“Aku mengaku salah, tetapi aku hanyalah lelaki normal.” Ryan melepaskan pegangannya pada tubuh Karin. Karin mendongak menatap netra hitam Ryan yang terlihat dingin. Ia tidak bisa menyalahkan kejujuran Ryan. Namun, beranikah ia mengambil resiko menerima cinta dari pria yang terkenal sebagai playboy. “Apa yang membuatku bisa yakin, kalau kau akan setia dan bukan hanya sekedar janji saja?” Ryan memegang pipi Karin jarinya mengelus lembut pipi Karin yang terasa halus, lalu turun ke bibirnya. “Aku pria yang akan selalu menepati janjiku!” Bibir Karin mengerucut senyum kecil terbit di bibirnyaa. “Katakanlah aku percaya dengan janji yang kau buat dan siap menerima semua konsekuensi yang kuambil, karena menerima dirimu sebagai kekasihku.” Senyuman pun terbit di bibir Ryan. Ia mencium bibir Karin sekilas, sambil memegang pinggang Karin. “Hidup memang, seperti bermain poker. Kau tidak akan pernah mengetahui, apakah keputusan
Ryan baru saja duduk di ruangannya ketika pintu kantornya dibuka dengan kasar. Dan masuklah pria yang tadi bertengkar dengannya. “Siapa yang mempersilakan kamu masuk ruanganku?” Tanya Ryan galak. “Kenapa aku harus meminta ijin bertemu dengan pria yang menjadi teman kencan adikku? Aku hanya ingin mengatakan, kalau dari sekarang Karin tidak sendirian ia memiliki aku sebagai saudara tirinya! Kamu tidak bisa seenaknya menyakiti atau mempermainkan perasaan Karin.” Suara tawa Ryan pecah mendengar apa yang dikatakan oleh Derek. “Ke mana saja kau selama ini, Bung? Karin bisa menjaga dirinya sendiri. Dia tidak memerlukan pria asing yang mengaku sebagai kakaknya dan berlagak menjadi pahlawan kesiangan!” Derek memukul meja kerja Ryan. “Aku memang baru saja hadir dalam hidup Karin, tetapi hal itu bukanlah masalah sama sekali!” Ryan menatap Derek dengan sinis. “Kau sudah kuberi wakktu mengatakan apa maksud kedatanganmu. Sekara
“Kenapa baru sekarang kau angkat teleponku?” Tanya Ryan galak, melalui sambungan telepon. Karin yang baru saja terbangun dari tidurnya di sofa Ryan yang empuk sontak saja menjadi kaget dengan suara Ryan yang bernada tinggi. Langsung saja dijauhkannya ponsel dari telinga. Dikuceknya mata yang masih mengantuk, karena ia baru saja bangun tidur. Dan ketika ia melihat ponselnya ada banyak panggilan tak terjawab dari Ryan itulah sebabnya ia langsung menelepon pria itu. Ia dengan cepat menghubungi Ryan, mengira kalau ada sesuatu yang penting sampai ia meneleponnya berulangkali. Namun, begitu ia menelepon justru kena marah. “Kenapa kamu diam saja?” Tanya Ryan kembali, setelah seiama beberapa saat tak didengarnya sahutan dari Karin. “Aku tadi ketiduran dan ini baru saja bangun dari tidur. Kenapa tadi meneleponku?” sahut Karin. Ryan menatap layar ponselnya, sambil tersenyum mendengar kalau Karin baru bangun t
“Kau terlalu berlebihan! Memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Kau tidak mempercayaiku bisa dan akan melindungi, serta menjagamu!” Ketus suara Ryan. Ia lalu berdiri dan beranjak menjauh dari tempat di mana Karin sedang duduk. “Kau tidak mengerti, Ryan! Ibuku pernah begitu mempercayai seseorang, tetapi ia dikecewakan! Aku tidak ingin apa yang terjadi dengan Ibuku terulang pada diriku. Di saat ia menyerahkan hati dan raganya ia justru ditinggalkan!” Ryan membalikkan badan dari menatap jalanan, melalui kaca jendela ruang santainya. Ditatapnya netra Karin dengan tajam dan dan raut wajahnya berubah menjadi dingin tak terbaca. “Apakah kau bermaksud menyalahkan Ayahku? Bukankah yang salah itu adalah Ibumu, karena sudah jatuh cinta dengan pria beristri, seperti Ayahku? Dan sudah sepatutnya ia menyadari, kalau apa yang dilakukannya akan membawanya pada masalah!” Dengan cepat Karin bangkit dari duduknya, lalu beranjak menghampiri Ryan
“Hah! Apa makudmu berkata seperti itu, Luke? Apakah kamu sedang cemburu? Jangan membuatku berpikir yang tidak-tidak!” Ryan memicingkan mata melihat Luke. Luke menatap jengkel Ryan. “Astaga! Apakah kau pikir aku cemburu karena menyukaimu? Aku hanya merasa semenjak Karin menjadi sekretaris sekaligus kekasihmu. Kamu menjadi semakin melupakan, kalau diriku menjadi tangan kananmu. Seharusnya aku yang kauajak, karena bisa jadi aku dapat membantu memecahkan persoalan yang terjadi di lapangan!” Mendengar penuturan Luke, Ryan manggut-manggut mengerti. “Justru karena kamu orang kepercayaaanku, meskipun kamu pernah membuatku kecewa. Maka aku mempercayakan jalannya operasional perusahaan ke tanganmu selagi aku tidak berada di tempat.” Pintu ruang kerja Ryan diketuk dan tak lama kemudian masuklah Karin menghampirinya. “Tiket pesawat sudah saya pesan Pak dan kita akan berangkat dalam waktu satu jam lagi. Saya juga sudah mengubah beberapa j
“Tenang saja aku tahu cara ampuh agar kau tetap berada di tempat tidur sepanjang malam. Aku sudah menyiapkan obat tidur yang akan membuatmu tidak bisa bergerak.” Karin melihat Ryan dengan wajah cemberut. Bukannya marah mendengar apa yang dikatakan Karin, Ryan justru tertawa dengan keras. “Kau memang mempunyai jawaban yang cerdas.” Tak lama kemudian mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah hotel berbintang. Keduanya langsung saja turun dari mobil memasuki gedung tersebut. Sesampainya mereka di dalam kamar hotel Karin langsung masuk kamar mandi, sementara Ryan duduk di atas tempat tidur, sambil membuka ponselnya. Ia memeriksa pesan dan email dari Luke. Tidak ada hal yang penting dari laporan Luke, semua berjalan dengan baik. Ia mengirimkan balasan kepada Luke, kalau dirinya baru akan kembali dua hari lagi. Ia akan melakukan beberapa koordinasi tentang renovasi gedung yang terbakar. Baru saja ia meletakka
Wanita yang pernah menjadi kekasih Ryan itu bangkit dari duduknya. Ia berjalan dengan anggun menghampiri Ryan dan Karin yang sedang berdansa. “Selamat malam, maaf mengganggu kalian, dapatkah aku berdansa denganmu, Ryan?” tanya wanita yang Bernama Maurie tersebut. Ryan menatap tajam Maurie, yang sudah dengan tidak sopan menyela dansanya bersama dengan Karin. Akan tetapi, ia juga tidak mungkin bersikap kasar, dengan menolak ajakan dansa Maurie. Melihat Ryan yang dalam dilema dengan senyuman menghiasi wajahnya. Karin berkata, “Berdansalah! Aku akan menunggumu di meja kita.” Karin berjalan meninggalkan lantai dansa dengan anggun menuju meja yang tadi di tempatinya bersama Ryan. ‘Apakah wanita itu mengikuti kami? Apa ia ingin kembali memaksakan dirinya untuk menjalin hubungan dengan Ryan? Apakah aku bisa percaya, kalau Ryan tidak akan tergoda dengan kehadiran wanita itu yang penampilannya begitu menggoda?’ batin Karin.
Secara refleks Karin mengngkat tangan ke depan wajahnya yang sudah berubah menjadi pucat. Ryan melihat wartawan yang berkerumun itu dengan dingin. Tangannya menggenggam jemari Karin yang sudah sedingin es. Wanitanya itu begitu ketakutan hanya dengan melihat kilatan lampu kamera saja. “Selamat pagi Tuan Ryan, berikan waktu kepada kami sebentar untuk bertanya kepada Anda?” ucap salah seorang wartawan tersebut. Ryan berbisik di telinga Karin. “Masuklah duluan ke dalam mobil perusahaan yang sudah menunggu kita. Aku akan menghadapi wawancara ini terlebih dahulu.” Tanpa disuruh dua kali Karin langsung berlalu dari samping Ryan meuju mobil yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Mau tidak mau ia membiarkan mereka mengambil gambar dirinya. Begitu sudah duduk di dalam mobil Karin bisa menarik napas dengan lega, melalui kaca jendela ia melihat bagaimana Ryan menghadapi mereka semua dengan tenang. Sementara Ka
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup
“Mengapa kau melakukan hal itu? Bukannya kau dan Ryan bersahabat dan kau sendiripun sudah berjanji untuk membantunya!” Karin menatap Luke tidak percaya. Luke memberikan senyum menenangkan kepada Karin. Ia mengatakan sengaja melakukannya, untuk memberikan waktu bisa beristirahat, karena kalau ia cepat-cepat mendatangi Ryan di rumah sakit yang ada ia akan kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Karin yang tadinya terkejut menjadi memahami dengan apa yang dikatakan Luke. Memang semenjak ia bersedia memberikan kesempatan kedua untuk Ryan. Ia berubah menjadi manja dan tidak mau ditinggal Karin. Luke mengajak Karin untuk meninggalkan pondok menuju rumah sakit, tanpa perlu mengabari Ryan terlebih dahulu, untuk memberikan kejutan kepadanya. Dalam perjalanan Luke mengatakan kepada Karin, kalau ia tidak ikut masuk menjenguk Ryan, karena ia akan langsung kembali ke kantor, Gosip tentang apa yang menimpa Ryan sudah banyak beredar, sehing
“Aku sedang dalam keadaan yang tidak ingin melakukan apapun pada saat itu,” ucap Ryan. Ia memandang Karin, dengan tatapan sedih. Melihatnya membuat Karin menjadi sadar betapa mereka berdua sudah melalui hal yang terburuk dalam hidup mereka. Semoga saja, hal itu merupakan badai yang terakhir. Karin mendekati Ryan, lalu menggenggam jemarinya dan meletakkan ke pipinya. Semua memang sudah ada waktunya, mungkin waktu sekarang ini masa mereka mendapatkan ujian. Namun, semua pasti akan ada akhirnya. Mereka berdua hanya harus percaya hal itu. “Kau tidak perlu takut kepada Ibuku, karena ia tidak mungkin membencimu selamanya,” ucap Ryan. Melihat Ryan yang sudah memejamkan mata Karin melepaskan genggamannya di jemari Ryan. Ia bermaksud keluar sebentar untuk mencari udara segar. Namun, didengarnya suara Ryan yang meminta kepadanya untuk tidak pergi. Karin langsung berbalik mengira, kalau Ryan membuka mata. Akan tetapi, kedua
“Akan pergi ke mana, kau? Apakah kau tidak ingin menemaniku di rumah sakit ini?” Tanya Ryan kecewa. Karin urung keluar dari kamar Ryan. Ia berbalik menghampiri pria itu dan berdiri tepat di sampingnya. “Katakan apa maumu, Ryan? Buat aku mengerti. karena jujur saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, selain menjauh darimu, karena aku tidak mau membuat kita berdua semakin terluka saja!” Satu tangan Ryan yang tidak dipasang selang infus meraih tangan Karin, lalu menggenggamnya. Dengan suara serak Ryan meminta kepada Karin untuk tinggal. Ia juga meminta kepada Karin, agar memberikan kesempatan kepada mereka berdua untuk memperbaiki apa yang sudah rusak. Mungkin, kerusakan yang mereka buat akan menimbulkan bekas. Akan tetapi, mereka berdua akan memperbaikinya. Karin terdiam, ia tampak memikirkan apa yang diucapkan oleh Ryan barusan. Bisakah ia memberikan kesempatan, untuk hubungannya dengan Ryan? Apaka