“Sahara ….” Roy menekan handle pintu dan ternyata tak terkunci. “Mau ke mana?” tanya Roy saat melihat Sahara sedang menyampirkan tasnya ke bahu.
“Aku mau pergi menjenguk Bu Mis. Udah lama nggak ke rumah sakit.” Sahara lalu kembali ke depan kaca untuk mengecek dandanannya.
“Biar Rini yang antar. Jangan terlalu lama—”
“Aku mau belanja. Aku belum pernah diberi nafkah lahir selama menjadi istri. Apa gunanya nafkah batin sehebat apa pun,” gerutu Sahara.
“Sorry?” Roy berdiri persis di belakang Sahara, memandang pantulan wajah gadis itu melalui cermin.
“Intinya aku mau belanja. Aku mau menghabiskan seluruh isi mall. Itu juga kalau Om benar-benar kaya. Kalau nggak, aku cari laki-laki lain yang bisa membelikan semua yang kubutuhkan,” ujar Sahara lagi, memandang Roy yang memas
Rini menunduk melihat Sahara yang menangis meraung-raung menyembunyikan wajah di lipatan tangannya. Dia segera menjauhi gadis itu dan meraih ponsel di dalam tas.Rini menghubungi nomor telepon Novan. Sebelum berangkat tadi, Novan sempat menunjukkan jadwal Roy hari itu. Seharian hanya meeting. Tapi Rini sudah sangat mengerti, mengganggu Roy pasti sangat sulit.“Novan? Kamu di mana? Di ruang meeting atau di ruanganmu?” tanya Rini.“Kalau aku bisa menjawab telepon, itu artinya aku nggak lagi ikut meeting. Lagian aku cuma asisten, ajudan. Bukan sekretaris. Aku malah bersyukur nggak ikut meeting ke dalam. Ada apa?” tanya Novan di seberang.“Pengasuh Sahara meninggal barusan,” kata Rini.“Hah?!” pekik Novan di seberang sana. “Kamu jangan bercanda. Pak Roy udah bersedia membayar 1.5 milyar. Padahal
Proyek gedung perkantoran di Brasil adalah impian Roy sejak dulu. Sejak awal mula dia memutuskan untuk membalas Thomas, Roy sudah mempersiapkan kejutan-kejutan kecil untuk pria itu nantinya. Roy membeli pemukiman warga dan gedung-gedung lama yang berada di seberang gedung yang dimiliki Thomas.Memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil sekumpulan wilayah yang berada di salah satu distrik utama di Sao Paulo. Tapi sepetak kawasan itu sekarang sudah menjadi milik Roy.Meeting yang sudah batal beberapa kali, berhasil diselesaikan Roy tanpa gangguan. Dia menolak semua panggilan masuk dan tak mengizinkan siapa pun yang tak berkepentingan masuk ke ruang meeting. Kini Roy bisa bernapas lega.Sebenarnya proyek itu sudah berjalan. Pengerukan pondasi dan pemasangan tiang-tiang sudah dilakukan dengan diawasi oleh empat orang insinyur asal Brasil.“Bekerja sebaik-baiknya samp
Roy melangkah masuk melewati pintu kamar yang sudah ditinggali Sahara enam bulan belakangan. Mata Roy menoleh sekilas sebelum duduk di tepi ranjang. Kakinya menyentuh kaki Sahara yang duduk di lantai. “Ayo, pulang. Kamu pasti capek,” ucap Roy, mengusap bahu Sahara yang tak mau memandangnya. “Jangan sentuh aku,” lirih Sahara. Nada suaranya sangat lemah. Dia bergeser menjauh agar tangan Roy tak bisa menyentuhnya. “Maafkan aku. Kita pulang sekarang.” Roy menunduk dan memegang kedua bahu Sahara. “Pulang? Aku nggak punya rumah. Rumahku di sini,” sahut Sahara tanpa menoleh. “Maaf. Tadi aku meeting dan mengatakan pada Novan untuk tak menggangguku. Jadi aku benar-benar tidak tau. Aku tau ini terdengar sebagai alasan. Tapi aku memang—” “Aku tau. Makanya aku nggak percaya Miss Rini mengatakan semua bunga dan pemakaman itu adalah bentuk kepedulian O
Roy tak ada mengatakan apa pun lagi. Dia ikut meringkuk mengikuti lekuk tubuh Sahara yang merunduk menyembunyikan wajah. Sahara yang berusaha meredam tangis, malah membuat bahunya berguncang. Sudah sangat lama sejak terakhir kali dia menghadapi seorang wanita menangis. Mengakui kesalahan tak pernah menjadi hal yang sulit bagi Roy. Bertahun-tahun, ia sudah hidup dengan rasa bersalah. Dia bisa sukses dan kaya juga karena rasa bersalah. Rasa lelah di tubuh dan pikiran membuat tangis Sahara semakin lama semakin reda dan lenyap. Usapan Roy pada punggung tangan gadis itu membuatnya lebih cepat terlelap. Roy pun yang tadi hanya berniat menghibur gadis itu, jadi ikut tertidur. Pak Wandi tiba dengan nampan berisi makanan lengkap di depan pintu kamar. Clara mengetuk pintu dan tak mendapati jawaban dari dalam. “Pintunya nggak dikunci. Coba dibuka aja. Letakkan nampan ini di atas meja. Yang penting sudah
“Cepat katakan, mumpung semua orang udah tidur.” Rini melirik Clara menghabiskan teh dicangkirnya. Dalam hatinya dia merasa sedikit geli. Clara mengoceh panjang lebar padahal hanya meminum secangkir teh. "Aku akan menceritakannya dari awal. Roy muda yang kutemui di Salvador adalah sosok yang sangat putus asa. Wajahnya tampan, tubuhnya bagus, dan semangat hidupnya berapi-api. Sayangnya semangat hidup itu dia curahkan sepenuhnya pada keluarga Spencer. Dia datang ke Salvador untuk mencari pamannya. Salvador adalah kota kecil di mana persahabatan Tuan Smith dan Tuan Spencer bermula. Mereka teman yang sangat dekat sejak kecil. Roy menginap di sebuah penginapan yang tak jauh dari restoran kecilku. Setiap hari mengamati luka lebam di wajahku, hasil buah tangan seorang suami pemabuk dan suka menyiksa. Suami yang aku usir berkali-kali, namun selalu kembali dalam keadaan miskin. Untungnya laki-laki itu sudah lenyap—maaf, aku selalu terbawa emosi tiap menceritakan soal b
“Dad … aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Aku sedang tak ingin bercanda sekarang.” Thomas berdiri dengan wajah memucat. Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya dengan nilai terbaik. Dia juga baru melasik matanya yang rabun jauh dan mencampakkan kacamata agar tak terlihat tolol di mata teman-temannya. Dia baru saja akan memulai hidup sebagai pengusaha yang sebenarnya. Dan kini dia, Thomas si anak patuh, harus menjadi anak seorang narapidana? “Thomas, kau anak baik. Kau pasti mengerti maksudku. Aku tidak berbohong,” ucap Lucio Spencer. “Sepertinya aku perlu duduk,” ujar Thomas, menoleh ke belakang dan menarik kursi yang berada di depan meja kerja ayahnya. “Aku akan mendengarmu dengan seksama. Ceritakan tanpa menyembunyikan apa pun. Aku berjanji akan menjadi anak yang bijaksana.” Thomas duduk di depan ayahnya, berpakaian rapi bersiap mau ke kantor. Beberapa saat lamanya, Lucio Spencer menatap putranya yang tam
Thomas terlihat menarik napas sedalam-dalamnya. Dia menenangkan dirinya sendiri agar tak meraup taplak meja dan menghempaskan seluruh benda di atasnya ke lantai. Dokter sudah mengajarinya untuk mengatur emosi. Menghitung 1 sampai 20 sampai IQ-nya turun menjadi 0 agar dia merasa tenang dan kosong. Sudah lama Thomas tak melakukan ritual itu. Tapi berita yang baru saja disampaikan oleh ayahnya membuat Thomas kembali menjadi sosok gila. “Ternyata Ayah menyimpan rahasia selama ini. Dia menikah di Indonesia dan memiliki seorang putri yang sekarang berusia lima tahun. Istrinya di sana baru saja mati.” Napas Thomas kembali tersengal-sengal. “Dan Ayah baru saja mengakui bahwa dia membunuh sahabatnya secara tak sengaja di sana. Dia meninggalkan negara itu sebagai seorang pelarian. Dan kita dikelabuinya selama lima tahun. Kau dengar apa yang kukatakan, Bu? Suamimu menipumu selama lima tahun.” Suara Thomas bergetar dan tangannya kembali mencengkram
Seperti dengan yang diperintahkan oleh ibunya, Thomas pergi ke Indonesia bersama dengan Edward. Pertama kali yang didatanginya adalah alamat yang tertera di selembar amplop. Thomas menyusuri alamat tempat tinggal seorang wanita yang bernama Misrawati. Sialnya, kedatangan orang asing ke desa itu masih sangat aneh. Sekejab saja desa itu heboh dan semua orang hendak menyambut dan meladeni kedatangan Thomas dan Edward. Sehari usai kehebohan itu, Thomas berhasil menemukan rumah yang tepat. Sayangnya, rumah itu sudah kosong saat mereka tiba di sana. Tetangga di sekitar kediaman rumah itu tak ada yang mengetahui penghuni rumah kosong. Mereka hanya mengatakan kalau wanita bernama Misrawati itu bukan penduduk asli desa. Dan sehari yang lalu, wanita itu pergi membawa seorang gadis kecil yang sangat cantik. “Wanita itu sepertinya sudah tahu kalau gadis itu sedang dicari,” ujar Edward. “Siapa yang memberitahu informasi s
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov