Hank berhasil membawa Amora keluar dari lokasi kericuhan. Tepat di saat ia keluar dari hutan tersebut, Alejandro baru saja turun dari mobilnya. Pria paruh baya itu menatap Hank dengan sengit. Bawahannya itu sedang membopong tubuh putrinya di kedua tangannya dalam kondisi tidak sadarkan diri. “Apa yang sudah kamu lakukan, Hank? Bukankah tadi saya memintamu untuk melindunginya?” hardik Alejandro dengan penuh amarah. “Maafkan saya, Tuan. Saya terpaksa melakukan hal ini karena Nona terus memberontak tadi,” aku Hank dengan wajah tertunduk penuh penyesalan. Ia pun menjelaskan secara singkat hal yang terjadi sebelumnya. Alejandro pun menyipitkan netranya dengan tajam. Sorot matanya tertuju pada darah yang masih mengalir dari kedua lutut putrinya dan muncul rasa khawatir di dalam dirinya. "Saya siap menerima hukuman, Tuan," sahut Hank dengan penuh keberanian. Alejandro tertegun sejenak, lalu berkata, "Bawa putri saya masuk ke mobil, Hank. Mengenai hukumanmu, saya akan mempertimbangkannya
"Tuan Muda!"Suara teriakan Mark terdengar membahana di tengah pepohonan rimbun. Pandangannya terus mengedar ke sekelilingnya untuk mencari keberadaan Regis. Namun, ia tidak menemukan atasannya itu di mana pun.Mark dan para rekannya baru saja berhasil menumbangkan seluruh bawahan Diego termasuk Jack. Namun, tidak sedikit rekan mereka yang mengalami luka parah dalam aksi tersebut. Bahkan ada yang sampai meregangkan nyawa.Ketika Mark sedang melakukan pencarian, ia malah menemukan Albert yang terkapar di atas tanah dalam keadaan penuh luka. Wajah Mark pun memucat. Ia berpikir jika Amora pasti berada dalam bahaya.Tadi Mark memang sempat melihat Albert bertarung dengan seseorang untuk menyelamatkan istri Tuan Muda mereka. Sayangnya, tadi ia tidak bisa ikut membantu karena Mark sendiri juga sedang menghadapi lawannya.Mark bergegas menghampiri Albert dan memeriksa deru napas rekannya itu. Satu helaan napas lega pun bergulir dari bibir Mark saat itu juga."Albert! Hei, sadarlah!" Mark men
Seolah dapat memahami kebingungan semua orang di hadapannya, Alejandro pun berkata, “Mulai hari ini kalian harus melayani putri kandung saya dengan baik. Hormati dan layani dia seperti yang kalian lakukan terhadap saya dan Nyonya.” Para pelayan kediaman itu saling berpandangan sejenak, lalu mereka langsung menunduk dan menjawab serentak, “Kami mengerti, Tuan Besar!” “Sekarang juga bersihkan kamar itu. Saya akan menempatkan putri saya di sana!” titah Alejandro sekali lagi. Para pelayan langsung menjalankan tugas mereka. Walaupun hati mereka di liputi rasa penasaran mengenai kemunculan putri kandung majikan mereka, tetapi tidak ada satu pun yang berani bertanya lagi. “Simon, hubungi Dokter Wright dan minta dia datang sekarang juga untuk memeriksa putri saya!” titah Alejandro lebih lanjut. “Baik, Tuan,” sahut Simon yang berusaha untuk mengendalikan ekspresinya.Dengan sigap ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi dokter kepercayaan keluarga Volker, lalu menyampaikan hal yang diperi
“Ibu, kenapa berdiri di sini?”Suara Cedric mengalihkan lamunan Steffany. Wanita paruh baya itu pun menoleh kepada putranya yang telah berada di sampingnya.Cedric tersentak ketika melihat lelehan air mata yang membasahi wajah ibunya. “I-Ibu … apa yang terjadi? Apa Ibu terluka?" tanyanya dengan cemas.Namun, wanita paruh baya itu menggeleng kecil dan bergegas menyeka air mata di wajahnya."Apa ... ada seseorang yang telah menyakitimu?” tanya Cedric dengan penuh selidik. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat ibunya menangis hingga sesedih ini.Terakhir kali ia melihat ibunya menangis adalah ketika ibunya mengetahui perselingkuhan yang dilakukan ayahnya.Steffany tersenyum kecut. “Di dunia ini … siapa lagi yang bisa membuat Ibu menangis, Cedric,” jawabnya lirih.‘Ayah?’ batin Cedric yang langsung mendapatkan jawaban yang dimaksud.“Ibu—"Sebelum Cedric bertanya lebih jauh, Steffany telah berucap lebih dulu, “Semua yang Ibu pertahankan selama ini ternyata sudah hancur dari dulu, Ced
Bibir Amora bergetar pelan. Sepasang manik matanya mulai terlihat basah. Ia menatap lurus wajah yang memiliki warna bola mata yang sangat mirip dengannya. Suaranya tertahan di tenggorokan seolah ada bongkahan besar yang menghalangi di sana. Tetes demi tetes cairan bening pun berjatuhan dari pelupuk matanya, tetapi sorot matanya terlihat sangat tajam ketika menatap sosok lelaki paruh baya yang mengaku sebagai ayahnya tersebut. Perlahan sudut bibir Amora menyeringai tipis. Ia mencoba menguasai dirinya terlebih dahulu sebelum akhirnya satu kata meluncur dari bibirnya. “Ayah?” Suara yang terucap dari wanita itu terdengar sinis dan tersirat luka yang membuat hati Alejandro bergetar. Kepala keluarga Volker itu dapat melihat kebencian dari tatapan putrinya tersebut. Sejak awal ia sudah menduga akan mendapatkan reaksi seperti itu dari putrinya. Ia tidak berniat memohon agar dimaafkan, tetapi berharap Amora dapat mengetahui keberadaannya. “Apa Anda sedang bercanda dengan saya, Tuan?” selo
“Amora ….” Hati Alejandro terasa tersayat-sayat. Ia tidak menyangka putrinya akan menampik keberadaannya. Netra Amora masih menyalang tajam. “Jika Anda memang seorang ayah yang baik dan memikirkan kebahagiaan putrimu, seharusnya Anda tidak melibatkan putrimu dalam perseteruan konyolmu dan musuhmu itu," desisnya dengan nada yang terdengar dingin. Alejandro tersenyum miris karena hal yang diucapkan putrinya itu benar adanya. Padahal dulu ia sengaja menyerahkan Amora kepada keluarga Lysander agar musuhnya tidak mengincar putrinya hingga Alejandro terpaksa memalsukan kematian putrinya tersebut. Namun, pada akhirnya ia tetap saja melibatkan putrinya dalam bahaya dan tanpa disadarinya, ia menjadi salah satu penyebab kehancuran dari kebahagiaan putrinya. Walaupun Amora tahu jika lelaki paruh baya itu telah menyesali keputusannya dulu, tetapi ia tetap tidak dapat memaafkannya dengan semudah itu. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan luka yang sudah terlanjur terukir di dalam hatinya. Pe
“Ini … di … mana?” Suara serak yang terdengar lemah memenuhi sebuah ruangan yang didominasi dengan aroma disinfektan yang sangat menyengat. Terlihat seorang pria yang baru saja membuka matanya setelah tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Tampak beberapa perban yang membungkus tubuh pria itu dari pundak hingga lengan. Juga ada beberapa luka lebam yang membekas di wajah tampannya itu. Selain suara monitor dari grafik detak jantungnya, pria itu hanya mendengar suara napasnya sendiri yang bergerak dengan teratur. Akhirnya ia menyadari jika saat ini ia berada di dalam sebuah kamar rawat intensif. “A-mora ….” Satu nama itu tiba-tiba terlintas di dalam benaknya. Pria itu—Regis Lorenzo berusaha untuk bangkit dari brankar dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Ia mencabut kabel-kabel yang terpasang pada dadanya dan selang infusan pada punggung tangan kirinya dengan asal sehingga darah mengalir pada punggung tangannya tersebut. Namun, Regis tidak peduli. Ia tetap bergerak turun dar
“Kenapa pasien bisa seperti ini, Tuan?” selidik Noel dengan syok. Ia menatap Hank dengan tajam untuk meminta pertanggungjawaban atas kondisi pasien saat ini. “Maaf, Dok. Tadi saya hanya bermaksud untuk menahannya agar tidak keluar dari tempat ini saja,” jawab Hank dengan terpaksa. Ia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap penyelidikan seorang dokter atas tindakannya tadi. Noel pun menghela napas panjang. Ia menatap Regis kembali dan bertanya, “Apa yang Anda rasakan saat ini, Tuan?” Bukannya menjawab, Regis malah tiba-tiba memegang pergelangan tangan Noel sehingga sepupunya itu tersentak. “Tuan Muda Lorenzo, apa yang Anda lakukan?” hardik Hank yang berniat melepaskan cengkeraman tangan Regis dari dokter tersebut. Akan tetapi, Noel mengangkat satu tangannya dan berkata, “Tidak apa-apa, Tuan. Sepertinya pasien masih sulit untuk berbicara.” Hank melirik Regis dengan tajam. Tadi ia memang mendengar sendiri suara Regis yang terbata-bata, akhirnya ia membiarkan dokter tersebut menangan
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi