Setelah selesai merapikan dirinya, Amora keluar dari ruangan itu. Marie menuntun langkahnya untuk menunjukkan lokasi ruang makan. Amora benar-benar takjub dengan kemewahan yang mengelilinginya saat ini. Ia tidak pernah menyangka akan bermalam di sebuah bangunan semegah dan semewah ini sebelumnya, tetapi tidak ada kebebasan yang dirasakannya saat menelusuri setiap sudut ruangan tersebut. Para pelayan memberikan sapaan singkat kepadanya dan menundukkan wajah mereka seolah khawatir Amora akan melakukan sesuatu kepada mereka. Amora merasa dirinya seperti makhluk asing yang menakutkan. Aura di dalam kediaman itu terasa sangat berat dan membuat Amora ingin segera meninggalkan tempat tersebut. Dibandingkan tinggal di mansion yang megah dan dikelilingi oleh segala aturan seperti ini, ia lebih memilih tinggal di rumah sederhana yang terasa nyaman tanpa ada aturan yang mengikat kebebasannya. Lamunan Amora terhenti ketika terdengar suara Marie di sampingnya. “Nona, silakan masuk,” ucap gadis
“Papa, di mana Paman Xavier?” Pertanyaan yang dilontarkan Rayden ikut memeriahkan keceriaan di dalam ruang makan. Semalam ia tidur dalam satu kamar yang sama bersama Xavier dan ayahnya. Akan tetapi, ketika ia terbangun, ia hanya menemukan ayahnya saja. “Xavier juga di sini?” tanya Amora dengan syok. Ia masih belum bisa memahami hal yang terjadi secara tiba-tiba seperti ini. Kedatangan Regis dan Rayden pagi ini benar-benar di luar harapannya, tetapi mendengar putranya mengatakan bahwa Xavier juga hadir semalam, Amora pun berpikir telah terjadi sesuatu semalam. “Sebenarnya apa yang terjadi, Regis?” selidik Amora dengan tatapan tajam yang meminta kejujuran pria itu. Namun, Regis tersenyum dan meraih tangan wanita itu dengan lembut, lalu berkata, “Tidak ada apa-apa. Semalam Xavier yang mengantarku dan Rayden ke sini.” Regis terpaksa berbohong. Ia tidak ingin membuat istrinya khawatir berlebihan. Mendengar ucapan Ayahnya, Rayden ikut mengangguk ketika ibunya menoleh kepadanya dan be
Acara makan pagi tetap berlangsung di kediaman keluarga Volker meskipun kedatangan Steffany membuat selera makan Alejandro memburuk. Pria paruh baya itu tidak ingin melewatkan kesempatan makan bersama putri kandungnya dan cucunya hanya karena kehadiran istrinya. Namun, Alejandro cukup bersyukur dengan sikap bersahabat yang ditunjukkan istrinya tersebut kepada Amora. Ia sempat khawatir kalau wanita itu tidak akan menerima Amora. Hanya saja Alejandro merasa sikap istrinya sedikit berlebihan. Steffany terus mengajak setiap orang di dalam ruangan itu berbicara dengannya meskipun ia tahu kalau kehadirannya di dalam ruangan itu tidak diharapkan oleh suaminya. Sambil menyuapkan sesendok sup krim seafood kesukaannya, ia berkata kepada Amora, "Saya dengar dari Dokter Wright kalau kamu sedang mengandung. Bagaimana kondisimu pagi ini? Apa kamu merasa mual?” Kening Alejandro pun mengernyit. Gerakan tangannya yang sedang mengolesi selai pada roti gandumnya pun terhenti. “Kenapa kamu menatapku
“Kamu mengenal Putraku, Amora?” tanya Alejandro yang semakin bertambah bingung. “Saya tidak terlalu mengenalnya, tapi pernah bertemu dengannya sekali dan saya tidak tahu kalau dia ternyata ... putramu,” jawab Amora dengan bingung. Alejandro tertegun. Ia menatap ke arah putranya yang terlihat sangat tenang dan mengambil tempat di samping ibunya.“Ayah, maafkan keterlambatan saya. Tadi saya baru mendengar kalau ada tamu penting yang hadir pahi ini," tutur Cedric seraya tersenyum lebar.Regis cukup terkejut melihat ketenangan putra kedua Alejandro tersebut. Ia sempat berpikir pria itu akan terang-terangan melayangkan kebenciannya. Meskipun Regis tidak pernah berhadapan langsung dengan Cedric, tetapi ia sering mendengar rumor bahwa Cedric lebih menakutkan dibandingkan putra sulung Alejandro. Sekarang ia sedikit memahami arti dari rumor tersebut."Sudahlah. Ayah harap kamu bisa mengesampingkan semua hal yang pernah terjadi di masa lalu dan menganggap semua yang duduk di meja ini sebagai
“Regis, aku—” “Tidak. Kamu tetap di sini,” sela Regis yang langsung dapat mengetahui keinginan istrinya dengan jelas. “Aku yang akan pergi sendiri. Aku harap kamu dapat mengambil kejadian kemarin sebagai pelajaran, Istriku,” imbuh Regis dengan tegas. “Regis benar, Amora. Kamu tetap di sini sampai dia menyelesaikan permasalahannya dengan Ayahnya. Percayalah padanya." Alejandro juga ikut menimpali. Ia juga tidak ingin putrinya mengambil risiko seperti sebelumnya. Amora melirik ayahnya sekilas dan menghela napas pasrah. Ia tahu kalau tindakannya kemarin memang telah membuat semua orang panik dan cemas. “Baiklah, tapi aku akan diam di rumahku sendiri saja,” cetusnya. “Tidak, Amora. Kamu tetap di sini bersama Ray sampai aku datang menjemput kalian kembali setelah situasi aman dan terkendali,” timpal Regis dengan tegas. Bukan karena Regis ingin Amora terus berada di kediaman Volker, tetapi untuk saat ini, ia tidak punya pilihan lain. Ia hanya bisa berlindung di bawah kekuasaan Golden
“Apa kamu pikir aku tidak menginginkan kehamilanmu?” Amora cukup terkejut ketika Regis menebak dengan tepat isi hatinya. Ia pun memberikan anggukan kecil dan berkata, “Maaf, aku tidak ingin meragukanmu. Tapi, tadi aku hanya berpikir bagaimana perasaanmu akan memiliki seorang anak lagi.” Regis akui kalau kehamilan Amora memang terlalu mendadak. Mereka memang belum pernah membicarakannya karena tidak pernah berencana untuk memiliki seorang anak lagi selain Rayden. Namun, bukan berarti ia tidak menginginkan anak itu. “Amora, dengarkan aku,” pinta Regis dengan bersungguh-sungguh. Amora pun menatap intens pria itu. Sorot mata suaminya itu terlihat sangat teduh dan hangat. Amora dapat merasakan besarnya rasa cinta dan kasih yang diberikan pria itu untuknya. “Aku tidak pernah menyesal bertemu denganmu, Amora. Aku juga tidak pernah berpikir kehamilanmu ini adalah sebuah bencana. Bagiku, ini adalah anugerah dan merupakan sebuah pembuktian kalau aku adalah seorang lelaki tangguh yang diber
“Apa semua sudah siap di tempat masing-masing?” “Semua sudah siap dan terkendali.” “Jangan lupa untuk tetap siaga dan lakukan bagian tugas kalian masing-masing.” “Siap!” Mark baru saja memutuskan panggilan secara sepihak setelah melakukan percakapan singkat dalam grup dengan beberapa rekan kepercayaannya. Saat ini ia sedang berada di dalam mobil bersama Regis. Mereka baru saja tiba di Pelabuhan Rigel tepat pukul sebelas siang sesuai dengan jadwal. “Tuan Muda, semua sudah menjalankan tugas masing-masing sesuai rencana,” lapor Mark kembali meskipun Regis sudah mendengar semua percakapannya tadi. Regis mengangguk kecil. Netra elangnya memicing tajam dan mengitari ke sekelilingnya untuk memahami situasi di area salah satu gudang pelabuhan yang terlihat sangat hening. Lokasi tersebut memang telah diamankan sebelumnya sehingga tidak ada siapa pun yang bisa mendekati tempat tersebut tanpa seizin penguasa tempat itu. “Bagaimana dengan Xavier, apa dia sudah jalan ke markas Royal Dragon?
"Ayah, menyerahlah. Akhiri semua perselisihan yang tidak berguna ini," pinta Regis dengan wajah tanpa ekspresi.Diego mencebikkan bibirnya dengan kesal. Netranya memandang wajah para bawahannya dengan penuh kemurkaan. Namun, tidak sedikit pun mengendurkan niat mereka untuk melepaskan senjata tersebut.“Kamu pikir bisa membuat Ayah mundur hanya karena kamu mengambil alih para anjing ini?” berang Diego dengan emosi yang meluap.Regis tahu jika dirinya sudah berbuat terlalu jauh dengan melakukan pemberontakan ini. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain karena semua harus diambil alih dari tangan ayahnya apabila ia tidak ingin lagi Ayahnya berbuat hal yang melukai Amora dan putranya.Seringai kecil terbit di bibir Diego. Dengan satu gerakan dari telunjuknya, tiba-tiba Regis dan para bawahannya langsung dikepung oleh puluhan orang yang bersembunyi di tempat tersebut."Kamu yang seharusnya menyerah, Putraku," tutur Diego dengan suara yang terdengar berat.Rahang Regis mengetat. Ia tidak meny
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi