“Ya, Tuhan …. Bu, apa ibu mendengar apa yang dikatakan Papa dua anakku barusan? Kenapa dia tiba-tiba menjadi begini? Aku sudah dua tahun berkuliah di sana dan semuanya aman-aman aja. Enggak pernah ada masalah,” jelas Sahara pada ibu mertuanya. “Tidak ada masalah sebelum mahasiswa pindahan dari Amerika itu datang ke kampusmu. Dia dari Amerika, kan? Usianya dua puluh empat tahun dan dia sedang meneruskan program magisternya. Terlalu klise alasan dia harus berhenti di depan ruangan kamu untuk mengobrol. Dia tak ada kepentingan di sana. Aku sudah menyelidiki semuanya, Sayang.” Roy mengedikkan bahunya seraya memasukkan roti ke mulut. “Ya, ampun. Apa aku harus mengusirnya tiap datang dan mengajakku bicara. Lagipula tidak ada hal penting yang kami obrolkan. Dia ke ruanganku karena adik kandungnya kebetulan sekelas denganku,” jelas Sahara. “Semakin berbahaya. Bisa saja dia banyak bertanya soal kamu pada adiknya. Datang ke sana menemui adiknya jelas hanya alasan. Mereka bisa bertemu di ruma
Hari itu Roy mengenakan jas rangkap tiga. Model klasik yang sangat dia sukai karena ibunya mengatakan kalau dirinya terlihat seperti bangsawan Inggris berambut cokelat tiap mengenakan model jadi itu. Di balik jas ada rompi yang membungkus kemeja putihnya dengan sangat pas. Pagi tadi pilihannya jatuh pada jas abu-abu muda disertai sapu tangan sutera berwarna krem yang terselip di saku jasnya. Dengan sepatu kulit mengkilap berwarna cokelat yang mengetuk lantai tiap dia melangkah, Roy yakin akan membuat pandangan wanita atau pria akan tinggal lebih lama untuk mengamatinya. Universitas swasta mahal yang terdiri dari tembok-tembok tinggi dingin dan lorong-lorong panjang tampak tidak terlalu ramai siang itu. Kehadirannya menyeruak kerumunan mahasiswa yang bergerombol-gerombol dengan cepat menarik perhatian. “Ruangannya masih sama, kan?” tanya Roy pada Novan yang berjalan di sebelahnya. “Masih, Sir.” Novan menegapkan langkahnya. Menyadari kalau mereka sudah menjadi pusat perhatian di sana
Suara-suara di lorong seakan teredam oleh langkah kaki Sahara. Pandangannya menunduk terfokus pada kakinya yang berbalut heels. Tangan kanannya masih memeluk lengan Roy. Dan pikirannya berlarian ke mana-mana. Melirik sekilas raut wajah Roy, membuat perjalanan menuju mobil terasa berkali lipat jauhnya. “Udah makan?” tanya Sahara saat dia sudah duduk bersisian dengan Roy di jok belakang. Sahara melirik Novan yang sepertinya memutuskan bungkam selama berada di dekat mereka. “Sudah,” jawab Roy. Singkat sekali, pikir Sahara. Biasanya Roy pasti akan kembali bertanya apakah dia sudah makan atau belum. Ternyata hari itu adalah pengecualian. Sahara mengatupkan bibir, melirik tangan Roy yang bertengger santai di atas lututnya sendiri. Biasanya laki-laki itu tak akan melepaskan genggaman tangan mereka. Sepertinya dia harus bergerak lebih dulu untuk melunakkan hati Roy. Tangan sahara bergerak perlahan, menyusuri paha Roy dan mengusap lengan pria itu. Pelan tapi pasti menautkan jemari mereka. R
Sahara menarik napas panjang dan menghelanya. Setelah berdandan habis-habisan, Roy hanya mengatakan soal makan. Semuanya belum baik-baik saja, pikirnya. Di meja makan Sahara melipatgandakan keceriaan obrolan meski kesal karena Roy masih belum bersikap hangat seperti biasa. Pria itu bukannya sama sekali mengabaikan, tapi jelas-jelas belum kembali normal seperti biasa. Roy belum mau membalas tatapan Sahara berlama-lama. “Banyak serat … aku harus makan banyak serat. Terlalu banyak karbohidrat tidak baik.” Sahara sengaja mengeraskan suaranya agar Roy mendengar ucapannya. Dan tak mungkin Roy tak mendengar karena jarak mereka tak sampai semeter jauhnya. Namun, Roy hanya mengangkat sedikit alisnya seraya mengangguk kecil. Sahara sekarang menyesal karena menyendokkan terlalu banyak sayur ke piringnya setelah melihat reaksi Roy. Usai makan malam, Sahara lagi-lagi tak membiarkan babysitter mengerjakan tugas rutin mereka. Dengan menggandeng dua putrinya, Sahara menaiki tangga sambil bernyanyi
Sebelum puncak kekesalan Sahara malam itu. Pekerjaan di kantor yang hari itu memang membuat Roy banyak hilir mudik dari ruangannya ke beberapa ruang rapat yang berbeda ukuran. Sejak pagi dia sudah melakukan tiga rapat. Dua rapat internal dan satu rapat lagi dihadiri oleh semua divisi yang akan membahas proyek baru The Smith’s Project. “Sebentar lagi kita kembali ke rumah. Aku terlalu capek hari ini,” ucap Roy saat melewati meja Novan dan mengetuk pelan pinggiran meja asistennya itu. “Saya siap-siap sekarang kalau gitu,” tukas Novan, mematikan laptop dan memasukkannya ke laci. “Oh, ya … ponsel Anda berdering beberapa kali sejak tadi. Dari nomor tidak dikenal. Apa perlu saya jawab?” Novan memang sejak tadi menunggui ponsel Roy yang ditinggalkannya saat rapat terakhir. Roy mengulurkan tangan meminta ponselnya dari Novan. “Istriku pasti belum menelfon, ya?” tanya Roy. “Belum, Pak.” “Sudah aku duga,” gumam Roy, menggulir ponselnya dan melihat nomor telepon yang tidak dikenal Setela
“Aku suka melihatmu tahu cara memuaskan diri sendiri,” bisik Roy, berusaha benar-benar menikmati aksi Sahara yang menggetarkan tubuhnya dengan samar. Sahara lalu menunduk, membuat puncak dadanya yang mengetat menggesek perutnya, membuat rasa menggelitik semakin tidak tertahankan buat Roy. Tak sadar tangan Roy terangkat dari belakang kepala, dan perlahan menyentuh lutut kemudian naik dan mengusap paha Sahara seraya memenjamkan mata. Gerakan Sahara semakin cepat, kelopak matanya menurun dan gerakan pinggulnya menjadi gaduh. “Sayang … aku membencimu, aku marah,” bisik Sahara, menunduk untuk menggesek celah kelembutannya yang semakin basah, mempertemukannya dengan lekuk kemaskulinan Roy yang sangat keras. Sahara ingin tertawa karena melihat wajah Roy benar-benar tersiksa. “Aku akan membiarkanmu malam ini. Aku … bisa … Oh,” pekik Sahara, mencengkeram dada Roy sekuat tenaga. Sahara menukik, lalu menggigit dada suaminya. Roy sangat menikmati pemandangan dan raut wajah Sahara yang mencapa
Roy tak membiarkan Sahara meninggalkan ranjang usai mereka bercinta. Tak melakukan percakapan intense di ranjang sebagai pasangan suami istri beberapa hari terakhir, membuat Roy meluapkan semuanya malam itu. Sahara meringkuk di sebelahnya. Telanjang berada di dalam selimut tebal yang hanya memperlihatkan puncak kepalanya. Sisa dini hari itu, Roy berbaring di ranjang, terpuaskan. Kantuknya datang perlahan seiring dengan usapannya di punggung Sahara semakin berkurang. Kenyamanan dan rutinitas hidupnya yang semakin teratur, membuat Roy terkadang terlena. Ritual bangun pagi lebih dulu dari manusia mana pun di rumah itu, sesekali dilanggarnya. Seperti pagi itu. Roy terbangun saat mendengar suara kran kamar mandi menyala. Tangannya meraba ranjang dan tak mendapati Sahara. “Ternyata bangun lebih awal pagi ini,” gumam Roy, menegakkan kepala, melihat dinding kaca kamar mandi yang menampilkan Sahara berbaring di bath tub. “Jam berapa ini?” Setelah meregangkan tubuh beberapa detik, Roy tersen
Empat hari belakangan Sahara memang merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Sebulan terakhir, dalam tiga puluh hari, Roy memang terus menerus mengajaknya bercinta. Bisa dihitung ia tidur dalam keadaan berpakaian di malam hari. Saat baru terlelap, Roy melucuti pakaiannya dengan gerakan cepat dan selalu berhasil membuatnya gelagapan. Menikah dan hidup beberapa tahun belakangan dengan Roy masih saja merupakan pelajaran baru bagi Sahara. Baginya Roy masih memiliki sisi misterius yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Roy bukan tipe pria yang akan mengomelinya panjang lebar karena hanya dengan diam saja, ia selalu dibuat salah tingkah. Dengan frekuensi bercinta yang sangat meningkat, Sahara pesimis bahwa ia akan datang bulan selama beberapa waktu ke depan. Roy tak hanya mengajaknya bercinta di ranjang. Di tiap sudut kamar mereka dan di berbagai kesempatan saat mereka berdua. Ruang ganti pakaian, kamar kedua putri mereka, kamar mandi, ruang kerja pribadi Roy, bahkan meja di ruang
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov