatapan sedih, mencoba keras untuk menahan air matanya yang ingin terus mengalir. Dia terkejut melihat bos sekaligus suaminya datang ke ruangannya, hatinya masih berat karena sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan."Clara, kau kenapa? Apakah ada hal buruk terjadi kepada Tuan William?" tanya Alexander dengan nada khawatir.Dengan cepat Clara menghapus air matanya dan mencoba tersenyum tipis. "Tidak Tuan, Papa baik-baik saja," jawabnya pelan.Alexander mendekati Clara dan menyandarkan tubuhnya pada meja kerja sang istri sambil menyilangkan kakinya. Ekspresi wajahnya penuh perhatian saat melihat Clara yang masih terlihat sedih.Alexander meraih tangan Clara lembut dan berkata, "Siapa yang sudah membuatmu sedih? Apakah kau masih kepikiran dengan omongan Mamaku?" Clara merasa hangat saat sentuhan lembut suaminya menyentuh tangannya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Tidak Tuan," ucapnya lirih seraya berusaha menjaga emosinya agar tidak pe
"Tuan, saya pulang kerja nanti tidak bisa pulang bersama dengan anda," ujar Clara.Alexander menghentikan langkahnya ketika mereka akan pergi ke ruang rapat."Kenapa? Apakah aku melakukan kesalahan?" tanya Alexander."Tidak Tuan, saya ada urusan," jawab Clara.Alexander mengangkat salah satu alisnya menatap Clara. Ekspresi wajahnya terlihat penuh pertanyaan dan sedikit kebingungan. Dia mencoba memahami alasan di balik penolakan Clara untuk diajak pulang bersama. "Urusan apa? Baiklah aku akan menemanimu," ujar Alexander dengan nada yang lebih tegas kali ini, mencoba meyakinkan Clara bahwa dia ingin membantu dalam hal apapun yang mungkin membuatnya sulit untuk pergi sendiri.Namun, Clara tetap kukuh pada keputusannya. "Tidak Tuan, saya bisa pergi sendiri." Suaranya terdengar lembut namun tegar, menunjukkan bahwa dia sudah memutuskan tanpa merasa ragu sedikitpun.Wajah Alexander seketika berubah menjadi masam dan dia melanjutkan perjalanannya menuju ruang rapat. Langkah kakinya terasa l
"Tuan, apakah kita perlu ke sana?" tanya Markus.Alexander tersenyum puas melihat sikap tegas Clara terhadap Rilla. Dia merasa lega melihat bahwa Clara mampu menjaga diri dengan baik."Tidak perlu Markus, saat ini dia sudah pandai menjaga diri," jawab Alexander sambil mengangguk puas."Ayo pergi sekarang Markus, sebelum dia menyadari kita sedang mengikutinya," lanjut Alexander seraya bergerak menuju pintu keluar Cafe."Baik Tuan," jawab Markus singkat namun penuh kesiapan.Markus pun segera mengikuti perintah Alexander, membawa mobil mereka menjauh dari Cafe dengan cepat dan tanpa meninggalkan jejak yang mencurigakan.Di sisi lainnya, Clara memperhatikan Rilla yang duduk sendirian di meja Cafe. Meskipun samar-samar karena jarak yang semakin jauh, ia masih bisa melihat mobil Alexander meninggalkan tempat tersebut dengan mantap. Hatinya berdebar-debar karena tak mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua itu."Seperti mobil Tuan Alexender, tapi tidak mungkin karena dia
"Clara, aku hanya ingin dirimu malam ini." Alexander menyentuh bahu Clara dan menatapnya dengan hangat. Clara merasa kehangatan dari sentuhan Alexander, membuat hatinya berdebar kencang. Dia tidak bisa menahan tatapan penuh kasih sayang dari Alexander.Clara hanya menundukkan kepalanya, tak sanggup bertemu langsung dengan pandangan penuh cinta dari lelaki yang telah menjadi suaminya itu. Namun, saat Alexander mengangkat wajah Clara dengan lembut menggunakan jari-jarinya yang gagah, Clara merasakan getaran aneh di dalam dadanya."Clara, pernikahan kita bukanlah pernikahan kontrak. Aku tidak akan meninggalkanmu," ucap Clara sambil memandang mata indah milik istrinya itu. Kata-kata tersebut terdengar begitu tulus dan sungguh dari lubuk hati terdalam seorang Alexander.Clara terlihat gugup, hatinya berdebar-debar saat mendengarkan ucapan manis yang keluar dari bibir tampan suaminya itu. Dia mencoba untuk tenang namun sulit baginya untuk mengendalikan detak jantungnya yang semakin cepat.'
"Clara, apakah kau sudah siap dengan presentasinya?" tanya Alexander di tengah-tengah sarapannya."Sudah Tuan. Filenya juga sudah saya salin ke laptop Anda," ujar Clara menahan senyumnya."Apa kau bilang? Kau salin ke laptopku? Sejak kapan aku mengijinkanmu menyentuh laptopku?" tanya Alexander mengerutkan keningnya.Clara menatap Alexander dengan penuh kekhawatiran, mencoba membaca ekspresi wajah sang majikan yang tampak tegang. Dia merasa bersalah karena telah menyentuh laptop pribadi Alexander tanpa izin sebelumnya. Clara berusaha menjelaskan bahwa laptop pribadinya sedang mati sehingga dia terpaksa menggunakan laptop milik Alexander untuk menyimpan file presentasi mereka.Namun, di balik raut muka cemas Clara, sebenarnya tersimpan rasa penasaran yang besar. Saat dia meng-copy file presentasi ke laptop Alexander, mata Clara tak sengaja melirik wallpaper yang ada di layar tersebut. Dan apa yang dilihatnya membuat hati Clara berdebar kencang.Alexander sendiri tenggelam dalam pikiran
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke