Roy menekuk satu lututnya di tepi bath tub dan memejamkan mata. Mencium Sahara dengan sangat lembut. Jauh dari kata ciuman panas. Ciuman itu lebih menunjukkan suatu hal romantis. Ciuman untuk mencium, bukan untuk bercinta.
Pertanyaan Roy soal apakah Sahara mencintainya, sebenarnya dia sendiri tidak perlu jawaban terlalu gamblang. Dia hanya ingin mendengar wanita itu mengucapkannya. Ingin membuat wanita itu merasa lebih dari sekedar dibutuhkan.
Siang itu Sahara keluar kamar mandi dengan wajah yang berbeda. Pijatan lembut dan obrolan dari hati ke hati yang barusan dia dan Roy lakukan mengembalikan rasa percaya dirinya. Sahara duduk di depan cermin meja rias dan sudah kembali berceloteh soal kecantikan Sabby yang menyerupainya. Roy berdiri di belakangnya mengulum senyum seraya menyisir rambut Sahara dengan sikat lembut favoritnya.
“Ayo, aku enggak sabar ketemu Sabby. Rasanya memang sangat capek punya bayi. Tapi enggak melihat Sabby sebentar
Pemandangan pertama yang dilihat Roy dan Sahara saat tiba di pemakaman adalah Irma. Mereka sama-sama baru tiba di parkiran. Entah siapa yang memberitahu Irma soal pemakaman Dony hari itu. “Kenapa dia bisa tahu, ya?” tanya Sahara dengan suara pelan. “Kemungkinan besar staf khusus. Kurasa mereka masih berhubungan baik sampai saat ini. Jadi, semua berita dari kantor masih bisa diakses Irma. Berita-berita umum maksudnya. Karena staf khusus sekarang sedang terlibat proyek pembangunan tower di Timur.” Novan mendahului langkah mereka. Herbert dan seorang staf yang ikut Roy ke Brasil sudah berdiri di depan bangunan yang mirip sebuah kapel. “Apa enggak ada keluarganya yang lain? Pemakamannya sepi sekali. Atau Pak Roy sejak dulu menyukai wanita yatim piatu?” sindir Sahara, meremas tangan Roy yang menggenggamnya agar pria itu menjawab. “Mereka bukan yatim-piatu. Keluarganya tinggal jauh dari sini. Lagipula adik-adiknya mungkin tak ingin terlibat ma
Pagi sebelum kegaduhan perihal susu dimulai, Roy berjalan tergesa menuju ruangannya. Melewati meja Letta dan mengangguk pertanda dia meminta sekretarisnya itu masuk. Letta dengan sigap berdiri dan meraup map yang sudah dia persiapkan sebelumnya.“Site Manager sudah hadir?” tanya Roy, membuka satu kancing jas di bagian bawah, lalu duduk di kursi besarnya.“Site Manager sudah hadir, Pak. Engineering dan Administration Manager juga sudah hadir,” lapor Letta.“Siapkan rapat sekarang. Maaf kalau saya sedikit terlambat. Harusnya saya sudah berada di ruangan sekarang,” ujar Roy, mengecek tiap nama di map yang diletakkan Letta.“Tidak apa-apa, Pak. Semua memakluminya. Pak Roy saat ini sedang memiliki bayi,” sahut Letta.Roy mendongak dan tersenyum pada Letta. “Thanks,” ucap Roy.“Apa ada yang perlu ditanyakan, Pak?” Letta berdiri di seberang meja.
Sahara nyaris berlari saat keluar dari pintu pembatas halaman belakang. Menaiki tangga menuju kamar dengan terburu-buru. Andai saja Roy melihat apa yang dilakukannya, suaminya pasti mengomel, pikir Sahara.“Persiapan harus selesai sebelum Roy sampai di rumah,” gumam Sahara. Menghambur ke dalam kamar dan langsung menuju lemarinya. Dia membongkar rak paling bawah untuk mencari seperangkat lilin aromaterapi yang dibelinya saat mendatangi outlet bernama Bath & Sleep bersama Roy.“Di mana … harusnya ada di sini,” gumam Sahara meraba-raba ke bagian bawah. Dia masih ingat meletakkannya di sana. Sebelum melahirkan Sabina Roy mengajaknya berbelanja dan membelikan banyak benda-benda yang dirasanya tidak terlalu penting.Tak berhasil menemukan yang dicarinya di rak bawah, Sahara menegakkan tubuh dan berjinjit.“Ah … ini dia. Ternyata semuanya udah dikeluarkan dari plastik. Selalu rapi,” uc
Roy dan Sahara beradu pandang. Tangan Sahara belum berpindah dari tempat yang ditunjukkan Roy padanya tadi. “Bagaimana?” tanya Roy, menaikkan alisnya seakan menantang Sahara dengan hal itu.Sahara membasahi bibir, lalu berdeham pelan. Dia lalu memutar tubuh sampai posisinya dan Roy saling berhadapan.“Akan menganggapku keterlaluan?” tanya Roy, melingkarkan satu tangannya ke punggung Sahara dan menarik wanita itu mendekat. Satu tangannya yang lain menangkup dada Sahara dan memijatnya lembut. “Kamu juga pasti merindukannya.” Roy berbisik di telinga wanita itu, kemudian melumat bibirnya.Bagai tak pernah berciuman sebelumnya mereka saling memagut dan menyesap. Saling menyicipi rasa hangat dan manis bibir satu sama lain. Saling mendorong dengan lidah untuk membuka mulut dan menyusuri tiap sudutnya. Sahara menangkup rahang Roy dan meraba bagian itu dengan perlahan, tapi dengan usapan yang cukup keras.Meletakkan
“Ada apa, Pak? Masalah di rumah?” Novan membuka pintu untuk Roy dan ikut terburu-buru masuk ke belakang kemudi. Roy mengendurkan dasinya dan menatap Novan dari spion tengah. “Istriku mengatakan Sabby muntah setelah diberi susu olehnya. Aku tidak sempat bertanya muntah seperti apa. Perawat mengatakan pada istriku kalau itu adalah hal biasa. Dan seperti biasa … istriku selalu menganggap perkataanku yang paling bisa dipercaya dibanding tenaga profesional yang kurekrut.” Roy meringis. “Mungkin istri Anda khawatir kalau—” “Benar. Dia khawatir kalau aku akan menyalahkannya jika terjadi sesuatu soal Sabby. Padahal tidak mungkin aku mengatakan … yah, tapi aku memang tetap harus melihat Sabby … dan mamanya yang panik.” Empat puluh menit kemudian Roy berlari menaiki tangga. Gustika yang baru tiba di teras samping hanya sempat melihat punggung Roy menghilang di puncak anak tangga. “Clara … ada apa? Kenapa Roy pulang sepanik itu?” Gustika bertanya d
Sama sekali tak ada niat untuk memperalat Sahara karena hasratnya yang memuncak tiba-tiba di saat matahari masih bersinar terang di luar. Dia akan menepati janjinya untuk pergi ke Dokter Kandungan sore itu.Namun, pikiran Roy tiba-tiba dipenuhi angan erotisme saat Sahara memeluknya tadi. Roy merindukan istrinya. Merindukan romantisme tanpa kecemasan seperti yang sebelum-sebelumnya mereka lakukan. Sejak memiliki bayi, Sahara terlihat selalu cemas. Wanita itu mudah panik karena hal-hal kecil yang terjadi pada putri mereka. Demi kepuasan hati Sahara, dia sudah meminta Dokter Anak datang berkunjung sebelum mereka berangkat nanti.Pengait di celananya sudah terlepas dan resletingnya pun sudah diturunkan. Tapi Roy menginginkan kalau bagian lembut tubuh Sahara terlumasi dengan baik. Dia menginginkan rutinitas mereka selalu luar biasa.Roy mencium Sahara seperti seorang pria yang akan mengajak bergulat lawannya. Merangsek langkah kaki wanita itu sampai merek
Sahara merasakan puncak kemaskulinan Roy yang lembut dan lebar itu mendesak masuk. Sahara memekik. “Sakit?” tanya Roy Sahara tak menjawab, tapi meraih tangan Roy dan meletakkan di dadanya. Wajahnya sedikit meringis. Baru hampir dua bulan tak memperbolehkan benda itu masuk ke tubuhnya dan kini Roy terasa kembali asing. Roy terasa begitu besar di dalam dirinya. Roy hanya sanggup menahan sebentar untuk memperlambat gerakannya. Selebihnya, dia mengangkat satu kaki Sahara dan membenamkan kejantanannya lebih dalam. Menariknya dengan cepat, lalu membenamkannya lagi. Kaki wanita itu kembali bergetar dan desahan kasar kembali meluncur dari bibirnya. Gerakan simultan yang diciptakan Roy tak pelak kembali membawa sensasi kenikmatan bagi Sahara. Tubuhnya mulai bergerak tak teratur. Tangannya mencengkeram lengan kiri Roy yang sedang mempermainkan celah lembutnya dengan kemahiran hari. Menjelajahi lengan Roy yang berotot dan urat-uratnya yang menegang.
Sebuah bukti kalau hasrat tiap manusia menimbulkan gagasan-gagasan untuk dilakukan tanpa perintah.Sahara menenggelamkannya begitu dalam ke mulutnya. Masuk dan keluar, lalu melepaskannya. Menggenggamnya, lalu menyapukan lidahnya ke bagian bawah yang sangat sensitif. Roy mengerang dan mengibaskan tangannya ke bawah berusaha menangkap satu tangan Sahara yang sedang menggaruk pahanya.Wanita itu kembali terkikik menggemaskan. “Aku akan menyambung yang tertunda tadi. Sabar …,” bisik Sahara, menegakkan tubuh dan merangkak ke atas tubuh Roy. Dia mengangkat dress-nya dan meloloskannya melewati kepala, lalu mencampakkannya. Bergerak perlahan menggesekkan bagian bawah tubuh mereka.Raut wajah Roy terlihat berusaha sabar menonton aksi Sahara memanjakannya. Atau bisa disebut dengan kata lain, menyiksanya. Itu sudah terlalu lama. Roy mengulurkan tangannya. “Baby …,” bisik Roy.Gairah yang tak tertahankan membuat suara
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov