Waktu pulang tiba. Waktu yang sudah ditunggu-tunggu oleh Mentari sepanjang hari ini karena sudah janjian dengan Langit bertemu di kafe. Setelah memastikan penampilannya rapi, wajahnya tidak berminyak, dan tubuhnya harum, dia pun meninggalkan ruangannya menuju kafe yang sudah dijanjikan. Ketika dia tiba di sana, Langit sudah ada. Itu membuatnya merasa senang. Dengan wajah sumringah, dia mendekati Langit. "Sudah lama ya menunggunya?" tanya Mentari sembari menarik kursi yang ada di hadapan Langit. Karena merasa akan menyakiti perasaan Mentari, Langit pun memberikan senyuman terindahnya. "Belum kok. Baru sekitar sepuluh menit yang lalu." Melihat senyum Langit yang berbeda dari biasanya, hati Mentari pun berbunga-bunga. Dia semakin yakin kalau tujuan Langit mengajaknya bertemu seperti ini adalah untuk memperbaiki hubungan mereka yang sempat memburuk karena kehadiran Kahyangan. Mentari menebak, mungkin saja Langit hendak meminta maaf kepadanya atas kesalahannya selama ini yang sempat b
Mentari menggeleng. "Tidak. Kamu tidak bisa melakukan itu. Kamu tidak boleh menikah dengan gadis petugas kebersihan itu. Mau dilihat dari sudut manapun, aku jauh lebih baik daripada dia." "Aku tahu itu. Aku pun menyadarinya. Akan tetapi, aku lebih memilih perasaanku dibandingkan gelar, pekerjaan, dan tingkat sosial. Aku akan menerima apa pun resikonya. Karena bagiku, cukup menikah dengan orang yang aku cintai, aku rasa aku akan bahagia. Karena itu,_" Langit menarik cincin pertunangan dari jari manisnya dan meletakannya ke hadapan Mentari. "Aku mengakhiri hubungan kita. Mulai detik ini, kita bukan tunangan apalagi calon suami istri. Aku doakan semoga kamu mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada aku." Langit beranjak dari duduknya. Dia lalu melangkah menuju kasir untuk membayar semua yang dipesannya tadi. Dia meninggalkan Mentari yang kini menampakkan wajah teramat sangat marah dengan mata yang merah dan rahang yang mengencang. 'Tidak! Aku tidak akan pernah menerima keputusa
"Ada apa ini Ya Tuhan?! Ada apa ini?!" Senja yang baru muncul dari dalam langsung menghambur memeluk Langit. Lalu pandangannya dia alihkan pada Dewa. "Kenapa kamu menyiksa anakmu sendiri?" "Dia pantas mendapatkannya!" sahut Dewa. "Kamu tahu kenapa?! Dia baru saja memutuskan hubungannya dengan Mentari! Bahkan dia sudah melepas cincin pertunangannya!" "Ya tapi apa harus dipukuli? Bukankah bisa dibicarakan secara baik-baik, pa?" "Dia tidak akan mempan dengan cara baik-baik karena sejak kemarin dia sudah memberontak. Aku memintanya untuk menikahi Mentari minggu depan, dia tidak mau!" "Ya jelas, pa. Minggu depan terlalu cepat. Dewa perlu waktu untuk memahami kemauan diri sendiri. Tidak mudah membuang cinta yang sudah lama ada. Cinta itu bukan sampah." "Tapi aku memang tidak mau menikah dengan Mentari, Ma," ucap Langit menyahut. "Mau sampai kapan pun aku tidak mau. Entah itu minggu depan atau pun bulan depan. Yang pasti aku tidak akan menikahi wanita yang tidak aku cintai itu." Me
"A-anda?" ucap Kahyangan lirih tapi jelas sekali menunjukkan keterkejutan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau yang datang adalah Langit. 'Bagaimana anda tahu rumah ini?' gumamnya dalam hati. "Maaf tiba-tiba aku datang ke sini. Pasti kamu terkejut ya. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara denganmu. Ada hal penting yang ingin aku katakan. Tolong jangan ditolak." Melihat tangan Langit yang menyatu satu sama lain yang menggambarkan kalau pria itu sangat memohon, Kahyangan pun tercenung selama beberapa saat. Dia merasa ragu. Tapi kemudian mengangguk mengiyakan. 10 menit kemudian, Kahyangan sudah duduk di taman kota. Dia memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ada yang sedang mengobrol dengan teman-temannya. Ada yang sedang bercanda dengan keluarga kecilnya. Ada yang sedang memadu kasih dengan kekasihnya. Dan masih banyak lagi. Yang pasti taman kota ini ramai oleh pengunjung dan pedagang. Kahyangan menghela nafas dalam-dalam. Selama bertahun-tahun tinggal di k
Mendengar jawaban Kahyangan, wajah Langit berubah sedih. Bukan sedih karena penolakan Kahyangan tapi sedih karena gadis yang dicintai ini tidak mengakui dirinya sebagai remaja perempuan yang telah menolongnya. Langit tersenyum getir. Dia kembali menatap Kahyangan lekat. "Katakan padaku apa yang membuatmu tidak mau mengakui kalau dirimu adalah remaja perempuan yang telah menolongku itu? Apakah ada yang menekanmu?" Kahyangan menggeleng samar. "Tidak ada yang menekankan, pak. Tapi aku memang bukan remaja perempuan yang telah menolong bapak. Bapak salah orang." "Apakah papa? Apakah papa telah menekanmu? Apakah kamu berada dalam ancaman papa?" Langit terus mendesak Kahyangan agar mengaku. Kahyangaan menelan saliva. Ingin sekali dirinya mengiyakan berada di bawah tekanan Dewa. Akan tetapi, dia bukan orang yang suka mengadu domba. Apalagi antara orangtua dan anak. Memang Dewa salah di matanya. Tapi kalau Langit tahu papanya berbuat hal buruk itu, pastilah Langit akan marah. Biarlah di
Kahyangan yang baru masuk ke dalam kamar, langsung mendekati lemari pakaiannya yang sederhana dan kemudian membukanya. Sesaat, dia memperhatikan isi lemari mencari sesuatu di antara pakaian yang terlipat rapi. Matanya melebar begitu menemukan apa yang dicarinya. Yaitu sebuah jaket remaja laki-laki berwarna coklat. Jaket itu pun diambilnya perlahan dari selipan lipatan pakaian yang ada di sana. Kemudian dibawanya ke tepi tempat tidur. Di sanalah Kahyangan duduk sembari memandangi jaket coklat di tangannya. Kedua mata indahnya berkaca-kaca karenanya. Ada sebuah perasaan besar yang kemudian menyusupi hatinya yang kecil. Entah karena apa, tiba-tiba Kahyangan menciumi jaket coklat itu, menghirup aromanya, sebelum akhirnya memeluknya erat. Beginilah perasaan Kahyangan yang sebenarnya yang tidak dapat dia ungkapkan pada Langit dan memilih untuk menyembunyikannya. Bahwa dia juga cinta pada Langit seperti Langit mencintainya. Bahwa dia ingin menerima lamaran Langit dan menjadi istri pria it
Langit dan Senja duduk berhadapan di bawah pohon jambu air yang sedang berbunga. Satu piring kue dan teh hangat menemani mereka. "Mama sudah memutuskan sesuatu," ucap Senja setelah menyeruput teh hangatnya sedikit. Meskipun sedang berbicara dengan Langit, pandangannya tetap tertuju pada cairan coklat kehijauan di cangkir porselennya. "Apa itu, ma?" tanya Langit penasaran. Kedua indera penglihatnya menatap lekat Senja."Mama akan menggugat cerai papa kamu."Langit terkejut luar biasa mendengar itu. Tapi dia tidak mau menampakkan keterkejutannya. Dia diam menunggu lanjutan kalimat yang akan keluar dari bibir Senja."Sudah cukup lebih dari tiga puluh satu tahun Mama hidup bersama papa kamu itu dan tidak mendapatkan kebahagiaan sama sekali. Yang ada hanya sakit hati karena tidak pernah dihargai sebagai seorang istri. Mama tidak ingin disakiti lagi oleh papa kamu. Mama sudah capek. Mama sudah lelah. Mama ingin bebas sekarang."Hening. Karena tiba-tiba Senja berhenti bicara. Dan Langit te
Langit menghela nafas berat saat dirinya sudah berada di pekarangan rumah kediaman Mentari. Rasanya dia tidak ingin masuk ke dalam rumah megah itu. Tapi dia terlanjur menyanggupi permintaan Guruh. Pantang baginya menarik ucapannya karena itu bukan ciri-ciri pria sejati.Setelah merasa mentalnya sudah siap, Langit pun keluar dari dalam mobilnya menuju pintu depan. Lalu dia memencet bel yang ada di dekat pintu sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Dari baliknya muncul wanita berumur yang dipanggil bibi."Eh, Nak Langit. Sudah ditunggu sama tuan dan nyonya. Silahkan masuk." Pembantu tua itu membuka pintu lebih lebar.Langit tersenyum samar. "Terima kasih, bi."Baru Langit melangkah dua langkah, Cahaya muncul dari dalam. "Langit?! Syukurlah kamu menepati janji kamu, nak!" Wanita itu mendekat dan kemudian menarik tangan Langit. "Tante antar langsung ke kamar Mentari ya?"Langit mengangguk untuk menjawab pertanyaan Cahaya yang sepertinya tidak bisa dibantah karena kedatangannya memang untuk b
Senja sedang menikmati sarapan bersama Lili ketika ponselnya berdenting tanda sebuah pesan masuk. Senja mengambil benda pipih itu dan melihat layarnya tanpa berpikir yang baru saja masuk adalah sebuah pesan yang penting. Tapi begitu melihat notifikasinya dan mengetahui itu adalah pesan dari Langit, dia pun menaruh garpunya dan memilih untuk memegang ponselnya dengan kedua tangannya. Dengan pandangan yang sangat fokus, dia membaca pesan itu.‘Ma, saat menulis pesan ini, aku tidak lagi berada di kota ini melainkan di luar kota. Aku pergi karena tak sanggup lagi menjalani kerumitan hidupku di kota itu. Jadi, pimpinlah rumah sakit oleh mama.’Senja menelan saliva membaca sepenggal pesan Langit itu. Dia menduga sang putra sudah membuat keputusan yang besar. Senja pun kian fokus membaca pesan dari Langit.‘Tapi aku pergi tidak sendiri. Aku pergi dengan membawa Kahyangan. Lebih tepatnya aku menculik Kahyangan karena aku membawanya secara paksa. Aku melakukan ini karena aku tahu dia mencintai
Tak ada jawaban apalagi seseorang yang membukakan pintu untuknya. Yang kahyangan dapati hanyalah sebuah keheningan yang sama sebelum dia berteriak minta dibukakan pintu. Kahyangan pun memutuskan untuk kembali balkon. Dia memperhatikan sekitarnya. Sejauh dia memandang, dia hanya melihat hamparan tanaman teh. Dengan keadaannya yang seperti itu, jika dirinya berhasil kabur dari rumah ini, kemana dia harus melangkahkan kaki? Lagian, lantai dua tempatnya sekarang berada cukup tinggi dari tanah. Kalau dia nekad melompat, dipastikan kakinya akan patah. Atau... bisa jadi dia kehilangan nyawa.Kahyangan lemas menyadari hal itu. Dia sangat tidak menyangka kalau Langit, seorang yang berpendidikan dan seorang lulusan universitas luar negeri biasa melakukan perbuatan bodoh seperti ini. Ini adalah sebuah kriminal. Langit bisa dipenjara.Klak.Suara pintu yang terbuat mengejutkan Kahyangan. Wanita itu pun menoleh dan mendapati Langit masuk dengan baki berisi makanan. Tapi belum sempat Kahyangan me
Kahyangan dan Langit sudah berada di dalam mobil. Langit yang mengemudi dan Kahyangan duduk di kursi sebelah kursi pengemudi. Mobil berjalan tanpa arah tujuan. Yang penting bisa berbicara dengan Kahyangan."Jadi apa yang ingin anda bicarakan denganku untuk yang terakhir ini?" tanya Kahyangan karena sedari tadi Langit belum juga berbicara. Padahal mobil sudah meninggalkan rumah sakit sejak 5 menit yang lalu.Langit menghela nafas berat mendengar pertanyaan Kahyangan. "Sebelum aku mengatakan apa yang ingin aku katakan kepadamu, aku mau kamu menjawab dulu pertanyaanku. Tapi tolong jawab dengan jujur. Apakah kamu tidak pernah mencintaiku? Sekali lagi tolong jawab dengan jujur."Kahyangan menggigit bibir bawahnya mendengar pertanyaan itu. Apakah dia harus menjawab jujur pertanyaan itu seperti permintaan Langit?"Aku adalah orang yang tidak memperdulikan perasaanku sejak kedua orangtuaku meninggal. Yang penting amanah ibuku untuk menjadikan Purnama orang yang sukses menjadi kenyataan.""Dan
'Pur, kamu sudah tahu kabar terbaru tentang Dokter Mentari belum?' 'Belum. Memang kenapa dengan dia?''Dokter Mentari sekarang sedang terbaring di ruang ICU. Dia kritis.'Mata Purnama yang membaca pesan dari teman yang bekerja di rumah sakit terdahulu itu melebar. Pisang goreng di tangannya yang sudah dia gigit langsung dia taruh ke atas piring. Dia lalu mengetik balasan chat temannya itu. 'Hah? Kritis? Memang dia sakit apa?''Tidak sakit. Dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan menyayat lengannya. Mengerikan bukan?'Purnama menelan saliva. Dia lalu mereguk teh hangatnya. 'Iya, mengerikan sekali. Tapi kenapa dia harus sampai melakukan itu?''Kamu beneran tidak tahu?''Memang tidak tahu.''Lha, kan ada hubungannya dengan kakakmu.'Deg!Hati Purnama langsung bersentak seketika. Kali ini tanpa bertanya lagi pada temannya itu, dia sudah bisa menduga bagaimana Mentari bisa sampai mencoba untuk mengakhiri hidupnya yang kemudian berakhir di rumah sakit. Mentari pasti tidak rela diputus
Kejadian tadi sore membuat Kahyangan cukup merasa syok. Dia sampai tidak sanggup melakukan apa pun. Bahkan sekedar untuk masak. Jadinya, Purnama memilih untuk membeli makanan saja karena sudah terlalu lelah jika harus memasak."Kak! Kita makan malam yuk?" ajak Purnama di balik pintu di bagian luar kamar.Kahyangan yang sedang duduk di atas tempat tidur menatap pintu yang tertutup itu. "Kakak tidak lapar, Pur. Kamu makan sendiri saja.""Tidak nikmat makan sendiri. Kakak sebenarnya kenapa? Ada masalah apa?""Kakak tidak apa-apa. Kakak hanya sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu. Tapi kamu jangan khawatir. Kakak baik-baik saja. Nanti kalau lapar, kakak akan keluar untuk mencari makan.""Baiklah kalau begitu. Tolong jangan menahan lapar ya, kak. Aku tidak mau kakak sakit.""Iya."Hening. Tak ada lagi suara Purnama di depan pintu kamar. Tapi yang kemudian terdengar adalah suara denting ponselnya. Kahyangan pun segera mengambil benda pipih itu dan membaca pesan itu. Ternyata itu ad
"Hanya papaku yang tidak setuju aku menikahi kamu," lanjut Langit sembari terus melangkah mendekati Kahyangan dan Dewa yang masih tidak menyangka dengan kehadiran. "Tapi tidak begitu dengan mamaku. Beliau merestui bahkan sangat setuju aku menikahi kamu."Rahang Dewa mengencang mendengar itu. "Kamu bicara apa?! Sejak kapan mamamu setuju kamu menikah gadis tidak berguna ini?!""Jangan menyebut Kahyangan sebagai gadis tidak berguna, pa! Karena dia lah aku masih ada di dunia ini! Mana rasa terima kasih papa kepadanya sebagai orang yang telah menyelamatkan aku, anak papa yang semata wayang ini?! Kalau pun papa tidak bisa mengucapkan terima kasih, setidaknya papa tidak merendahkannya dan menakut-nakutinya! Lagian, Kahyangan sudah mengikuti mau papa untuk menjauhi aku! Kalau pun aku bisa menemukannya itu bukan karena dia mengingkari janjinya pada papa! Tapi mulai sekarang aku pastikan papa tidak akan bisa lagi memisahkan aku dari dia!""Ya! Lakukan saja apa yang kamu mau, Langit!" sahut Dewa
Langit menghela nafas berat saat dirinya sudah berada di pekarangan rumah kediaman Mentari. Rasanya dia tidak ingin masuk ke dalam rumah megah itu. Tapi dia terlanjur menyanggupi permintaan Guruh. Pantang baginya menarik ucapannya karena itu bukan ciri-ciri pria sejati.Setelah merasa mentalnya sudah siap, Langit pun keluar dari dalam mobilnya menuju pintu depan. Lalu dia memencet bel yang ada di dekat pintu sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Dari baliknya muncul wanita berumur yang dipanggil bibi."Eh, Nak Langit. Sudah ditunggu sama tuan dan nyonya. Silahkan masuk." Pembantu tua itu membuka pintu lebih lebar.Langit tersenyum samar. "Terima kasih, bi."Baru Langit melangkah dua langkah, Cahaya muncul dari dalam. "Langit?! Syukurlah kamu menepati janji kamu, nak!" Wanita itu mendekat dan kemudian menarik tangan Langit. "Tante antar langsung ke kamar Mentari ya?"Langit mengangguk untuk menjawab pertanyaan Cahaya yang sepertinya tidak bisa dibantah karena kedatangannya memang untuk b
Langit dan Senja duduk berhadapan di bawah pohon jambu air yang sedang berbunga. Satu piring kue dan teh hangat menemani mereka. "Mama sudah memutuskan sesuatu," ucap Senja setelah menyeruput teh hangatnya sedikit. Meskipun sedang berbicara dengan Langit, pandangannya tetap tertuju pada cairan coklat kehijauan di cangkir porselennya. "Apa itu, ma?" tanya Langit penasaran. Kedua indera penglihatnya menatap lekat Senja."Mama akan menggugat cerai papa kamu."Langit terkejut luar biasa mendengar itu. Tapi dia tidak mau menampakkan keterkejutannya. Dia diam menunggu lanjutan kalimat yang akan keluar dari bibir Senja."Sudah cukup lebih dari tiga puluh satu tahun Mama hidup bersama papa kamu itu dan tidak mendapatkan kebahagiaan sama sekali. Yang ada hanya sakit hati karena tidak pernah dihargai sebagai seorang istri. Mama tidak ingin disakiti lagi oleh papa kamu. Mama sudah capek. Mama sudah lelah. Mama ingin bebas sekarang."Hening. Karena tiba-tiba Senja berhenti bicara. Dan Langit te
Kahyangan yang baru masuk ke dalam kamar, langsung mendekati lemari pakaiannya yang sederhana dan kemudian membukanya. Sesaat, dia memperhatikan isi lemari mencari sesuatu di antara pakaian yang terlipat rapi. Matanya melebar begitu menemukan apa yang dicarinya. Yaitu sebuah jaket remaja laki-laki berwarna coklat. Jaket itu pun diambilnya perlahan dari selipan lipatan pakaian yang ada di sana. Kemudian dibawanya ke tepi tempat tidur. Di sanalah Kahyangan duduk sembari memandangi jaket coklat di tangannya. Kedua mata indahnya berkaca-kaca karenanya. Ada sebuah perasaan besar yang kemudian menyusupi hatinya yang kecil. Entah karena apa, tiba-tiba Kahyangan menciumi jaket coklat itu, menghirup aromanya, sebelum akhirnya memeluknya erat. Beginilah perasaan Kahyangan yang sebenarnya yang tidak dapat dia ungkapkan pada Langit dan memilih untuk menyembunyikannya. Bahwa dia juga cinta pada Langit seperti Langit mencintainya. Bahwa dia ingin menerima lamaran Langit dan menjadi istri pria it