...Keputusan pria itu untuk meninggalkan acara pernikahan adiknya di tengah tamu yang sedang datang ramai-ramainya, menurutnya sangatlah tepat. Lagipula ia memiliki rasa yang lebih hebat dibandingkan untuk bersama keluarganya.Apalagi Malini yang tampil begitu cantik dan menggoda di acara pesta pernikahan adiknya itu membuat debar-debar jantungnya tak menentu. Mungkin memang ia sudah mengidap sebuah gangguan kejiwaan yang menyebabkan ambisinya untuk memiliki Malini sangat berlebihan."Aku akan menyelamatkanmu dari Chandrakanta, Malini sayang. Aku sudah tak sabar untuk menunggu hari ini tiba dan semuanya berjalan sesuai rencanaku!" ucap pria itu senang.Diusapnya wajah dan kening Malini yang tertidur pulas di sebelahnya. Masih dalam keadaan yang tak sadarkan diri.Pria bernama Moko itu membawa Malini kabur mengendarai mobil yang sudah diisi minyak full tank. Berpuluh ribu-ribu kilometer jauhnya dari tempat mereka tinggal.Tiba di daerah perbatasan ...Seorang pria sudah menunggunya d
...Pintu kamar itu mengayun dan terbuka. Ada seorang wanita cantik berambut sedikit ikal dan panjang termenung memandangi hamparan hutan-hutan hijau dan laut biru yang luas terbentang di hadapannya.Wanita itu tersenyum menyambut pria yang sedang membawa baki berisi makanan."Mas ingin kamu mencoba beberapa makanan khas Thailand sayang!"Si Wanita hanya tersenyum lalu menggeleng pelan."Sebenarnya saya rindu masakan Mbak Yuvati, Mbok Giyem dan Gendis.""Malini sayang. Ini memang masakan khas Thailand. Tapi tangan suamimu ini yang membuatnya. Tidak kah kamu hargai sedikit saja dan mencicipinya."Pria yang selalu saja mengenakan kemeja putih selama berada di Bangkok itu pura-pura merajuk.Diulurkan sebuah piring cembung putih berisi sebuah makanan yang penuh dengan sayuran. Meminta Malini sedikit pembuka bibirnya lalu."Ya ... ampun Ini enak sekali, Mas!" ucapnya dengan mulut yang penuh.Pria itu tersenyum puas. Ia melingkarkan lengan kekarnya memeluk pinggang Malini membuat tubuh i
***Seorang pria tengah berkendara bersama istri pertamanya dengan wajah yang bermuram durja. Rasanya ketika setiap hari tidak mendapatkan hasil yang baik membuatnya frustasi.Seluruh orang dikerahkannya. Baik itu orang-orang terdekat, kerabat bahkan kolega-kolega yang berjauhan jaraknya."Di mana kamu Malini, sayang?" tanyanya mengusap wajahnya dengan kasar.Merasa mencurigai seseorang tapi tidak memiliki bukti. Tentu rasa geram, amarah dan murka tak bisa dilampiaskan begitu saja."Mas yakin betul Malini dibawa kabur oleh Moko. Tapi mengapa ibu, istri bahkan adiknya tidak mengetahui hal itu.""Mungkin memang benar Suhita, Walimah dan Prabawa tidak mengetahui apa-apa. Mungkin itu rencana Moko sendiri. Mas harus membedakan itu," terang Yuvati mencoba menenangkan suaminya."Lalu, Mas harus bagaimana, sayang? Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Malini. Mas takut terjadi apa-apa kepada dirinya!""Kalau tidak bisa mengerahkan yang kasar lalu kita akan mengerahkan yang halus!" bisik Yu
..."Bukankah itu hotel milik Tuan Astungkara?""Iya, Mas itu memang hotel milik Mas Astungkara lalu?""Mohon maaf, Nyonya Pitaloka. Mohon maaf jika saya lancang. Tapi tidakkah anda berpikir Nyonya? Tuan Astungkara memiliki hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan dengan anda. Saya mengetahui hal itu semua dan semua harta kekayaan yang Nyonya Pitaloka miliki saat ini berasal dari beliau. Tapi Nyonya malah membuat janji dengan Tuan Chandrakanta di sana. Tidakkah itu akan membuat Tuan Astungkara murka? Mengapa anda kerap bermain-main dengan api? Aku hanya takut Nyonya akan terkena imbas kemurkaan Tuan Astungkara?""Ah, Philips! Mengapa kau tidak memberitahuku sejak tadi. Aku refleks saja dan merasa amat senang karena juragan mengajakku bertemu dan hanya hotel itu satu-satunya hotel yang aku ketahui. Kalau ingin membuat janji bertemu dengan juragan di luar, tidak kah itu lebih berbahaya?Orang-orang Astungkara banyak berkeliaran di luar sana.""Itu memang benar Nyonya. Mengapa tidak
...Aku rasa Tuan Chandrakanta tidak mengetahui hal itu. Bukankah tidak ada yang mengetahui hubungan Nyonya dengan Tuan Astungkara selain saya.""Ya, siapa tahu. Lagi pula aku heran, mengapa Tuan Astungkara bermain di hotel miliknya sendiri. Aku takut kapan hari istrinya akan memergoki kami dan akan memenggal kepalaku," gumam Pitaloka. Tatapannya menerawang melihat ke arah luar jendela.Philips tertawa."Ternyata Nyonya Pitaloka memiliki ketakutan juga. Aku pikir ingin memiliki Tuan Chandrakanta adalah keinginan Nyonya dan semua rintangan dan aral tidak ada artinya untuk Nyonya Pitaloka.""Sebenarnya bukan istri Astungkara itu yang aku takuti. Tapi jika istrinya mengetahui hubungan spesial suaminya dengan wanita lain, tidakkah ia akan murka dan mengurung suaminya di rumah saja. Biar bagaimanapun mungkin istri Astungkara memiliki kartu mati suaminya dan untuk itu ketika aku memintanya untuk berpisah dengan istrinya pria itu amat sangat marah.""Kalau tidak bisa dilakukan dengan cara
...Wanita yang mengenakan rok lebar berwarna putih itu duduk di atas tubuh pria itu yang masih nampak tertidur lelap. Rambut panjang yang sedikit bergelombang berwarna gelap nampak tertiup angin pelan. Memberi kecupan lembut dan hangat pada pria yang dianggap suaminya. Padahal bukan. Pria itu masih enggan membuka matanya karena peraduan yang panas semalam. Ia benar-benar menyukai kebersamaannya bersama wanita yang dicintainya. Bahkan tak peduli bahwa ibu dan istrinya sudah sangat khawatir mengenai keberadaannya.Angin pantai berhembus pelan. Burung-burung berkicau seolah mengucapkan selamat pagi kepada dua insan tanpa ikatan itu."Uhmm ... Malini sayang. Kau selalu saja menggoda, Mas....." gumamnya lirih merasakan bibirnya dikecup hangat oleh sebuah bibir sensual.Kecupan yang berasal dari wanita pujaan hatinya, wanita yang dicintainya sejak dulu siang dan malam, wanita yang tidak pernah tergantikan oleh siapapun bahkan termasuk oleh istrinya nya sendiri.Wanita yang dipanggil M
...Angin seolah-olah berhenti bermain-main dan meliukkan benda-benda di sekitarnya. Begitu pula dengan burung-burung yang harusnya memberikan senandung yang indah di pagi yang ceria itu.Yuvati dan Chandrakanta terdiam bagaikan patung yang mati ketika mendengar penuturan yang dilontarkan oleh Suhita.Rasanya jantung mereka akan melompat dari kerangkanya."Apa benar itu, Bu?" tanya Yuvati pelan. Bergegas Yuvati menggenggam erat jari jemari suami berusaha untuk meredam emosinya."Saya pernah mendengar Moko berbicara dengan seseorang agar ia menyiapkan banyak hal. Anak say juga menarik tabungan dolarnya. Saya waktu itu tak bertanya banyak. Saya pikir dia sedang mengurus bisnis yang lain."Chandrakanta belum berkata apa-apa. Lehernya seperti tercekik mendengar penjelasan wanita yang sudah melahirkan pria yang dianggapnya pria paling bejat di dunia. Selain Prabawa yang mengesalkan ternyata kakaknya tak kalah menjijikkan dari adiknya."Lalu apa yang harus kami lakukan?" tanya Chandrakant
..."Itu bukan urusanmu Dominic! Terima kasih sudah memberikan informasi yang sangat penting untukku. Tentu aku akan memberikan imbalan walau memang tak sebanyak imbalan yang diberikan Moko. Tapi jangan khawatir aku tidak akan melaporkanmu polisi!" ucap Chandrakanta.Pria yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan warna putih itu lalu keluar dari rumah yang pernah menjadi tempat bermainnya bersama Moko dan Dominic puluhan tahun yang lalu.Melangkah dengan ringan menuruni undakan anak tangga berlumut sambil komat-kamit membaca Rapal Mantra Kematian.Tiba-tiba saja Dominic merasakan tenggorokannya sangat kering. Tercekik tak bisa bernafa. Matanya hampir mendelik dengan bibir yang biru dan urat-urat keunguan yang menyembul di sekujur wajah dan lehernya.Ketika Chandrakanta berhenti membaca Rapal Mantra Kematian itu tubuh kekar itu luruh di atas sofa.Dominic mengambil nafas dengan rakus lalu tertawa dengan lebar."Hahaha ... juragan Chandrakanta yang terhormat! Kau tidak akan pernah
Bertahun-tahun setelahnya***Peluh mengucur deras. Pria berbadan tegap yang mengenakan kemeja rapi dengan parfum aroma maskulin mendadak masam wajahnya ketika petugas bandara menjelaskan kepadanya bahwa ia terlambat beberapa jam untuk tiba di bandara setelah pesawatnya transit."Jangan khawatir, Pak. Beberapa jam selanjutnya akan ada penerbangan ke kota bapak. Silakan meminta bantuan pada beberapa orang petugas yang ada di sana," ucap wanita muda itu tersenyum ramah Si pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah muda itu tersenyum. Tak mengapa pikirnya terlambat beberapa jam asal ia bisa pulang ke rumahnya hari itu juga.Beberapa orang petugas mengenakan seragam yang sama dengan wanita sebelumnya nampak memberikan penjelasan yang lebih terperinci. Pemuda itu mengucap hamdalah di dalam hati.Tepat ketika jam menunjukkan pukul 11.00 siang pria muda berkemeja itu bersiap ketika announcement mengenai keberangkatan ke sebuah kota mengudara.Sementara di bandara dari kota lainny
***Subuh itu adalah subuh yang paling sibuk saat suara kokok ayam belum membangunkan seisi penjuru rumah. Beberapa orang wanita dewasa tengah bersiap di dapur. Walaupun mereka terlihat lelah, tetapi wajah bahagia terpancar jelas. Di antara satu sama lain memberikan semangat penghiburan yang sesekali diiringi guyonan. "Ada berapa banyak tumpeng yang kita buat hari ini?" tanya Malini. Wanita itu mengikat selendang di pinggangnya yang ramping. "Mungkin hampir 100, Nyonya.""Wah, luar biasa. Kalau begini kita bisa membuka catering. Betul, 'kan, Nek Bayan?" tanya Malini pada Nek Bayan yang sibuk dengan kering tempe kesukaan beberapa anak-anak Malini dan Chandrakanta.Beberapa wadah besar sudah tertata di atas amben kayu. Sunyoto dan beberapa sopir Chandrakanta yang lain dengan sigap memasukkan tumpeng-tumpeng untuk dibagikan kepada warga."Apakah bisa selesai tepat waktu, Nyonya?" tanya Gendis dan yang lain. "Tentu saja. Anak-anak setelah selesai salat Subuh mungkin akan bersiap. Saya
***Di sebuah sekolah menengah atas terbaik di kota itu, Leon sibuk dengan buku-buku tebal di tangannya. Sepertinya ia sedang menunggu Kanaya keluar dari kelasnya. Sesekali Leon melambaikan tangan saat beberapa orang temannya memanggil."Belum dijemput, ya?" tanya salah seorang murid perempuan berkepang dua.Leon mengangguk santai. Lalu, gadis berkepang dua itu berdiri di sebelah Leon. "Kamu belum pulang?" "Belum, lagi nunggu jemputan.""Oh," jawab Leon singkat. Ia tak tertarik dengan gadis cantik yang konon katanya adalah gadis populer di sekolahnya. Mungkin karena tidak berminat atau mungkin hati Leon sudah ditempati oleh seseorang yang lainnya, hanya Leon dan Tuhan saja yang tahu.Leon tersenyum senang saat gemerincing gelang kaki mulai menyapa gendang telinganya. Ia tak sabar menanti sosok itu, lalu menoleh dengan wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata."Sudah selesai?" tanya Leon. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut legam berkilau itu mengangguk. "Temanmu?" tan
***Malini terpekur di kamarnya, sementara Chandrakanta sepertinya masih menyiapkan paviliun kecil untuk Rohani dan Nek Bayan tinggal. Tepat pukul 01.00 malam, suara pintu kamar berderit. Malini pura-pura tidur. Membawa tubuhnya menghadap dinding, bahkan bernapas pun ia lakukan secara perlahan."Mas sudah menikahimu belasan tahun lebih, Sayang. Mas tahu kalau kau belum tidur. Jika ingin marah dan mengatakan sesuatu, katakan saja. Jangan menyimpannya di dalam hati. Mas rela jika kau ingin menampar atau memukul Mas," ucap Chandrakanta dengan lemah lembut.Bulir-bulir bening mulai menetes di kulit sawo matang Malini. Ia menghela napas. Sebenarnya tak ada yang ingin ia bicarakan bersama suaminya. Namun, kehadiran Nek Bayan dan Rohani yang tiba-tiba saja entah mengapa membuat hati Malini sedikit merasa kecewa."Saya ingin istirahat, Mas. Nanti saja saya bicara jika memang saya ingin bicara," ucap Malini pelan. Kini balik giliran juragan Candrakanta yang menghela napas. Ia paham betul mungk
***Nek bayan berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak keluar. Bagaimana tidak, Camelia berusaha menyembunyikan Mentari karena pamor dan rumor mengenai Chandrankanta. Ia tak ingin putrinya merasa tersiksa karena menikahi pria yang memiliki istri yang banyak.Namun, sosok Camelia yang berada di tengah hutan perbatasan tentu saja membuat Nek Bayan bertanya-tanya. Ada apa gerangan mengapa Camelia berusaha untuk terlihat."Ada apa, Mas? Apakah Mas baik-baik saja? Jika Mas memang tak enak badan, biarkan Sunyoto yang membawa jeepnya," ucap Malini merasa khawatir akan keadaan suaminya."Ah, tidak. Hanya saja Mas terkejut," sahut Chandarakanta berusaha kembali melajukan mobilnya perlahan."Nek, apakah Nenek lihat tadi? Sepertinya Ibu tadi yang sedang melintas," ucap Rohani. Buru-buru Nek Bayan membungkam mulut Rohani. Tentu saja pernyataan itu malah membuat Chandrakanta terkejut. "Apa apa yang kau katakan tadi? Ibu? Maksudmu wanita yang melintas tadi itu ibumu?""Ah, sudahlah, Juragan. T
***"Nek Bayan, kau mau ke mana?""Pulang. Aku mencemaskan Rohani.""Kenapa?""Aah, pokoknya aku mau pulang."Wanita tua yang dipanggil Nek Bayan itu berjalan cepat. Ia tak menghiraukan cuaca yang dingin. Ia tinggal di hutan di sekitar gunung yang memang selalu mendapatkan hawa sejuk. Bahkan, cuaca yang benar-benar dingin terkadang membuat tulang terasa ngilu dan gigi bergemeletuk. "Aku yakin sekali kalau Rohani keluar dari gubuk. Entah mengapa aku benar-benar tak tenang. Apakah ia menemui ayahnya? Tidak, tidak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Juragan Chandrakanta dan Malini mengetahui bahwa Rohani adalah anak juragan. Ah, bodohnya aku. Mengapa aku tak membawanya pergi saja. Gadis muda dengan penglihatan- penglihatan itu pasti akan berusaha untuk menyelamatkan ayah dan ibu sambungnya. Padahal ...," ucap Nek Bayan tak menyelesaikan kalimatnya."Ah, aku harus meminjam salah satu kuda dari beberapa orang pengelana yang lewat," kata Nek Bayan lagi.Nek Bayan bercakap-cakap menaw
***Philips datang dengan setelan jas warna hitam. Keadaannya benar-benar sangat mengkhawatirkan. Pitaloka seolah melihat sosok hantu Philips dengan wajah pucat dan senyum menyeringai."Tidak, tidak! Philips sudah mati! Aku sudah membunuhnya," ucap Pitaloka tak sengaja.Astungkara tersenyum menyeringai."Lihatlah, betapa ajaibnya hati wanita ini. Dia benar-benar mengakui bahwa Philips sudah dibuat mati. Kau dengar itu, Philips? Aku tak habis pikir mengapa dulu kau kerap membantu wanita yang tak memiliki hati ini. Ah, sudahlah. Dari pada berlama-lama, lebih baik aku telepon polisi saja," ucap Astungkara geram.Philips menunggu di pojok ruangan sambil memandangi Pitaloka dengan tatapan mata tajam. Jika diizinkan oleh Astungkara, tentu Philips akan lebih menyukai untuk membunuh Pitaloka detik itu juga."Tidak, tidak. Jangan, jangan tangkap aku. Jangan, jangan serahkan aku. Aku mohon ... semua ini aku lakukan karena aku benar-benar ingin memilikimu." Pitaloka benar-benar ketakutan. "Memi
***"Aah .... Ahhh ... Aaah ...."Astungkara mengintip Pitaloka dari sebuah celah. Senyum seringai mewarnai wajahnya yang tegas. Bukannya marah, Astungkara malah tersenyum melihat istri keduanya itu dan apa yang dilakukannya di dalam kamar.Bukannya marah, Astungkara malah mengusap jambang tebalnya dan teringat akan sebuah hal."Hmmm ... Bagus, Pitaloka," gumamnya pelan."Uhhhhhhmmm ... Ahhh ... Ahhh."Erangan itu membawa sebuah senyum di wajah Astungkara. Ia memang sudah lama tak bercinta dengan Pitaloka. Akan tetapi, Astungkara seolah sedang menyiapkan sesuatu bagi istri keduanya. Astungkara berjalan pelan meninggalkan kamarnya. Ia ingin memberikan sebuah jeda bagi Pitaloka menuntaskan apa yang tengah dilakukan di kamar pribadinya dan Astungkara.Gayatri, ibu Astungkara sedang berada di ruang tamu megah dengan ornamen keemasan saat putranya turun. Kudapannya dilempar ke sembarang arah membuat Astungkara menghela napas."Istrimu ke mana, tidur lagi?" "Lagi ada kerjaan di kamar, Bu.
***Juragan menembakkan senapannya ke arah langit, cahaya itu berpendar sangat indah. Malini dan putrinya terkejut. Gadis kecil itu menangis dalam pelukan ibunya padahal ia baru saja akan memejamkan mata."Oh, ada apa itu?" tanya Malini menggendong putrinya yang menangis.Keduanya menuruni anak tangga kayu. Pintu ruang tamu terbuka, angin malam yang dingin dan serpihan hujan nampak masuk."Mas membuat keributan di tengah malam. Tidak tahukah kalau keponakanmu baru saja akan tertidur.""Maaf sayang tapi ada sesuatu di sana," tunjuk Juragan."Sesuatu? Maksudmu apa Mas? Serigala, beruang, atau Yeti? Dia tidak akan mengganggu selama kau menutup pintunya. Sudahlah, Mas!""Tapi aku pikir itu manusia." "Ayolah, Mas ! Manusia mana yang rela mengendap-ngendap ke villa tengah hutan, tengah malam seperti ini!""Tapi, aku benar-benar melihat jubahnya yang berwarna merah.""Sudahlah, Mas? Kita sedang berlibur. Jadi jangan bertingkah yang aneh-aneh. Lusa kita pulang ke kota dan Mas bisa kembali be