"Iya Pak, pelakunya sudah menyerahkan diri ke kantor polisi," jawab dari seberang sana."Baiklah, sekarang aku ke sana." Bram langsung memutuskan sambungan teleponnya."Papah mau ke mana? Siapa yang menelepon tadi?" tanya Amel yang penasaran."Itu telepon dari kantor polisi sayang, katanya pelakunya sudah menyerahkan diri," jawab Bram."Aku ikut Pah," ucap Amel."Enggak usah sayang, kamu tunggu Ramel di rumah saja ya? Biar aku yang ke kantor polisi," bujuk Bram dengan lembut.Ia tahu istrinya itu pasti ingin melihat wajah pelaku yang sudah tega menabrak putranya. Tetapi Bram sengaja tidak mengizinkannya, ia takut Amel tidak bisa menahan emosi saat bertemu dengan pelakunya."Iya Amel, kita di rumah saja. Biarkan Bram yang pergi ke kantor polisi," timpal Friska."Kalau begitu aku pergi dulu ya, Ma." Bram mencium punggung tangan Ibu mertuanya lalu mengecup kening Amel dan mencium kedua pipi tembem putranya.Bram ke kantor polisi bukan hanya sendiri, tetapi bersama Lukas. Kaki jenjang Bra
Polisi kepercayaannya Bram datang bersama kedua anggotanya dan pria yang mengaku sebagai pelaku penabrakan Ramel."Apa dia sudah mengatakan sesuatu?" tanya Bram kepada polisi."Sudah Pak," jawab pria bertubuh gagah itu, "Ayo katakan yang sebenarnya," lanjutnya mendesak pria itu untuk membuka mulut."Be...be...benar Pak." Pria itu mulai membuka mulut."Benar apanya?" sentak Bram."Benar aku disuruh Nona Ta...ta...Tania," jawabnya gugup sambil mengarahkan satu jarinya kepada Tania."Apa-apa ini? Enak saja kamu menuduhku, aku saja tidak pernah bertemu denganmu dan aku tidak mengenalmu sama sekali. Tapi bisa-bisanya kamu menuduhku untuk menutupi pelaku yang sebenarnya," protes Tania dengan wajah marah dan nada yang tinggi.Tentu saja Tania membantah karena memang bukan dia yang menyuruh pria itu, melainkan James. Tetapi sepertinya kekasihnya itu mulai bermain api dan menjebaknya."Lebih baik kamu bicara yang sebenarnya, katakan siapa yang menyuruhmu," lanjut Tania."Aku tidak berbohong Pa
"Apa Tuan ingin makan sesuatu?" tanya Mbok Inem yang membuat Ramel tersadar."Enggak Mbok," jawab Ramel dengan lembut."Tuan gak usah sedih, Taun besar dan Nyonya besar enggak lama kok. Lagipula Mbok kan ada untuk menemani Tuan dan Nyonya Bella," ucap Mbok Inem.Wanita paruh baya itu berusaha memberikan semangat untuk Ramel, tapi anak tampan itu tetap saja termenung. Bahkan tanpa terasa butiran bening ke luar dari kedua mata indahnya. Hal itu membuat Mbok Inem ikut cemas dan khawatir.Sudah beberapa kali Bram dan Amel meninggalkan Ramel karena perjalanan bisnis, tetapi baru kali ini anak tampan itu terlihat aneh dan tak bersemangat.Setelah dua jam duduk termenung, akhirnya Ramel tertidur di sofa ruang keluarga. Sedangkan Bella asik bermain dengan kelinci peliharaannya, ditemani oleh kakeknya sendiri yaitu James."Kring....kring...kring..." Suara nyaring itu menyadarkan Mbok Inem yang sedari tadi fokus menatap wajah Ramel yang begitu menyedihkan.Ia bangkit dari sofa melangkah untuk m
Satu bulan telah berlalu, kediaman Wijaya masih diselimuti duka. Selama satu bulan ini juga Ramel tidak pergi sekolah, anak tampan itu hanya mengurung diri di dalam kamar. Entah apa yang terjadi kepadanya, sehingga ia membenci semua orang yang ada di rumah itu.Bahkan Bella ia jauhi, padahal mereka teman dekat, begitu juga dengan Bryan. Padahal selama ini ia selalu bersikap manja kepada kakaknya itu, namun satu bulan ini sikap manja itu berubah menjadi benci. Setiap ia bertemu dengan Bryan, Ramel selalu menatapnya dengan tatapan sinis dan benci. "Tok...tok...tok..." Suara ketukan pintu membuat Ramel tersadar dari khayalan, ia terpaksa bangkit dari kursi untuk membuka pintu."Selamat pagi adikku," sapa Bryan setelah pintu terbuka.Sapaan ceria itu tidak disambut Ramel sama sekali, anak tampan itu justru cemberut dan langsung memutar tubuh kembali duduk ke kursi yang terletak di dekat jendela. sementara Bryan hanya menarik napas dalam-dalam sambil melangkah mengikuti Ramel dari belaka
Hari telah berlalu bulan pun silih berganti begitu juga dengan tahun, namun kondisi Bryan tetap memprihatinkan. Pria satu anak itu harus tinggal di rumah sakit jiwa akibat peristiwa waktu itu.Hari ini tepat 10 tahun ia tinggal di sana, selama ini hanya James dan Bella yang datang mengunjunginya. Sedangkan Ramel sama sekali tidak pernah melihat kakaknya, entah apa yang merasukinya hingga ia sangat membenci Bryan."Bagaimana perkembangan Papah, Dok?" tanya Bella.Dulu ia masih gadis kecil yang manja, tetapi saat ini Bella sudah menjadi gadis cantik yang mandiri. "Masih belum ada perubahan, justru Pak Bryan semakin pendiam," jawab sang Dokter Psikiater.Tentu jawaban itu membuat Bella meneteskan air mata, selama sepuluh tahun ini ia berdoa dan berharap Ayahnya bisa pulih kembali seperti yang dulu."Jangan menagis," ucap James sambil mengelus punggung Bella."Aku sedih Kek, sampai kapan Papah tinggal di sini," protes Bella, "Ini semua karena Ramel," lanjutnya.James menarik napas, "Suda
Bella langsung memutar tubuh, kaki mungilnya berlari menuju kamar James."Kakek," panggil Bella sambil membuka pintu dengan kasar."Kamu membuat Kakek terkejut," keluh James yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.Bella menghampiri James ke sofa, lalu duduk di sampingnya. Wanita cantik yang baru berusia 19 tahun itu, langsung melayangkan beberapa pertanyaan."Apa yang Kakek ketahuan tentang ayahku? Kenapa Kakek tidak mengatakannya kepadaku? Benarkah yang dikatakan Ramel, Kek?" James terdiam, ia sama sekali tidak terkejut dengan pertanyaan Bella. Sejak tadi ia sudah menunggu kedatangan cucunya itu, sebab Ramel pasti mengatakan yang sebenarnya kepada Bella. Dan benar saja, Bella datang ke kamarnya untuk menanyakan kebenaran."Jawab aku Kek," desak Bella."Iya, apa yang dikatakan Ramel itu benar," ucap James tanpa melihat Bella."Apa? Papah yang membunuh orang tua Ramel?" tanya Bella dengan rasa tidak percaya, "Itu tidak mungkin, Papah tidak mungkin melakukan itu semua," lan
Namun kakinya tiba-tiba berhenti karena mengigat sesuatu."Jika aku menggagalkannya dan mengatakan yang sebenarnya, Ramel pasti menjebloskan aku ke penjara. Oh, ini tidak bisa terjadi," bisik dalam hati James.Bayangan tinggal di dalam penjara seketika terlintas di matanya, sehingga James mengurungkan niat dan kembali ke kamarnya. Ia harus merelakan cucunya menikah dengan Ramel, walupun sebenarnya ia tidak ikhlas.Pernikahan itu pun berlangsung singkat, tidak ada acara ataupun resepsi seperti pernikahan pada umumnya. Ramel dengar lancar mengucapkan ijab kabul di depan penghulu dan saksi.Kini Bella resmi menjadi istri Ramel Alexander Wijaya, yang tak lain musuh besarnya sendiri. Ia memasangkan cincin ke jari manis Ramel sambil tersenyum paksa. Begitu juga dengan Ramel, ia memasangkan cincin ke jari Bella sambil tersenyum seribu arti. "Jadilah istri yang penurut kepada suami," ucap Ramel dengan lembut sambil mengecup kening Bella.Bella mengangguk untuk merespon ucapan Ramel, kedua
Setibanya di rumah sakit, Bella melihat mobil Ramel di parkiran. Ia segera masuk ke dalam rumah sakit sebelum Lukas melihatnya, sebab sopir kepercayaan keluarga Wijaya itu menunggu di parkiran.Tangan Bella yang tadinya bersiap untuk mengetuk pintu ruangan dokter, seketika terhenti karena mendengar suara Ramel."Aku ingin Pak Bryan Alexander Wijaya dirawat di rumah, siapkan satu dokter untuknya.""Baik Pak." "Kalau begitu aku pergi dulu."Bella segera meninggalkan pintu dan bersembunyi di balik tembok. Setelah Ramel tidak terlihat lagi, baru ia menemui dokter."Permisi Dokter," ucap Bella sambil menjulurkan kepala dari balik pintu."Eh Nona Bella," sahut sang dokter, "Silahkan duduk," lanjutnya mempersilahkan Bella untuk duduk di kursi tamu."Terima kasih." Bella menjatuhkan bokongnya di atas kursi, "Maaf Dok, apa aku bisa bertanya sesuatu?" lanjutnya."Tentu saja, silahkan," sahut dokter dengan ramah sambil tersenyum."Apa Tuan Ramel datang kemari?" Bella sengaja bertanya untuk mema