Keberadaan Daisy memang membuat kehidupan Akiko semakin berat. Dia sering kali menyulut emosi Glen, sehingga pria itu mulai kasar dan menyiksanya lagi dengan berbagai macam cara. Mulai dari salah paham yang Daisy ciptakan, sebab dia tau titik amarah Glen yaitu jika Akiko dekat dengan pria lain. Baru 5 hari terlewat, rasanya waktu berjalan semakin lama. "Aiko," panggil Glen ketika gadis itu sedang sibuk mengerjakan tugas di layar komputer. Di bawah bibir dan pipinya, terdapat luka lebam karena pukulan Glen kemarin malam. Jujur, melihat hal tersebut tentu membuatnya merasa bersalah.Namun, emosi Glen semakin tidak bisa dikendalikan karena sampai saat ini Akiko tidak menunjukkan rasa tertarik padanya sedikit pun. Padahal, Glen rasa dia mulai jatuh cinta pada Akiko. "Kopi?" tanya Akiko, membuat lamunan Glen buyar. "Tidak, kemarilah," pinta Glen. Tapi gadis berambut pendek itu terlihat ragu dan takut mendekat, sehingga Glen harus menarik tangannya perlahan walau hal tersebut membuat Akik
Di jalanan yang sepi, Akiko tengah duduk di kursi tua sambil memeluk tubuhnya sendiri karena hawa dingin yang menusuk. Saat ini dia sedang menunggu, dia yakin Glen tidak sejahat itu sampai meninggalkannya begitu saja seperti ini. Mungkin, beberapa saat lagi dia akan kembali. Setidaknya dia ingin tau alasan apa yang membuat Glen bisa semarah ini. "Glen … padahal kau tinggal mengatakan apa yang kau inginkan dariku, aku pasti akan menurut. Tapi kenapa kau diam saja dan meninggalkan aku seperti ini?" bingung Akiko. Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah sorotan lampu mobil. Dia pikir, itu adalah Glen yang datang menjemputnya. Tapi ternyata salah, 3 pria keluar dari mobil dan membawa senjata. "Ini dia gadis yang kita cari," ucapnya. "Dia sangat cantik, apa tidak sayang jika kita membiarkannya mati begitu saja?" sahut pria lain. "Ya, kita harus memanfaatkan momen ini dengan baik. Kapan lagi bisa menikmati wanita cantik secara cuma-cuma."Karena sudah tau 3 orang itu berbahaya, Akiko lang
"Apa kau yang melakukan semua itu?" pertanyaan Glen membuat lawan bicaranya meneguk saliva kasar. Tatapan tajam itu sangat menusuk, begitu mengintimidasi seolah tidak memberikan kesempatan untuk melawan. "Kau yang ingin membunuh Aiko, iya,'kan?" tanyanya lagi karena pertanyaanya tidak diindahkan. "Bu—bukan aku, aku tidak akan pernah membunuh putriku sendiri," jawab Mr. Eloise. Pria tua itu kaget saat Glen tiba-tiba datang dan mengatakan kalau Akiko hampir dibunuh oleh seorang, padahal dia sendiri saja kesusahan untuk bertemu Akiko. "Tidak perlu berbohong, aku sudah mengetahui segalanya. Kau selalu menyiksa Aiko, kau menciptakan trauma besar padanya sampai dia takut untuk disentuh," desis Glen sembari duduk di sofa dan menyalakan rokok. "Jujur saja, dulu aku memang sangat membenci Akiko. Tapi semenjak menyadari kesalahanku, aku sangat menyesal sudah memberikan dia padamu sebagai tawanan. Bahkan, jika bisa aku ingin mengambil dia kembali untuk memperbaiki hubungan kami. Aku berani be
Di sebuah taman rumah besar, Glen tengah berdiri sambil menghembuskan asap rokoknya. Di hadapannya sudah ada sang paman alias papanya Daisy, mereka saling menatap tajam seolah sedang bergelut dalam diam. "G-Glen, apa yang kau lakukan di sini?" tanya sang paman kaget karena setelah sekian lama baru bertemu Glen lagi. "Kenapa suaramu gemetaran seperti itu? kau pasti sudah tahu tujuanku datang ke rumahmu," Glen tersenyum menyeringai, membuang sisa rokok dan menginjaknya di tanah. "Di mana Daisy?" tanya Glen langsung pada inti. "Aku tidak tau, dia belum kembali sejak satu minggu yang lalu," jawab pria tua itu. "Paman tau, aku paling tidak suka orang yang pandai berbohong. Asisten pribadiku mati, gadis berhargaku terluka parah sampai tidak bisa bergerak. Kau pikir, bocah seperti Daisy bisa melakukan semua itu sendirian? kau pasti campur tangan membayar 3 orang untuk membunuh gadisku," geram Glen sambil berjalan mendekati pamannya. "Atas dasar apa kau menuduhku, Glen? aku adalah Pamanm
Pagi ini, Akiko duduk di kursi taman karena Glen membawanya untuk menghirup udara segar. Pria itu juga duduk di sampingnya sambil minum kopi, menikmati sejuknya pagi sambil terus melingkarkan tangan di pinggul Akiko posesif. "Kau suka udara di luar sini?" tanya Glen, disahuti dengan anggukan pelan Akiko. "Di apartemenku tidak ada taman, apa perlu aku beli rumah supaya kau lebih betah?" tawar Glen. "Sejak kapan kau peduli tentang hal seperti itu?" jawab Akiko sambil menatap pria di sebelahnya. Glen tersenyum, mengusap wajah gadisnya lembut karena luka di wajah sendu itu mulai sembuh. Entah kenapa, Glen merasa menyesal menerima fakta bahwa pertemuan mereka bukan berasal dari hal baik. Andai sejak awal Glen bersikap baik dan menunjukkan cintanya, pasti Akiko tidak akan menganggapnya seburuk itu. "Bolehkah aku datang ke pemakaman Hans?" tanya Akiko. "Iya, nanti malam kita akan pulang ke apartemen. Tunggu Mommy pulang dari rumah sakit," sahut Glen. Beberapa saat kemudian, suara mobil m
Satu minggu berlalu, hubungan Glen dan Akiko membaik seiring berjalannya waktu. Pria itu juga tidak pernah marah dan melakukan kekerasan lagi, bahkan sering sekali memperlakukan Akiko secara lembut. Tapi hal tersebut justru membuat hati Akiko berkecamuk, dia tidak ingin jatuh hati pada psikopat kejam itu. "Tapi … dia memberikan kehangatan yang tidak pernah aku dapat sebelumnya," benar, Akiko merasa aman dan hangat ketika Glen bersikap baik padanya. Berbeda saat pria itu sedang marah, nyawanya seolah tidak berharga lagi. Saat ini, gadis berambut pendek itu sedang menatap ke cermin yang ada di kamar mandi. Tubuhnya semakin kurus, takdirnya sangat kejam sampai harus merasa sesakit ini. Tubuhnya terus digerogoti oleh penyakit mematikan, mentalnya selalu hancur oleh orang-orang sekitar, tapi kenapa dia tak kunjung meninggal? ingin sekali rasanya menukar nyawanya dengan orang-orang yang ingin hidup. "Aiko," suara panggilan serta ketukan pintu dari Glen membuat lamunan Akiko buyar. "Kau b
Glen masih terlelap dalam tidurnya, tapi dia segera bangun ketika merasakan hal aneh. Dia sadar bahwa Akiko tidak ada di rengkuhannya, terlebih lagi ada noda darah di bantal yang Akiko gunakan. Ini masih jam 4 pagi, tidak mungkin Akiko bangun untuk membuat sarapan. Jadi dia pikir, Akiko mungkin sedang pergi ke toilet. Tapi selang 15 menit menunggu, Akiko tak kunjung datang. Karena khawatir, Glen beranjak bangun untuk mencari gadisnya itu. Pertama di ruang utama, kamar lama, dapur, dan gudang sudah dia cek tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Akiko. Glen menelepon Akiko, sayangnya ponsel Akiko tergeletak di meja kamar begitu saja. Saat Glen benar-benar frustasi, dia melihat ada bayangan seseorang di balkon. "Aiko," panggilnya, melihat Akiko yang duduk bersandar di tembok sambil menatap kosong ke pemandangan kota. "Apa yang kau lakukan? Di sini dingin, ayo masuk." Glen menghampiri Akiko yang tak menghiraukan kedatangannya sama sekali. "Aiko, kau pasti masih mabuk," ucap Glen karena
"Kanker … darah? kenapa kau tidak mengatakan apapun padaku?" tanya Glen pada Akiko yang berdiam diri di tempat. Gadis itu menghela nafas singkat, kemudian mengambil kertas tersebut dari tangan Glen. "Untuk apa aku mengatakannya? lagi pula kau tidak akan peduli," mendengar jawaban Akiko, Glen langsung mendorong tubuh kurus itu hingga membentur tembok. Lalu mencekik lehernya kencang sampai Akiko meronta-ronta kehabisan nafas. Namun, beberapa saat kemudian gadis itu justru terdiam lalu menekan tangan Glen agar lebih kencang mencekik lehernya sendiri. Ketika dia sudah di ambang kematian, Glen langsung melepaskan cekikannya dan memeluk tubuh Akiko erat walau sudah lemas tak sadarkan diri. "Bodoh … katakan padaku segalanya, katakan padaku tentang dirimu, tentang apa yang kau mau. Kau boleh menjadikan aku rumahmu. Kau tidak sendirian lagi," tangis Glen pecah. Tangannya gemetaran sambil terus mengusap wajah pucat Akiko dengan nafas yang sangat lemah. Kemudian, Glenn segera beranjak membawa