"eh hai Thomas!" aku menyapa dengan wajah yang dibuat seceria mungkin karena bertemu dengannya lagi. "Alice, you good?" tanya Thomas dengan suara lembutnya. "Yah, aku baik saja. Sebenarnya, aku yang ngotot mau langsung pulang, bukan James," Wajah Thomas datar, sementara James menunggu reaksinya. Aku sampai keringat dingin, memikirkan rencanaku yang hancur berantakan jika sampai mereka berdua tidak bisa berbaikan. "Yeah, aku tau kau akan membelanya," jawab Thomas pahit. Aku jadi salah tingkah dan menundukkan pandangan. Tiba-tiba saja kursi rodaku bergetar. Suara cekikikan juga tercekat dari orang yang menahan geli. Benar saja, Thomas dan James sedang menertawai aku. Tentu saja gantian aku yang cemberut. Meski dalam hati senang bukan main melihat mereka berbaikan. Akhirnya, kami berada dalam satu mobil yang sama. Thomas sebagai sopir, dan James duduk disebelahnya. Aku menikmati pemandangan malam yang mulai dingin. Sebenarnya, ingin sekali aku bertanya tentang kejadian mengerika
Aku terbangun dengan kaget. Hal terakhir yang kuingat sebelum tidak sadarkan diri adalah, aku berjalan sempoyongan dengan kepala pusing dan perutku mual. Lidahku terasa pedar dan tenggorokanku panas.Tapi saat ini, aku benar-benar hampir melompat dari ranjang empuk king size dengan set bed cover yang mahal. Aku bisa mengetahui itu mahal karena tidak seperti selimut dan sprei ku di rumah. Yang kusam, kasar dan berbulu. Astaga..astagaDengan panik aku turun dari ranjang dan mendapati hanya menggunakan kamisol saja. Di sebuah kamar mewah yang aku bahkan tidak tau ini rumah siapa?.Saat aku sedang memekik ketakutan dengan tubuh polos ku, seorang pria masuk. Membuatku mematung di tempatku berdiri. Sejenak aku terpesona.Dia pria paling tampan dan seksi yang pernah aku temui. Bahkan teman kuliahku tidak ada yang mampu mempesona ku. Pria itu tersenyum hangat padaku, lalu dia duduk di kursi dekat jendela.Dia menawarkan ku sebuah paperbag sambil terus tersenyum. Membuatku curiga padanya. Dan
Aku berdiri di depan pintu rumahku sambil melambai pada James. Menggeleng kuat untuk menghilangkan pengaruh hipnotis yang membuatku seperti kerasukan. Merasa nyaman bersama pria yang baru saja aku kenal, itu bukanlah diriku yang biasanya.Saat menyadari kantong yang aku pegang berisi pakaian bersih yang aku kenakan semalam, aku langsung membuangnya di tong sampah. Berusaha membuang jauh-jauh kenangan buruk bersama Bobi.Aku berjalan masuk ke dalam rumah dengan perasaan berbunga- bunga. Menatap diri di cermin yang terasa bukan aku. Biasanya, kaos dan celana jeans menjadi outfit andalanku sehari-hari. Melihat tubuhku dalam balutan gaun, membuatku menjadi orang yang berbeda. Ponselku berdering, Cici memanggil..."Halo, Ci," aku mengangkatnya di deringan pertama, Cici pasti khawatir."Oh syukurlah!" Cici berseru lega, "kau dari mana saja? Semalaman aku menghubungimu dan rumahmu kosong!" nah, Cici menunjukkan taringnya."Maaf, hapeku lowbat," jawabku beralasan. Saat bertemu nanti dia past
" Kau sudah tidur?" James mengirim pesan padaku." Belum," jawabku singkat. Aku sedang memandangi foto selfie kami saat berada di festival makanan tadi. James tampak tersenyum lebar dan menawan."Aku sudah rindu padamu," kata James membalas pesanku. Aku sampai harus membaca nya dua kali untuk memastikan. Jantungku berdegup kencang, tapi kucoba menepis perasaan berbunga dalam hatiku. Rasanya semua pria sama saja. Mengingat betapa pandainya James merayuku. Apalagi James yang sudah berumur, aku yakin dia hanya ingin menjadikan aku bonekanya. Pemikiran itu membuatku tak bernafsu membalas pesannya lagi.Aku putuskan untuk tidur saja. Besok aku harus mengontrol toko pakaian kami, lalu menjenguk sahabatku yang sedang berada di rumah sakit.Dengan menutup wajah menggunakan bantal, aku mengabaikan dering dan getaran ponselku. Aku yakin james yang menelepon. ***Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Karena rupanya semalam itu, selain James ada juga klien ku yang memesan dress c
"Apa kau masih bersama Oliv?" James mengirim pesan melalui aplikasi chatting."Ya, kenapa? hari ini Oliv sudah di perbolehkan pulang," "Tunggu aku,""Untuk apa?" aku memelototi ponselku, aku sudah cukup malu kemarin. "Tentu saja untuk menjemput keponakanku, Alice"Dia benar juga. Oliv kan keponakannya. Jadi hal yang wajar jika dia datang menjemputnya. Aku tidak membalas pesan James lagi. Terlalu malas menanggapinya.Saat siang hari, Oliv sudah dalam persiapan untuk pulang kerumah. Jadi kami membantu memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil. Betapa terkejutnya aku, yang untung saja tas yang aku bawa tidak terlepas dari tangan. James sudah menunggu sambil bercengkrama dengan sopir Oliv.Cici menyikutku, lalu mengedikkan dagu nya kearah James yang pura-pura tidak melihat kami. Ketika aku selesai menyusun tas dibelakang mobil, James berdiri tepat disampingku."Apa?" tanyaku masam. Dia mengedipkan matanya menggodaku."Kau kelihatan kurang tidur sayang?" James mencoba menyentuh pipiku,
James menyambut diatas kasur. Dengan sedikit enggan aku ikut bersamanya. Menutupi rasa bersemangat karena bisa berduaan dengannya semalaman."Kau sudah gila!" gerutuku setelah naik ke atas kasur. James memelukku."Mereka juga butuh istirahat," sergah James seolah sudah melakukan hal yang baik."Apa kau akan menginap malam ini?" aku bertanya dengan acuh. "Tentu saja sayang, untuk apa obat tidur itu?" sergah James mengerling nakal padaku."Baiklah," kataku pasrah. "Boleh aku katakan sesuatu?" tanya James sedikit serius. Aku bersiap."Boleh, katakan saja,""Apakah kau sudah tau kalau temanmu, Cici sudah memanipulasi keuangan toko kalian?" James bertanya lagi dengan kaku."Oh, aku sudah tau," jawabku santai dan singkat."Kenapa kau tidak menegurnya?""Entahlah James, aku takut dia tersinggung dan hubungan kami renggang," "Hei," James mengambil daguku, "dalam bisnis, tidak mengenal teman atau keluarga. Uang itu bersifat objektif,"Aku berpikir sebentar, lalu menatap James heran, "dari m
EmmphhhEmmphhhHanya itu yang keluar dari mulutku. Aku ingin melawan tapi tenaganya kuat sekali. Sedangkan tubuhku meskipun cukup tinggi dan sintal, tetap saja hanya seorang wanita biasa. "James!" mataku membelalak saat kami sudah masuk ke dalam kamar mandi dekat dapur.Aku menggeser tubuhnya yang bongsor dan hendak membuka pintu. Tapi dengan mudahnya dia mengangkat tubuhku kembali ketempat semula."Minggir! Aku mau masak!" aku menghardiknya. Tapi wajahnya benar-benar kelihatan marah, "apa?""Kemana saja kau seharian ini?" tanyanya frustasi."Beres-beres rumah Oliv terus kepasar sama Cici,""Lalu apakah kau tidak sempat mengangkat teleponku?" Aku lupa, dimana ku letakkan ponselku? Kucoba meraba tas kecilku. Tapi James sudah menemukannya lebih dulu. Entah dimana. Dia memberikannya padaku."Jangan pernah tinggalkan ponselmu, aku bisa gila jika tidak tau kabarmu barang sedetik. Ingat itu!" Aku menatap James tak percaya. Kenapa dia jadi begitu posesif? Lihat sekarang. Dia malah mening
"Mau nonton film?" James bertanya sambil menyalakan tv, dia menghubungkannya ke ponsel.Saat ini, kami sudah berada di dalam apartemen James yang super mewah."Aku gerah," kataku sambil menciumi bajuku yang terasa lengket. Banyak pekerjaan yang aku lakukan sejak pagi dan belum mandi.James memandangku dengan binar cerah dimatanya, aku melihat dia berharap." Ayo, di kamarku ada bathtub besar yang bisa kita pakai berdua," kata James santai sambil naik kelantai atas, aku tidak bisa protes karena dia mendadak jadi tuli."Aku mau mandi sendirian, James!" keluhku sambil mengikutinya, langkahnya lebar sekali. Hah! Dia benar-benar jadi tuli sungguhan. Aku menghentakkan kaki dengan jengkel."Apa kau bawa baju ganti sayang?" James bertanya, aku mengabaikannya. "Tidak, mungkin bisa pakai pengering handuk?" tanyaku sambil berjalan melewatinya. Satu persatu pakaian yang aku kenakan kulepaskan."Ada mesin cuci dry clean," jawabnya sambil memunguti pakaianku yang berserakan dilantai. Aku hanya
"eh hai Thomas!" aku menyapa dengan wajah yang dibuat seceria mungkin karena bertemu dengannya lagi. "Alice, you good?" tanya Thomas dengan suara lembutnya. "Yah, aku baik saja. Sebenarnya, aku yang ngotot mau langsung pulang, bukan James," Wajah Thomas datar, sementara James menunggu reaksinya. Aku sampai keringat dingin, memikirkan rencanaku yang hancur berantakan jika sampai mereka berdua tidak bisa berbaikan. "Yeah, aku tau kau akan membelanya," jawab Thomas pahit. Aku jadi salah tingkah dan menundukkan pandangan. Tiba-tiba saja kursi rodaku bergetar. Suara cekikikan juga tercekat dari orang yang menahan geli. Benar saja, Thomas dan James sedang menertawai aku. Tentu saja gantian aku yang cemberut. Meski dalam hati senang bukan main melihat mereka berbaikan. Akhirnya, kami berada dalam satu mobil yang sama. Thomas sebagai sopir, dan James duduk disebelahnya. Aku menikmati pemandangan malam yang mulai dingin. Sebenarnya, ingin sekali aku bertanya tentang kejadian mengerika
AliceAliceAliceAku mendengar namaku dipanggil. Dalam kegelapan dan kehampaan aku mencoba menarik diriku dari dalam jurang itu. Rasanya sulit sekali, bernafas pun terasa berat. Seandainya saja, "Sayang, bangunlah. Aku disini," suara James yang lembut dan penuh kekhawatiran memanggil.Entah bagaimana, setiap sel di dalam tubuhku merespon suaranya. Seketika ada energi baru yang membantuku bangkit. "Hei" sentuhan lembut tangannya yang dingin memaksaku membuka mata. Aku mengerjap perlahan. Rasanya mataku lengket dan berat. Apakah itu sembab? Hingga kelopak mata pun terasa berat.Melihat senyuman indah itu, aku langsung menangis. Mencoba bangkit dari tidur yang melelahkan. Aku memeluk James teramat erat hingga aku mendengarnya mengerang. "Apa yang sakit?" tanyaku spontan saat teringat dia baru saja ditembak. James kembali memelukku, erat dan hangat. Tempat ternyaman setelah bahu ayah. Kembali aku menangis tersedu-sedu, melihat sekelilingku yang ramai. Tapi aku terlalu kalut untuk
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.
"sial!" James mengumpat dan berlari kebawah badan pesawat. Sontak semua pembajak keluar dari pesawat sambil membawa senjata mereka. Thomas bergegas masuk kedalam kabin kembali dan mengevakuasi para penumpang. Hatiku mencelos saat James terus dikejar-kejar para pembajak itu. Aku mengerti kenapa Thomas sengaja menyebut nama James, karena hal itu memancing para pembajak mengejarnya dan mengabaikan penumpang lain. Untungnya, tim SWAT yang sudah siap siaga segera berlari mengejar James dan membentuk barikade untuk menghalangi para pembajak itu. Tapi mereta tak gentar, seakan tak takut mati atau mereka tau petugas itu tidak akan langsung menembak mereka.James malah lebih dulu menyelamatkan wanita tua yang sedang bersamanya. Aku ketar-ketir memikirkan siapa gerangan wanita itu. Tiba-tiba saja seseorang berlari menghampiri James, dan kusadari itu adalah Scott. Dia langsung menutupi wanita tua dengan jaket dan memeluknya erat. Sebuah mobil SUV yang tadi menguntitku menghampiri mereka dan
Scott tidak mau bertutur sapa dengan Thomas. Dia bilang, hal itu akan lebih baik bagiku. Dia hanya ingin bertindak dibelakang layar. Tidak secara terang-terangan mendukung rencanaku. Aku manut saja dengan apa yang dikatakan Scott. Dia lebih berpengalaman soal ini dibanding aku. Setidaknya Scott mau menerima tekadku untuk bekerja sama dengan Thomas. "Kau harus memikirkan cara yang bagus untuk membujuk James. Dia akan pulang sekitar jam sepuluh malam""Oke," Dengan bekal arahan dari Scott, aku mengatur rencana agar James mau menerima pendapatku. Dan dengan beberapa bumbu tambahan berupa bujuk rayuan. Aku tau ini tidak akan mudah. ***Jam sembilan malam, aku berangkat ke bandara internasional untuk menjemput James. Ini akan menjadi kejutan, karena James meminta Scott yang menjemputnya. Keadaan sangat kondusif sampai aku berhenti di lampu merah. Sebuah mobil SUV mencurigakan yang aku tau sejak dari rumah sakit terus mengikutiku. Kepalaku jadi panas memikirkan kemungkinan adanya ora
"Olive" bibirku bergetar, tanpa suara menyebut nama gadis yang sedang terbaring lemah disana. Segera kuhampiri dia, untuk memastikan mungkin aku salah lihat. Tapi kekecewaan mengaliri setiap sel di tubuhku. Itu memang Olive, dia sedang tertidur atau entah kenapa. Matanya terpejam dengan lebam disekitar matanya, juga dibeberapa bagian wajahnya. Aku menoleh kebelakang, tempat Scott sedang diam memperhatikan reaksiku. "Apa yang terjadi?" tanyaku singkat, tak mampu mengucap lebih panjang lagi." Kecelakaan, aku tidak bisa menceritakan detailnya padamu," suara Scott dipenuhi perasaan bersalah. Jadi aku hanya mengangguk. Tak ingin membuatnya semakin sedih. "Olive," kucoba memanggilnya, dan dia membuka mata perlahan. Tersenyum, hal pertama yang dia lakukan ketika sadar aku didepan matanya. "Hai," sapa Olive dengan suara parau. Aku memeluk tubuhnya dan menangis disana. Hampir saja mengutuk keadaan yang sedang kami alami. "Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja," Olive mengusap lembut kepa
Karena James masih di Arizona, aku mengajak Thomas kembali kerumah sakit. Dia harus sering-sering menjaga Bella. Apalagi disaat kondisi kejiwaan sangat mengkhawatirkan."Terima kasih," ucap Thomas saat kami sedabg duduk berhadapan disisi Bella. "Jangan sering bilang begitu, nanti tidak ada artinya lagi," jawabku tersenyum. "Tentu, akan ku ingat," "Apakah Bella sudah makan?" "Sudah, dan dia terpaksa diberi obat tidur agar bisa istirahat,"Aku hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Kasihan sekali Bella, harus merasakan guncangan mental yang begitu hebat. Aku pernah dengar tentang Babyblues. Dan kurasa, Bella sedang mengalaminya. Bukan hanya bayinya, tapi kondisi Bella lebih mengkhawatirkan lagi. Thomas sempat berpikir untuk memberikan bayi Bella pada orang tua yang siap mengambilnya, tapi dia tidak tega jika suatu saat Bella menginginkan bayinya. "Ini memang pilihan sulit, disatu sisi kita menginginkan kehidupan yang layak untuk bayinya, tapi Bella juga membutuhkan waktu untuk se
"sayang," "Apa? Siapa ini?" tanya James terkejut diseberang telepon. "Kau sudah lupa aku hah?" kataku bersungut-sungut. "Bukan begitu, tapi Alice tidak memanggilku begitu," jawab James mengelak dengan sok bijak. "Baiklah, Apakah kau sedang sibuk?" "Jelas sekali sayangku, aku sangat santai saat ini""Kau dimana?" "Di Arizona," "APA?" aku memekik di telepon. Dan yakin James sedang menjauhkan ponsel dari telinganya."Ya, aku sedang santai di Arizona. Menikmati sengatan matahari dikulitku sambil melihat pemandangan proyek yang indah sekali," jawab James sarkas. "Lucu sekali," gerutuku kesal. "Ada apa sayang?" tanya James melembutkan nada bicaranya. Aku tersenyum. "Tunggu sebentar, pacarku sedang membutuhkanku. Ya, kau urus saja dulu itu," kata James tak sabar pada seseorang yang sedang bersamanya. "Apa kau pulang malam ini?" tanyaku genit,"Oh tentu aku pulang jika upah yang kudapat setimpal, sayangku," "Jangan banyak berharap sayaang, aku punya rencana yang sangat bagus untuk
Aku menyapa kakak Thomas dengan senyuman malu. Matanya menyiratkan keterkejutan, tapi Thomas menggeleng pelan."Oh ku pikir," katanya tertawa kecil. "Hai, aku Alice," kataku mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku lemah. "Bella. Kalian serasi sekali kau tau," Aku tertawa hambar, melirik Thomas yang juga cekikikan. "Dia hanya bisa dijadikan teman, kak," kata Thomas lembut. "Benarkah? Apakah kau sudah menikah ,Alice?" "Belum,""Kalau begitu masih ada kesempatan yang terbuka," "Kau akan mengerti kalau kuberitahu nama kekasihnya, kak," Bella menaikkan satu alisnya. "James Peterson," Satu nama yang membuat air muka Bella berubah. Tapi dia berhasil menguasai dirinya kembali. Menyunggingkan senyuman yang entah artinya apa. "Well, kalau begitu kau harus berhati-hati dik," "Hmmmm... Sedang aku coba lakukan. Tapi gadis ini sulit sekali kutolak," Bella tertawa keras, sambil memegangi dadanya yang terlihat sakit. "Kalian berbicara seolah aku tidak ada disini," kataku memasang waja