Siang ini aku sudah rapi menggunakan pakaian santai. Ponselku menyala dan menampilkan layar catatan. Jariku terus menimang hal apa yang harus aku tambahkan di sana.
Hal yang patut dipertimbangkan untuk bercerai.
Astaga, sudah ada lima hal yang kutulis. Sepertinya akan bertambah satu, Mas Bayu menginginkan anak sebelum kami berpisah.
Memangnya, aku sangat yakin untuk berpisah, ya? Seingatku kemarin tidak mau. Lucu sekali.
Sejujurnya, orang yang mengatakan kalau kami akan berpisah setelah aku melahirkan ialah aku sendiri. Selama ini, hanya itu yang bisa kudapatka
Hari ini aku berencana untuk pergi ke klinik. Dari semalam kepalaku rasanya sangat sakit sekali. Aku tidak bilang apa-apa pada Mas Bayu. Takut dia banyak pikiran di pekerjaan dan jadi repot karena aku sakit.Mengapa jadi percaya diri kalau Mas Bayu akan memikirkanku?“Itu lo banyak pikiran, Cit.”Yang baru saja berbicara itu Kiki. Aku sengaja bercerita padanya karena aku kesepian. Padahal dia sedang repot dengan pekerjaannya, aku justru membuatnya tambah repot.“Gue mau ke klinik sekarang, Ki.”“Lo pergi sama siapa, Cit?” tanya Kiki sedikit memekik. Aku sampai menjauhkan ponsel dari telinga. Akhirnya, aku menyalakan pengeras suara agar tidak mendengar pekikannya yang kencang.“Sendiri, lah. Memangnya siapa yang mau nemenin gue? Suami?” Aku tertawa miris setelah mengucapkan itu. “Kayaknya dia nggak akan peduli kalau gue mati sekalipun, Cit.”Kiki menggumam tidak jelas. “
Tuhan pasti punya rencana lain di balik kehamilan ini. Pasti masih ada hal yang lebih baik di depan nanti. Tuhan tidak mungkin memberikan kesulitan melebihi kemampuan hambanya.Kata-kata itu selalu terngiang di hatiku dari semalam. Namun, tetap saja hati ini tidak tenang.Ibu macam apa aku ini? Bukannya senang karena diberikan kehamilan, aku justru sedih.Semalam Mas Bayu tidak pulang ke rumah. Dia bilang banyak urusan yang harus dia jalankan di kantor. Sesuai dugaanku, dia tidak akan pulang karena mengambil cuti kemarin.Sampai saat ini dia tetap tidak mengetahui kalau kemarin aku sakit. Dia juga tidak mengetahui kalau kemarin aku datang ke klinik. Bahkan, dia belum mengetahui kalau aku hamil.Haruskah aku bilang tentang kehamilan ini?Jawabannya harus, aku tahu itu. Bagaimana pun dia adalah suamiku, ayah dari anak yang ada di rahimku sekarang. Namun, aku masih takut untuk mengatakannya.Banyak pertanyaan yang akan muncul jika Mas Bayu meng
Satu kutipan menyadarkanku akan sesuatu, “Apa yang kalian punya sekarang, pertahankan! Sebelum kalian menyesal.” Jadi, mungkin aku akan melupakan kata menyerah.Setelah mendapat kabar dari satpam bahwa Mas Bayu sudah pulang bahkan dari setengah empat, aku langsung masuk ke dalam mobil. Memang, sih, tadi sudah jam sebelas malam, tetapi aku memang harus datang ke apartemen Mas Bayu sekarang juga.Bukan tiada hari esok, tetapi aku ingin datang ke sana sekarang. Hanya itu, tidak ada alasan lain. Lagi pula, benar kata Kiki, Mas Bayu harus siap siaga ketika aku sedang hamil.Setelah masuk parkiran basemen, tidak ada orang sama sekali yang bisa ditemui. Aku sudah menduga kalau apartemen akan sepi di jam-jam seperti sekarang.
Mungkin Tuhan memang memiliki rencana yang lebih baik, aku hanya tidak mengetahuinya. Namun, aku bingung, mengapa rencana yang lebih baik itu harus melewati takdir yang begitu buruk?Semua yang kudengar kemarin benar-benar membuatku yakin, Mas Bayu sudah tidak sayang lagi padaku. Kalau dia sayang, tidak seharusnya dia melakukan hal yang seharusnya hanya aku yang boleh melakukannya dengan dia.Aku semakin bingung dengan perasaanku sekarang. Kecewa? Sedih? Senang? Bahagia? Marah? Tidak mengerti, terkadang aku merasakan sedih, terkadang kecewa, terkadang marah, terkadang tidak merasakan apa-apa.Kemarin, aku merasakan senang luar biasa ketika ingin mengatakan kalau aku hamil pada Mas Bayu. Semua perlengkapan sudah aku siapkan, mulai dari memasak makanan kesukaannya, merias kamar kami dengan berbagai macam bunga yang indah, dan bahkan aku sudah menyiapkan pakaian khusus karena aku ingin bermain juga dengannya.Aku masih sibuk membersihkan bunga- bunga di atas
Sepertinya aku sudah mulai gila. Ketika banyak orang tidak suka diselingkuhi, aku justru membiarkan Mas Bayu bermain di belakangku. Mungkin bukan kata membiarkan untuk menjelaskannya, tetapi masa bodoh.Aku harus menambah daftar alasan mengapa aku harus pisah dengan Mas Bayu. Kuambil ponsel lalu kubuka catatan yang sengaja dikunci. Mas Bayu melakukan sex dengan perempuan lain.Astaga, aku jijik sekali membacanya. Apa yang dulu kupikirkan sampai berani menerima cinta dari seorang pria tak bermoral seperti dia?Sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan orang yang sama sekali tidak memikirkanku“Bengong aja!”Aku terkesiap mendengar teguran Rio. “Emang dari tadi gue bengong, ya?”Rio mendengkus lalu memasang senyuman asamnya. “Oh, nggak, nggak bengong.” Aku mulai tertawa mendengarnya. “Cuma diem nggak ngomong, nggak gerak aja dari tadi. Namanya apa, tuh?”Aku langsung tergelak mendengar jawabannya. “Mungkin mati suri.”Dia menoleh d
Sesuai dengan ucapan Mas Bayu yang mengatakan kalau dia akan pulang ke rumah setelah jam sembila, aku dan Rio langsung pulang saat itu juga. Selama di perjalanan, Rio terus saja mengumpat lantaran aku terus meminta dia untuk mengebut. Jarak dari rumah ke Bandung, kan, cukup jauh, kalau dia tidak cepat mengendarai mobil, bisa-bisa Mas Bayu datang terlebih dahulu di rumah,Akhirnya, kami sampai di rumah tepat jam sembilan kurang lima belas menit. Rio tidak aku suruh untuk mampir, karena dia benar-benar tidak mengetahui kalau aku berbohong.Aku langsung turun dari mobil dan mengambil kantung belanjaan di gagang pintu. Itu pasti dari makanan dari Mas Bayu. Berarti dia belum pulang, karena kantungnya masih di depan.“Ambil!” kataku pada Rio sambil memberikan bingkisan itu padanya. “Makan aja, itu pasti masih enak. Baru dikirim sekitar jam lima tadi, kok.”Rio mengamati kantung itu. “Ini dari siapa, Kak?”Aku mendecak.
Kalian tahu apa yang terjadi setelah aku mengatakan seluruh unek-unek di dalam hati semalam? Dia terus meminta maaf secara berkala. Sebelum tidur, dia memelukku dan meminta maaf. Ketika aku terbangun di malam hari, dia juga meminta maaf. Ketika aku memutuskan untuk ke toilet di malam hari, dia juga meminta maaf. Bahkan ketika aku bangun tidur, dia juga memohon maaf padaku.Semalam, dia tidur atau tidak, ya? Kelihatannya dia tidak tertidur, habisnya setiap aku terbangun, dia terus meminta maaf padaku. Sejujurnya, aku pun tidak tidur dengan pulas, seolah ada beban yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum tidur.Sekarang dia sedang di depanku, dengan kantung mata yang semakin hitam. Mungkin itu suatu bukti nyata kalau Mas Bayu tidak tertidur semalam. Masa bodoh, aku tidak peduli. Aku mau mempedulikan orang-orang yang peduli padaku saja.Tugasku saat ini hanya membuatkannya sarapan dan menemaninya makan. Selama dia memakannya, aku terus memainkan pon
Mungkin perdebatan tadi hanya akan menjadi sebuah permainan belaka bagi Mas Bayu. Dia hanya menjalani peran sebagai seorang suami yang melindungi istrinya agar selamat, atau bisa jadi dia hanya menjalani peran sebagai seorang pria yang menyembunyikan kebusukannya.Aku tidak tahu yang mana yang benar. Aku hanya mengetahui kalau Mas Bayu marah jika aku terus memaksa bekerja dan keluar dari rumah. Mungkin itu terdengar konyol bagiku, tetapi apa mungkin itu tidak konyol bagi dia? Apa yang membuatnya teguh untuk melarangku?Mas Bayu tadi langsung pergi tanpa mengucapkan kesepakatan apa pun. Aku memutuskan bahwa Mas Bayu tidak setuju dengan penawaran yang aku berikan. Kalau begitu, aku memang harus bekerja tanpa izin dari dia.Pokoknya aku senang sekali hari ini. Bisa bekerja sesuai keinginan tanpa ada hambatan. Tidak ada yang mengganggu juga. Lagi pula, siapa yang peduli denganku? Suami saja jarang pulang, siapa lagi yang akan mempedulikan perempuan ini? Mirisnya aku
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap