Joanna mendekati Ethan setelah dia sadar dari keterkejutannya. Kini jarak mereka sangat dekat, wanita itu menatap mata Ethan dengan berani.
"Menikah?" tanya Joanna dengan suara tenang."Will you marry me?" Ethan sengaja mengulanginya agar Joanna semakin percaya dengannya."In your dream, Mr. Ethan," balas Joanna sambil menyeringai. Ethan salah jika dia bisa takluk semudah itu. Dia adalah Joanna, wanita yang sudah berkomitmen tidak ingin menikah dan jatuh cinta.Joanna mundur dua langkah, melipat kedua tangannya di depan dada. "Silahkan pergi dari apartemenku, Pak Ethan!"Ethan menatap Joanna tak percaya, bisa-bisanya wanita itu menolak lamarannya tanpa pikir panjang padahal di luar sana banyak wanita yang mengantri berada di posisi Joanna."Kamu menolakku, Joanna?" tanya lelaki itu ingin memastikan lagi. Sampai saat ini dia masih belum bisa terima, Joanna menolaknya dengan begitu mudah.Tanpa ragu, Joanna mengangguk. "Ya, dengan penuh kesadaran aku menolak lamaran, Pak Ethan. Jelas bukan? Sekarang silahkan pergi dari sini, Pak!"Joanna mulai geram, entah dengan apa lagi dia harus mengusir Ethan.Ethan memasukkan kembali kotak cincin ke dalam saku celana. Dalam diam, lelaki itu mendekati Joanna. Namun, Joanna justru mundur menjauh.Joanna tersentak kaget saat tangan Ethan bergerak menuju wajahnya, spontan wanita itu menahan tangan lelaki itu."Apa yang kamu lakukan?" tanya Joanna.Wanita itu terlonjak saat mendengar suara buket terjatuh. Wanita itu menunduk dan benar saja, buket mawar yang dibawa Ethan sudah jatuh ke lantai.Dengan cepat tangan Ethan menarik tangan Joanna, sehingga kini tangannya bisa kembali bergerak bebas. Ethan mencengkeram erat pergelangan tangan Joanna. Sedangkan tangannya yang lain terulur merapikan rambut Joanna."Kenapa buru-buru mengambil keputusan, Joanna? Tidak perlu buru-buru! Aku akan beri waktu satu Minggu untuk memikirkan lamaranku, Joanna.""Tid—"Joanna terdiam saat jari telunjuk Ethan menyentuh bibirnya. "Pikirkan baik-baik, Joanna! Aku punya segalanya, kamu tidak akan menyesal menerimaku. Hidupmu akan terjamin."Ethan tersenyum tipis, tangannya mengusap pelan bibir Joanna dan berpindah ke pipi wanita itu."Satu Minggu, Joanna!" ujar Ethan kembali mengingatkan.Sentuhan Ethan di pipinya membuat wanita itu linglung dan sialnya dia justru kembali mengingat malam panas bersama atasannya.Perlahan Ethan melepaskan tangan Joanna, lelaki itu mengambil buket bunga dan menyerahkan pada Joanna, memaksa wanita itu memegang bunga pemberian darinya."Ini kesempatanmu untuk menjadi Nyonya Ethan, Joanna. Pikirkan baik-baik!"Ethan berbalik dan berjalan meninggalkan Joanna. Satu tangan Ethan dia masukkan ke dalam saku, lelaki itu menyeringai setelah selesai menjalankan satu misinya. Ethan yakin sebentar lagi wanita itu akan bertekuk lutut padanya.Joanna menjatuhkan buket bunga itu, dia berjalan menginjak mawar pemberian bosnya. Langkah kakinya semakin cepat mengejar Ethan.Wanita itu menghadang langkah Ethan. Kemunculannya berhasil mengagetkan lelaki itu."Aku tidak butuh waktu satu Minggu, Pak Ethan. Detik ini juga aku sudah mengambil keputusan, aku tidak menerimamu. Jadi, silahkan cari wanita lain yang dengan senang hati menerimamu sebagai suaminya!" ujar Joanna dengan deru napas memburu."Kamu akan menyesali keputusanmu, Joanna," ucap Ethan penuh penekanan.Joanna menarik kedua sudut bibirnya membentuk seulas senyum tipis. "Aku tidak pernah menyesal, Pak Ethan. Aku anggap malam itu tidak pernah ada dan sebaiknya Pak Ethan melupakan semuanya. Mari kita jalani hidup seperti sebelumnya, tidak saling mengenal."Usai mengatakan hal itu Joanna langsung meninggalkan Ethan.Mata Ethan terus mengikuti pergerakan Joanna."Sepertinya semua orang harus tahu, wanita seperti apa dirimu, Joanna!"Joanna berhenti seketika, dia menoleh ke belakang. "Maksudmu apa?""Aku akan beritahu semua orang tentang pekerjaanmu," ancam Ethan dengan raut wajah serius.Wajah Joanna memucat seketika. Kedua tangannya terkepal kuat, dia menatap Ethan dengan tatapan penuh kebencian."Ya, bongkar saja!" tantang Joanna. "Katakan pada semua orang, Pak Ethan. Aku tidak peduli dan tidak akan pernah mengubah keputusanku. Aku tidak mau menjadi istrimu!"***Ethan kembali meneguk minuman dingin lantas meletakkan gelas itu dengan kasar. Tangannya mencengkram erat gelas itu hingga buku-buku jarinya memutih."Ternyata dia masih sombong," gumam lelaki itu.Masih teringat jelas di ingatannya, bagaimana Joanna menolaknya."Bisa-bisanya dia memerintahku seperti itu. Memangnya dia siapa?" Ethan kembali menyeringai. "Kita lihat saja, sampai sejauh mana kamu bisa menolakku, Joanna?"Ethan tidak akan pernah mundur sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan.***Joanna mendesah kesal saat mengingat Ethan, atasannya begitu menyebalkan, terus saja mengusik hidupnya."Apa belum cukup dia mengambil milikku yang paling berharga?" gumamnya.Wanita itu tersentak kaget ketika ada panggilan masuk, dia melirik layar ponselnya dan mengabaikan begitu saja setelah melihat ayahnya yang menelpon. Namun, detik berikutnya ayahnya kembali menghubunginya lagi."Halo, ada apa, Yah?" tanya Joanna malas."Mana uangnya, Joanna?" tanya lelaki paruh baya itu tak sabaran.Permintaan ayahnya membuat Joanna mencengkeram erat ponselnya. Matanya terpejam sejenak lantas menghembuskan napas jengah."Minggu lalu baru aku transfer sepuluh juta, Yah. Apa sudah habis lagi?" tanya wanita itu geram."Kamu pikir segitu cukup? Cepat kirim lagi, Joanna! Mereka terus mendatangi ayah untuk menagih hutang. Apa kamu tidak bisa mencari kerja yang menghasilkan lebih banyak uang?""Aku bukan mesin pencetak uang ayah!" tegas Joanna. "Ayah masih sehat kan? Kerja ayah! Jangan hanya mabuk dan judi terus!""Dasar anak durhaka. Berani kamu sama ayah?"Kepala Joanna mulai berdenyut mendengar ucapan tak penting itu. "Aku sibuk.""Jangan lupa kirim uang Joanna! Kamu sudah janji mau melunasi hutang ayah. Jika, kamu tahu akibatnya, kan? Pak Tegar dengan senang hati menikahimu dan semua hutang ayah akan lunas. Bagaimana, Joanna?""AYAH!" bentak Joanna."Beraninya ka—""Sampai mati aku tidak akan sudi menikah dengan kakek tua itu," potong Joanna cepat. Wanita itu bergegas mematikan sambungan telepon.Tangan Joanna terkepal kuat, wanita itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Perlahan dia menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum tipis."Kamu akan baik-baik saja, Joanna!" ujarnya memotivasi dirinya sendiri.Wanita itu kembali dikejutkan dengan suara panggilan masuk. Dia pikir dari ayahnya, ternyata dari adiknya. Segera dia menjawab panggilan itu."Halo, ada apa Via?""Mbak Joanna, ibu sudah dua hari di rumah sakit," jawab wanita di seberang telepon itu.DEG!Joanna kaget sekali, ayahnya bahkan tidak mengatakan apapun tentang ibunya. "Apa ibu kambuh lagi?""Maaf Mbak Joanna, ibu sebenarnya melarangku memberitahu tapi penyakit ibu sudah kambuh tiga bulan ini."Joanna meremas ujung seragam pramugarinya. "Ayah tahu ibu sakit?""Ya, mbak. Tapi ayah tidak peduli, kerjanya setiap hari hanya mabuk dan berjudi. Mbak kata dokter sel kankernya aktif kembali dan harus segera melakukan kemoterapi. Bagaimana ini mbak? Aku dan ibu tidak pegang uang."Joanna mengusap kasar wajahnya. "Kamu tenang ya! Nanti selesai kerja aku akan ke rumah sakit. Berapa biayanya?"Joanna terdiam mendengar jawaban adiknya. Bukan hanya biaya kemoterapi tapi juga tunggakan rumah sakit ibunya."Jaga ibu Via!"Joanna meremas ponselnya setelah panggilan berakhir. Mengirim uang pada ayahnya adalah sebuah kesalahan, harusnya dia memberikan pada ibunya langsung."Ke mana aku harus mencari uang?" gumam Joanna. Tabungannya sudah terkuras habis untuk mencicil hutang ayahnya.Joanna terdiam saat teringat tawaran yang diberikan oleh Ethan."Aku bisa memanfaatkan Ethan? Dia kaya dan terobsesi padaku. Haruskah aku menerimanya?"Sepanjang malam, Joanna gelisah, nyaris terjaga semalaman. Pukul empat dini hari, wanita itu bangun dari tempat tidur, bergegas menyambar ponsel dan kunci mobilnya. "Semoga ibu baik-baik saja," gumam wanita itu. Joanna meninggalkan basemen apartemen lantas menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jarak tempuh yang biasanya menghabiskan satu setengah jam, kali ini bisa dia jangkau dengan waktu empat puluh lima menit. Wanita itu segera turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semakin melangkah menyusuri lorong ruang rawat inap, tangan Joanna semakin keringat dingin. Dadanya terasa sesak sekali menahan air matanya."Mbak Joanna."Suara Via membuat Joanna menoleh ke belakang. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ketika adiknya memeluknya secara tiba-tiba. "Aku takut, Mbak," ujar Via lirih. Joanna memeluk adiknya dengan erat, mengusap punggungnya beberapa kali untuk menenangkan adiknya yang tengah terisak. "Ibu pasti baik-baik saja," bisik Joanna. "Kamu tahu ibu
Joanna mengusap kasar air matanya, bergegas berdiri sambil memasang raut wajah datar, seolah tidak terjadi apa-apa padanya. "Ah, aku hanya mencari udara segar," jawabnya. Dia sama sekali tidak menyangka bertemu dengan Ethan saat akan perjalanan pulang. Jangan-jangan Pak Ethan membuntutiku? pikirnya. Joanna menggeleng cepat, menyangkal pemikirannya itu. Atasannya itu orang sibuk, mana mungkin punya waktu untuk membuntutinya. "Kamu berbohong?" tebak Ethan setelah dia mengamati wajah Joanna selama beberapa detik. "Wajahmu terlihat gelisah."Joanna memalingkan wajahnya, menghembuskan napas gusar karena Ethan berhasil menebaknya. Ethan beralih menatap mobil Joanna, mencoba mencari tahu alasan wanita itu gelisah. Lelaki itu tidak percaya Joanna hanya sekedar bersantai di tepi jalan. Satu alis Ethan terangkat saat melihat ada yang aneh dengan ban mobil belakang Joanna, dia bahkan berjongkok untuk memastikannya. Astaga! batin Joanna, sebentar lagi lelaki itu pasti tahu masalah yang sedan
Joanna menatap sekilas baju ganti yang sudah disiapkan di atas tempat tidur lantas berpindah menatap makanan yang ada di atas meja. Dia sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Yang dia inginkan hanya segera pergi dari rumah Ethan. Suara pintu terbuka membuat Joanna menoleh. "Mana Pak Ethan?" Sambil tersenyum Bibi Dara menyodorkan secangkir teh hangat. "Minum dulu Mbak Joanna! Biar tenang!" Bibi masih berusaha untuk meredam emosi Joanna. "Bagaimana bisa aku tenang saat diculik? Cepat telepon Pak Ethan! Suruh ke sini sekarang juga!" ucap Joanna penuh penekanan. "Pak Ethan masih di perjalanan Mbak Joanna. Sebaiknya Mbak Joanna mandi dan makan dulu," ujar bibi. "Tidak, jangan memerintahku!" Joanna menatap sinis wanita paruh baya itu. Saat bibi lengah, Joanna menggunakan kesempatan itu untuk berjalan meninggalkan kamar. Dia semakin mempercepat jalannya, tidak peduli dengan panggilan dari bibi. Langkah Joanna terhenti saat pintu kamar itu terbuka, dia menahan napas melihat
"Atas nama Kings Airline dan seluruh kru yang bertugas kami mengucapkan terima kasih telah melakukan penerbangan bersama kami. Sampai jumpa dipenerbangan yang lain. Have a nice day."Joanna mengukir senyum tipis mengakhiri announcement final landing. Wanita itu bergegas menyelesaikan sisa pekerjaannya yang lain.Tak lama setelah seluruh penumpang turun dari pesawat, Joanna bergegas menarik kopernya."Aku duluan, semua pekerjaanku sudah selesai," ucap Joanna ketika berpapasan dengan rekan kerjanya yang lainPramugari itu mengangguk, tidak berani protes sekalipun mereka belum selesai pengecekan kabin."Baik, Mbak Joanna."Joanna turun dari pesawat, tiba-tiba saja ada yang memanggilnya membuat langkahnya terhenti."Joanna.""Ya, Captain Brian. Ada apa?" tanya Joanna."Kamu buru-buru sekali. Mau ke mana?" Brian sengaja berbasa-basi dengan Joanna, sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan wanita itu. Munafik kalau dia tidak rindu mengobrol sambil menatap Joanna."Ada urusan mendesak, Capt
Tatapan mata Ethan menajam, tanpa mengatakan apapun lelaki itu berjalan meninggalkan Joanna.Setelah Ethan menghilang dari pandangan matanya barulah Joanna melepaskan tangan Devan."Ini ambillah! Aku tidak mau menerimanya. Jangan lakukan ini lagi!" ucap Joanna.Devan mengernyit seketika karena tingkah aneh Joanna. "Apa yang kamu lakukan, Joanna? Tadi kamu bilang apa?""Jangan salah paham Devan! Aku terpaksa memperkenalkan sebagai pacar, terima kasih sudah mau membantu. Sorry, aku buru-buru mau briefing." Joanna berusaha untuk menjelaskan pada Devan agar lelaki itu tidak salah paham.Baru saja berbalik, Joanna menghentikan langkahnya saat pergelangan tangannya ditahan oleh Devan."Jam berapa kamu selesai kerja, Joanna?"Joanna mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Tidak apa-apa."Joanna melenggang meninggalkan Devan. ***“Revisi ulang semua laporannya!” perintah Ethan tegas, lelaki itu tidak menerima alasan apapun. Semua orang yang ada di ruang rapat saling pandang, aura mencengkam atasa
Joanna menyeringai mendengar ancaman yang dilontarkan oleh Devan. Dia yakin sekali jika lelaki itu tidak akan berani melakukannya. "Hapus video itu sekarang juga, Devan!" perintah Joanna penuh penekanan. Devan menjauhkan ponselnya dari jangkauan Joanna. "Tidak semudah itu, Joanna.""Kamu benar-benar brengsek, Devan. Bisa-bisanya kamu merekamku diam-diam. Dasar kurang ajar." Joanna berusaha mengambil ponsel lelaki itu, tapi Devan justru memasukkan ke dalam sakunya. Devan mencengkeram erat pergelangan tangan Joanna. "Aku akan menghapusnya. Dengan satu syarat. Bagaimana?""Aku tidak sudi," balas Joanna sambil menatap tajam Devan. Perlahan Devan melepaskan tangan Joanna. "Baiklah kalau begitu aku tidak mau menghapusnya. Sepertinya kamu ingin seluruh dunia tahu betapa indah tubuhmu."Tangan Joanna kembali terulur, tapi lagi-lagi Devan menahan tangannya. Joanna segera menarik tangannya. Devan berdecak pelan. "Ck, padahal aku hanya memintamu menjadi kekasihku, Joanna. Apa itu sulit?" "H
"Bereskan masalah video itu! Jangan sampai semakin tersebar luas!" perintah Ethan lagi. "Baik, Pak. Masalahnya video itu sudah tersebar seantero maskapai, Pak. Semua orang kemungkinan besar sudah tahu."Tangan Ethan terkepal kuat, sejak bertemu dengan Devan dia sudah tahu jika lelaki itu bukanlah lelaki baik-baik. "Saya tidak mau tahu. Bereskan semuanya segera!"Sekretaris itu mengangguk patuh, tidak berani membantah. Ethan terdiam begitu pintu ruang kerjanya tertutup rapat. Harusnya dia tidak peduli dengan Joanna setelah wanita itu menolaknya, tapi nyatanya dia tidak bisa berdiam diri saat wanita itu disakiti oleh lelaki itu. Ethan mengecek kembali video yang dikirim sekretarisnya. Tangannya terkepal semakin kuat melihat video itu. "Pasti Joanna dijebak," gumam Ethan. Lelaki itu menghubungi sekretarisnya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Ethan?" tanya sekretaris itu dari seberang telepon sana. "Tingkatkan kemanan di ruang kru! Jangan sampai ada orang asing masuk!" Ethan tidak me
Tangan Joanna gemetar hebat, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya, dia benar-benar dibuat gila oleh Devan. "Dasar brengsek!" maki Joanna untuk yang kesekian kalinya.Dia tidak pernah menyangka jika Devan berani menyebarkan videonya. Joanna masih berusaha menghubungi Devan, tapi nomornya masih tidak aktif. Satu per satu air matanya turun membasahi pipinya, saat ini Joanna benar-benar kalut, tak mampu berpikir jernih. "Dasar psikopat," geram Joanna sambil mencengkeram spreinya. Tak lama setelah keheningan panjang, terdengar suara nada dering panggilan masuk. Joanna menyambar ponselnya setelah tahu Devan yang menghubunginya. "BRENGSEK KAMU DEVAN!" maki Joanna dengan suara menggelegar. Devan justru tertawa. "Sambutanmu manis sekali, Joanna."Rasanya Joanna ingin mencabik-cabik lelaki itu. "Maksudmu melakukan ini apa? Hah?""Apa kini kamu menyesal, Sayang? Bukankah aku sudah memperingatkanmu, Joanna?" "Hapus videonya!" perintah Joanna. Meskipun dia tahu video itu sudah tersebar,
Joanna mengernyit saat dia melih mobil Ethan siap di depan rumah. Padahal harusnya mobilnya yang ada di sana. "Masuklah, Joanna! Aku akan mengantarmu." Joanna tersentak kaget saat dia mendengar suara Ethan. Belum hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja Ethan menarik pergelangan tangannya. "Maksudnya apa?" tanya Joanna bingung. Dia berusaha menarik tangannya, tapi nyatanya tenaga Joanna tidak cukup kuat. "Mulai hari ini aku yang mengantarmu," tegas Ethan tanpa menoleh ke belakang. "Nggak mau," tolak Joanna. "Lepaskan aku, Ethan!" Lelaki itu baru melepaskan Joanna saat mereka sudah ada di dekat mobil. Rizal langsung mendorong tubuh Joanna masuk ke dalam mobil dan dia menyusul masuk, tidak membiarkan Joanna keluar lagi. "Apa-apaan ini? Koperku?" tanyanya panik. Bibi sudah membawa kopernya turun terlebih dahulu, dia takut kopernya tertinggal di dalam rumah. "Sudah ada di bagasi," jawab Ethan. "Jalan, Pak!" Joanna semakin panik saat mobil itu berjalan. "Pak hentikan
Ethan menatap Joanna yang tertidur pulas di sampingnya. Sayang sekali Joanna melewatkan pemandangan indah dari balik jendela pesawat pribadi Ethan. Tak lama setelah pesawat itu lepas landas, Joanna langsung tertidur pulas. "Joanna, bangun!" Ethan menggoyang-goyangkan lengan Joanna setelah pesawat itu berhasil mendarat dengan sempurna. Tak kunjung bangun, Ethan mendekatkan wajahnya. Namun, tiba-tiba wanita itu menarik tubuhnya menjauh. Joanna memasang tampang waspada. "Apa yang kamu lakukan, Ethan?" Ethan menjauhkan tubuhnya lantas dia berdiri dan mengulurkan tangannya. "Aku hanya ingin membangunkanmu, Joanna. Ayo, turun!" Spontan Joanna menyambut uluran tangan Ethan dan mereka berjalan meninggalkan pesawat. Di bawah sana sebuah mobil hitam sudah menunggu. "Selamat pagi, Pak Ethan. Selamat pagi, Bu Joanna," sapa sopir itu. "Pagi, Pak," balas Joanna. Joanna masuk ke dalam mobil dan diikuti oleh Ethan. Mobil itu langsung melaju begitu mereka masuk. HOEK! Joann
Ethan melonggarkan pelukannya saat dia mendengar suara napas teratur, dia menunduk lantas tersenyum kecil ketika melihat Joanna tertidur pulas di pelukannya. "Cantik," gumam lelaki itu spontan. Ethan menarik selimut lebih tinggi, tidak ingin Joanna kedinginan dan lelaki itu kembali mendekap erat istrinya. Untuk pertama kalinya mereka tidur di ranjang yang sama. Tak butuh waktu lama, Ethan ikut tertidur pulas. *** Sepasang mata yang terpejam itu perlahan-lahan mulai terbuka. Joanna mengernyit merasakan pelukan erat itu, wanita itu menyingkirkan tangan Ethan sehingga dia bisa bebas. Joanna mendongak, menatap Ethan yang sudah tertidur pulas. "Kenapa dia masih ada di sini?" Joanna meringis saat sudah tidak tahan lagi menahan buang air kecil, dia menyibak selimut dan langsung menuju ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama bagi Joanna berada di dalam kamar mandi. Dia kembali ke tempat tidurnya. Namun, Joanna hanya berdiri di samping ranjang. Wanita itu menggigit bibir bawa
"Selamat malam, Tuan Ethan! Selamat malam, Nyonya Joanna," sapa bibi yang ada di dapur. Bibi senang sekali melihat kedua majikannya sudah mulai akur, tidak seperti saat mereka pertama kali masuk ke dalam rumah ini. "Malam, Bi," balas Joanna. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya bibi. "Tidak usah, Bi. Saya mau masak nasi goreng," ujar Ethan. Bibi menatap majikannya tak percaya, selama bekerja di rumah Ethan baru kali ini bibi melihat Ethan turun langsung ke dapur. Detik berikutnya dia tersenyum tipis melihat Ethan kembali menggandeng istrinya. "Baik, Tuan. Saya permisi dulu." Joanna hanya bisa pasrah saat Ethan menarinya menuju meja bar mini. Dia juga tidak tahu kenapa ngidam dimasakkan oleh suaminya. Jujur saja, Joanna lebih nyaman jika Ethan menolak permintaannya dan dia bisa bebas memasak dengan bibi. "Duduk sini dulu!" perintah Ethan. Tangan lelaki itu terulur mengusap perut Joanna. Tubuh wanita itu menegang saat melihat senyum tipis Ethan, tatapan mata lelaki
"Joanna lihat yang mama bawa!" Pandangan mata Joanna berpindah mengikuti arah telunjuk mertuanya. Wanita itu langsung takjub melihat tumpukan perlengkapan bayi. "Ini semua mama belikan khusus untuk cucu mama. Semoga saja kamu suka, Joanna," ujar wanita paruh baya itu sambil tersenyum lebar. Usia kandungannya belum menginjak lima bulan, tapi mertuanya sangat antusias menyambut anaknya lahir. Diterima dengan baik oleh keluarga Ethan membuat Joanna justru merasa bersalah karena nantinya dia akan meninggalkan keluarga Ethan. "Ma, tapi aku lahiran masih lama. Apa tidak terlalu dini mama belikan semua ini?" tanya Joanna dengan hati-hati takut menyinggung mertuanya. Dengan semangat wanita paruh baya itu menggeleng. "Tentu saja tidak. Mama tidak tahan untuk belanja printilan untuk cucu mama." "Terima kasih banyak, Ma." Rasanya sudah lama sekali dia tidak mendapatkan kehangatan dari seorang ibu. Wanita paruh baya itu mengusap perut Joanna lantas berpindah mengusap lengan mena
"DURHAKA KAMU ETHAN!" Teriakan itu sama sekali tidak membuat keputusan Ethan goyah. Dia memberi kode pada dua petugas keamanan segera menyeret mertuanya meninggalkan ruang kerjanya. "Lepas! Lepaskan aku!" pinta lelaki paruh baya itu saat dua orang itu menyeretnya paksa. "Apa kalian tidak tahu siapa aku? Hah?" Dengan panik lelaki itu kembali menatap Ethan, berharap menantunya berbaik hati mengurungkan niatnya. Dia pikir datang menemui menantunya adalah jalan keluar terbaik, tapi ternyata dia salah besar. Yang ad justru Ethan menolak permintaannya. "Ethan apa begini caramu memperlakukan mertuamu? Apa gunanya kaya kalau kamu tidak punya sopan santun?" Ethan berjalan cepat menutup pintu ruangan kerjanya, tapi sebelum ditutup Ethan menatap mertuanya. "Aku tidak akan mengeluarkan sepeserpun untuk ayah. Jadi, jangan berharap lebih, Ayah!" "Benar-benar kurang ajar kamu, Ethan. Dengar! Dengarkan aku! Aku menyesal membiarkan kamu menikah dengan putriku yang berharga." Teriakan mertuan
Joanna mengernyit melihat para pramugara dan pramugari berbaris rapi saat dia masuk ke dalam ruang kru. Dia memelankan langkah kakinya sambil mengamati sekeliling. "Joanna, akhirnya kamu datang juga. Ayo, cepat sini! Tinggal kamu yang belum cek berat badan," ujar salah satu petugas wanita yang berdiri di depan. Mampus, batin Joanna panik. Sidak dadakan itu membuat Joanna memucat, jelas saja karena berat badannya sudah naik beberapa kilogram. "Yang lain silahkan bubar. Joanna ayo sini!" Terpaksa Joanna mendekat, dia menatap tajam Rosa yang baru saja melewatinya. Harusnya temannya itu memberitahu jika ada sidak mendadak agar Joanna bisa melarikan diri. "Ya, Bu Amelia. Maaf Bu, saya sudah melakukan pemeriksaan. Apa harus dicek lagi?" Joanna mencoba untuk berhegosiasi dengan Amelia. "Tidak bisa, Joanna. Ayo cepat naik ke timbangan!" Amelia menatap buku yang ada di tangannya, siap untuk mencatat. Joanna menggigit bibir bawahnya, dia hanya bisa pasrah lantaran tidak b
"Apa yang kamu lakukan, Ethan?" geram Joanna. Wanita itu menatap sekeliling memastikan tidak ada orang lain. Bahaya jika ada orang yang melihat mereka berduaan. Ethan tak langsung menjawab, tapi justru membalas menatap tajam Joanna. Gertakan sepertinya tak mempan untuk membuat Joanna tunduk dengannya. Keberanian Joanna lama-lama menciut ditatap tajam seperti itu. "Aku ada briefing." Baru saja berbalik, pergelangan tangan Joanna dicengkeram erat oleh Ethan. Lelaki itu menarik kencang Joanna hingga wanita itu berbalik menghadapnya lagi. "Kalau kamu terus melawan aku tidak segan-segan membongkar hubungan kita, Joanna," ancam lelaki itu diikuti seulas senyum penuh kemenangan melihat perubahan wajah Joanna menjadi panik. Joanna membeku di tempat mendengar ancaman Ethan. "Jangan bercanda!" "Aku tidak bercanda, Joanna. Bagaimana? Jauhi Edward atau aku bongkar pernik—" "Ya, aku akan melakukannya," potong Joanna cepat. Dengan panik wanita itu menatap sekeliling, dia bernapas
Joanna terkekeh pelan saat dia mengingat ucapan Ethan yang mengatakan jika dia cemburu melihatnya dengan Edward. "Ck, omong kosong," gumam Joanna. Dia tidak percaya dengan ucapan Ethan. Joanna menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin seorang Ethan cemburu padanya. Wanita itu kian mempercepat jalannya, tangannya menarik koper. "Astaga!" pekik Joanna ketika Ethan menghubunginya. Joanna menempelkan ponselnya di telinga. "Ada apa?" "Kenapa kamu pergi dulu? Bukankah kemarin aku sudah bilang tunggu aku? Aku akan mengantar jemput mulai sekarang," ujar Ethan dari sebrang sana. "Tidak usah. Aku bisa pergi sendiri." Joanna tidak habis pikir bisa-bisanya Ethan menyuruhnya melakukan hal itu. Jika, dia melakukannya sama saja artinya lelaki itu ingin membongkar pernikahan rahasianya. "Di mana kamu sekarang. Aku bawakan sarapan untukmu. Bibi bilang kamu belum sarapan." Joanna menghela napas karena lelaki itu begitu keras kepala. Perhatian yang diberikan oleh Ethan berlebihan sekali. "Adu