"kau sudah sadar?" Sebuah suara memaksa otakku kembali pulih dari pukulan di tengkukku. Dengan perlahan mataku terbuka, meski pandanganku masih berkabut.Aku baru saja ingin menggaruk bokongku yang gatal karena ada yang menusuknya dibawah sana, tetapi...ah ternyata tanganku terikat kuat dikursi."Hei dungu! jawab aku!" Betty berkata dengan kasar.Aku sengaja tidak langsung melihat wajahnya, karena sangat hafal dengan suaranya yang cempreng itu."apa?" keluhku dengan kelemahan yang dibuat-buat.Betty berjalan sambil menghentakkan kakinya, lalu dengan kuat menginjak kakiku yang sudah telanjang bulat. Aku memekik seraya menatap kaki mungilku yang malang. Mataku mencari dimana kiranya sepatu butut tercintaku dibuang oleh mereka. " Kau ini kenapa Betty?" tanyaku kesal, Maksudku, kalau dia cemburu ya katakan saja pada Scott. Kenapa harus menculikku? ini sangat berlebihan. Dengan dagu terangkat dan mata menyala, Betty menatap lekat wajahku yang lugu."dimana pacarku?" "entahlah Betty
HAHAHAHAHAHAHA Suara tawa nenek Betty menggelegar hingga keluar rumah, sampai-sampai lantai berderit dan kelebatan bayangan pohon berlalu lalang lewat jendela. Tunggu! Aku tidak melihat ada pohon besar di samping rumah ini, kalaupun ada bayangannya tidak mungkin dapat berlari bukan? Otakku menjadi panas. "Gadis bodoh... gadis bodoh!" gumam nenek Betty setelah puas tertawa Scott dan Betty masih saling tatap penuh arti. Aku merasa mereka sedang bertelepati. Sementara itu, nenek Betty sedang berkutat dengan saku bajunya yang usang. "Lihat ini!" Nenek Betty menunjukkan sebuah foto dengan tulisan harga nya. Aku harus menatapnya lekat-lekat karena itu mirip aku. Harga yang tertera merupakan harga yang akan dibayar jika mendapatkan aku. Meski kepalaku pusing dan nafasku sesak, aku tidak ingin pingsan lagi. Setelah tau alasan kenapa Scott berkata aku sudah mirip buronan, keinginan melarikan diriku sangat kuat. Entah apa pekerjaan Betty dan neneknya, hingga harus me
Setelah suara tembakan yang mencekam itu, Scott dan Betty jatuh tersungkur berdua. Sementara si nenek sihir sedang tertawa terbahak-bahak. Dia tampak tidak menyesal atau bersedih ketika cucunya tertembak karena menyelamatkan kekasihnya. "Kau tidak waras?" tanyaku kesal, posisiku masih miring bekas diterjang Betty tadi. "waras? Hahahaha. jangan tanya aku soal kewarasan gadis bodoh! aku sudah kehilangan akal saat putri ku menjadi korban kelompok mereka!" nenek Betty menggeram murka. "Setidaknya kau khawatir pada cucumu nenek sihir!" dampratku emosi, "cucuku?" dia terdengar jijik, Aku melihat pergerakan dibelakang si nenek sihir. Dan hal itu membuatku lega saat tau Betty baik-baik saja. Tapi bagaimana dengan Scott? Tolong tuhan, meskipun Scott menyebalkan tapi dia anak baik. Aku mencoba terus mengalihkan perhatian nenek sihir, berharap Betty dapat membawa Scott melarikan diri. "Aku tidak paham jalan pikiranmu, nek" gumamku mencoba memahami "Betty memang dilahirkan put
Seperti biasa saat bersama James. Aku akan terbangun dikasur empuk dalam rumahnya. Perasaan nyaman saat bersamanya membuatku dapat tidur dengan nyenyak di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mengingat bagaimana James terlihat terburu-buru untuk segera sampai kerumah, tapi disini benar-benar sepi dan tenang. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, aku duduk dikasur king size mewah dengan sprei monokrom. Ciri khas yang aku sukai dari kamar pribadi James. "hei nak, kau sudah bangun?" Seorang wanita bermata teduh yang selalu hadir dalam mimpi saat aku merindukannya, masuk dengan membawa nampan berisi sarapan dan segelas susu. Aku membeku, mencoba memejamkan mata kembali dan bangun di dunia nyata. Tapi aku malah jadi sakit kepala. Wanita itu, sekarang sedang membuka gorden-gorden jendela. Membuat sinar sang surya masuk menerangi seisi kamar. Biasan cahaya hangat itu membuat wanita itu lebih mirip malaikat daripada ibuku saat ini. "ibu?" kucoba mengucap dengan lid
Ayah dan ibuku menginap di rumah James selama satu minggu penuh. Aku berharap bisa ikut mereka pulang ke kampung halaman, tapi masalah disini belum selesai. Saat malam terakhir, kami mengadakan pesta piyama. Konyol bukan? dan lebih konyol lagi karena itu merupakan ide James. James terus tersenyum sok manis saat kami semua berkumpul di kamarnya, ada kasur tambahan dilantai.Aku heran, apakah dia tidak merasa giginya itu kering karena terus nyengir?"Bagus sekali kita semua memakai piyama yang seragam. Bisa kita berfoto dan meng-uploadnya di instagram ku?" tanya James dengan ide cemerlangnya. Aku menggeleng kuat, sementara ayah memasang wajah berpikir."Ide bagus," jawabnya kemudian.Aku melongo tak percaya, bagaimana dengan ibuku? oh tentu saja dia istri yang sangat penurut. Kami berfoto ria dengan berbagai gaya. Ini lucu, tapi juga membuatku curiga.Adakah dukun amerika yang bisa ilmu pelet atau guna-guna? kalau ada, kurasa James sudah melakukannya terhadap orang tuaku. "Ayah ke
" Mereka benar-benar kelelahan," " Aku juga mengantuk," sahutku jengah "kau belum menjawabku, Alice," sergah James sedikit kesal Aku menghela nafas panjang. Entahlah, rasanya aku belum siap menjawabnya. " Bolehkah aku mempertimbangkannya lebih dulu?" pintaku jujur. Mata James menyiratkan keterkejutan, tapi dia tetap mengangguk. Malam itu, Setelah membenahi posisi tidur ayah dan ibu, aku pergi kekamar lain. Berusaha menjauhi James agar dapat berpikir jernih. Bukan tanpa alasan aku mengindarinya. Dia memiliki daya tarik yang kuat bagiku. Butuh waktu untuk berpikir waras saat didekatnya. Entah berapa lama termenung sambil memeluk lutut, sampai aku ketiduran. Kilasan penolakan James, bandara, air mata, peluhku, semuanya tergambar jelas dalam mimpi yang tak beraturan. Hari-hari hampa yang ku jalani saat itu, menyisakan ruang kosong tepat disudut hatiku yang paling dalam. Luka-luka itu tersimpan disana. Tidak, bukan tersimpan. Aku sengaja membuatnya menjadi poj
James benar-benar membuatku gila dengan perbuatannya. mengambil kesempatan setelah menyuruh adiknya menemani orang tuaku berbelanja. "apakah ini rencana licikmu?" tanyaku menyipit curiga, "apa?" James sedang bersikap seolah-olah dia adalah pria muda yang polos tanpa dosa. Padahal dia sedang bermain-main dengan libidoku. "James," aku melenguh saat dia sedang menarik-narik putingku yang mengeras. "Iya sayang? kau menyukainya?" tanya James berbisik ditelingaku, itu terdengar sangat erotis. "hmmmmm" "Mau lagi?" "hmmmmm" Suara air shower menenggelamkan suaraku. Nafas James semakin memburu saat tubuh kami terus bergesekan. "Bagaimana kau bisa tahan dengan ini, James?" keluhku tak tahan. James memelukku dari belakang, hidungnya terus menciumi leher hingga punggung ku. Dia menikmati setiap getaran yang aku rasakan. "Tahan dengan apa sayang?" "Sudah berapa banyak wanita yang bermain denganmu?" "tidak banyak, aku sangat pemilih," "Apa Clarissa merupakan tipemu?" Gerak
pukul 14.35 Kami sampai di bandara internasional, Logan, Boston. Hanya menunggu setengah jam dari keberangkatan pesawat yang akan di tumpangi orang tuaku. Aku menggunakan setengah jam tersisa itu untuk terus memeluk mereka. Banyak sekali wejangan yang mereka sampaikan padaku. "Ayah tidak akan memaksa kehendak kami sebagai orang tua nak, kau tetap putri kecil bagi ayah," Aku tak kuasa menahan tangis saat mereka akan bersiap-siap. Memeluk mereka lama sekali. Ayah dan ibu juga menciumi aku berkali-kali. Tampaknya mereka tidak terlalu puas, dan tetap melambai padaku sampai masuk kedalam pesawat. Scott hanya berdiri diam mendampingi tanpa bersuara. Dia sangat mengerti bagaimana memperlakukan wanita dengan benar. Setidaknya, kekhawatiranku terhadap nasib Betty tidak diperlukan lagi dengan adanya Scott disampingnya. Tapi, yang membuatku lebih sedih, karena James tidak ada disisiku saat ini. Aku berpikir, dia mengadakan meeting mendadak untuk menghindari aku sama seperti dulu.
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.
"sial!" James mengumpat dan berlari kebawah badan pesawat. Sontak semua pembajak keluar dari pesawat sambil membawa senjata mereka. Thomas bergegas masuk kedalam kabin kembali dan mengevakuasi para penumpang. Hatiku mencelos saat James terus dikejar-kejar para pembajak itu. Aku mengerti kenapa Thomas sengaja menyebut nama James, karena hal itu memancing para pembajak mengejarnya dan mengabaikan penumpang lain. Untungnya, tim SWAT yang sudah siap siaga segera berlari mengejar James dan membentuk barikade untuk menghalangi para pembajak itu. Tapi mereta tak gentar, seakan tak takut mati atau mereka tau petugas itu tidak akan langsung menembak mereka.James malah lebih dulu menyelamatkan wanita tua yang sedang bersamanya. Aku ketar-ketir memikirkan siapa gerangan wanita itu. Tiba-tiba saja seseorang berlari menghampiri James, dan kusadari itu adalah Scott. Dia langsung menutupi wanita tua dengan jaket dan memeluknya erat. Sebuah mobil SUV yang tadi menguntitku menghampiri mereka dan
Scott tidak mau bertutur sapa dengan Thomas. Dia bilang, hal itu akan lebih baik bagiku. Dia hanya ingin bertindak dibelakang layar. Tidak secara terang-terangan mendukung rencanaku. Aku manut saja dengan apa yang dikatakan Scott. Dia lebih berpengalaman soal ini dibanding aku. Setidaknya Scott mau menerima tekadku untuk bekerja sama dengan Thomas. "Kau harus memikirkan cara yang bagus untuk membujuk James. Dia akan pulang sekitar jam sepuluh malam""Oke," Dengan bekal arahan dari Scott, aku mengatur rencana agar James mau menerima pendapatku. Dan dengan beberapa bumbu tambahan berupa bujuk rayuan. Aku tau ini tidak akan mudah. ***Jam sembilan malam, aku berangkat ke bandara internasional untuk menjemput James. Ini akan menjadi kejutan, karena James meminta Scott yang menjemputnya. Keadaan sangat kondusif sampai aku berhenti di lampu merah. Sebuah mobil SUV mencurigakan yang aku tau sejak dari rumah sakit terus mengikutiku. Kepalaku jadi panas memikirkan kemungkinan adanya ora
"Olive" bibirku bergetar, tanpa suara menyebut nama gadis yang sedang terbaring lemah disana. Segera kuhampiri dia, untuk memastikan mungkin aku salah lihat. Tapi kekecewaan mengaliri setiap sel di tubuhku. Itu memang Olive, dia sedang tertidur atau entah kenapa. Matanya terpejam dengan lebam disekitar matanya, juga dibeberapa bagian wajahnya. Aku menoleh kebelakang, tempat Scott sedang diam memperhatikan reaksiku. "Apa yang terjadi?" tanyaku singkat, tak mampu mengucap lebih panjang lagi." Kecelakaan, aku tidak bisa menceritakan detailnya padamu," suara Scott dipenuhi perasaan bersalah. Jadi aku hanya mengangguk. Tak ingin membuatnya semakin sedih. "Olive," kucoba memanggilnya, dan dia membuka mata perlahan. Tersenyum, hal pertama yang dia lakukan ketika sadar aku didepan matanya. "Hai," sapa Olive dengan suara parau. Aku memeluk tubuhnya dan menangis disana. Hampir saja mengutuk keadaan yang sedang kami alami. "Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja," Olive mengusap lembut kepa
Karena James masih di Arizona, aku mengajak Thomas kembali kerumah sakit. Dia harus sering-sering menjaga Bella. Apalagi disaat kondisi kejiwaan sangat mengkhawatirkan."Terima kasih," ucap Thomas saat kami sedabg duduk berhadapan disisi Bella. "Jangan sering bilang begitu, nanti tidak ada artinya lagi," jawabku tersenyum. "Tentu, akan ku ingat," "Apakah Bella sudah makan?" "Sudah, dan dia terpaksa diberi obat tidur agar bisa istirahat,"Aku hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Kasihan sekali Bella, harus merasakan guncangan mental yang begitu hebat. Aku pernah dengar tentang Babyblues. Dan kurasa, Bella sedang mengalaminya. Bukan hanya bayinya, tapi kondisi Bella lebih mengkhawatirkan lagi. Thomas sempat berpikir untuk memberikan bayi Bella pada orang tua yang siap mengambilnya, tapi dia tidak tega jika suatu saat Bella menginginkan bayinya. "Ini memang pilihan sulit, disatu sisi kita menginginkan kehidupan yang layak untuk bayinya, tapi Bella juga membutuhkan waktu untuk se
"sayang," "Apa? Siapa ini?" tanya James terkejut diseberang telepon. "Kau sudah lupa aku hah?" kataku bersungut-sungut. "Bukan begitu, tapi Alice tidak memanggilku begitu," jawab James mengelak dengan sok bijak. "Baiklah, Apakah kau sedang sibuk?" "Jelas sekali sayangku, aku sangat santai saat ini""Kau dimana?" "Di Arizona," "APA?" aku memekik di telepon. Dan yakin James sedang menjauhkan ponsel dari telinganya."Ya, aku sedang santai di Arizona. Menikmati sengatan matahari dikulitku sambil melihat pemandangan proyek yang indah sekali," jawab James sarkas. "Lucu sekali," gerutuku kesal. "Ada apa sayang?" tanya James melembutkan nada bicaranya. Aku tersenyum. "Tunggu sebentar, pacarku sedang membutuhkanku. Ya, kau urus saja dulu itu," kata James tak sabar pada seseorang yang sedang bersamanya. "Apa kau pulang malam ini?" tanyaku genit,"Oh tentu aku pulang jika upah yang kudapat setimpal, sayangku," "Jangan banyak berharap sayaang, aku punya rencana yang sangat bagus untuk
Aku menyapa kakak Thomas dengan senyuman malu. Matanya menyiratkan keterkejutan, tapi Thomas menggeleng pelan."Oh ku pikir," katanya tertawa kecil. "Hai, aku Alice," kataku mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku lemah. "Bella. Kalian serasi sekali kau tau," Aku tertawa hambar, melirik Thomas yang juga cekikikan. "Dia hanya bisa dijadikan teman, kak," kata Thomas lembut. "Benarkah? Apakah kau sudah menikah ,Alice?" "Belum,""Kalau begitu masih ada kesempatan yang terbuka," "Kau akan mengerti kalau kuberitahu nama kekasihnya, kak," Bella menaikkan satu alisnya. "James Peterson," Satu nama yang membuat air muka Bella berubah. Tapi dia berhasil menguasai dirinya kembali. Menyunggingkan senyuman yang entah artinya apa. "Well, kalau begitu kau harus berhati-hati dik," "Hmmmm... Sedang aku coba lakukan. Tapi gadis ini sulit sekali kutolak," Bella tertawa keras, sambil memegangi dadanya yang terlihat sakit. "Kalian berbicara seolah aku tidak ada disini," kataku memasang waja
Pagi ini berlangsung menyenangkan. Karena si pria megalomaniak itu sudah pergi ke kantor lebih dulu. Aku akhirnya bisa mandi dan sarapan dengan tenang. Beberapa pesan tak penting dari James hanya kubaca sekilas tanpa membalasnya. Aku tak ingin mengganggu pagi yang menyenangkan ini. Hari ini, Scott tidak bisa ikut ke kampus. Dia sedang ada tugas rahasia sejak beberapa hari yang lalu bersama Olive. Aku bahkan tidak dapat menghubungi Olive. Kupikir mereka sedang menyelidiki kapal selam perang milik rusia. Aku memutuskan akan mengendarai mobil sendiri saja. James sudah lama memberiku salah satu mobilnya yang sama sekali belum aku sentuh. Mungkin ini saat yang tepat untuk memanfaatkannya. Setelah membuka garasi yang menghabiskan seperempat bangunan itu, aku mencari -cari kunci mobilku yang tergantung apik dalam kotak kaca. Tak disangka, saat menemukan mobilku, sudah ada kertas yang berisi pesan dari James. "Hati-hati sayang. Aku tau kau akan menggunakannya suatu saat," Begitulah p
Meski gayaku percaya diri, tak urung lutut ku lemas juga. James masuk lebih dulu, sementara aku duduk diruang tunggu. Agensi ini memiliki nama besar. Menaungi banyak artis ternama. Aku merasa bagai semut berjalan dibawah kaki gajah. Tapi jika dipikir, bagus juga jadi semut kan?"Nona Alice?" "Ya?" aku langsung berdiri dengan gugup. Menahan kaki yang semakin gemetar habat. "Silahkan naik kelantai 3," kata seorang resepsionis berambut pirang yang cantik. "Baik," Aku masuk lift, lalu berhenti di lantai 2. Ada seorang pria jangkung, putih dengan garis wajah petak yang tegas. Hidung bagai dipahat dari pualam. Aku berpura-pura memerhatikan ponsel, tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia berdehem, dan ikut bersandar disebelahku, "ke lantai tiga?" tanyanya manis sekali. Tentu aku tidak ingin pingsan. "Ya," jawabku singkat. " Apa kau tidak mengenaliku, Alice?" Aku langsung m