Piip-Piip-Piip!
Bunyi ventilator yang digunakan untuk memonitor tanda vital terdengar tiada henti. Terdapat seorang wanita muda yang terbaring lemah tidak berdaya. Sebuah alat medis yang membantunya untuk tetap bernapas itu dihubungkan dengan selang yang dimasukkan lewat rongga mulut wanita tersebut dan membuatnya tampak kian memprihatinkan. Wanita itu adalah Bella.
Tidak lama, seorang pria tampan bertubuh jangkung masuk ke dalam ruang intensif yang ditempati oleh wanita muda tersebut. Pria itu meletakkan sebuket bunga mawar putih segar ke dalam sebuah vas kosong yang sudah terisi sedikit air. Ya vas bunga itu memang sudah terisi sedikit air, pertanda bahwa setiap hari seseorang tidak pernah lupa untuk mengganti bunga indah di dalamnya.
Aroma mewangi dari bunga mawar pun perlahan mulai menyerbak di ruang intensif bersamaan dengan pria jangkung yang mendudukkan tubuh tepat di samping ranjang sang wanita. Sudah satu minggu lamanya wanita itu terbaring koma. Sep
"Aaaaaaaakh!" Bella memekik kesakitan kala Emma tidak sengaja menggunakan tenaga penuh ketika mengompres pelipisnya dengan air es. "Pelan-pelan, Emma! Mengapa kau menekan bongkahan es itu seperti sedang menggunakan tenaga dalam?" "Astaga ma-maafkan saya, Lady. Saya hanya terlalu bersemangat dan terkejut. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kening Anda bisa jadi seperti ini?" cecar Emma seperti seorang induk yang mengkhawatirkan anaknya. Bella menghela napas pendek dan kasar, "Entahlah ... tiba-tiba saja mereka mengepung dan menyerang. Namun yang jelas ... ada sesuatu yang tidak beres." Bella bergeming sejenak seolah sedang berpikir, "Perlahan aku akan mencari tahu," imbuhnya yang kemudian mengernyit kesakitan. Emma yang masih sibuk menempelkan sebongkah kantung kain dingin di pelipis Bella menggelengkan kepala sembari berdecak, "Mengapa mereka sungguh menyeramkan, Lady?" Bella mengedikkan bahu tidak acuh. Mulutnya enggan berkomentar karena merada ada
Bella dan Emma telah sampai di Desa Oldegloe. Mereka kini tengah berjalan untuk melakukan observasi di sekitar desa. Pandangan dua gadis itu kini mengedar dan melihat rumah-rumah penduduk miskin bergaya Renaissance yang terlihat cukup kumuh, kotoran-kotoran yang berserakan di jalanan, serta hewan-hewan pengerat yang asyik berkejar-kejaran. Oh! Cukup menjijikkan."Oh ya, Lady! Mengapa kali ini Lady Beatrice tidak ikut dengan Anda lagi? Bukankah sebelumnya ia tiba-tiba ikut dan naik ke kereta kuda bersama dengan Anda?" Emma bertanya masih dengan berjalan sembari mengedarkan pandangan di sebelah Bella.Bella menggedikkan bahu tidak acuh, "Entahlah ... mungkin dia tidak ingin ditimpuk dengan batu lagi," jawab Bella sekenanya.Emma mengangguk tidak jelas. Ia kembali mengedarkan pandangan pada tempat tinggal penduduk yang tampak sepi, "Lady! Mengapa di sini sepi sekali? Dan di mana kita akan membuat bahan-bahan penyulingan itu?" tanya Emma keheranan.Bella diam
"Bertambah lagi?! Bagaimana bisa jumlah orang yang tertular masih terus bertambah? Sebenarnya apa saja kerjamu selama ini, Rudolf?!" Suara Aurora meninggi dengan rahang mengetat. Gadis itu sedang dipenuhi dengan gelora amarah. Ia kemudian berdesis rendah, "Kau benar-benar tidak becus!"Rudolf menunduk dengan wajah memucat, "Sa-saya juga tidak tahu bagaimana bisa jadi seperti ini, Lady. Semuanya telah kita lakukan. Persembahan pada Dewa sekaligus membunuh mereka yang pendosa dan terkena wabah juga sudah kita lakukan.""Lantas di mana letak kesalahannya, Rudolf?"Rudolf yang sedang berdiri di hadapan Aurora dengan kepala menunduk hanya menggeleng, tanpa suara.Sementara Aurora yang sedang duduk di kursi kayu mahoni seketika menghirup pipa panjang berisi tembakau masih dengan wajah mengetat. Setelahnya, gadis itu menyesap segelas bir untuk meredakan amarahnya, "Lalu, bagaimana dengan perkembangan di Desa Oldegloe?"Rudolf mengangkat kepala masih denga
Aurora dan Rudolf melakukan observasi di rumah kesehatan yang berada di Desa Wolfoo. Puluhan ranjang di dalam rumah kesehatan itu sudah dipenuhi dengan penduduk yang terkena wabah. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan Dokter istana yang juga ikut tertular. Hanya tersisa dua Dokter saja yang masih dapat bertugas. Sungguh kondisi yang cukup kacau dan memprihatinkan.Aurora yang berdiri di sebelah ranjang sedang memicing kala melihat kondisi seorang wanita tua yang tergeletak di atas ranjang tersebut. Dengan benjolan sebesar buah apel di lehernya serta kulit keriputnya yang sudah menghitam membuat Aurora bergidik ngeri. Aurora seketika menjadi mual dan berlari menjauh."Oh astaga, Rudolf! Semenjijikan inikah kondisi di sini? Mengapa orang-orang seperti itu masih dibiarkan hidup? Mengapa tidak langsung kita bunuh saja mereka?" cecar Aurora masih dengan wajah menahan mual. Gadis berambut pirang kemerahan itu memang baru kali ini berkunjung untuk melihat secara langsung k
Claude mendudukkan tubuh Bella di atas kursi kayu mahoni yang ada di kamar gadis tersebut. Sedangkan Bella kini terduduk dan sedikit meringis perih lantaran merasa nyeri pada permukaan kulitnya yang melepuh akibat tersiram teh panas yang memang disengaja oleh Beatrice.Claude mengambil sebuah kotak perkakas yang ada di dalam kamar tersebut. Kotak perkakas itu memang sengaja diletakkan di sana oleh Emma lantaran sebelumnya digunakan pelayan mungil itu untuk mengobati pelipis Bella.Kini, sebuah botol kecil telah berada di tangan Claude. Botol itu berisi ramuan salep yang biasa digunakan untuk kulit melepuh. Sering berada di medan perang, menjadikan sosok Pangeran yang sedang menyamar tersebut cukup mengenali jenis obat dan terbiasa mengobati lukanya sendiri.Claude menarik kursi kayu mahoni kosong yang ada di sebelah Bella. Pria itu membawanya hingga berada di depan gadis tersebut. Ia lantas mendudukkan tubuhnya di kursi itu hingga mereka berdua saling berhadapan
Bella mengernyit, 'Sesuatu yang kuminta?' Gadis itu bergeming untuk sepersekian detik hingga akhirnya ia tersadar jika Claude saat ini masih berada di dalam kamarnya dan sedang memandanginya. Bola mata gadis itu seketika membeliak dengan semburat merah yang kembali menyebar di wajah cantiknya."Emm ... sepertinya kau harus segera pergi, Claude," usir Bella dengan memalingkan wajah ke sembarang arah. Gadis itu mendadak menciut dan tidak berani menatap netra biru pria tersebut. Bella menjelma bagai seekor kucing kecil yang berusaha untuk kabur.Sedangkan Claude tersenyum tipis kala melihat ekspresi malu-malu kucing seorang gadis di hadapannya yang begitu kentara. Pria itu kemudian beranjak berdiri dari kursi kayu mahoni yang ia duduki. Ia berjalan ke arah gadis yang sedang salah tingkah untuk berbisik lirih di daun telinganya, "Tujuh ... kau mendapat nilai tujuh dari sepuluh," ujarnya dengan tersenyum menyeringai kemudian berjalan pergi.Bagai kilatan petir
"Jadi, apa rencanamu?" Beatrice terlihat cukup penasaran dan meloloskan keingintahuannya kepada Aurora.Aurora tersenyum simpul, "Kemarilah! Ikut denganku dan aku akan menunjukkanmu."Mendengar hal itu, Beatrice masih menampakkan guratan keraguan. Gadis itu menimang-nimang dalam hati. Apakah ia harus benar-benar ikut dan menyetujui? Hingga akhirnya, gadis berambut emas itu pun menyetujuinya. Ya, ia mengenyahkan segala rasa kemanusiaan yang ada.Di dalam kamar Aurora, Beatrice terduduk di atas kursi yang ada di dalam kamar tersebut. Sementara Aurora duduk dengan menyesap wine di sebelah tangannya. Tidak lupa ia juga menyuguhkan wine tersebut kepada Beatrice. Sedangkan Adik perempuan bontot dari Duke Arandel itu hanya menghela napas jengah."Sudahi basa-basi ini, Lady. Jadi, apa rencanamu?" Beatrice tampak tidak sabar.Aurora tersenyum tipis, "Kau terlalu terburu-buru, Lady. Bukankah kita harus menjalin keakraban terlebih dulu sebelum bekerja sama?"
~Dear, Bella My Sweet heart.Ibu baik-baik saja dan Ibu juga sangat merindukanmu, Nak. Kau tidak perlu mengkhawatirkan Ibu. Jagalah kesehatanmu! Kau adalah putri Ibu yang sangat Ibu cintai. Untuk itu, Ibu akan menunggumu di taman Oldegloe besok kala malam tiba. Ibu akan menyuruh pelayan untuk memberikan sesuatu padamu karena Ibu tidak bisa pergi ke mana pun. Dan, ingatlah untuk pergi sendirian, Sayang. Jangan mengajak siapapun karena Ibu tidak ingin kau mendapat masalah jika ada yang melihat. Ibu tidak ingin kau dianggap curang dalam misi pelatihan."~Selalu mencintaimu, Liliana.Netra cokelat Bela mengernyit melihat sebuah tulisan yang sedikit berbeda di pertengahan kalimat. Bella tahu jika ibunya hanya bisa berbaring dan surat itu ditulis oleh pelayannya. Namun, Bella tahu betul jika tulisan tangan pelayan itu terlihat sedikit berbeda di pertengahan kalimat. Sebab, isi sesungguhnya adalah Liliana yang menunggunya di rumah. Bukan di taman Oldegloe.
Alhamdulillah ... penulis dapat merampungkan cerita GCBT sesuai dengan plot yang sudah ada di dalam kepala. Bagaimana dengan endingnya? Maaf jika ending cerita ini cukup berbeda dengan kebanyakan novel yang diakhiri dengan ritual pernikahan, bulan madu, dan memiliki bayi. Kalian bisa mengimajinasikan kebahagiaan itu sendiri untuk kisah Bella dan Glenn yang sudah berakhir bahagia ️ Dan sesuai dengan janji penulis sebelumnya berkaitan dengan giveaway, penulis akan memilih satu dari komentar yang terbaik dan mendapat paket bingkisan dari penulis. Namun, penulis juga akan memberi hadiah transfer atau pulsa senilai @50.000 pada bebe
Langit malam seketika menyambut netra seorang gadis yang berada dalam gendongan pria yang dicintainya. Wajah gadis itu memucat dan tidak ada lagi semburat warna di wajahnya. Warna-warna itu telah pergi bersama dengan sebuah kehormatan yang dimiliki. Gadis itu adalah Bella yang hanya menunggu hitungan detik untuk kematiannya. Pandangan Bella yang mulai meremang berusaha menatap sayu pada ukiran wajah tampan pria yang dicintainya dari bawah sinar rembulan dan langit malam yang bertabur bintang. Sayangnya, jiwa gadis itu telah terbunuh sebelum belati tajam mengiris pembuluh darah arteri karotis di lehernya. Jika Tuhan memberikannya kesempatan, gadis itu ingin mengungkapkan rasa cintanya pada sosok pria tampan yang kini sedang ia lihat di bawah sinar rembulan, sosok pria yang selalu menjadi perisai di hidupnya, sosok pria yang tetap datang di saat-saat terakhir, dan sosok pria yang merupakan Pangeran berkuda putihnya. Namun, takdir berkata lain. Takdir itu
Pintu terbuka dengan suara nyaring karena terbentur dinding. Pangeran Glenrhys berdiri di ambang pintu dengan aroma kematian yang tersebar di wajah. Bella dapat melihat keterkejutan dan rasa sakit hati yang terpancar di riak-riak mata pria yang dicintainya tersebut. Tiba-tiba, Bella merasakan ujung pisau di lehernya. "Majulah selangkah dan kau akan melihat pisauku tertancap di leher wanitamu, Kakak." Pangeran Stefan tersenyum menyeringai dengan belati lipat di tangannya yang diarahkan di leher Bella. Pangeran Glenrhys membeku. "Apa yang kau inginkan, Stefan?" Suaranya tenang, tetapi terlihat betapa tajamnya tatapan Pangeran Glenrhys pada adik tirinya. Percayalah! Bella justru merasa ingin mengakhiri hidupnya saat ini juga. Rasa malu, trauma, hina, dan marah kini bergejolak dalam darahnya dan merasuk hingga tulangnya. Gadis itu tidak pernah menyangka jika seseorang yang ia cintai—Pangeran Glenrhys akan melihatnya dalam kondisi tanpa sehelai benan
✍️ Hallo, bab ini menurut penulis akan cukup dark. Jika tidak suka, bisa diskip meskipun bab ini cukup vital dan juga merupakan inti dari cerita. ~~~ Bella kembali membuka mata. Kedua tangan dan kakinya masih terikat dengan tali. Mulutnya juga tersumpal dengan kain. Masih terbalut gaun mewah dengan bawahan mengembang, wajah Bella sudah tampak lusuh meskipun kecantikanya masih tetap terlihat. Sudah berhari-hari Bella diculik dan disekap oleh Pangeran Stefan. Berkali-kali Pangeran gila itu menyatakan cinta dan berkali-kali pula Bella menolaknya dan meludah di wajah Pangeran tersebut. Bella berusaha membebaskan diri dari ikatannya, tetapi tak satupun ikatan itu mengendur. Gadis itu benar-benar ingin kabur dan melarikan diri dari Pangeran mengerikan yang terobsesi padanya. Saat masih berusaha melepas ikatan tali, tiba-tiba terdengar suara pintu berderit, pertanda seseorang telah membukanya. Sosok pria berdiri di ambang pintu. Ya, pria itu ad
Pangeran Glenrhys menaiki kereta kuda kala baru saja keluar dari kapal yang membawanya dari London. Pangeran itu menuju istana untuk bertemu dengan Ratu Cecilia. Turun dari kereta kuda, langkah Pangeran Glenrhys menyusuri taman istana barat untuk menuju aula Ratu.Hingga akhirnya, Pangeran itu telah tiba di depan pintu kamar Ratu. Jemari panjangnya mulai terulur dan membuka pintu ganda kamar yang seketika memperlihatkan seorang wanita yang sedang terbaring di atas tempat tidur.Pangeran Glenrhys melangkah mendekat, "Apakah kau sudah meminum obatmu?" Suara bariton yang terdengar begitu dalam keluar dari mulut Pangeran tersebut.Ratu Cecilia yang awalnya memejamkan mata mulai membuka kelopak mata yang dinaungi bulu mata lentik dan seketika memperlihatkan iris mata biru yang indah, mirip seperti iris mata milik Pangeran Glenrhys. Wanita cantik itu menarik sudut bibirnya dan tersenyum menatap sang putra yang tiba-tiba datang mengunjunginya."Obat
Secret~Seorang pria paruh baya berambut hitam panjang dan bertopi fedora memasuki salah satu ruang kamar yang berada di istana. Ia menunduk sopan kala berhadapan dengan seorang Pangeran yang duduk santai di peraduannya dengan sebatang cerutu di tangannya. Pria paruh baya itu adalah Pollux. Sedangkan Pangeran itu adalah Stefanus Aldrich."Dia sudah menyetujuinya, My Lord. Duchess Marimar bersedia berada di pihak kita. Semua rencana sudah kita bicarakan dan tinggal menunggu waktunya."Senyuman menyeringai tergambar di bibir Pangeran Stefan. Sebelah tangannya mulai mendekatkan sebatang cerutu di bibir merah mudanya. Menyesap sari pati tembakau, Pangeran itu mengembuskannya secara perlahan, "Bagus, Pollux. Aku sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba. Aku tidak sabar bersama dengannya," desis Pangeran Stefan masih dengan senyuman menyeringai yang belum memudar.Hingga akhirnya, hari itu pun tiba. Hari di mana Enzo menjemput Bella yang sedang berada di markas
Secret~Hari ini adalah jadwal dilakukannya penyulingan air di Desa Oldegloe sebagai upaya penyelematan dari wabah seperti yang telah dicetuskan Bella di rumah kesehatan bersama Derek sebelumnya. Pangeran Glenrhys sedang bersiap menuju Desa dan melihat kembali beberapa bahan-bahan penyulingan dari alam yang berada di kereta kuda. Bahan-bahan itu akan di bawa ke desa seperti yang diminta oleh Bella. Sedangkan Bella dan Emma sudah berangkat terlebih dahulu ke desa menaiki kuda.Pangeran Stefan yang juga berada di mansion kediaman Duke Arandel diam-diam memandangi Pangeran Glenrhys dari kejauhan. Berhiaskan wajah datar, Pangeran itu merasa muak dengan sikap Pangeran Glenrhys yang menangani semua masalah penduduk dengan tangannya sendiri. Terlebih, ia juga geram kala belakangan ini Pangeran Glenrhys menjadi semakin dekat dengan Bella. Tak lama, langkahnya mendekat."Sepertinya kakakku cukup sibuk akhir-akhir ini. Apakah aku perlu membantu?" Senyuman menggemask
Secret~Apakah kalian pernah mendengar sebuah kisah tentang obsesi maniak cinta yang melenceng dari jalurnya dan bisa berakhir tidak sehat atau biasa dikenal dengan Obsessive Compulsive Disorder atau OCD? Ya, hal itu yang dialami Aaron di kehidupan Bella Marlene di masa depan.Namun, bukankah seseorang yang terobesi pada kekasihnya memang sudah biasa dan sering terjadi? Dan kini ... apakah kalian pernah mendengar cerita tentang sebuah obsesi maniak pada ibunya sendiri? Bahkan, cerita itu pernah menjadi sebuah legenda di Indonesia, Sangkuriang.Anehnya, hal itu justru dialami oleh seorang anak berusia sepuluh tahun. Ayolah, bagaimana mungkin anak sekecil itu mengetahui hal semacam cinta? Tidak. Anak itu bahkan tidak tahu apa itu cinta. Yang dia tau, hanyalah ibunya yang selalu membuatnya merasa nyaman dan dia ingin selalu bersama sang ibu.Bukankah hal itu wajar? Bukankah setiap Anak memang ingin selalu dekat bersama sang ibu? Benar, setiap Ana
Tiba-tiba terdengar suara keributan yang memekakkan telinga dan menembus alam bawah sadar Bella. Gadis itu lantas membuka kelopak mata dan mendapati dirinya masih berada di dalam kereta kuda. Namun, kereta kuda itu berhenti dan justru berganti dengan berbagai macam suara jeritan kesakitan, pekikan, hingga suara pedang yang saling beradu dan berdesing di telinga. Dan, di mana Emma? Hanya Bella yang ada di dalam kereta kuda tersebut.Layaknya Cinderella, Bella keluar dari kereta kuda dengan gaun indah dan sepatu kaca yang terbalut sempurna di tubuhnya. Namun, kini yang ada di depan mata Bella bukanlah pemandangan indah berupa istana sang pangeran yang akan digunakan Cinderella berdansa hingga jam dua belas malam, tetapi justru hal mengerikan di mana para pengawal dan pelayannya yang berjatuhan bersimbah darah. Ya, Enzo dan Emma kini tergeletak di atas permukaan tanah.Manik mata Bella seketika membulat. Tubuhnya mematung dengan kedua tangan gemetaran. Dihampirinya Emma y