Karin menguatkan dirinya untuk menatap wartawan itu dengan dingin. Diingatnya wajah kesakitan Ibunya, biar ia tidak menangis. “Rasanya sama seperti orang yang sedang jatuh cinta lainnya. Itu pun, kalau kalian pernah merasakan jatuh cinta!” Tidak ingin berlama-lama lagi berada di sana Karin dengan setengah berlari menjauh dari para wartawan itu menuju trotoar. Dengan cepat ia menghilang di antara orang-orang. Yang sepertinya juga baru keluar dari tempat mereka bekerja untuk mencari makan. Sayup-sayup Karin mendengar suara Ryan memanggil namanya, tetapi ia enggan menghentikan langkahnya. Ia terus saja berjalan dengan cepat, sambil mencari-cari taksi yang lewat. Ia hanya ingin pergi dari kota ini dan menenangkan dirinya di satu-satunya tempat yang ia rasa aman. Karin hampir berteriak ketika ia merasakan tarikan pada lengannya, tetapi begitu mengetahui siapa orangnya ia pun diam saja dan ikut masuk mobil pria yang menariknya. Be
“Apakah kau sekarang menjadi takut dan menyesal ikut denganku?” Tanya suara yang sudah mulai dikenali Karin. Karin mengedarkan pandangannya ke arah suara yang berada di balik bayang-bayang. Dilihatnya bentuk yang tadinya hanya berupa bayangan berubah menjadi wujud Derek, yang berjalan mendekat ke arahnya. Derek berhenti di ujung ranjang yang ditiduri Karin. “Apa yang ada di pikiranmu sekarang? Apakah kau hendak kabur dari sini? Aku tidak akan membiarkan kau pergi seorang diri!” Karin menyibak selimut yang menutupi tubuhnya ia lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekati Derek. “Tadinya aku menyesal, tetapi setelah mendengar apa yang kau katakan barusan aku tidak takut lagi, karena aku tahu kau peduli kepadaku, sehingga tidak mungkin kau secara sadar akan menyakitiku!” Terdengar suara tepuk tangan yang nyaring dari Derek. “Wow! Kau membuatu merasa tersanjung Adik kecil! Kuberi satu nasihat kepadamu, jangan pernah perc
“Betapa penuh perhatiannya dirimu! Baiklah aku akan menghadapi mereka semua dan menunjukkan kepada mereka, kalau aku sama sekali tidak terusik dengan apa yang mereka tanyakan!” Karin melambaikan tangan memberi kode kepada Derek untuk pergi dari kamarnya. Dengan santai Derek keluar dari kamar Karin. Ia tidak takut, kalau Karin akan kabur dari tempatnya saat ini berada. Pada saat Karin sedang tidur ia dengan sengaja mengambil uang tunai dan juga kartu kredit, serta ATM dari dalam tas yang dibawa Karin.**** Di lain tempat beberapa jam sebelumnya. Dengan langkahnya yang panjang dan tergesa-gesa, Ryan menuju ruangan yang ditempatinya bersama Karin. Namun, begitu diketahuinya pintu ruangan tersebut terkunci Ryan dengan cepat menuju lift untuk menyusul Karin yang ia duga keluar untuk makan siang. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya Karin sedang berhadapan dengan wartawan. Rasa cemas akan keadaan emosional Karin membuatnya m
“Kau tentu mengetahui rasa takutku, tetapi aku tidak melihat kau berlari atau berjalan ke arahku! Kau justru berdiri diam di samping wanita yang merupakan cinta pertamamu. Dan aku tidak tahu, apakah kau masih memiliki rasa kepadanya.” Karin melihat Ryan dengan tatapan terluka, karena sikap kasar pria itu. Ryan diam sebentar, kemudian berjalan kembali mendekati Karin. “Aku sudah tidak memiliki perasaan apapun dengan Maurie! Dan aku bukannya hanya diam saja kau tentu mendengar aku memanggil namamu, tetapi kau justru mengabaikan panggilanku dan masuk mobil pria yang baru kau kenal!” Karin mendorong dada Ryan dengan kepalan tangannya. “Kau hanya mencoba untuk membenarkan dirimu saja dan menyalahkan diriku! Kau sa...” Kalimat yang hendak diucapkan Karin terputus bibirnya dibungkam ciuman oleh Ryan. Dan pria itu baru menghentikan ciumannya ketika ia mendengar suara napas Karin yang memburu begitu juga dengan napasnya. “Apa yang cob
“Hmm, benarkah apa yang kau katakan itu, Karin?” Ryan memicingkan mata melihat Karin ia hendak membuktikan ucapan Karin, tetapi tanpa sengaja matanya melihat spion tampak sopir pribadinya melirik, melalui kaca spion. Pelototan Ryan berikan kepada sopir pribadinya tersebut, sehingga ia langsung saja melihat kembali ke jalanan. Sementara Ryan sendiri memilih untuk mengalihkan pehatiannya dengan membuka ponsel. Tak berselang lama kemudian mobil berhenti tepat di depan pintu perusahaan. setelah pintu mobil dibukakan, Ryan dan Karin keluar lalu masuk gedung perusahaan tersebut secara bersama-sama. Berita tentang kebersaman mereka berdua rupanya juga sudah tersebar di peusahaannya. Dan ketika keduanya akan masuk lift mereka bertemu dengan Luke, yang mengedipkan mata ke arah Karin, sehingga Karin tersenyum melihatnya. “Apa yang kau lakukan berdiri di situ?” Tegur Ryan dingin kepada Luke yang berdiri di depan lift. Luke m
Karin diam membeku di lantai ia terpaku dengan tatapan Ryan. Janrungnya berdebar kencang menunggu reaksi Ryan yang melihatnya terjatuh di lantai. Hati Karin menjadi sakit saat dilihatnya bagaimana Ryan berlalu pergi begitu saja tanpa menyapanya terlebih dahulu atau menegur Norah dan hal itu bagaikan de ja vu untuk Karin. ‘Mengapa juga aku berharap kalau Ryan akan mendatangiku! Namun, ia pernah mengatakan, kalau ia akan jujur apabila sudah tidak menginginkan diriku lagi sebagai kekasihnya,’ batin Karin. Ia lalu berdiri dan berjalan dengan cepat menuju pintu keluar. Dan pada saat ia sudah berada di luar dilihatnya Ryan sedang berdiri di samping mobilnya. Kembali netra Karin dan Ryan, tetapi kali ini Karin dengan cepat melengos. Dirinya berjalan dengan cepat di trotoar menuju rumah makan yang letaknya tidak jauh dari perusahaan. Sesampainya di rumah makan tersebut dan mengantri untuk mengambil makanan. Setelahnya ia mengambil te
Karin melihat Ryan dengan tatapan tidak percaya, kekasihnya ini memang membuatnya selalu tidak habis pikir saja.mm, jadi kalau tadi tidak ada kejadian yang membuatmu menyusulku bisa jadi kau akan menginap di hotel ini bersama dengan wanita tadi.” Ryan melirik Karin sekilas, kemudian ia melihat lurus ke depan. Sama sekali tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh Karin. Sesampainya di dalam kamar hotel mereka. Ryan mendorong Karin, hingga wanita itu menempel ke dinding. Karin menatap Ryan dengan tatapan tidak percaya, dengan tindakan tak terduga yang dilakukan oleh Ryan. Bibir Karin langsung disambar Ryan dan diciumnya berulangkali. Karin membuka mulutnya menerima ciuman dari Ryan, sehingga ia pun tanpa sadar membuka mulutnya dan membiarkan Ryan mencumbunya dengan bebas. Melihat Karin yang tidak menolak lagi Ryan berbisik di telinga Karin. “Sekarang waktunya hidangan penutup yang lezat!” Sebelum Karin sempat mence
Karin membeku di tempatnya berdiri ia tidak menduga sama sekali akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Ryan. Ia membalikkan badan, dengan raut wajah yang memperlihatkan kekecewaan. “Mengapa kau begitu takut, kalau aku akan hamil? Dan mengapa kau seakan menyalahkan diriku, kalau aku hamil? Bukankah, kalau diriku hamil kaulah yang salah, karena yang tidak bisa menahan gairahmu dan juga mengapa kau tidak memakai pengaman!” Seru Karin emosi. Mendengar jawaban Karin yang berani, Ryan beranjak dari tempatnya duduk, lalu berjalan menghampiri Karin hanya dalam bebearapa langkah panjangnya. “Jadi, menurutmu aku yang salah?” Ryan memegang pinggang Karin dengan keras, disertai tatapan mata yang tajam. Ia dibuat geram dengan pernyataan dari Karin yang menimpakan kesalahan pada dirinya. “Ini semua salahmu, yang membuatku selalu bergairah saat dekat denganmu, sehingga membuatku selalu ingin bercinta denganmu tanpa mengingat apakah ak
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup
“Mengapa kau melakukan hal itu? Bukannya kau dan Ryan bersahabat dan kau sendiripun sudah berjanji untuk membantunya!” Karin menatap Luke tidak percaya. Luke memberikan senyum menenangkan kepada Karin. Ia mengatakan sengaja melakukannya, untuk memberikan waktu bisa beristirahat, karena kalau ia cepat-cepat mendatangi Ryan di rumah sakit yang ada ia akan kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Karin yang tadinya terkejut menjadi memahami dengan apa yang dikatakan Luke. Memang semenjak ia bersedia memberikan kesempatan kedua untuk Ryan. Ia berubah menjadi manja dan tidak mau ditinggal Karin. Luke mengajak Karin untuk meninggalkan pondok menuju rumah sakit, tanpa perlu mengabari Ryan terlebih dahulu, untuk memberikan kejutan kepadanya. Dalam perjalanan Luke mengatakan kepada Karin, kalau ia tidak ikut masuk menjenguk Ryan, karena ia akan langsung kembali ke kantor, Gosip tentang apa yang menimpa Ryan sudah banyak beredar, sehing
“Aku sedang dalam keadaan yang tidak ingin melakukan apapun pada saat itu,” ucap Ryan. Ia memandang Karin, dengan tatapan sedih. Melihatnya membuat Karin menjadi sadar betapa mereka berdua sudah melalui hal yang terburuk dalam hidup mereka. Semoga saja, hal itu merupakan badai yang terakhir. Karin mendekati Ryan, lalu menggenggam jemarinya dan meletakkan ke pipinya. Semua memang sudah ada waktunya, mungkin waktu sekarang ini masa mereka mendapatkan ujian. Namun, semua pasti akan ada akhirnya. Mereka berdua hanya harus percaya hal itu. “Kau tidak perlu takut kepada Ibuku, karena ia tidak mungkin membencimu selamanya,” ucap Ryan. Melihat Ryan yang sudah memejamkan mata Karin melepaskan genggamannya di jemari Ryan. Ia bermaksud keluar sebentar untuk mencari udara segar. Namun, didengarnya suara Ryan yang meminta kepadanya untuk tidak pergi. Karin langsung berbalik mengira, kalau Ryan membuka mata. Akan tetapi, kedua
“Akan pergi ke mana, kau? Apakah kau tidak ingin menemaniku di rumah sakit ini?” Tanya Ryan kecewa. Karin urung keluar dari kamar Ryan. Ia berbalik menghampiri pria itu dan berdiri tepat di sampingnya. “Katakan apa maumu, Ryan? Buat aku mengerti. karena jujur saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, selain menjauh darimu, karena aku tidak mau membuat kita berdua semakin terluka saja!” Satu tangan Ryan yang tidak dipasang selang infus meraih tangan Karin, lalu menggenggamnya. Dengan suara serak Ryan meminta kepada Karin untuk tinggal. Ia juga meminta kepada Karin, agar memberikan kesempatan kepada mereka berdua untuk memperbaiki apa yang sudah rusak. Mungkin, kerusakan yang mereka buat akan menimbulkan bekas. Akan tetapi, mereka berdua akan memperbaikinya. Karin terdiam, ia tampak memikirkan apa yang diucapkan oleh Ryan barusan. Bisakah ia memberikan kesempatan, untuk hubungannya dengan Ryan? Apaka