“Ryan, apa yang kamu lakukan!” Bentak seorang wanita, sambil berkacak pinggang. Matanya berkilat-kilat dipenuhi kemarahan. Secara otomatis Ryan langsung melepaskan pelukannya pada Karin. Dan tanpa rasa bersalah ia menatap wanita yang menatapnya galak, dengan tatapan dingin. “Untuk apa ibu datang ke sini? Aku melakukan apapun tidak perlu persetujuan darimu!” Ryan menarik lengan Karin, yang mencoba menjauh darinya. “Kamu keterlaluan sekali kepada ibumu, Ryan! Dan itu semua dikarenakan sekretaris yang identitas sebenarnya meragukan!” Ibunya menatap dengan kececwa kepada Ryan, yang berani menegurnya di depan wanita yang entah kenapa ia benci. Menyadari mereka menjadi tontonan dari para pegawainya yang hendak pergi makan siang. Ryan setengah menyeret Karin menjauh dari lift menuju pintu keluar. Karin tidak berani membuka suaranya sama sekali. Ia merasa takut kepada kemarahan Ryan yang tak terucap kepadanya. Begitu mere
Karin diam terpaku, lidahnya terasa kelu. Tatapan matanya terpaku, dengan kelembutan tatapan, yang diberikan oleh Ryan. “Kau beruntung Karin, setiap kali kita hampir saja bercinta, selalu saja ada gangguan yang menggagalkan. Akan tetapi, tidak selamanya kau seberuntung itu, karena aku dapat memastikan, kalau dirimu akan jatuh ke dalam pelukanku.” Ryan mengusap bibir Karin yang bengkak, karena ulahnya. Tanpa disadari oleh keduanya mobil sudah berhenti beberapa saat yang lalu. Sopir pribadi Ryan tidak berani mengganggu tuannya, karena ia sudah mengenal karakter dari tuannya itu. Ryan menjauhkan badannya dari Karin. Ketahanannya, untuk tidak menyentuh Karin kembali sangatlah tipis. Ia kembali ke tempatnya semula duduk, dengan punggung yang disenderkan pada sandaran jok mobil, Ryan memejamkan kedua matanya. “Kau selamat, Karin! Cepatlah keluar, sebelum aku berubah pikiran dan tidak peduli, kalau ini di dalam mobil dan sopir priba
Ryan berdiri dari duduknya, lalu berjalan memutari meja kerja dan berdiri di belakang Karin. “Kau bertanya kenapa? Itu karena aku tidak percaya kepada Luke, karena biar bagaimanapun juga aku mengenal seorang Luke sebagai seorang play boy dan aku tidak mempercayainya sama sekali, sama seperti diriku yang tidak percaya, kalau aku bisa menahan diri untuk tidak menyentuhmu!” Karin merinding ketika dirasakannya Ryan menundukkan wajah, sampai napasnya terasa berhembus di leher. Terlebih lagi mendengar apa yang dikatakan oleh Ryan hanya membuatnya merasa tidak nyaman saja. “Apakah kau tidak menyadari Karin, kalau hanya ada kita berdua saja yang lembur di kantor ini?” Mark menegakkan badan, lalu mengelus lembut leher Karin. Karin menepis tangan Ryan dari lehernya. “Apakah saya harus merasa takut hanya berduaan saja, dengan pak Ryan? Saya tidak akan membiarkan Bapak melakukan apa yang ada dalam kepala Bapak!” Kursi yang diduduki Karin
Karin melepas heels yang dipakainya, biar ia bisa berjalan dengan cepat. Ia juga tidak menoleh ke belakang, sekedar mencari tahu apakah Ryan mengejarnya atau tidak. Setelah beberapa menit berjalan Karin sudah dapat melihat gedung apartemennya. Ia merasa senang, karena kakinya sudah lelah berjalan, meskipun heelsnya sudah ia lepas. Tiba-tiba saja ia merasa ada seseorang yang meraih tangannya, kemudian orang itu menutkan jemari mereka berdua. Saat itulah Karin mengetahui siapakah orang yang sudah menggenggam jemarinya. Keduanya berjalan tanpa ada yang membuka suara sepatahpun. Pada saat mereka akan menyeberang menuju gedung apartemen Karin, secara tidak terduga Ryan memanggul dirinya. “Pak Ryan, tolong turunkan saya!” Karin memukul punggung Ryan berulangkali. Akan tetapi, Ryan bergeming ia terus saja memanggul Karin tanpa membuka suaranya. Karin akhirnya menyerah meminta Ryan untuk menurunkan dirinya, karena merasa
Pagi-pagi sekali Ryan sudah berada di kantornya. Ia sengaja datang pagi, untuk melihat apakah Karin menepati janjinya, untuk datang pagi dan mengerjakan apa yang seharusnya ia selesaikan tadi malam. Petugas keamanan yang berjaga di depan pintu kantor menjadi terkejut melihat kedatangannya pagi-pagi sekali. “Selamat pagi, Tuan!” sapa petugas keamanannya. Ia dengan sigap membukakan pintu untuk Ryan. Ryan menganggukkan kepala, lalu berjalan masuk menuju lift dan tak berapa lama kemudian ia pun sudah duduk nyaman di ruangannya. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.30 dan ia tadi melihat Karin datang. ‘Apakah Karin akan masuk kerja hari ini? Kalau sampai ia tidak masuk kerja, maka aku yang akan mendatanginya!’ batin Ryan. Ryan menyalakan komputernya dan mulai mengecek beberapa pesan bisnis yang dikirimkan oleh rekan kerjanya. Ketika jam dinding di ruangannya sudah menunjukkan pukul 08.00 Ryan menghentikan
Sontak saja Karin menjadi terkejut, ia menoleh ke arah Ryan, yang sama sekali tidak peduli dengan rasa terkejut Karin. “Kenapa mendadak begini, Pak? Saya tidak membawa pakaian ganti, untuk keperluan menginap di hotel. Mengapa kita tidak langsung pulang saja begitu meeting dengan klien Bapak selesai.” Ryan menoleh ke arah Karin, sambil melayangkan tatapan mata tajam. “Kamu ini cerewet sekali! Soal pakaian itu masalah kecil, nanti kamu bisa memilih pakaian baru, meski saya lebih suka kalau kamu bersedia tidak memakai pakaian sama sekali, saat hanya kita berdua saja.” Mata Karin langsung melotot, dari mulutnya langsung terlontar kalimat terkejut. “Hah! Kita tidur di kamar terpisah, ‘kan Pak? Saya tidak mau tidur satu kamar dengan Bapak!” Ryan melihat tangannya di depan dada ia tetap menatap lurus ke depan. Mengabaikan Karin, yang melihat ke arahnya. “Kamu maunya bagaimana? Kalau terserah saya, saya maunya kita tidur satu kamar. Tidak masa
Tentu saja tenaga Karin kalah dengan tenaga Ryan. Pintu pun dapat dibuka dengan mudah oleh Ryan, yang langsung saja masuk dan duduk di atas kasur Karin. Karin hanya berdiri saja di depan pintu penghubung, sambil berkacak pingggang. “Sebenarnya, Bapak ini mau pilih kamar yang mana? Kamar ini atau kamar sebelah sana?” Karin menunjuk kamar yang seharusnya di tempati Ryan. Tidak menghiraukan pertyanyaan Karin, Ryan justru membuka laptop yang dibawanya dan memakai kaca mat abaca. “Pikiranmu sudah terpengaruh dengan apa yang tadi saya katakan di mobil. Kamu mengharap saya mengajakmu tidur, tetapi sayang sekali, untuk saat ini saya sedang tidak berminat.” “Hah!” Karin melongo tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Apakah bosnya ini mendadak amnesia? Ah, apapun itu ia harus bersyukur, karena Ryan tidak akan melakukan apa yang ia duga. Ryan mendongak dari layar laptop yang ada di pangkannya. Ditatapnya Karin dengan tajam
Karin berjalan ragu masuk ke bangunan tersebut dan tanpa sadar tangannya meraih tangan Ryan, dengan posisi menggandeng lengan Ryan. Melihat Karin yang secara sukarela menempel kepadanya membuat Ryan menoleh dan mengernyitkan keningnya. Ia dapat merasakan tangan Karin yang menjadi dingin. “Senang melihat kamu yang menempel begini.,” bisik Ryan. Mereka akhirnya bertemu dengan seorang pria paruh baya, dengan penampilan yang tetap menawan di usianya yang sudah tidak muda lagi. Ryan melepaskan lengan Karin yang menggandeng lengannya. Ia menyambut pelukan hangat dari rekan bisnisnya itu. “Senang sekali menerima kedatanganmu ke sini, bersama dengan …?” Pria itu sengaja menjeda ucapannya. Ditatapnya Karin, dengan tatapan mata yang tajam. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terlihat mengerikan bagi Karin. Dalam diam Ryan memperhatikan bagaimana wajah Karin menjadi terlihat pucat, serta bagaimana wajah rekan bis
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup
“Mengapa kau melakukan hal itu? Bukannya kau dan Ryan bersahabat dan kau sendiripun sudah berjanji untuk membantunya!” Karin menatap Luke tidak percaya. Luke memberikan senyum menenangkan kepada Karin. Ia mengatakan sengaja melakukannya, untuk memberikan waktu bisa beristirahat, karena kalau ia cepat-cepat mendatangi Ryan di rumah sakit yang ada ia akan kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Karin yang tadinya terkejut menjadi memahami dengan apa yang dikatakan Luke. Memang semenjak ia bersedia memberikan kesempatan kedua untuk Ryan. Ia berubah menjadi manja dan tidak mau ditinggal Karin. Luke mengajak Karin untuk meninggalkan pondok menuju rumah sakit, tanpa perlu mengabari Ryan terlebih dahulu, untuk memberikan kejutan kepadanya. Dalam perjalanan Luke mengatakan kepada Karin, kalau ia tidak ikut masuk menjenguk Ryan, karena ia akan langsung kembali ke kantor, Gosip tentang apa yang menimpa Ryan sudah banyak beredar, sehing
“Aku sedang dalam keadaan yang tidak ingin melakukan apapun pada saat itu,” ucap Ryan. Ia memandang Karin, dengan tatapan sedih. Melihatnya membuat Karin menjadi sadar betapa mereka berdua sudah melalui hal yang terburuk dalam hidup mereka. Semoga saja, hal itu merupakan badai yang terakhir. Karin mendekati Ryan, lalu menggenggam jemarinya dan meletakkan ke pipinya. Semua memang sudah ada waktunya, mungkin waktu sekarang ini masa mereka mendapatkan ujian. Namun, semua pasti akan ada akhirnya. Mereka berdua hanya harus percaya hal itu. “Kau tidak perlu takut kepada Ibuku, karena ia tidak mungkin membencimu selamanya,” ucap Ryan. Melihat Ryan yang sudah memejamkan mata Karin melepaskan genggamannya di jemari Ryan. Ia bermaksud keluar sebentar untuk mencari udara segar. Namun, didengarnya suara Ryan yang meminta kepadanya untuk tidak pergi. Karin langsung berbalik mengira, kalau Ryan membuka mata. Akan tetapi, kedua
“Akan pergi ke mana, kau? Apakah kau tidak ingin menemaniku di rumah sakit ini?” Tanya Ryan kecewa. Karin urung keluar dari kamar Ryan. Ia berbalik menghampiri pria itu dan berdiri tepat di sampingnya. “Katakan apa maumu, Ryan? Buat aku mengerti. karena jujur saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, selain menjauh darimu, karena aku tidak mau membuat kita berdua semakin terluka saja!” Satu tangan Ryan yang tidak dipasang selang infus meraih tangan Karin, lalu menggenggamnya. Dengan suara serak Ryan meminta kepada Karin untuk tinggal. Ia juga meminta kepada Karin, agar memberikan kesempatan kepada mereka berdua untuk memperbaiki apa yang sudah rusak. Mungkin, kerusakan yang mereka buat akan menimbulkan bekas. Akan tetapi, mereka berdua akan memperbaikinya. Karin terdiam, ia tampak memikirkan apa yang diucapkan oleh Ryan barusan. Bisakah ia memberikan kesempatan, untuk hubungannya dengan Ryan? Apaka