Albin menyandarkan punggung di sandaran kursi mobil sambil menatap hampa ke luar jendela. Dia berusaha berdamai dengan pergolakan perasaan di dalam dadanya. Albin tidak tahu pasti perasaan apa yang kini tengah berkecamuk di dalam sana.
Dia tidak tertarik dengan tamu dari jauh yang dikatakan Jovan. Dia tidak peduli, menurutnya tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Perasaannya sedang campur aduk dan bergejolak dahsyat menyesakkan dada. Dia marah dan kecewa, tapi entah pada siapa.
Apakah dia marah kepada Jovan yang menurutnya sama sekali tidak membalas cintanya?
Atau dia kecewa karena Jovan sama sekali tidak menyentuhnya?
Ataukah dia marah kepada dirinya sendiri karena sudah berani jatuh pada lelaki seindah Jovan?
Sepertinya dia kecewa kepada dirinya sendiri yang terlalu berani menaruh angan-angan terlampau tinggi bahwa suatu saat Jovan akan jatuh hati kepada dirinya, mencintai dirinya seperti halnya ia mencintai J
Jovan memarkir mobil di area parkiran sebuah hotel cukup bagus. Meski tubuhnya lelah dan malam sudah cukup larut, tapi dia tetap menyempatkan diri untuk datang. Dengan langkah tergesa dia memasuki area coffee shop and cafe di hotel itu. Ketika dia sudah sampai, Jovan mengedarkan pandangan. Keadaan di dalam sana cukup ramai pengunjung. Suara piring dan sendok berdenting saling beradu dengan piring. Lamat-lamat suara pengunjung meja satu dengan dengan meja yang lainnya saling bersahutan, sulit untuk bisa mendengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Aroma harum kopi dan kue mengisi udara di dalam sana. Pelayan membawa nampan yang terisi hidangan maupun kertas tagihan berlalu lalang di depan Jovan. Lambaian tangan seseorang menyudahi pencariannya. Jovan berjalan mendekati meja yang terletak di tengah-tengah tempat itu. Ada tiga orang duduk di
Jovan panik saat tahu istrinya belum pulang dan tidak menjawab panggilan telepon. Ia kembali menelpon, kali ini sopir Albin yang dia yang dihubunginya. Nada tunggu mengalun beberapa detik. Bahkan hal itu semakin menambah kekhawatiran Jovan. “Halo, Pak Saleh.Albin mana?” Jovan segera menodong sopir baru itu dengan nada bicara yang terdengar khawatir. “Maaf, Pak. Saya gak tau. Tadi Ibu minta antar ke cafe, katanya dia mau ketemu teman. Terus saya disuruh pulang, kata Ibu nanti dia pulang sendiri aja,” terang Saleh takut-takut. Dia mendengar nada ketidaksukaan dalam suara Jovan. “Kok kamu gak bilang, sih? Harusnya kamu bilang! Sampai sekarang dia belum pulang-pulang. Ditelpon juga gak diangkat-angkat!” ucap Jovan dengan nada meninggi. “Maaf, Pak. Saya gak tau.” Saleh terpojok dan merasa tidak enak hati. Manalah dia tahu nyonya-nya aka
Mobil yang dikemudikan Herman sudah berhenti tepat di depan rumah. Albin membuka pintu mobil lebih dulu sebelum Jovan dan ia langsung turun tanpa melihat ke arah sang suami. Seakan-akan tidak ada siapa pun di sisinya. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat dan lebar. Seakan-akan di belakangnya ada hewan pemangsa yang siap menerkam dirinya. Jovan memperhatikan tingkah Albin. Dia menggelengkan kepala dengan perasaan jengkel, “Makasih, Pak Herman.” Ia menepuk pundak sopirnya. “Sama-sama, Pak.” Herman mengangguk pelan. Bos-nya hampir tidak pernah lupa untuk selalu mengucapkan terima kasih di akhir pertemuan mereka, di setiap hari. Jovan membuka pintu kemudian keluar dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah. Langkah kaki Albin masih terdengar dari tempatnya berjalan. Ia menaiki anak tangga dan terus berjalan hingga ke depan pintu kamar Albin. BRAK!!! Jovan menekan ken
Albin memeluk sambil mengusap punggung Jovan yang gemetar dan terasa basah. Tubuh suaminya terasa sangat dingin. "Jovan, Jovan tenang." Albin mempererat pelukannya. Jovan memeluk tubuh Albin semakin erat dan lekat seakan dirinya akan segera dipisahkan dari sang istri. Sedu sedan Jovan terdengar di sela tangisannya. Ia seperti anak-anak yang ketakutan dan menangis di pelukan ibunya. “Albin, ambilkan obat di dalam laci, di kamar,” ucap Jovan lirih dengan bibir bergetar. “Di laci yang mana? Laci di kamar kamu ‘kan banyak.” “Di dekat kasur yang sebelah kanan,” kata Jovan melepaskan pelukannya dari tubuh Albin kemudian berbaring di lantai. Ia menekuk kedua tangan dan kaki merapat ke dada. Matanya terpejam dan dia masih gemetar. Albin sangat cemas dan bingung melihat tingkah Jovan. Dia terlihat aneh di matanya.
Jovan berdiri di depan dinding kaca di kantornya sambil melihat jauh ke barat. Matahari akan segera tenggelam. Langit berwarna jingga menyala dihiasi semburat merah muda yang begitu cantik dilangit senja. Pikirannya tidak bisa lepas dari Albin. Bukannya dia dungu tidak bisa memahami keinginan istrinya dan bukan pula matanya buram tidak mampu melihat jelas isyarat yang ditunjukkan sang istri. Ia bukan lelaki tolol yang tidak paham wanitanya menginginkan dirinya, bahkan Jovan sadari, dirinya pun sudah sangat menginginkan Albin sejak malam itu. Sejak ia mengantarkan Albin pulang, di malam pertemuan pertama mereka. Jovan ingat, betapa inginnya dia merengkuh Albin ke dalam pelukannya saat mereka berduaan di mobil. Bahkan pikiran liar untuk membawa Albin ke apartemen pernah melintas di benaknya saat meletakkan tubuh tak berdaya Albin di atas kasur kala itu. Hanya saja, bayangan itu selalu saja menggangg
Senyuman lebar dan raut wajah bahagia serta penasaran menghiasi wajah cantik Albin.Ia membuka kotak dan mendapati sesuatu amat sangat di luar dugaannya. Ia melihat ke arah plastik transparan. Sesuatu menyembul dengan gagah di sana. Mata Albin membulat. “Apa ini?” tanya Albin. Dia syok melihat hadiahnya, “ini maksudnya apa, Jo? Kenapa aku dikasih beginian?” “Ehem …” Jovan berdehem. Ia semakin gugup, “jadi gini, kan kamu bilang mau. Mau … ah gimana ngomongnya, ya. Intinya gini … kamu jangan cari lelaki lain. Aku gak bisa terima itu. Kalau kamu mau, pakai itu aja, jadi kita bisa segera ikut program kehamilan.” “Apa sih? Aku gak paham. Kamu maunya apa? Kamu mau masukin ini ke aku?” Albin terhenyak. Emosinya kembali mendidih. “Gaaaak! Bukan gitu. Kamu lakukan sendiri aja. Nanti setelah itu kita bisa USG.” Wajah Jovan mulai cemas.
Albin turun ke bawah untuk sarapan pagi. Dia ingat Jovan berkata jam 7 pagi petugas Lab akan datang mengambil sampel darahnya untuk diperiksa. Saat ini sudah pukul 6:30 dan biasanya suaminya sudah berada di meja makan. Ia menapaki anak tangga dengan perasaan tidak menentu, mengingat tadi malam mereka habis bertengkar. Albin terperanjat melihat seorang lelaki paruh baya sudah duduk di sana. Ia menelan ludah saat mengenali lelaki itu adalah Adi-sang ayah mertua. “Pa,” sapa Albin sambil tersenyum. Dia menarik kursi lalu duduk, bergabung bersama mertuanya. Adi mengangguk pelan sambil tersenyum hangat, “Mana Jovan?” “Hum …” Albin mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan sambil berfikir menyusun kata yang akan diucapkannya. “Mungkin masih tidur,” kata Albin ragu. Biasanya Jovan sudah ada di meja makan, tapi hari ini dia tidak tampak sama se
Jovan membuka lemari dan memilihkan pakaian untuk diberikan kepada Kei. Ia juga memberikan handuk bersih untuk sahabatnya. “Lo duluan, gih,” kata Jovan sambil memberikan pakaian yang dia pilih. “Ok,” Kei mengangguk. Ia melangkah menuju kamar mandi. Sementara itu, Jovan membuka membuka lemari untuk mengambil vodka dan kembali menuang minuman ke dalam gelas hingga berisi seperempatnya. Ia mengambil es di kulkas kecil yang terdapat di dalam kamarnya. Jovan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Ingatannya seakan ditarik kembali pada kenangan 10 tahun yang lalu. “I want you, Jo. Let me feel you,” ucap seorang gadis berwajah cantik berambut cokelat mengalungkan kedua tangannya di pundak Jovan. “Maaf, Anna. Aku sedikit konservatif tentang masalah ini. Aku hanya melakukannya setelah menikah. Apa kamu keberatan?” Jovan menatap dalam iris biru wanita di cantik di depannya.
*Komentar tiap paragraf, ya. Kalau komentar dan riview kalian yahud ... nanti ada ektra part. Hahaha. Jangan lupa kasih riview ... jika yang kasih riview mencukupi 20 orang, aku kasih ektra part hari sabtu minggu nanti. Kenapa sabtu atau Minggu? Pas hari itu aku libur kerja. Jadi maafkan author yang nulis di sela kesibukan inih* BAB INI MENGANDUNG UNSUR PERCINTAN YANG EKPLISIT DAN MENDETIL. SILAHKAN SKIP KALAU KELIAN MERASA TIDAK NYAMAN* *** Jovan pergi ke toilet mencuci tangan dan membasuh celananya yang basah karena masih terdapat sisa-sisa cairan dirinya di sana. Menari di dalam benaknya apa yang baru saja terjadi di ruangan Gloria tadi. Semua benar-benar tampak nyata. Albin mengenakan lingerie cokelat keemasan, panjangnya menutup hingga sedikit di bawah bokong. Renda transparan di bagian dada, memperlihatkan separuh gunungan indah mempesona. Tatapan mata Albin yang sayu menggoda dirinya untuk
Jovan memandangi gedung-gedung tinggi di sisi jalanan sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil dengan tatapan hampa. Beberapa kali desah napas berat terdengar keluar dari mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Albin. Akhir-akhir ini Ia merasa kebingungan. Menurutnya, kemungkinan dirinya sudah sembuh, tapi dia merasa takut untuk membuktikannya. Seringkali pikiran untuk membuktikan dirinya sudah sembuh atau belum, muncul di kepalanya. Namun, untuk mencoba kembali menonton video seperti saat itu, dia takut. Ia tidak yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Seringkali ia membayangkan hal-hal romantis dan indah bersama Albin, hal yang sebelumnya tidak pernah berani ia lakukan bahkan hanya dengan sekedar memikirkannya saja. Menurut pemikiran Jovan, mungkin itu indikasi bahwa dirinya sudah siap. Namun, ia sangat ragu. Bukankah saat itu mereka hampir saja bisa melakukannya, tapi gagal?
Jovan terdiam beberapa saat. Sungguh ia sangat ingin bertemu Albin, tetapi ia merasa belum siap. Ia takut jika mendengar Albin kembali bicara meminta kepastian agar dia bisa melakukan apa saja. Tentu saja Jovan paham apa maksud dari kalimat "apa saja" yang dikatakan Albin. Ia sanggup melepaskan Albin meski ia tak ingin, tapi jika memang Albin menginginkannya ia tidak bisa memaksa 'kan? Jovan benar-benar melepaskannya saat Albin terakhir kali mengirimkan pesan yang membuat dirinya merasa tidak berguna, tidak berharga dan tidak layak untuk hidup. Ia yakin, jika dia mendengar kata-kata itu lagi ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Kata-kata itu sangat menyakiti dirinya. Seakan dikatakan dengan jelas, kalau kamu tidak mampu, aku cari lelaki lain. Belum lagi Jovan sangat takut diselingkuhi, takut ditinggakan lalu terpuruk dalam kesendirian. Karena itu ia melepaskan Albin, tapi Albin menolak untuk berpisah dan m
Jovan tersenyum memandangi pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia merasa bahagia. Sudah sebulan terakhir dia sudah tidak lagi meminum obat. Ia dengan rutin mendatangi Felicia sekali dalam seminggu dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan. Perlu waktu bagi Jovan untuk benar-benar pulih. Felicia dan Adi terus membantu dirinya bangkit dan terus berusaha membangun kepercayaan dirinya kembali. Perlahan obat yang biasanya diminum dua kali sehari diturunkan sekali sehari. Beberapa waktu kemudian, terkadang Jovan lupa, kadang dia malas, dan dia baik-baik saja. Tidak lagi merasa cemas berlebihan walaupun tidak meminum obatnya. Setelah itu dia jadi tahu bahwa dirinya baik-baik saja tanpa obat. Ia tahu bahwa dirinya sudah bisa lepas obat. Wajah tampannya kini bersinar seperti sedia kala. Sinar matanya tidak lagi redup penuh kesedihan. Saat ini ia hanya meminum vitamin untuk otaknya karena setelah
"10. Aku akan menghadapi apa pun resikonya," ucap Jovan dengan nada bicara penuh percaya diri. Ia mengangkat wajah melihat dalam ke arah Felicia. "Yakin? Barusan kamu bilang hanya mau mencoba? Mencoba untuk tau lalu mundur? Kenapa? Apa pentingnya kamu sembuh tanpa obat?" Felicia menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil meneliti Jovan lebih dalam. "Aku mau bersama Albin," kata Jovan lirih. Ia menurunkan pandangan ke meja. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan. Senyuman Albin tiba-tiba membayang di kedua matanya. "Lalu mau apa kalau bersama Albin? 'Kan sekarang sudah bersama? Memangnya apa yang kamu anggap penting saat bersama Albin?" "Menjadi lelaki seutuhnya." Mata Jovan berkaca-kaca, "dia terus membicarakan mau mencari lelaki lain. Aku tau maksudnya, dia menyindirku karena tidak juga menyentuhnya." Air muka Jovan terlihat sangat sedih. "Apa p
Dada Albin bergemuruh hebat saat wajah tampan Kei mendekat dengan cepat ke arah wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ia melihat semua seakan dalam gerakan lambat. Perlahan tapi pasti bibir Kei semakin dekat dengan wajahnya. Albin memalingkan wajah menghindari bibir Kei mendarat tepat di bibirnya. Kei terdiam melihat penolakan Albin. Ia menelan kembali hasratnya untuk mengecup bibir Albin yang terlihat sangat menggoda untuk dinikmati. "KEI!" tatap Albin nyalang penuh kemarahan kepada teman suaminya itu, "aku punya suami. Gak nyangka kamu tega begin!" seru Albin dengan kata-kata bergetar. Kei tersenyum tipis mendengar penuturan Albin, "Tapi Jovan sudah lepaskan kamu 'kan?" Albin melihat senyuman itu. Senyuman rumit yang seolah-olah merefleksikan perasaan dan pemikiran Kei. Sulit ditebak entah apa yang ada di benak Kei. Meski begitu, senyuman itu membuat Kei justru terlihat s
Adi bergegas menyusuri koridor dengan kaki tuanya. Suara tongkat beradu dengan lantai hampir serupa dengan suara heels seorang wanita saat menapaki lantai keramik. Seorang wanita muda seumuran Jovan berjalan di sisinya. Dia Ririn, pekerja Adi yang kemudian menjadi istrinya. Seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya akibat dari perbuatan Jocelyn. "Aku tunggu di luar aja ya," kata Ririn dengan perasaan tak enak hati. Bukan ia tidak mau menjenguk Jovan, tapi dirinya dan Jovan tidak pernah satu kali pun bertegur sapa meskipun Jovan tidak pernah menyakitinya. Adi mengangguk paham. Mata tuanya mengekori sang istri duduk di kursi penunggu di depan pintu masuk ruang IGD. Ia juga melihat ada Roni dan Herman duduk di kursi itu. "Pak," sapa Roni berdiri, "mari saya antar ke dalam." Adi mengangguk, "Ada apa sebenarnya?" tanya Adi dengan napas berat.
Waktu berlalu. Perlahan tapi pasti detak jantung Jovan yang semula berpacu cepat karena dia merasa cemas kini mulai normal. Perasaan gelisah itu perlahan mulai memudar. Layar LED besar yang tertempel di dinding kamarnya menampilkan sepasang manusia yang saling berkecup mesra penuh cinta dan kemesraan. Jovan memperhatikan dengan saksama. Seulas senyuman manis tersemat di bibirnya. Ia ingat betapa manisnya rasanya saat dia melakukan hal itu dengan Albin. Pakaian sepasang manusia di layar itu terlepas satu persatu. Mereka terlihat begitu bergairah dan saling mencintai. Sayangnya di saat yang sama bayangan Jocelyn dan lelaki yang bersamanya muncul begitu saja. Terpicu adegan sepasang manusia yang tidak mengenakan pakaian. Jovan tetap menatap layar dengan tatapan hampa. Kesedihan kembali memagutnya sangat erat. Desahan nikmat terdengar dari film itu. D
Albin mem-packing barang-barang dengan lelehan air mata. Satu demi satu pakaiannya dimasukkan ke dalam koper dan tas besar. Sebenarnya dia sudah tahu perpisahan dengan Jovan pasti akan terjadi karena perjanjian mereka, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Ia tidak tahu perpisahan akan sesakit ini. Andai ia tahu, tidak akan terucap kata-kata perpisahan dari bibirnya. Terlintas di pikirannya, Jovan memutuskan bercerai karena selama ini dia terus merongrong ingin berpisah saat mereka bertengkar. Semua barang-barangnya sudah tersimpan rapi. Ia meninggalkan gambar sketsa hasil karyanya menggambar Jovan. Dia membingkainya dengan frame kemudian ditempel di dinding. Albin berharap, saat melihat sketsa itu Jovan akan merindukan dirinya. Ia sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kenangan dirinya dan juga Jovan di kamar itu. Kenangan itu melintas dan membayang dengan jelas secara nyat