...Wanita cantik itu bersandar pada dinding sebuah ruangan dengan mata yang tak berkedip. Bibirnya terkatup dengan nafas yang naik dan turun tidak beraturan. Ia terkejut karena pria yang ada dihadapannya begitu bernafsu atas dirinya.Padahal menurut penuturan beberapa orang wanita yang ada di sini, pria muda yang tengah tidur dengannya saat ini adalah pria dingin yang tak berperasaan."Mengapa?" tanya wanita cantik bergumam. Tapi tentu saja tetap terdengar di telinga si pria dingin karena jarak keduanya sangat dekat. Mereka bahkan berbagi helaan nafas."Kau ingin tahu apa sebabnya?" tanya pria dingin tetap makin mendekatkan wajahnya. Iris matanya bagaikan mutiara hitam yang berkilau.Telapak tangan si pria dingin mencengkeram pergelangan tangan wanita cantik yang tengah ditekan tubuhnya itu."Dari sekian banyak wanita yang ada di sini kamu yang paling menarik perhatian. Untuk itu aku akan mengabulkan tiga buah permintaanmu. Asal ....""Asal apa?" tanya wanita tak sabar."Asal kau b
...Kedua manik mata anak kecil itu nampak terlihat sayu. Bolak-balik menatap wajah wanita yang sudah melahirkannya yang berdiri di hadapannya dengan pongah seolah hidupnya jauh dari dosa.Sementara Ibu sambungnya menatap mata itu bagai belati yang merobek-robek seluruh tubuhnya. Sakit dan nyeri. Walaupun beberapa bulan telah berlalu, tetap saja Malini masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi terhadap Soraya.Sementara suaminya, seorang pria berperawakan besar tinggi dengan wajah tampan dan rupawan nampak menatap tajam ke arah Soraya. Wanita itu berusaha membenahi pakaian berwarna cerah yang sedikit terbuka dan menutup-nutupi beberapa bekas noda kemerahan di dada dan lehernya."Apa kabar, Ma?" tanya Leon menyodorkan sekotak coklat dan bunga tulip kesukaan Soraya.Wanita itu tak merasa takut, sedih atau apapun. Wajah dan matanya datar bahkan ketika anak kecil itu memeluknya dengan sangat erat sambil terisak. Soraya masih berdiri di tempatnya dengan angkuh.Chandrakanta menari
...Paramita mengerjapkan mata beberapa kali saat sinar mentari menelusup masuk melalui celah-celah gorden ketika Prayogi membuka gorden-gorden berwarna cerah di kamar mereka.Berusaha meregangkan badannya menguap beberapa kali dan ada bias wajah manis menyambutnya dengan senyum yang tak kalah manis."Selamat pagi, sayang ...."sapa Prayogi sambil membawa baki kayu yang berisi makanan dan susu hangat.Paramita tersenyum lalu beringsut pelan menuju tepi ranjang."Kamu tak harus melakukan ini. Aku bisa melakukannya sendiri," ucapnya tapi menahan rasa tersipu dalam hatinya karena suaminya itu selalu saja melakukan hal-hal kecil yang sangat manis."Kita harus bangun pagi-pagi sekali, bukankah kamu ada janji?""Janji?" tanya Paramita karena ia benar-benar lupa janji apa yang dimaksudkan oleh Prayogi."Hari ini Mbak Pitaloka meminta kita untuk main kerumahnya dan kita sudah berjanji untuk itu. Apa kamu lupa?" tanya Prayogi akan mulai menyuapi Paramita makan."Aku belum mandi Mas, masa sud
...Chandrakanta menutup tumpukan berkas-berkas terakhir yang sudah ia tanda tangani saat seseorang bernama Philips menghubunginya untuk membeli kebun miliknya dan Yuvati dengan harga 3 kali lipat.Sebenarnya Chandrakanta sedang tidak membutuhkan uang lebih, tapi mendengarkan kalimat tiga kali lipat membuat pria itu bersemangat."Ada yang bisa saya bantu Mas," tanya Yuvati ketika Chandrakanta memanggilnya."Bagaimana menurut pendapatmu, sayang?""Masalah tanah perkebunan teh yang akan dibeli seseorang dengan harga 3 kali lipat itu?" tanya Yuvatu sambil menyodorkan teh pahit tanpa gula."Iya, sebenarnya Mas sedang tidak ingin sedang tidak membutuhkan uang lebih. Tapi dibeli dengan harga 3 kali lipat, bukankah itu sedikit menguntungkan untuk kita? Kita bisa membeli lahan lain dan membangun panti asuhan sesuai dengan keinginanmu dan Malini, bagaimana?""Kalau saya, menurut saja mana yang baik menurut, Mas.""Tapi saya akan ke perkebunan karet hari ini. Tidak bisa menemani Mas untuk me
...Chandrakanta dan Malini tidak menyangka bahwa seseorang yang akan membeli tanah perkebunan teh milik mereka adalah wanita yang pernah membuat konflik dengan keduanya bahkan sebelum mereka menikah.Pitaloka tersenyum senang karena berhasil melihat jelas wajah-wajah yang ada di hadapannya saat itu. Ya ... Malini dan Chandrakanta benar-benar terkejut.Apakah terkejut karena melihat perubahan Pitaloka yang menjadi orang kaya baru atau terkejut karena tiba-tiba saja memiliki pesaing--seorang juragan wanita baru."Maaf saya tidak jadi menjualnya," ucap Chandrakanta dengan mantap.Pitaloka terhenyak atas pernyataan Chandrakanta."Mengapa susuk dan mantra yang aku gunakan tidak mempan? Awas saja kau, Mak Pikat!" gumam Pitaloka dalam hati dengan perasaan berang.Chandrakanta menarik tangan Malini dan meninggalkan tempat itu dengan segera. Sementara Pitaloka yang marahnya hingga ke ubun-ubun merasa kesal. Ia meminta Philips untuk menggendongnya karena jijik dengan tanah-tanah basah yang m
...Kamera Canon jadul dan handycam menyorot keluarga Chandrakanta yang baru saja menuruni mobil mereka. Kekaguman tak henti-henti didengungkan oleh para tamu undangan dan warga desa yang datang ke acara pernikahan Prabawa dan Wina.Acara pernikahan yang dilangsungkan ini lebih megah dan lebih mewah bila dibandingkan dengan acara pernikahan yang diselenggarakan oleh Juragan dan Malini. Tapi mungkin saja ada penyebabnya.Siapa yang tidak mengetahui, bahwa suhita tak pernah mengizinkan ada orang lain yang melebihi dari dirinya walau itu termasuk bekas menantunya sendiri.Jari jemari lentik Malini yang memegang kipas nampak malu-malu menutupi wajahnya. Tangannya tak lepas mengamit lengan Chandrakanta dan di sebelah kirinya ada Yuvati yang juga sedang mengamit tangan suaminya."Kamu sedang jadi pusat perhatian!" ucap Yuvati terkekeh memandangi Malini yang selalu saja menunduk."Angkat wajahmu itu sayang. Jangan malu-malu. Ada kami yang akan selalu menemanimu!" ucap Chandrakanta pelan la
...Keputusan pria itu untuk meninggalkan acara pernikahan adiknya di tengah tamu yang sedang datang ramai-ramainya, menurutnya sangatlah tepat. Lagipula ia memiliki rasa yang lebih hebat dibandingkan untuk bersama keluarganya.Apalagi Malini yang tampil begitu cantik dan menggoda di acara pesta pernikahan adiknya itu membuat debar-debar jantungnya tak menentu. Mungkin memang ia sudah mengidap sebuah gangguan kejiwaan yang menyebabkan ambisinya untuk memiliki Malini sangat berlebihan."Aku akan menyelamatkanmu dari Chandrakanta, Malini sayang. Aku sudah tak sabar untuk menunggu hari ini tiba dan semuanya berjalan sesuai rencanaku!" ucap pria itu senang.Diusapnya wajah dan kening Malini yang tertidur pulas di sebelahnya. Masih dalam keadaan yang tak sadarkan diri.Pria bernama Moko itu membawa Malini kabur mengendarai mobil yang sudah diisi minyak full tank. Berpuluh ribu-ribu kilometer jauhnya dari tempat mereka tinggal.Tiba di daerah perbatasan ...Seorang pria sudah menunggunya d
...Pintu kamar itu mengayun dan terbuka. Ada seorang wanita cantik berambut sedikit ikal dan panjang termenung memandangi hamparan hutan-hutan hijau dan laut biru yang luas terbentang di hadapannya.Wanita itu tersenyum menyambut pria yang sedang membawa baki berisi makanan."Mas ingin kamu mencoba beberapa makanan khas Thailand sayang!"Si Wanita hanya tersenyum lalu menggeleng pelan."Sebenarnya saya rindu masakan Mbak Yuvati, Mbok Giyem dan Gendis.""Malini sayang. Ini memang masakan khas Thailand. Tapi tangan suamimu ini yang membuatnya. Tidak kah kamu hargai sedikit saja dan mencicipinya."Pria yang selalu saja mengenakan kemeja putih selama berada di Bangkok itu pura-pura merajuk.Diulurkan sebuah piring cembung putih berisi sebuah makanan yang penuh dengan sayuran. Meminta Malini sedikit pembuka bibirnya lalu."Ya ... ampun Ini enak sekali, Mas!" ucapnya dengan mulut yang penuh.Pria itu tersenyum puas. Ia melingkarkan lengan kekarnya memeluk pinggang Malini membuat tubuh i
Bertahun-tahun setelahnya***Peluh mengucur deras. Pria berbadan tegap yang mengenakan kemeja rapi dengan parfum aroma maskulin mendadak masam wajahnya ketika petugas bandara menjelaskan kepadanya bahwa ia terlambat beberapa jam untuk tiba di bandara setelah pesawatnya transit."Jangan khawatir, Pak. Beberapa jam selanjutnya akan ada penerbangan ke kota bapak. Silakan meminta bantuan pada beberapa orang petugas yang ada di sana," ucap wanita muda itu tersenyum ramah Si pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah muda itu tersenyum. Tak mengapa pikirnya terlambat beberapa jam asal ia bisa pulang ke rumahnya hari itu juga.Beberapa orang petugas mengenakan seragam yang sama dengan wanita sebelumnya nampak memberikan penjelasan yang lebih terperinci. Pemuda itu mengucap hamdalah di dalam hati.Tepat ketika jam menunjukkan pukul 11.00 siang pria muda berkemeja itu bersiap ketika announcement mengenai keberangkatan ke sebuah kota mengudara.Sementara di bandara dari kota lainny
***Subuh itu adalah subuh yang paling sibuk saat suara kokok ayam belum membangunkan seisi penjuru rumah. Beberapa orang wanita dewasa tengah bersiap di dapur. Walaupun mereka terlihat lelah, tetapi wajah bahagia terpancar jelas. Di antara satu sama lain memberikan semangat penghiburan yang sesekali diiringi guyonan. "Ada berapa banyak tumpeng yang kita buat hari ini?" tanya Malini. Wanita itu mengikat selendang di pinggangnya yang ramping. "Mungkin hampir 100, Nyonya.""Wah, luar biasa. Kalau begini kita bisa membuka catering. Betul, 'kan, Nek Bayan?" tanya Malini pada Nek Bayan yang sibuk dengan kering tempe kesukaan beberapa anak-anak Malini dan Chandrakanta.Beberapa wadah besar sudah tertata di atas amben kayu. Sunyoto dan beberapa sopir Chandrakanta yang lain dengan sigap memasukkan tumpeng-tumpeng untuk dibagikan kepada warga."Apakah bisa selesai tepat waktu, Nyonya?" tanya Gendis dan yang lain. "Tentu saja. Anak-anak setelah selesai salat Subuh mungkin akan bersiap. Saya
***Di sebuah sekolah menengah atas terbaik di kota itu, Leon sibuk dengan buku-buku tebal di tangannya. Sepertinya ia sedang menunggu Kanaya keluar dari kelasnya. Sesekali Leon melambaikan tangan saat beberapa orang temannya memanggil."Belum dijemput, ya?" tanya salah seorang murid perempuan berkepang dua.Leon mengangguk santai. Lalu, gadis berkepang dua itu berdiri di sebelah Leon. "Kamu belum pulang?" "Belum, lagi nunggu jemputan.""Oh," jawab Leon singkat. Ia tak tertarik dengan gadis cantik yang konon katanya adalah gadis populer di sekolahnya. Mungkin karena tidak berminat atau mungkin hati Leon sudah ditempati oleh seseorang yang lainnya, hanya Leon dan Tuhan saja yang tahu.Leon tersenyum senang saat gemerincing gelang kaki mulai menyapa gendang telinganya. Ia tak sabar menanti sosok itu, lalu menoleh dengan wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata."Sudah selesai?" tanya Leon. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut legam berkilau itu mengangguk. "Temanmu?" tan
***Malini terpekur di kamarnya, sementara Chandrakanta sepertinya masih menyiapkan paviliun kecil untuk Rohani dan Nek Bayan tinggal. Tepat pukul 01.00 malam, suara pintu kamar berderit. Malini pura-pura tidur. Membawa tubuhnya menghadap dinding, bahkan bernapas pun ia lakukan secara perlahan."Mas sudah menikahimu belasan tahun lebih, Sayang. Mas tahu kalau kau belum tidur. Jika ingin marah dan mengatakan sesuatu, katakan saja. Jangan menyimpannya di dalam hati. Mas rela jika kau ingin menampar atau memukul Mas," ucap Chandrakanta dengan lemah lembut.Bulir-bulir bening mulai menetes di kulit sawo matang Malini. Ia menghela napas. Sebenarnya tak ada yang ingin ia bicarakan bersama suaminya. Namun, kehadiran Nek Bayan dan Rohani yang tiba-tiba saja entah mengapa membuat hati Malini sedikit merasa kecewa."Saya ingin istirahat, Mas. Nanti saja saya bicara jika memang saya ingin bicara," ucap Malini pelan. Kini balik giliran juragan Candrakanta yang menghela napas. Ia paham betul mungk
***Nek bayan berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak keluar. Bagaimana tidak, Camelia berusaha menyembunyikan Mentari karena pamor dan rumor mengenai Chandrankanta. Ia tak ingin putrinya merasa tersiksa karena menikahi pria yang memiliki istri yang banyak.Namun, sosok Camelia yang berada di tengah hutan perbatasan tentu saja membuat Nek Bayan bertanya-tanya. Ada apa gerangan mengapa Camelia berusaha untuk terlihat."Ada apa, Mas? Apakah Mas baik-baik saja? Jika Mas memang tak enak badan, biarkan Sunyoto yang membawa jeepnya," ucap Malini merasa khawatir akan keadaan suaminya."Ah, tidak. Hanya saja Mas terkejut," sahut Chandarakanta berusaha kembali melajukan mobilnya perlahan."Nek, apakah Nenek lihat tadi? Sepertinya Ibu tadi yang sedang melintas," ucap Rohani. Buru-buru Nek Bayan membungkam mulut Rohani. Tentu saja pernyataan itu malah membuat Chandrakanta terkejut. "Apa apa yang kau katakan tadi? Ibu? Maksudmu wanita yang melintas tadi itu ibumu?""Ah, sudahlah, Juragan. T
***"Nek Bayan, kau mau ke mana?""Pulang. Aku mencemaskan Rohani.""Kenapa?""Aah, pokoknya aku mau pulang."Wanita tua yang dipanggil Nek Bayan itu berjalan cepat. Ia tak menghiraukan cuaca yang dingin. Ia tinggal di hutan di sekitar gunung yang memang selalu mendapatkan hawa sejuk. Bahkan, cuaca yang benar-benar dingin terkadang membuat tulang terasa ngilu dan gigi bergemeletuk. "Aku yakin sekali kalau Rohani keluar dari gubuk. Entah mengapa aku benar-benar tak tenang. Apakah ia menemui ayahnya? Tidak, tidak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Juragan Chandrakanta dan Malini mengetahui bahwa Rohani adalah anak juragan. Ah, bodohnya aku. Mengapa aku tak membawanya pergi saja. Gadis muda dengan penglihatan- penglihatan itu pasti akan berusaha untuk menyelamatkan ayah dan ibu sambungnya. Padahal ...," ucap Nek Bayan tak menyelesaikan kalimatnya."Ah, aku harus meminjam salah satu kuda dari beberapa orang pengelana yang lewat," kata Nek Bayan lagi.Nek Bayan bercakap-cakap menaw
***Philips datang dengan setelan jas warna hitam. Keadaannya benar-benar sangat mengkhawatirkan. Pitaloka seolah melihat sosok hantu Philips dengan wajah pucat dan senyum menyeringai."Tidak, tidak! Philips sudah mati! Aku sudah membunuhnya," ucap Pitaloka tak sengaja.Astungkara tersenyum menyeringai."Lihatlah, betapa ajaibnya hati wanita ini. Dia benar-benar mengakui bahwa Philips sudah dibuat mati. Kau dengar itu, Philips? Aku tak habis pikir mengapa dulu kau kerap membantu wanita yang tak memiliki hati ini. Ah, sudahlah. Dari pada berlama-lama, lebih baik aku telepon polisi saja," ucap Astungkara geram.Philips menunggu di pojok ruangan sambil memandangi Pitaloka dengan tatapan mata tajam. Jika diizinkan oleh Astungkara, tentu Philips akan lebih menyukai untuk membunuh Pitaloka detik itu juga."Tidak, tidak. Jangan, jangan tangkap aku. Jangan, jangan serahkan aku. Aku mohon ... semua ini aku lakukan karena aku benar-benar ingin memilikimu." Pitaloka benar-benar ketakutan. "Memi
***"Aah .... Ahhh ... Aaah ...."Astungkara mengintip Pitaloka dari sebuah celah. Senyum seringai mewarnai wajahnya yang tegas. Bukannya marah, Astungkara malah tersenyum melihat istri keduanya itu dan apa yang dilakukannya di dalam kamar.Bukannya marah, Astungkara malah mengusap jambang tebalnya dan teringat akan sebuah hal."Hmmm ... Bagus, Pitaloka," gumamnya pelan."Uhhhhhhmmm ... Ahhh ... Ahhh."Erangan itu membawa sebuah senyum di wajah Astungkara. Ia memang sudah lama tak bercinta dengan Pitaloka. Akan tetapi, Astungkara seolah sedang menyiapkan sesuatu bagi istri keduanya. Astungkara berjalan pelan meninggalkan kamarnya. Ia ingin memberikan sebuah jeda bagi Pitaloka menuntaskan apa yang tengah dilakukan di kamar pribadinya dan Astungkara.Gayatri, ibu Astungkara sedang berada di ruang tamu megah dengan ornamen keemasan saat putranya turun. Kudapannya dilempar ke sembarang arah membuat Astungkara menghela napas."Istrimu ke mana, tidur lagi?" "Lagi ada kerjaan di kamar, Bu.
***Juragan menembakkan senapannya ke arah langit, cahaya itu berpendar sangat indah. Malini dan putrinya terkejut. Gadis kecil itu menangis dalam pelukan ibunya padahal ia baru saja akan memejamkan mata."Oh, ada apa itu?" tanya Malini menggendong putrinya yang menangis.Keduanya menuruni anak tangga kayu. Pintu ruang tamu terbuka, angin malam yang dingin dan serpihan hujan nampak masuk."Mas membuat keributan di tengah malam. Tidak tahukah kalau keponakanmu baru saja akan tertidur.""Maaf sayang tapi ada sesuatu di sana," tunjuk Juragan."Sesuatu? Maksudmu apa Mas? Serigala, beruang, atau Yeti? Dia tidak akan mengganggu selama kau menutup pintunya. Sudahlah, Mas!""Tapi aku pikir itu manusia." "Ayolah, Mas ! Manusia mana yang rela mengendap-ngendap ke villa tengah hutan, tengah malam seperti ini!""Tapi, aku benar-benar melihat jubahnya yang berwarna merah.""Sudahlah, Mas? Kita sedang berlibur. Jadi jangan bertingkah yang aneh-aneh. Lusa kita pulang ke kota dan Mas bisa kembali be