“Cantik emang yang namanya Elina itu?” tanya Bu Ela ikut penasaran.
Riyan menyelesaikan makanan di mulutnya terlebih dulu, “Cantik, Bu cantik banget!”
Ibu Ela mengernyitkan keningnya heran sendiri melihat keantusiasan Riyan soal wanita bernama Elina tersebut. Sejujurnya ia ikut penasaran dengan wanita itu.
“Tambah lagi Riyan rebungnya,” ujar Anwar ikut bergabung.
“Iya, Mas.”
Segera Riyan selesaikan sarapannya. Ia tadi sudah mengobrol dengan Bu Ela soal Elina, ia juga tahu akan membawa apa untuk Elina nanti. Selesai sarapan, Riyan beralih untuk membersihkan warung. Hari ini Bu Ela membuat porsi dagangannya lebih banyak ketimbang kemarin. Kalau nantinya hari ini ramai atau bisa lebih ramai lagi dari hari kemarin bisa dipastikan mereka akan tutup lebih awal lagi.
“Mas nasi gorengnya satu, yah.”
Riyan sedikit terkejut dengan datangnya dua orang remaja berpakaian sekolah, saat dirinya tengah mengisi tempat tisu. Sebelum menanyakan kembali Riyan mempersilahkan untuk mereka masuk duduk terlebih dulu.
“Maaf tadi pesan apa, yah?” tanya Riyan.
“Nasi gorengnya satu makan di sini, satunya lagi dibungkus,” jawab salah satu dari mereka mengulang.
“Baik.” Riyan berlalu untuk membuatkan pesanan mereka.
Karena Bu Ela dan Anwar masih di belakang maka Riyan yang memegang di depan sebentar walau biasanya mereka bertiga. Selesai membuat pesanan tadi Riyan pun mengantarnya kini ia berlanjut pada pesanan yang dibungkus. Sebenarnya Riyan mau menggoreng sekaligus hanya saja pesanan yang dimakan meminta pedas, sedangkan yang dibungkus tidak. Mau tidak mau ia harus menggoreng dua kali.
***
Ibu Ani mengedarkan pandangannya di ruangan yang hampir bosan ia lihat setiap hari itu. Berbaring dengan tubuh yang lemah tanpa bisa apa-apa. Kalau boleh jujur, ia merasa capek harus terus-menerus merepotkan Riyan, anak laki-laki satu-satunya itu. Harus bekerja demi bisa membiayai biaya rumah sakitnya. Kalau bisa ia ingin menggantikan posisi Riyan, ia yang seharusnya bekerja mencari rupiah sebagaimana tugas orang tua.
“Ibu sarapan pagi dulu setelah itu minum obat, yah,” jelas Suster Ina.
“Ina, Riyan belum datang?”
“Belum, Bu. Mas Riyan, ‘kan datangnya nanti sore.” Suster Ina tersenyum. “Saya ambilkan bubur untuk sarapan dulu, yah.” Ia berlalu pergi.
Ibu Ina perlahan mencoba untuk setengah berbaring, dilihat dengan jelas selang infus yang entah sudah berapa lama menetap di pergelangan tangan kanannya itu. Tidak lama Suster Ina kembali dengan bubur untuk sarapan pasiennya. Ia meletakan bubur tersebut di atas lemari pasien. Suster Ina mendekatkan kursi pada Ibu Ani, ia biasanya menyuapkan sarapan pada pasien yang dipegangnya.
“Ibu sarapan habis itu minum obat oke.” Sendok berisi bubur sudah siap masuk hanya tinggal menunggu Bu Ani membuka mulutnya.
“Inaa.”
“Iyaa,” sahut Suster Ina,
“Kamu di rumah sakit biasa sampai jam berapa? Atau kadang stay di sini kadang tidak begitu?” tanya Bu Ani penasaran.
Suster Ina mengernyitkan keningnya. “Ina tidak pernah netap di sini. Jam-jam Sembilan sepuluh Ina udah pulang,” jelasnya. Suster Ina kembali menyuap.
Berganti Ibu Ani yang mengernyitkan kening. “Kalau suster yang lain? Apa sama juga begitu?” Ia bertanya demikian karena penasaran dengan semalam.
“Sama, kok hanya beberapa suster saja yang tinggal untuk menjaga bersama staf rumah sakit yang lain. Ada apa emangnya, Bu?”
“Iya itu semalam Ibu, ‘kan bangun haus mau minum terus kebetulan ada suster yang bantu. Ibu mengira itu kamu Ina. Semalam yang di sini kamu bukan?” Ibu Ani ingin memastikan.
Suster Ina sejenak berhenti menyuap. Ia menggelang pelan kemudian melanjutkan menyuap pasiennya lagi.
“Mungkin suster lain, ya. Ibu sudah kenyang mana obatnya.”
Menyudahi sarapan pagi itu dan beralih dengan minum obat.
***
“Ina tolong bantu aku di pasien lain bisa gak?” pinta Vivi tiba-tiba.
Ina yang baru keluar dari ruangan ibu Ani dibuat terkejut dengan datangnya Vivi. Ia menghela napas kesal sembari melihat Vivi.
“Kalau datang itu pelan-pelan dong, Vi jangan dibuat kaget akunya kayak gitu,” tegur Ina. Pasalnya tidak satu dua kali Vivi seperti demikian atau memang anak itu sengaja untuk iseng.
“Iya-iya maaf. Bantuin aku di pasien lain, yah.” Vivi langsung menggandeng tangan Ina mengajaknya pergi.
***
Menjelang sore selesai kerja, Riyan singgah disebuah toko roti. Sesuai dengan yang dibilang bu Ela padanya bahwa perempuan suka akan makanan. Riyan pun berinisiatif untuk membawakan roti untuk Elina. Riyan sampai di toko roti, tapi bukan toko roti langganan, ia kebetulan mendapati toko tersebut saat di perjalanan sedang mencari. Riyan maupun ibunya sebenarnya tidak begitu sangat suka akan roti. Setelah memarkirkan motor Riyan masuk ke toko itu.
Aroma roti di dalam toko itu bisa dengan jelas Riyan hirup. Baunya sungguh enak tidak heran kalau ramai yang berkunjung. Ternyata mereka juga menyediakan tempat makan bagi pelanggan yang ingin mencicipi roti langsung di tempat.
“Mari, Mas kami punya banyak pilihan rasa roti bisa lihat-lihat dulu.” Salah seorang karyawan di toko roti itu menuntun Riyan ke sebuah rak roti.
Riyan melihat satu per satu roti yang tersedia di rak-rak depannya. Ia bingung mau membeli yang mana soalnya tidak tahu Elina suka roti dengan rasa apa. Setelah beberapa menit berkutat dengan pikiran sendiri, Riyan mengambil 3 buah ukuran roti berukuran sedang.
“Yang ini saja?” tanya si karyawan wanita itu memastikan.
“Iya, Mba.”
“Baik biar saya bungkus, ‘kan.” Riyan mengikuti Mba tadi dari belakang.
Selesai membeli roti Riyan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit seperti biasa menjenguk ibunya. Kalau dulu tujuannya ke sana hanya karena ibunda sekarang tujuannya mulai bertambah. Tidak lain ingin melihat gadis bernama Elina itu.
***
Ina berjalan pelan menghampiri kamar ibu Ani, otaknya berpikir keras soal suster siapa yang menemani ibu Ani semalam. Ia sudah menanyakan pada suster yang semalam ada di rumah sakit dan mereka yang berada semalam semua mengatakan bahwa tidak menjenguk ke kamar ibu Ani. Hal itu justru membuat Ina kepikiran. Ia khawatir pasalnya kamar ibu Ani tidak begitu jauh letaknya dengan kamar nomor 8. Ia takut jika sampai suster yang semalam adalah ….
“Halo, Sus.” Sapaan Riyan membuyarkan lamunan Ina sekaligus juga mengagetkannya.
“Iya-iya. Ibu ada di dalam masuk saja.”
“Ya, ‘kan emang ibuku di dalam. Hati-hati, Sus tadi hampir nabrak pintu,” ucap Riyan melangkah masuk.
Ina lantas berdiri terdiam di pintu luar malu rasanya ditegur seperti itu. Ia tidak akan mungkin bersalah tingkah kalau tidak punya perasaan pada Riyan. Masalah soal suster semalam kembali memenuhi pikirannya.
Riyan meletakkan roti yang ia bawa di atas lemari. Senyuman hangat terlihat dari Ibunya yang menyambut kedatangan Riyan. Suster Ina yang masih sedikit malu ikut bergabung dengan mereka ia sekilas mengecek cairan infus Ibu Ani agar situasi dirinya bisa lebih santai.“Sus saya bawa roti, Suster mau?” Riyan menawarkan.“Tumbenan bawa roti Riyan?” ujar Ibunya.“Sesekali, Bu. Suster mau gak?” Riyan mengambil satu bungkus. “Nih.”Melihat kode mata dari Ibu Ani yang menyuruh agar Suster Ina mengambil, walau ia tidak begitu ingin tapi rasanya tidak baik juga menolak. Apalagi sudah ditawarkan seperti itu.Ina lantas menerima, “Terima kasih.”“Itu enak saya pilihnya khusus di toko tadi. Ini ada juga buat, Ibu mau dimakan sekarang?” Riyan bersiap membuka bungkus atasnya.Ina yang mendengar kata khusus dari kalimat yang dilontarkan Riyan barusan membuat jantungnya sesaat berm
“Elina lihat aku bawa sesuatu!” Riyan menunjukkan roti yang ia bawa pada Elina. Biar terkesan seperti kejutan, Riyan menyembunyikan roti itu di belakang punggung.“Aku suapin, yah?” Riyan merobek sedikit plastik pembungkus, saat hendak menyuapi Elina, Suster Mala menahan tangan Riyan.“Nanti biar saya saja.” Suster Mala menadahkan tangan meminta roti tersebut. Riyan bisa apa tidak mungkin ia membantah ucapan suster itu. Padahal sebenarnya sangat ingin sekali menyuapi Elina langsung dari tangannya sendiri.Suster Mala pergi membawa roti dan catatan medisnya, meninggalkan Riyan yang di sana. Riyan heran, katanya mau menyuapi Elina, tapi suster itu malah berlalu pergi.“Nanti kasih tahu kalau rotinya enak, yah biar aku belikan lagi,” kata Riyan mengangkat satu jempolnya.Azan maghrib terdengar, Riyan memeriksa jam di pergelangan tangannya. Baru sadar terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar Elina. Ia h
Sekitar pukul 02:30 pagi gelas bekas kopi Riyan semalam jatuh di dapur. Bukan tanpa sebab kenapa gelas itu bisa jatuh, ada yang baru saja membuatnya jatuh. Tidak hanya dengan gelas saja, beberapa sendok makan pun ikut serta. Riyan yang menyadari kegaduhan di dapur perlahan bangun walau pandangan masih belum sepenuhnya terlihat. Ia berjalan menghampiri dapur tanpa memikirkan sedikit pun hal aneh apa yang ada di dapur. “Aduh!” ringis Riyan. Ibu jari disalah satu kakinya menginjak serpihan gelas yang pecah. Ia terkejut saat melihat gelas yang pecah dengan serpihan-serpihan yang berserakan di lantai. Riyan harus berjinjit mengambil serokan dan sapu. Darah pun kian menetes dari ibu jarinya dan jatuh di lantai. Mengesampingkan soal rasa sakitnya, Riyan lebih dulu membereskan kekacauan di lantai. Heran kenapa gelas itu bisa jatuh, seingatnya ia taruh tidak begitu di pinggir. Malah justru lebih ke dalam sehingga kemungkinan untuk jatuh kecil. Tidak mungkin juga kalau tikus y
Riyan asik menonton acara di televisi. Sebuah acara di mana terlihat ada seorang perempuan yang punya masalah dengan pacarnya, meminta bantuan kepada pihak yang di mana program acara mereka adalah membantu setiap permasalahan dalam percintaan. Riyan heran bahwa cara seperti itu pun ada pasalnya permasalahan mereka dipublikasikan lewat media. Itu artinya orang yang menonton tayang tersebut akan tahu.Kepulangannya dari tempat nongkrong tadi, karena tidak ada rencana untuk ke rumah sakit, Riyan mengisi waktu dengan menonton sampai tidak dirasa waktu sudah menjelang sore. Bosan, satu kata yang bisa ia jabarkan. Sendirian di rumah tanpa ada teman yang ikut menemani. Tadi pagi sarapan tidak banyak dan dilanjut hanya makan kentang goreng saja. Sore ini perutnya mulai bereaksi.Riyan meletakkan remot tv di meja, ia me
Malam harinya Ina ingin pergi membeli sesuatu di luar. Sebenarnya di dalam rumah sakit pun juga ada kantin tersendiri hanya saja barang yang ia cari sedang habis, jadi memutuskan untuk beli di luar. Langkahnya terhenti di depan kamar Elina, perlahan ia mendekat. Tangannya memegang knop pintu dan satu tangannya lagi menyentuh kaca pintu. Kalau dilihat setelah pasien terakhir yang menempati kamar itu keadaannya selalu terlihat rapi tidak pernah berantakan sedikit pun. Ditambah dengan keadaan lampu yang selalu menyala setidaknya bagi orang biasa saat melihat akan menganggap tidak ada apa-apa di dalam sana.Namun, Ina yakin yang namanya arwah penasaran itu ada hanya saja, ia tidak tahu apakah gadis itu berkeliaran di kamar tersebut atau bisa jadi di sekitaran rumah sakit. Setelah melewati beberapa tahun belakangan ini memang tidak pernah mendengar lagi kalau ada yang diganggu oleh gadis itu.Kembalinya dari luar, Ina tidak melihat keberadaan Riyan di kamar Bu Ani, biasanya
Di perjalanan ke rumah sakit, Riyan singgah sebentar ke toko buah. Ia membeli jeruk dan apel. Setelah dari toko buah, ia melewati tokoh bunga. Riyan kepikiran untuk membeli bunga di sana. Ia memikirkan kalau Elina akan senang jika dibawakan bunga. Penjaga toko keluar menyambut datangnya Riyan. “Selamat pagi cari bunga apa?” tanya laki-laki itu. “Ah, iya selamat pagi. Hmm, saya mau cari bunga ….” Riyan bingung sesaat. Bunga apa yang harus dibelinya. Ia tidak begitu tahu soal bunga-bunga. Tangannya bergerak mengambil setangkai bunga mawar. Warna yang cantik serta bau yang khas dari mawar itu seketika membuat Riyan jatuh hati. Sama seperti saat dirinya pertama kali melihat Elina, ia jatuh cinta.
“Permisi,” ucap Riyan melangkah masuk. Ia melihat suster di sana sedang memeriksa Elina.Suster Mala dan Riyan saling bersenyum sapa. Suster Mala melihat setangkai bunga melati yang dibawa Riyan, ia sempat tertegun apa mungkin Riyan tahu kalau Elina sebenarnya sudah meninggal.“Boleh berkunjung, Sus?” tanya Riyan memastikan.“Iya boleh.”Riyan senang mendengarnya. Ia menarik kursi untuk duduk lebih dekat. Menghampiri pintu, Suster Mala memperlambat langkahnya. Ia menoleh ke belakang penasaran apa yang mau laki-laki itu lakukan dengan setangkai melati. Berhenti di ambang pintu, Suster Mala mengawasi dan Riyan tidak sadar dengan hal itu.Elina tersenyum menyambut datangnya Riyan. Ia senang bahwa hari ini Riyan datang menjenguknya. Padahal semalaman ia menemani laki-laki itu tanpa sepengetahuan Riyan. Yah, tidak mungkin juga Riyan akan tahu.Riyan masih menyembunyikan bunga melati itu di belakang punggungnya.
Riyan senang sekali berbicara walau ia berbicara sendiri tanpa ada lawan bicara yang menyahut percakapannya. Melihat Alina menanggapi dengan tersenyum atau anggukan saja Riyan sudah senang. Riyan terus mengobrol sampai tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Ia sendiri pun sudah menguap beberapa kali. "Padahal kamu sudah mengantuk, tapi masih berada di sini. Pergilah tidur Riyan," batin Elina walau sebenarnya ia suka Riyan tetap berada di situ. Tapi, ia juga tidak bisa memaksakan Riyan yang terlihat sudah mengantuk begitu. "Hoammm." Sekilas Elina tertawa kecil sangat kecil saat melihat Riyan menguap lagi. Tiba-tiba Riyan langsung berdiri, raut wajahnya terkejut seperti habis melihat sesuatu. "Elina tadi kamu tertawa?" Mata Elina membulat. Apakah Riyan menyadari hal itu? Tapi, bagaimana bisa? Sedikit mendekat, Riyan memangku dagunya dengan kedua tangan. "Lucu sekali kamu tertawa begitu. Sekali
Riyan mengetuk pintu sekali kemudian memutar knop lebih dulu masuk diikuti teman-temannya di belakang. Suasana yang tenang, ibunya juga tengah tidur. Pandangan Ridho menyisir habis ruangan tempat ibunya Riyan dirawat. Ia mendudukkan diri di satu-satunya sofa yang ada di sana. Sementara, Iwan berdiri di samping diri Ibu Riyan sekilas memperhatikan selang infus di depannya. Saat hendak membangunkan ibunya tiba-tiba Ridho memanggil. "Yan, nanti aja, deh. Kasian Ibu lu lagi istirahat," ucap Ridho. "Ah, gak apa." Riyan mengguncang pelan ibunya, dengan sopan. Ibu Ani yang memang belum sepenuhnya tidur lantas bangun melihat ke samping kiri ada anaknya. Samping kanan ada anak laki-laki juga serta menyadari yang sedang duduk di sofa. Hanya saja ia tidak tahu siapa mereka. "Riyan, udah balik?" tanya ibunya. "Iya, Bu. Riyan gak ganggu tidur Ibu, kan?" Bu Ani menggeleng dengan senyum diikuti Riyan yang juga tersenyum. "Oh, iya hampir lupa. Ini yang Riyan bilang tadi. Kenalin teman-teman Ri
Frustasi, Ina memijat pelipisnya perlahan. Berapa kali pemilik kos bertanya alasan dirinya hendak pindah dan sudah berapa kali juga, Ina enggan untuk menjawab. Yang ia ingin hanya pindah dari kost-an itu."Apakah air di kost tidak bersih, Ina?" Ibu kost mengganti pertanyaan lagi.Satu alasan yang membuat ibu kost tidak memperbolehkan Ina pergi karena rajinnya Ina dalam membayar kost. Tepat waktu dan sangat jarang menunda."Maaf, Bu. Saya terpaksa harus pindah karena tidak betah lagi di sini," jelas Ina pada akhirnya. Walau begitu si Ibu kost masih menunggu alasan lebih jelasnya."Kalau ada yang perlu diganti atau apa bilang saja sama saya. Lagian mau pindah kemana? Di sini udah paling murah, loh." Sama seperti Ina, Ibu kost juga masih bersikeras.Helaan napas mulai keluar dari Ina. Ia memandangi Ibu kost dengan tenang, berniat untuk memberitahu alasan sebenarnya ingin pindah."Saya nemu belatung di kamar, Bu dan saya ketakutan. S
Pukul 03:00 pagi Riyan terbangun. Entah sudah ke berapa kalinya ia terbangun. Awalnya sehabis beberapa jam dari waktu isya dan keadaan yang lumayan enak untuk kembali tidur.Namun, seperti ada yang mengganggu agar tidurnya Riyan tidak tenang. Itu sebabnya ia tidur uring-uringan dan beberapa kali kebangun akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan tidur lagi. Toh, sekalian menunggu waktu subuh.Sembari mengumpulkan nyawa, Riyan mengecek ulang jam di ponselnya. Ia juga ingat sekitar jam 10:00 nanti harus ke bandara menjemput dua orang temannya. Riyan bangkit dari kursi dan bergegas untuk melaksanakan ibadah subuhnya.Ia memakai mushola yang ada di rumah sakit seperti saat isya tadi. Sedikit beruntung karena tidak perlu pergi jauh ke masjid yang sebelumnya.Selesai dengan ibadah subuhnya saat sedang merapikan bagian bawah celana, Riyan tidak sengaja mendengar obrolan dua orang bapak-bapak yang tidak jauh dari keberadaannya."I
Beberapa belain terus diberikan pada kedua pipi Bu Ani. Hingga beberapa kali istirahatnya terganggu, di sisi kanannya ada sosok gadis dengan luka leher yang parah tengah memperhatikannya. Sosok itu juga yang sedari tadi mengganggu istirahat Bu Ani."Astagfirullah!" seru Ina beristigfar saat hendak masuk ke ruangan Bu Ani. Belum sempat masuk, langkahnya terhenti di depan pintu.Berhasil Ina melihatnya dan secepat itu juga sosok tadi menghilang. Ina tidak begitu jelas melihat sosok tersebut, tapi yang pasti dan jelasnya ia melihat ada tangan yang mengambang, membelai pipi pasiennya.Ina berjalan mendekati Bu Ani, ditatapnya lekat-lekat wajah wanita sudah berumur itu. Ia mengambil tisu dari kantongnya dan mengelap dengan hati-hati pipi Bu Ani. Pipi yang bekas dibelai tadi.Ina menoleh dan mendapati Riyan yang tengah tertidur di kursi sana. Memandang dari kejauhan saja membuat Ina senang sendiri, senang melihat wajah tenang tidur Riyan.
Sekitar jam 15:00 sore, Riyan tiba-tiba ingin makan gorengan. Sebelum pergi mencari gorengan, Riyan mengecup singkat pipi ibunya sekalian memperbaiki letak selimutnya.Riyan menutup pintu ruangan dengan rapat, lalu bergegas ke parkiran. Di luar gedung rumah sakit angin sepoi-sepoi terasa menyejukkan menerpa wajahnya. Ia menaikkan standar lalu menyalakan mesin motor dan pergi berkeliling.Sepanjang perjalanan banyak pedagang kaki lima yang ia jumpai. Tapi, yang menjual gorengan belum juga didapat sampai akhirnya pandangannya menangkap gerobak berwarna merah terang di sana.Riyan sampai lalu memarkirkan motornya sejenak. Ia menghampiri gerobak tersebut. Penjualnya adalah seorang bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah berumur. Tapi, semangat berjualannya masih terlihat jelas di raut wajah mereka."Permisi," ucap Riyan sopan.Belum ada pembeli yang terlihat terkecuali Riyan seorang. Mungkin gorengannya baru buka.
Memasuki jam kerja, Ina membawa catatan wajibnya yang sudah disiapkan tadi ke ruangan bu Ani. Seperti biasa tugasnya sebagai suster mengecek keadaan pasien.Kalau dibilang bosan sudah pasti iya. Mengecek, mencatat, mengecek, mencatat keadaan pasien hanya itu terus yang dirinya lakukan selama menjadi suster. Biarpun begitu tugasnya jadi lebih berwarna saat pasien ibu-ibu bernama Ariani terawat di rumah sakit itu.Ditambah lagi soal Ina yang menyimpan perasaan pada anak pasien. Orang bilang kalau bekerja ada motivasi semangatnya sendiri, terkesan beda."Bu Ani, semakin hari keadaannya semakin membaik. Aku yakin dalam waktu dekat beliau akan segera sembuh," ucap Ina penuh harap seraya memperbaiki letak selimut wanita itu.Tidak lama Riyan masuk, pandangan mereka saling bertemu. Duluan dari Riyan yang menyunggingkan senyuman kemudian dibalas oleh Ina. Riyan menghampiri ranjang Ibunda, menarik kursi untuk duduk.Sementara Ina berada di
Hendak kembali fokus pada kegiatannya, tapi pikirannya belum bisa tenang. Entah karena apa hingga Ina benar-benar merasa kalau saat ini ia tidak sedang sendiri.Begitu cepat langsung Ina menyoroti pintu kamar mandi. Beberapa detik memandangi daun pintu lalu kembali pada loyang adonannya."Pasti kamu hanya capek," batin Ina mencoba berpikir positif lagi. Ia berusaha agar menyelesaikan bolunya dengan cepat.Waktu terus berjalan. Suara detakan jam dinding terus terdengar mengisi suasana yang sepi. Ina baru saja selesai dengan bolunya. Ia mengeluarkan bolu buatannya dari dalam oven perlahan.Karena bolu yang panas terlebih lagi wadahnya untuk berhati-hati, Ina menggunakan sarung tangan khusus. Ia menutup atas bolu dengan piring kemudian dengan cepat langsung membalikkan loyang tersebut.Bolu sukses berpindah ke piring. Ina menaruh loyang bekas tadi ke pencucian piring. Ia kembali pada si bolu seraya menghirup aromanya. Aromanya saja s
"Sus, biasa sampai malam ya?" tanya Riyan penasaran."Apanya, Mas?" tanya Ina balik.Antara suster dan anak dari pasien tengah mengobrol singkat sedangkan pasiennya sedang beristirahat."Itu, loh apa kalau jaga di rumah sakit.""Oh, itu. Enggak, Mas Riyan gak pernh sampai malam. Biasanya ada staff sendiri yang jaga sampai malam. Beberapa suster lain juga gitu," jelas Ina.Canggung ia menjelaskan kalau hanya berdua. Biasanya ditemani Bu Ani, tapi wanita itu sedang tidur."Seperti itu, ya.""Iya, Mas. Ini juga sudah waktunya jam pulang. Saya duluan, ya.""Iya, Sus. Hati-hati ya."Ina memperbaiki letak selimut Bu Ani sebelum akhirnya dia pamit pulang. Ina pulang membawa bayangan senyuman Riyan. Saat pamit tadi, Riyan menyunggingkan senyuman.Bagaimana, ia tidak mencintai lelaki tersebut setiap hari jika melihat perlakuan manis Riyan yang begitu.Ina bergegas pulang karena ia mau membuat sesuatu. Tentunya tidak
Sayup-sayup Riyan pun mulai mengantuk juga. Ia menahan kepalanya dengan satu tangan, tapi berulang kali juga hendak jatuh. Ibunya tengah tidur dan suster Ina juga sedang tidak ada mungkin lagi mengurus urusannya. Dia, 'kan suster dan bukan hanya pasien satu saja yang diurus. Hanya saja Ina lebih sering ke kamar Bu Ani karena selain mengurus dan memantau wanita itu tidak lain adalah untuk melihat Riyan. Tapi, tadi Ina mengatakan mau mengambil air mineral. Terkadang Ina sedih kalau Riyan tidak datang berkunjung seperti hari itu. Rasa ngantuknya tidak tertahan lagi. Riyan ingin tidur sebentar, ia heran kenapa bisa sangat mengantuk di jam segini. Seingatnya semalam ia tidak begadang. Terkecuali dengan satu yang masih membuatnya kepikiran sampai sekarang. Kenapa ia bisa sampai tidur di kamar Elina. Riyan tidur di sofa. Tapi, dirinya tidak bisa tidur jika belum minum sama sekali. "Riyan mau kemana lagi, Nak?" ujar ibunya menahan. Riyan pikir ibu