Emily hanya bisa menatap kepergian William dan juga Robert dengan tatapan bingung.
Entah apa yang terjadi sebenarnya, kedua orang itu nampak terburu-buru. “Apa ini tentang perusahaan?” gumam Emily. Ia pun menghela napas, sadar ia tidak bisa memberikan bantuan apapun. Yah... sadar diri juga otaknya tidak secerdas William. Di mobil, Robert menjalankan mobilnya dengan cepat. Pria itu benar-benar fokus, tidak ingin mencelakai William. “Tentang apa, Robert?” tanya William yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Robert mengeratkan pegangan tangannya pada kemudi mobil. Ada rasa khawatir yang mendalam, namun sadar wajib untuknya beritahu keadaan yang sesungguhnya kepada William. Dengan menarik napasnya dalam-dalam, Robert pun mulai mengatakan yang terjadi. “Nenek anda, beliau menghubungi para petinggi, membujuk untuk ikut serta dalam kerja sama perusahaan milik Tuan Hendrick.” UcapanHari itu, Tuan Luis duduk di ruang kerjanya yang sunyi. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, tetapi tidak ada satu pun yang ingin dia baca. Wajahnya kusut, penuh dengan kerutan frustrasi. Sejak skandal itu mencuat, kehidupannya berubah drastis. Teleponnya berdering berkali-kali, tetapi dia tidak mengangkatnya. Dia tahu pasti itu hanya panggilan dari wartawan yang ingin menggali lebih dalam kehancuran reputasinya. Bahkan, beberapa mitra bisnis yang dulu selalu siap membantu kini menghilang tanpa jejak. Yang lebih menyakitkan, istrinya pun telah pergi. Semalam, dia mengemasi barang-barangnya, meninggalkan catatan singkat di meja makan. “Luis, aku tidak bisa lagi bertahan dalam kehancuran ini. Nama baikku, bisnis yang sudah kubangun, dan masa depanku tidak seharusnya hancur karena kebodohanmu. Aku akan mengajukan perceraian dan memulai hidup baru. Semoga kau menemukan jalanmu sendiri. Selama
“Akhirnya,...” ucap Emily, girang. Sudah satu minggu berlalu sejak Emily memutuskan untuk memperbaiki guci yang pernah dia pecahkan. Dengan penuh kesabaran, dia menempelkan pecahan demi pecahan menggunakan lem perekat khusus. Meski hasilnya belum sempurna, bentuk guci itu kini hampir kembali seperti semula, meskipun retakan yang membekas di permukaannya tidak bisa disembunyikan. Emily memandangi guci itu dengan senyuman puas. “Setidaknya, aku sudah mencoba memperbaikinya,” gumamnya pelan. Dia berharap William akan menghargai usahanya dan tidak lagi menyimpan rasa kecewa yang mendalam. Dengan hati-hati, Emily membawa guci itu menuju kamar William. Di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan kepala pelayan. Emily berpura-pura tidak melihat, malas untuk berdebat. Kepala pelayan itu memperhatikan guci di tangan Emily, lalu menyunggingkan senyum sinis. “Ah, guci itu,” ujar kepala pelayan. “Meski
Hari itu cerah, dan mal besar di pusat kota penuh dengan aktivitas. Emily dengan langkah riang menarik tangan Azura, memaksa sahabatnya itu untuk ikut dengannya berbelanja. Azura, yang dari awal menolak keras, akhirnya menyerah setelah Emily terus memaksa. “Aku bilang tadi aku yang traktir, kan? Santai saja, Azura. Anggap saja ini bonus karena kau sudah banyak membantuku belakangan ini,” ucap Emily sambil tersenyum lebar. “Tapi aku tidak suka berutang dalam bentuk apapun, Emily,” sahut Azura sambil berdecak kesal. “Lagipula, aku tidak butuh apa-apa, kok.” Emily melirik Azura dengan senyuman jahil. “Kalau begitu, anggap saja ini hiburan. Kalau kau terus protes dan menolak, aku akan mengatakan kepada semua orang kalau kita ini pasangan lesbi!” Pada akhirnya Azura hanya bisa mendesah panjang. “Kau benar-benar menyebalkan sekali, Emily!” gumamnya sambil mengikuti langkah Emily yang penuh semangat. Setelah bebe
William kembali ke rumah menjelang sore. Meskipun hari ini adalah akhir pekan, tidak ada waktu untuknya beristirahat. Kepala pelayan berjalan mendekati William, menyapa dengan ramah dan hormat. “Selamat datang, Tuan.” William menganggukkan kepalanya. “Emily sudah pulang?” Kepala pelayan menggelengkan kepalanya meski dia sadar William tidak akan melihatnya. “Belum, Tuan. Apa perlu Saya minta orang untuk mencari tahu keberadaan Nyonya muda?” Dengan cepat William langsung merespon, “Tidak perlu. Aku hanya bertanya saja, jangan berlebihan menanggapinya.” “Baik,” sahut kepala pelayan. Ada perasaan heran, namun dia juga tidak berani mengungkapkannya. Bagaimanapun, jika itu orang normal biasa, tentu saja orang seperti Emily sudah dihempaskan dari jauh-jauh hari. Wanita ular yang berbisa mematikan, semua orang pun bisa melihatnya dengan jelas. William berjalan meninggalkan kep
Emily duduk di sofa ruang tengah, menatap kedua orang tuanya dengan wajah dingin. Julia terlihat cemas sambil meremas-remas tangannya. Sementara Johan berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan ekspresi keras dan tegas. “Emily,” Julia memulai, meraih tangan putrinya. Tatapannya penuh permohonan. “Kami hanya ingin segala yang terbaik untukmu. William bukan pria yang tepat untukmu. Lebih baik kau mengakhiri pernikahan ini sebelum semuanya semakin buruk.” “Terbaik untuk siapa?” Emily menarik tangannya perlahan, matanya menyipit, penuh dengan tanda tanya. “Kenapa, Bu? Kenapa kalian begitu membenci William? Bukankah dulu kalian bilang bahwa keluarga kita dan keluarga William adalah teman dekat?” Mendengar itu, Johan berbalik, menatap Emily dengan tatapan tajam. “Karena kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Emily. Kau buta dengan apa yang William lakukan. Kau tidak mengerti bagaimana dia membuat keluarga kita hancur sedikit demi sedi
Malam itu, William dan Emily tidur saling memunggungi. Percakapan terakhir mereka di mobil membuat mereka sendiri merasa aneh. Sedikit kesal, tapi juga sadar itu tidak perlu diungkapkan. Ada perasaan bersalah yang Emily rasakan. Tapi, dia juga tidak bisa memahami perasaan ragu akan hatinya sendiri. Yah, dia akan melakukan apapun untuk kebaikan William. Bahkan, jika itu menyangkut keturunan seperti yang William inginkan. Namun, bisakah hubungan mereka terjalin tanpa membahas perasaan atau memahami perasaan untuk sementara waktu ini? Emily berharap semuanya mengalir seperti air. Biarkan waktu yang akan menjelaskan bagaimana perasaan Emily yang sesungguhnya. “Aku benar-benar tidak bisa tidur,” batin Emily. Biasa untuknya tidur dalam dekapan pria itu. Sama seperti Emily, William sendiri juga tidak bisa tidur. Namun, yang sedang dipikirkan ol
“Ah, tidak ada. Lupakan saja,” jawab William. Emily terdiam. Namun, dia makin penasaran dan bertanya-tanya, sebenarnya apa yang telah dia lupakan? Pada akhirnya, Emily tetap memilih diam. Dia tidak tahu kenapa dia terus kebingungan, merasa ada sesuatu yang membuatnya tidak lengkap. **** William keluar dari mobil dengan tenang, kakinya menyentuh lantai dengan langkah yang penuh keyakinan meski tongkat penuntunnya tetap berada di genggaman. Seperti biasa, Robert sigap membuka pintu dan membantu memastikan William keluar dengan lancar. “Silahkan, Tuan. Berhati-hati lah.” Di belakang William, Emily melangkah turun dari mobil dengan elegan, gaun panjangnya yang anggun memantulkan cahaya dari lampu taman. Setelah itu, Emily segera memeluk lengan William, menempatkan dirinya dengan penuh percaya diri di sisi suaminya. Tanpa banyak ekspresi, William membiarkan kehangatan sentuhan Emily mengiringi langkah mereka menuju pintu utama. Robert mengikuti dari belakang den
William tersenyum samar, lalu berkata dengan suara rendah tapi tajam, “Ayah, hadiah ini adalah benda yang aku pikir paling pas untuk diberikan. Tidak semua hal terlihat seperti yang tampak di permukaan. Kadang, yang kita lihat hanyalah ilusi, sedangkan kebenaran tersembunyi di baliknya.” Pernyataan itu membuat suasana semakin tegang. Tuan Sebastian tidak bisa menyembunyikan kemarahannya, tetapi ia menahan diri untuk tidak membuat keributan di depan para tamu. Sebastian pun berbisik, “Jangan bermain kata-kata, William. Dengar kan aku baik-baik, kau tidak pantas melakukan hal semacam ini!” Sejak tadi, Kelly benar-benar menahan diri. Kemarahan yang ia miliki saat ini akan dia simpan. Namun, janjinya besar untuk membalas dendam itu. Emily, yang mulai memahami situasinya, menyadari bahwa hadiah ini adalah benda yang digunakan William untuk mencemooh Ayahnya. “Tukang selingkuh! Hehehe... mirip aku yang dulu.” batin Emily. Malam itu, patung tersebut menjadi topik utama di a
William kembali ke rumah malam itu. Dia mendapatkan informasi dari penjaga gerbang tentang kedatangan Nyonya besar beberapa saat lalu, tapi dia tidak terlalu ingin mempedulikannya. Begitu sampai di kamar, William tidak mendapati Emily di sana. Ia pun menjadi panik. Jangan-jangan Emily kabur. Biasanya Emily akan berada di sana setiap William pulang. “Emily! Emily!” panggil William. Pria itu benar-benar harus tetap berakting buta, padahal dia benar-benar sangat panik. Saat William keluar dari kamar, seorang pelayan rumah datang menghampiri dan berbicara dengan sopan, “Nyonya Emily berada di kamar ujung, Tuan. Siang tadi ada teman Nyonya Emily. Sejak saat itu, Nyonya Emily belum keluar dari kamar itu.” William menganggukkan kepalanya. Dengan gerakan tangan, William meminta pelayan itu pergi. Cukup lega mendengarnya. Setelah yakin tidak ada orang lagi, William berjalan menu
Sore itu, sebelum pulang ke rumah, William melangkah masuk ke sebuah restoran mewah. Di ruang VVIP, Tuan Xavier sudah menunggunya dengan ekspresi tenang, meskipun ada sedikit kelelahan yang terpancar di wajah pria itu. William duduk dan mereka saling bertukar sapa, membahas hal-hal ringan sebelum akhirnya William memutuskan untuk langsung bicara pada intinya. “Beberapa hari ini Emily sering menghubungi anda, Paman,” kata William dengan suara tenang namun penuh kehati-hatian. “Apakah ada sesuatu yang terjadi? Jika boleh tahu, apa yang diobrolkan Emily hingga sesering itu dia menghubungi anda?” Tuan Xavier menghela napas perlahan, meletakkan cangkir tehnya ke atas meja dengan gerakan lembut. “Beberapa waktu terakhir, Emily mengalami terlalu banyak kejutan dalam hidupnya, William. Aku yakin kau pun menyadarinya. Tekanan yang dia rasakan tidak kecil. Dia pasti merasa stres dan frustrasi belakangan ini.” William mengangguk pelan.
Elizabeth menatap keluar jendela mobil dengan gelisah. Sudah lebih dari satu jam perjalanan, tetapi mereka masih belum sampai. Jalanan semakin sepi, hanya ada pepohonan di sisi kiri dan juga kanan. Tangannya mengepal erat. Dia sudah beberapa kali bertanya kepada sopir yang mengantarnya, tapi pria paruh baya itu hanya diam, seolah tidak mendengarkan. “Hei! Aku bertanya, kita mau ke mana?” bentaknya, mulai kehilangan kesabaran. Sopir itu tetap tidak menjawab. Frustrasi, Elizabeth menatap gagang pintu. Jika dia tidak segera mendapatkan jawaban, dia akan mengambil resiko, loncat dari mobil ini! “Aku bersungguh-sungguh! Jika kau tidak menjawab, aku akan keluar dari mobil sekarang juga!” ancamnya.sopir itu akhirnya menghela napas dan berbicara dengan nada tenang, “Aku hanya diperintahkan Untuk mengantarmu menemui ibumu. Jadi, tetaplah untuk tenang.”Elizabeth terdiam. Ibu? Pikirann
Emily mengepalkan tangannya erat. Dia hanya bisa menatap punggung Elizabeth yang berjalan menjauh, semakin lama semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik pintu gerbang rumah itu. Mata Emily memanas, tapi dia menahan diri agar tidak menangis. Dia tidak bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi, tetapi melihat Elizabeth yang biasanya selalu menunjukkan wajah palsu pergi dengan kesan yang nampak marah dan kecewa, Emily pun menjadi gusar. Sementara itu, Elizabeth menundukkan kepalanya, menahan isak tangis yang semakin berat. Dia benar-benar tidak rela meninggalkan rumah itu. Tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana dia bisa merasa dekat dengan William. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Robert telah mengancamnya, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan bukti yang cukup untuk menghancurkan hidupnya. Dia masih belum tahu di
Pagi itu, suasana di kamar mandi rumah William terasa begitu hangat. Emily dan William tengah berendam bersama di bathtub yang penuh busa. Tawa kecil Emily menggema ketika William dengan lembut menggosok punggungnya. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?” tanya Emily sambil memutar kepala untuk melihat William. William tersenyum tipis, membalas, “Tentu saja. Jarang-jarang aku bisa mandi bersama istriku. Rasanya... aku jadi ingin setiap hari.” Emily tertawa pelan, menggelengkan kepala. “Kau benar-benar tidak mungkin serius, kan?”“Serius. Dulu, saat kecil kita juga sering mandi di kolam renang bersama, sayangnya saat itu aku masih sangat polos dan hanya tersenyum bahagia melihat balita menggunakan pakaian renang.”Emily pun terkekeh. Setelah selesai mandi, mereka saling membantu. Emily memakaikan dasi untuk William, sementara William membantu Emily memilih dress santai untuk dikenakan di rumah.
William melangkah masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu, seperti biasanya saat dia sedang pulang ke rumah. Namun, kali ini, dia melihat sesuatu yang membuat alisnya sedikit mengernyit. Emily yang tengah memegang ponselnya tiba-tiba menyembunyikan di balik punggung saat melihat dirinya masuk. Emily tersenyum, berusaha terlihat senang Mungkin. Dia segera bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah William. “Sayang, sudah pulang?” tanyanya dengan lembut, seolah tidak terjadi apa-apa. William menutup pintu dan mengangguk pelan. Dia ingin bertanya tentang ponsel yang disembunyikan Emily, tapi melihat wajah istrinya yang lebih cerah dibanding beberapa hari terakhir, ia memutuskan untuk menahan diri. Tanpa berkata apa-apa, Emily langsung memeluk William erat. William terkejut sejenak, namun segera membalas pelukan itu. Sudah berapa waktu ini Emily lebih banyak diam, dan dia yang mengambil inisiatif untuk memeluknya lebih dulu
Pagi itu, di sebuah kafe, tempat Azura bekerja. Azura menatap Robert dengan tatapan tajam, tangannya menyilang di depan dada, sementara proposal di hadapannya tetap tak tersentuh. “Dengar, Tuan Rodet atau Robert, dan... siapa lah itu,” katanya dengan nada datar. “Emily bukan anak kecil lagi. Dia sudah cukup tua, bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Dan aku? Aku bukan pengasuh atau bodyguard. Aku ini pelayan cafe biasa, dan aku nyaman dengan pekerjaanku sekarang ini.” Robert tetap tenang, meski dia bisa merasakan penolakan keras dari Azura. “Aku tentu saja mengerti posisi anda, Nona Azura. Tapi ini bukan hanya soal pekerjaan saja. Ini soal Nyonya muda Emily. Lagi pula, bekerja di kafe seperti ini tidak mungkin bisa menjamin masa depan anda.”Mendengar itu, Azura pun makin menatap Robert dengan tatapan kesal. Ia memiliki cerita tidak mengenakan dengan para orang kaya, itu cukup membuatnya muak. Walaupun Emily adalah
Johan dan Julia mencoba untuk menemui Emily, namun kesulitan karena baik penjaga gerbang maupun pelayan rumah tidak ada yang memberikan akses. Nyonya besar juga dilarang untuk datang oleh William. Seolah tahu apa yang akan terjadi, William ingin mengantisipasi semua masalah dari luar. Emily sedang kacau belakangan ini, akan mudah baginya dipengaruhi, dan berpikir buruk. Sementara itu, di dalam kamar, Emily menghela napasnya. Sungguh, rasanya bosan sekali terus berada di dalam kamar seperti ini. Akhirnya, Emily memutuskan untuk berjalan-jalan keliling rumah dan taman saja guna mengusir rasa bosan itu. “Aku ingin pergi ke pusat belanja. Makan es krim, beli baju, ahhh... pokoknya apapun yang bisa aku lakukan di sana, deh!” gumamnya. Namun, langkah kaki Emily terhenti saat mendengar suara Elizabeth tengah bicara di telepon. Emily mengerutkan keningnya. “Elizabeth... kenapa dia ada d
Malam itu, di sebuah apartemen. Suara barang pecah belah menggema di dalam kamar Hendrick. Napasnya memburu, dadanya naik turun penuh emosi. Ia baru saja menerima kabar bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya, kehancuran bisnisnya, rusaknya reputasinya, dan kekalahannya adalah ulah William dan Emily. Mereka bekerja sama untuk menyingkirkannya. Hendrick menatap pantulan dirinya di cermin yang kini retak akibat lemparannya. Matanya merah penuh kemarahan. “William... Emily,” gumamnya, “kalian pikir, kalian benar-benar sudah menang?” Ia menyeringai dingin. Tidak. Ini belum berakhir. Dia akan menghancurkan mereka, satu persatu. Jika Emily meninggalkan William, pria itu pasti akan hancur. Atau lebih baik lagi, jika ia bisa membuat mereka saling membenci, itu akan menjadi hukuman terbaik. “Tidak sulit,” Hendrik tertawa. Ia tahu Emily bukan