“Kendrick?!”Kedua orang yang masih berselimut itu langsung bangun dengan mata membelalak. Jantung mereka berdua langsung berdetak kencang tak karuan. Terutama Kendrick yang kedua kancing kemeja bagian atasnya terbuka dan dasinya tak karuan.“Bibi. Ini tidak seperti yang Bibi pikirkan.”“Kami hanya—“Bibi Freda mengangkat tangan kanannya menyuruh pria itu diam. Kendrick saat ini hanya bisa terdiam. Seluruh tubuh pria itu terasa panas karena ketakutannya sendiri.Kendrick beranjak dari ranjangnya, melangkah menghampiri bibinya itu. Wajahnya hanya menunduk, dia bahkan tak berani menatap mata Bibi Freda.“Kendrick minta maaf, Bi. Kendrick salah,” ucapnya dengan wajah murung. Dia tampak sangat menyesal.Bibi Freda menatap ke arah lain dengan wajah yang sinis. Dia tak pernah percaya anak laki-laki yang dia besarkan seperti anak sendiri sekarang berani melakukan itu.“Untuk apa minta maaf ke Bibi, hm?”“Minta maaf ke pacarmu itu. Kau menodainya tanpa nikah.”Kendrick sedikit membe
Berdiri dengan menenteng kopernya, sorot mata Lily ke sana ke mari menatap seluruh ruangan itu. Itu adalah pertama kalinya dia masuk ke hotel. Saat itu dia sedang menunggu James yang sedang mengurus pemesanan kamar.Bangunan itu sangat megah baginya.“Lily.”Menoleh dengan kaget sehingga tatapannya sedikit membelalak. Dia merasa malu sehingga menurunkan tatapannya. James menghampiri dengan sebuah kunci kamar di tangannya. Dia meletakkannya langsung di tangan Lily. “Ingat. Kamar nomer 106.”Lily hanya mengangguk. Dia memerhatikan kunci dengan berhias gantungan nomor kamar.“Ayo. Akan kutunjukkan kamarnya.” Pria itu melangkahkan kaki. Namun, dengan cepat Lily meraih tangannya sehingga dia berhenti. Menoleh pada gadis itu.“Apakah tuan Kendrick akan menemuiku nanti?”Menatap datar raut polosnya. James melepaskan tangan gadis itu pada lengannya.“Aku tidak tahu, Nona.”Tanpa memedulikannya lagi. James melangkah meninggalkannya. Tak peduli gadis itu akan mengikutinya atau tida
Membuka mata perlahan. Entah berapa lama Lily tertidur di meja itu, tangannya masih memegang telepon hotel. Lily merasa pusing, lagi-lagi dia teringat dengan kejadian itu.Memegang kepalanya yang pusing. Sekarang Lily tak mau mengingat wajah Revan beserta ucapannya yang membuat dia seakan seorang pelaku kejahatan.Berusaha menegakkan tubuhnya dengan berpegangan pada meja serta ranjang. Akhirnya dia bisa berdiri walaupun berjalan sempoyongan.Menuangkan air dari dispenser, meneguknya dengan tergesa-gesa. Wajah gadis itu tampak muram.Perutnya yang keroncongan berbunyi. Dia bergerak membelainya, serasa sedikit sakit.Gadis itu beranjak memakai cardigan dan juga mengambil tasnya. Dia bersiap untuk menuju restoran yang disediakan gratis untuk pengunjung hotel.Saat menyentuh gagang pintu, Lily merasa ada yang kurang. Dia menoleh pada kartu nama James yang berada di samping ranjang.Dengan cepat dia mengambil kartu itu dan langsung memasukkannya dalam tas.Saat ini hotel lebih ra
Di sebuah ruangan rusuh yang tak layak tinggal. Lily masih tak sadar tergeletak, tubuh dan tangannya diikat pada sebuah tiang. Mulutnya di tutup dengan perban.Pria bermasker dengan atasan yang memperlihatkan lengan dan tubuhnya yang kekar duduk di samping gadis itu. Pria itu duduk di kursi dengan matanya yang berbinar-binar menatap wajah Lily. Gadis itu begitu menawan sehungga dia tak bisa mengalihkan pandangannya sejak 10 menit yang lalu.“Bagaimana bisa tawanan secantik dirimu di telantarkan tanpa penjaga?”Sebelah sudut bibirnya terangkat.“Kendrick memang bodoh. Dia tak tahu betapa berharganya gadis itu.”Dia tersenyum lepas dengan sedikit tertawa. Pria itu beranjak, duduk tepat di depan gadis itu. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Pria itu melepaskan maskernya, tersenyum manis menatap kecantikan Lily yang begitu menarik hati. Apalagi gadis itu tampak polos. Menurutnya, gadis polos itu tampak lebih nikmat dan bergairah.Dengan jari telunjuk, dia mengangkat dagu Lily.“B
“Halo? Bisakah kau ke mari sebentar.”Menatap kebunnya dengan perasaan hampa, sekarang tak ada yang bermain lagi di kebunnya itu. Pria tua itu tersenyum, dia masih ingat saat anak-anak bermain di kebunnya, menyirami atau kadang mereka memetik bunganya.Dia rindu dengan anak-anak itu, Lily, Angela dan Luchi. Sekarang mereka semua sudah dewasa, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Sudah sangat lama Bretton tak melihat mereka bertiga.Sekarang dia merasa hampa. Tak ada yang bermain di kebunnya lagi, membaca buku di perpustakaannya lagi dan juga tak ada yang membuat rumahnya berantakan lagi.Beberapa minggu yang lalu, Lily masih sering mengunjunginya. Dia biasanya bercerita tentang hari-harinya yang melelahkan, Lily terkadang juga bercerita tentang masalah yang dia hadapi di pekerjaannya atau di dalam rumahnya. Bretton masih mengingat senyum manis gadis itu.Senyumnya menurun saat mengingat Lily telah menghilang. Entah bagaimana keadaan gadis itu sekarang, Bretton berharap di
“Buka matamu sekarang.” Gadis yang malang itu tetap terdiam. Dia begitu ketakutan hingga detak jantungnya semakin cepat. Semakin lama, tatapan pria itu semakin tajam padanya. Alisnya dan dahinya mengerut, wajahnya pun memerah karena kesal. Dia memegang wajah gadis itu dengan jempol dan jari telunjuknya begitu menekan pipi. “Apa kau tidak dengar? Buka matamu!” Lily sebenarnya sangat ketakutan hingga tangannya bergetar. Perlahan dia membuka mata. Keindahan warna matanya yang sebiru lautan terpancar seakan bersinar seperti permata. Pria itu bahkan tak terpejam saking terpesonanya dengan keindahan mata gadis itu.Dia terus menatap dengan nafasnya yang semakin memberat. Tatapannya begitu berbinar-binar. Saat melihatnya, Lily merasa merinding. Gadis itu memejamkan matanya lagi. “Tetap buka matamu atau kau mau kunikmati bibirmu?” “Bagaimana? Pilihlah salah satunya.” Tanpa pikir panjang, Lily langsung membuka kembali. Mau tak mau, dia terus menatap pada pria gila itu. Kedua sudut bibir
“Suatu hari nanti, aku pasti akan membunuh Kendrick.” Ucapan pria itu membuat darah Lily naik sampai kepala. Wajahnya juga tampak memerah. “Apa maksudmu bilang begitu?” “Memang dia salah apa? Dia itu sebenarnya pria baik. Kendrick melakukan semua itu untuk balas dendam karena kematian ibunya!” Dahi pria itu sedikit mengerut, langkahnya mendekat pada Lily. Berhenti dengan jarak satu meter dari gadis itu. Dia menatap Lily dengan senyum tipisnya. Pria itu mencondongkan tubuhnya hingga seperti rukuk. “Hipnotis apa yang Kendrick lakukan padamu? Hm?” Tangannya mencubit hidung Lily dengan gemas. Dia menegakkan tubuhnya kembali. “Bagaimana pun juga Rosby adalah ibumu. Ibu yang membesarkanmu. Seburuk apa pun dia, dia tetaplah ibumu.” “Berpikirlah secara jernih. Rosby telah membesarkanmu dengan jerih payahnya, tapi setelah seseorang membunuhnya. Kau malah membela pembunuh itu.” “Jadi sekarang, di mana belas kasihan dan rasa terima kasihmu pada wanita yang telah mengasuhmu?” Karena emo
“Sadar, Bro!” teriak Bobby saat melihat temannya menganga menatap gadis berambut jahe yang terikat di tiang itu. Kecantikan gadis itu memang sangat memukau. Mereka pun tersenyum bahkan tertawa karena Bobby. Tadi mereka benar-benar tak bisa fokus karena gadis itu. Mereka pun kembali melakukan pekerjaan mereka, meletakkan ranjang itu di samping Lily sesuai dengan permintaan tuan mafia. Dendy menepukan kedua tangannya agar bersih. “Akhirnya selesai juga.” “Cari buah-buahan ayo, Bos!” “Kenapa? Apa kau sudah kelaparan, hm?” tanya Bobby padanya. “Enggak, Bos. Cuman pengen aja,” ucap Dendy meringis dengan kedua tangannya di pinggang. Di lain itu, Doni melangkah dengan meletakkan kedua tangannya di belakang. Sorot matanya memerhatikan ke seluruh ruangan dengan penuh teliti. Dia tak paham, mengapa tak ada CCTV satu pun di luar ruangan dan di dalam ruangan. Tapi sepertinya dia tetap harus berhati-hati karena dia tidak akan tahu perangkap apa yang sedang menjaga gadis itu. Langkahnya berhe
Lily menoleh pada jam dinding, tak terasa sudah pukul 17.54. Gadis itu menunggu selama berjam-jam hingga senja telah larut. Wajahnya menunduk dengan penuh rasa khawatir. Ibu Alexandria tidak datang-datang, sedangkan Kendrick masih belum pulang. Lily sangat bingung dengan apa yang terjadi.Bahkan dia telah menelepon Kendrick berulang kali, namun tak diangkat. Itu membuatnya semakin khawatir dan gelisah dengan keadaan pria itu. Lily takut dia adalah masalah di jalan atau yang lebih parahnya lagi kecelakaan.“Sebenarnya ini ada apaan, sih? Kok aneh banget?”“Apa jangan-jangan Ibu Alexandria menipuku, ya? Kenapa coba dia dia gak datang, padahal dia sudah berjanji dengan Kendrick.”Lily menghirup nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Itu membuat dirinya menjadi lebih tenang. Dia masih tak bisa percaya ibu Alexandria melakukan hal ini padanya, tanpa memberikan alasan yang jelas mengapa dia tak datang.“Sepertinya aku tidak boleh mempercayai siapa pun.”Gadis itu beranjak dari
“Eh ... sebenarnya memang benar jika Danielle adalah temanku, tapi itu dulu sekarang tidak. Itu karena terjadi sebuah pertengkaran antara aku dengannya, sehingga aku menghapus nomornya begitu saja. Maaf, saat itu aku terbawa emosi.”Lizy bahkan tak memejamkan matanya menatap mata laki-laki itu. Tatapan tajam gadis itu membuat Alvin takut untuk menoleh padanya. Lizy bisa melihat kebohongan pria itu dengan melalui ketidak tenangan rautnya.“Jangan berbohong! Apakah kau tidak lihat kau sedang berhadapan dengan siapa?” “Aku bisa membaca bahasa tubuh maupun pikiranmu dengan sekali lihat. Jangan pernah lupa jika aku kuliah jurusan psikologis.”Alvin mengangkat wajahnya, dia menatap sinis pada gadis itu. Dia akui apa pun yang Lizy katakan memang benar, tebakannya tak pernah luput. Oleh karena itu Lizy selalu dianggap ancaman.“Terserah kau saja, meski kau menganggapku munafik pun aku tak peduli,” bantah Alvin tak terima.Pria itu membuka ponselnya. Dia menekan bagian kontak dan mulai
Di dalam kamar Kendrick yang telah tertutup rapat, suara ponsel terus berdering di atas meja kerjanya. Tak seorang pun yang bisa mendengar karena luasnya kamar tersebut. Ponsel itu tertinggal karena Kendrick terburu-buru pergi demi menghindari pertanyaan Lily.Saat ini pria itu sedang duduk di sebuah kafe out door. Pandangannya begitu kosong, menatap polos pada keramaian orang-orang di jalan itu.Dia menarik nafas dengan berat, lalu menghembuskannya perlahan. Mengangkat secangkir kopi hangatnya, lalu menyeruput perlahan.“Andai saja saat itu aku tak meninggalkan ayah, semua ini mungkin tak akan terjadi.”Kendrick sangat menyesali perbuatannya saat itu. Hal paling menyakitkan dalam hidupnya adalah mengambil keputusan yang sering dianggap sepele. Kendrick tak mengerti mengapa semua hal yang dia anggap kecil selalu menjadi besar, seperti keputusannya untuk menyembunyikan Kakek Bretton dan ayahnya di ruangan yang dia anggap aman.Padahal mereka berdua masing-masing telah dia berikan
Bibir Lily semakin terangkat dengan sudutnya yang menurun. Sangat menyakitkan baginya untuk semua itu. Dia masih tak bisa meninggalkan Kendrick.Tanpa ragu-ragu lagi, Lily memeluk Kendrick dengan erat. Merasakan hangatnya tubuh Lily, membuat Kendrick merasa panas dingin. Kendrick meneguk salivanya sendiri saat merasakan kedua tangan kecil Lily yang melingkar ditubuhnya itu memberikan sensasi geli yang terangsang syahwatnya.Kendrick tak memedulikan apa yang sedang Lily pikirkan, dia sedang berusaha menahan dirinya untuk tak melakukan apa pun.“Tuan, kau tak mau bertemu denganku lagi bukan karena kau ingin pindah alam, kan?”Kendrick tak menyangkal apa yang dia katakan. Bisa-bisanya gadis itu berpikir seperti itu?“M-maksudnya?”Lily melepaskan pelukannya dan melihat pada Kendrick. Mata mereka saling bertemu dengan saling bertanya-tanya.“Tuan tidak paham?”Pria itu merasa malu dengan pertanyaan bodohnya itu. Mengalihkan pandangan ke hal lain sambil memikirkan cara untuk menjaw
“Melepasmu?”“Untuk apa aku takut melepasmu, Lily?”Kendrick tersenyum, lalu tertawa. Saat itu sebenarnya dia menertawakan dirinya sendiri yang berpikir aneh. Lily bukanlah segalanya, dia hanya gadis yang dia tawan di rumahnya dan dirinya malah menaruh perasaan pada gadis itu.Senyum pria itu memudar dengan begitu cepat. Dia menjadi tampak murung.“Selamat, Lily.”Kendrick menjulurkan tangannya pada gadis itu. Tapi Lily hanya memerhatikan tanpa menggerakkan tangannya sedikit pun.“Selamat akhirnya kau bertemu dengan orang tuamu. Hari ini adalah hari berakhir kita bertemu. Setelah ini kita akan benar-benar berpisah.”Kendrick bahkan tak menurunkan tangannya walaupun tahu Lily hanya diam saja.”Lily mulai mengerti dengan maksudnya, dia tak mengerti mengapa Kendrick tak mau menemuinya lagi setelah ini.Dengan senyum lebar dia menerima jabatan tangannya. “Terima kasih, Tuan. Terima kasih atas semuanya.”Kendrick merasa seperti berkeringat panas dingin. Dia merasa senang sekaligu
Kendrick merebahkan tubuh di sofa. Pandangan matanya kosong tertuju pada langit-langit atap. Dadanya terasa seperti panas, terkadang dia menghirup nafas dengan berat dan menghembuskannya seakan menghembuskan kesedihannya.Hari ini Lily dan Liza masih belum datang, padahal sudah jam dua siang. Entah ke mana kedua gadis itu sampai selama ini. Tapi Kendrick tak merasa khawatir karena ada Danielle yang menjaganya.Walau begitu Kendrick tetap tak bisa tenang. Di pikirannya hanya ada wajah Lily. Kendrick masih ingat saat pertama kali bertemu dengan gadis itu, Lily begitu ketakutan melihat dirinya kala itu. Bagi Kendrick gadis itu berbeda dengan gadis lainnya, yang selalu menginginkan uang, barang branded dan hidup yang mewah, sedangkan Lily yang terpenting hanya makan.Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, Kendrick masih merasa dia baru kemarin membawa Lily ke rumah ini. Sekarang Lily telah menemukan keluarganya. Sebentar lagi, Kendrick tak akan mendengarkan suaranya lagi di rumah ini.
“Iya. Aku sebenarnya sedih melihat Lily yang dirundung seperti itu. Sebenarnya Lizy sudah memperingatkan Lily untuk tidak curiga jika keluarga Hartberg itu keluarganya.” “Gadis itu seperti tidak ingin jika Lily itu benar-benar adik kandungnya. Dia bahkan sampai meneriaki Lily agar tidak mendekati keluarganya lagi di depan umum.” Darah Nyonya Alexandria sebenarnya memuncak sampai ubun-ubun sampai wajahnya sedikit memerah. Tangannya mengepal begitu erat. Dia menghela nafas, berusaha mengeluarkan udara panas dalam tubuh. “Maafkan dia, Kendrick. Kau pasti juga marah karena Lizy sangat jahat dengan Lily.” “Sifat Lizy memang begitu. Aku tidak tahu mengapa, aku bahkan tidak bisa mengubah sifatnya meskipun aku sendiri sering memarahi anak itu.” “Tapi mungkin setelah lama serumah dengan Lily, mungkin sifatnya akan berubah. Lily sepertinya gadis yang baik dan perhatian. Mungkin dia bisa mengubah sifat anak pertamaku itu.” Alexandria mengembangkan senyumnya, tapi dia tidak bisa
Pintu mobil terbuka. Pria bertubuh kekar dengan kemeja putih yang memperlihatkan tubuh indahnya keluar. Sorot pandangnya tertuju pada rumah wanita yang kerap di sapa Nyonya Alexandria. Dia bukanlah sembarang wanita, dia adalah memilik perusahaan brand pakaian terbesar di seluruh negeri.Mulai melangkahkan kaki. Hari ini Kendrick berniat mempermalukan Lizy di hadapan keluarganya langsung, gadis yang pernah menolak cintanya dan menghinanya saat masih kuliah. Mungkin berbalas dendam pada gadis seperti itu adalah tindakan pengecut yang tidak maskulin. Namun, demi memulangkan tawanan kesayangannya itu, Kendrick terpaksa melakukannya dan tak memikirkan apa yang akan terjadi padanya nanti.Kendrick tak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Dia sudah terlanjur mencintai Lily. Terlanjur sayang dan tak ingin kehilangan gadis itu.Dia mungkin bisa saja menikahi Lily setelah gadis itu resmi menjadi anggota keluarga Hartberg. Tapi dia tak bisa, itu semua karena dia telah membuat janji dengan s
“Maaf, Lizy. Aku tidak menyuruh ibumu untuk menemuiku. Dia sendiri yang tiba-tiba datang.”Tatapan Lizy semakin menajam sinis. “Aku tidak peduli akan itu.”“Di sini aku hanya mengingatkanmu, jika kau mengulangi kesalahan yang sama lagi, maka kau akan lihat sendiri nanti akibatnya!” Gadis tak beradap itu enyah dari hadapannya. Lily melihatnya dari bawah hingga ke atas, seringai licik menghiasi bibirnya.Liza masih bingung dengan apa yang sedang terjadi. Gadis yang tadi itu adalah salah satu pewaris kekayaan keluarga Hartberg. Permasalahan apa yang Lily hingga dia begitu marah?“Kau punya masalah apa dengan anak konglomerat itu?” tanya Liza begitu penasaran. Senyum Lily mengembang. “Masalah kecil. Lagi pula itu juga kesalah pahaman. Nanti dia akan menyadarinya sendiri, kok.”Hal yang mereka tidak ketahui. Di balik itu semua adalah pria dengan hoodie hitam, kacamata bening dan masker yang telah merekam semua kejadian itu. Dia adalah Danielle Perterson, pesuruh sekaligus mata-m