Tanpa berpikir panjang, Miller melumat benda kemerahan yang ada di hadapannya itu. Perlahan, Camilla duduk di atas pangkuan Miller dan mengalungkan kedua lengannya di pundak pria berdada bidang itu. "Bibirmu manis, Milla," ucap Miller di sela-sela ciumannya. Camilla tersenyum dan menjawab dalam bisikan, "Bir itu rasa peach,"Miller kembali menikmati manisnya bibir Camilla. "Aku suka,"Sedetik kemudian ruangan itu kembali sepi. Hanya terdengar suara cecapan dari dua manusia yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol itu. Ciuman yang diberikan Miller semakin dalam dan panas manakala pria itu melibatkan indera perasanya untuk ikut berperang di dalam mulut Camilla. Satu desahan tertahan keluar dari bibir Camilla saat bibir Miller berlarian di sepanjang ceruk lehernya. Wanita itu mengakui Miller lebih piawai membuat dirinya berada di puncak kenikmatan. "Milla, apakah boleh?" Miller melepaskan ciumannya dan meminta izin kepada wanita yang terlihat cantik malam itu. "Ma-maksudku ...,"
Hari itu menjadi hari yang terindah untuk Camilla dan Miller. Setelah pengungkapan cintanya yang tiba-tiba, beban berat di hati Camilla seakan terangkat setengahnya. Ya, hari itu menjadi hari aneh yang bersejarah bagi mereka berdua. Bahagia dirasakan oleh Camila walaupun badai tengah menghantam rumah tangganya. Namun, di sisi lain, wanita itu juga merasa bersalah baik kepada suami maupun kepada adik iparnya sendiri. Hubungan yang mendadak itu cukup membingungkan sekaligus membuatnya berdebar-debar. "Miller, apa sebaiknya kita tidak melanjutkan hubungan ini?" tanya Camilla setelah pengungkapan cintanya beberapa jam yang lalu. Miller yang saat itu tengah mengemudi pun tertawa kecil. "Kamu tidak nyaman?"Camilla mengangguk. "Ya dan rasanya aneh. Tapi, aku mau berada di dekatmu,""Hmmm, ya sudah, kita sembunyikan hubungan kita dan kita jadikan ini sebuah rahasia." Miller mencoba memberikan jawaban yang terbaik untuk kakak iparnya tersebut. Sama seperti Camilla, ada sekelumit rasa ti
Beberapa hari sudah terlewati dengan damai di kediaman Camilla Shawn. Hubungan wanita itu dengan Miller Sillas semakin dekat. Namun, sayangnya Max belum juga bisa menerima kedekatan di antara mereka berdua. Terkadang, dia mencibir atau bahkan memberikan tatapan dingin pada Camilla yang akan berlalu begitu saja. Melihat sang suami selalu melirik istrinya, Allora pun tak mau kalah. Berbekal tubuhnya yang seolah belum pernah melahirkan, wanita itu selalu mengenakan pakaian seksi setiap harinya, dan mempertontonkan keintiman hubungannya dengan Max. "Biarlah, aku sudah lelah. Masa-masa sedihku sudah lewat dan aku tidak peduli apa yang mereka lakukan," ucap Camilla suatu hari, kedua ekor matanya berlari mencari sosok Miller. "Lagi pula, aku sudah menemukan kebahagiaanku sendiri."Miller tersenyum dari sudut bibirnya. Max menangkap pemandangan itu dan dia pun bangkit dari kursinya seraya menunjuk, mereka berdua. "Kalian! Apa maksud senyum kalian itu! Ada apa dengan kalian berdua! Milla, in
Suasana di kediaman Camilla Shawn tampak tegang. Dua orang wanita saling berdiri berhadapan dengan gesture tubuh siap menyerang. “Oh, ya? Katakan sekali lagi padaku, Allora, hidup siapa yang ingin kamu buat seperti di neraka? Hidupku? Siapa yang memulai semua ini? Jika kamu tidak menggoda suamiku yang bodoh ini, kita tidak akan mengalami semuanya!” Camilla membalas Allora tanpa ampun. Kedua wanita itu tidak peduli dengan dua pria yang sedang menatap mereka dan tampak bingung tak tahu harus berbuat apa. Allora tidak mau kalah, gadis itu kembali menyerang Camilla dengan kata-katanya yang tak kalah tajam. “Aku tidak menggodanya! Kamu yang membuat suamimu kecewa, Milla! Kamu tidak bisa mendapatkan anak laki-laki dan sekarang, kamu menyalahkanku karena aku sanggup memberikan apa yang diimpikan oleh suamimu! Di mana salahku?”“Apa salahku jika aku berusaha merebut kembali suamiku dan mempertahankan rumah tanggaku? Apa pun akan kulakukan saat itu, Allora! Kurasa suamimu juga akan melakukan
"M-Max! Ap-, ...!"Seseorang yang ternyata Max itu kembali meninju wajah Miller sebelum pria itu sempat berdiri. "Eerrghhh! Shit! Max! Kamu gila!" Miller berpegangan pada sisi tembok dan merayap berdiri. Seperti seorang jagoan, Max menggerak-gerakkan jarinya meminta kembarannya itu untuk membalas serangannya. "Berdirilah! Balas aku! Balas aku, Miller!"Dengan tergopoh-gopoh, Miller melepaskan pegangannya pada dinding. Namun, belum juga dia berdiri dengan stabil, Max sudah memukulnya kembali. "Kamu ... Adalah ... Pria ... Paling ... Kubenci ... Di ... Seluruh ... Dunia ini! Kenapa kamu harus diselamatkan oleh istriku, Brengsek! Aargghh!" Max melayangkan pukulannya bertubi-tubi pada wajah Miller. Lebam-lebam yang baru saja memudar, kini, tercipta kembali berkat tangan saudara kembarnya. "Uhuk! Uhuk! Apa salahku, Max? Huh? Apa salahku!"Lelah memukul Max jatuh terhuyung di depan tubuh adiknya yang masih tergeletak. Dia tertawa. "Aku benci padamu! Aku berharap kamu mati, Miller! Lihat
Hubungan persaudaraan antara Miller dan Max tampaknya sudah tidak dapat terselamatkan lagi. Berkat pengakuan Miller yang mengatakan kalau dia dan Camilla sudah menjalani hubungan resmi, kebencian Max terhadapnya semakin memuncak. Setiap kali mereka berpas-pas-an, yang mereka lakukan hanyalah berdecih dan saling menyenggol pundak. Hal ini membuat Allora dan Camilla bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Terutama Allora. "Ada apa denganmu dan Miller? Kenapa tiba-tiba kalian bermusuhan? Apa ada hubungannya dengan Camilla?""Tidak usah ikut campur! Ini urusan keluargaku!" Max menjawab istri barunya itu sambil lalu. Kening Allora mengeriut, lalu, dia mengejar Max dan berjalan di sisinya. "Lho? Aku juga keluargamu, Max! Begitu pula dengan Alex!"Max mengembuskan napasnya panjang. "Ya, Sayang. Kamu dan Alex memang keluargaku, tapi, tingkatan kalian berdua berbeda."Setelah itu, Max mengecup kening Allora untuk menenangkan gadis itu. Namun, Allora mencebik dan mulai mengambil k
Demi menyenangkan sang gadis pujaan, Max pun menyetujui untuk menikah kontrak. Maka, dengan senang hati, Allora memamerkan berita itu kepada siapapun yang bersedia mendengarkannya. "Aduh, bulan ini aku akan menikah! Miller, hei, kamu tau, bulan ini aku akan menjadi istri Max. Senang sekali, bukan?"Miller mengangguk tak peduli. Ya, pria itu sudah tidak memikirkan apa pun tentang Allora. Isi kepalanya dipenuhi oleh Camilla saat ini. Maka, saat Miller mendengar kabar pernikahan Allora dan Max, pria itu mengeluarkan sebuah dokumen yang kemudian akan ditanda tangani oleh Allora. "Surat cerai. Mari kita akhiri hubungan ini,"Allora tersenyum dan dengan gayanya yang centil, dia mengambil alat tulis, dan membubuhkan tanda tangannya di secarik kertas itu. "Dengan senang hati, Sayang,""Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu, Allora. Sampai beberapa minggu yang lalu, aku masih mencintaimu, tapi kemudian aku sadar, kamu tak pantas untuk aku cintai," ucap Miller dengan nada suram. Namun, Allora
Max tercengang mendengar kabar kehamilan Camilla. Hatinya yang sejak kemarin berbunga-bunga karena akan menikah, kini, berubah menjadi suram. Seakan-akan bunga itu gugur dan layu. "K-kamu hamil? Sejauh apa hubungan kalian sampai kamu bisa hamil, Milla?""Sejauh hubunganmu dengan Allora. Kamu sendiri mau menikah, kan, Max?" tuntut Camilla yang tiba-tiba saja merasa kesal. Max masih tak percaya. Pria itu mengulik telinganya bergantian kanan dan kiri, berharap ada kotoran telinga yang keluar dari sana, dan dia hanya salah dengar. "K-kamu y-yakin? Maksudku, kamu yakin kamu hamil, Milla?" Max kembali menanyakan kehamilan itu pada wanita yang sebentar lagi menjadi mantan istrinya itu. Camilla mengembuskan napasnya lelah dan kemudian memberikan alat uji kehamilan itu pada Max. "Untuk apa aku berbohong padamu, Max?"Max mengambil alat uji kehamilan itu dan kedua netranya terpaku pada dua garis biru yang ada di alat itu. "Tapi, kenapa, Milla?" Max masih belum yakin pada apa yang terjadi s
"Fix, kamu masih mencintai mantan suamimu, Milla!" Aaron mengetuk bolpoin bermerk ternama miliknya di atas meja. Wajahnya berkerut-kerut dan sedikit menegang. "Apa yang membuatmu masih mencintainya, Milla? Aku tak habis pikir denganmu, ckckck."Aaron menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya di hari itu. "ckckck! Apalagi saat kamu menyerang gadis bernama Allora itu, mantanmu membela dia alih-alih kamu."Wanita cantik yang sedang membaringkan kepala di atas lengannya itu berdecih pelan. Sesekali dia mengelap air mata yang hendak turun dari sudut matanya. Tadi malam, setelah Camilla menyerang Allora, Miller justru membela Allora habis-habisan. "Turun dari tubuh suamiku sekarang juga, Jalang!" Camilla menarik rambut Allora saat itu. Gadis itu pun memekik kesakitan dan terguling dari atas kasur. "Sialan kamu, Wanita Tua! Dia bukan suamimu lagi! Lepaskan rambutku!"Tangan Allora menggapai-gapai liar sampai akhirnya dia sanggup membalas Camilla dengan menarik rambut wanita itu juga.
"Aku rasa dia gila!" ucap Camilla berbicara dengan ponselnya. Setelah momen perkenalan dengan Emilly, mantan istri dokter pribadinya, Camilla mendapatkan kabar kalau ayahnya telah mendengar desas-desus yang sedang hangat diperbincangkan beberapa hari terakhir ini. Yang membuat wanita itu kesal adalah mengapa ayahnya tidak bertanya langsung padanya? Mengapa harus bertanya kepada Miller?"Aarrgghh! Kepalaku pecah rasanya!" tukas Camilla sembari menarik rambutnya sendiri. Wanita itu merubuhkan kepalanya di atas meja dan terisak-isak. Lalu, terlintas kenangan tentang Emilly dan dirinya malam itu. Setelah berkenalan dengan Emilly yang ramah, Camilla memutuskan untuk menjadikan wanita itu sebagai mentor sekaligus sahabatnya. "Aku mau, Milla! Aku justru merasa terhormat karena kamu memilihku untuk menjadi sahabatmu." Emilly memeluk sahabat barunya itu sebagai tanda kasih untuknya. Begitulah pada akhirnya, persahabatan yang cukup aneh itu pun terjalin. Namun, tak ada yang lebih aneh se
"Apa maksud ucapanmu itu, Miller? Kamu dan Milla sudah berpisah?" tanya Max menghentikan pukulannya. Miller menyeka sepercik darah yang ada di sudut bibirnya, lalu, dia mengangguk singkat. "Ya!""Melihat perlakuanmu pada Allora, aku dapat mengambil keputusan kalau kamu sudah tidak mencintainya lagi. Apalagi tadi aku sempat mendengar kata selingkuh. Kamu mengkhianatinya?" tanya Miller angkuh. Tiba-tiba saja, Miller bertepuk tangan. "Huh! Hebat sekali kakakku ini! Pria Buaya! Menikah sudah dua kali, masih kurang puas. Apa yang kamu cari, Max?""Bagaimana denganmu? Lagi pula, kamu belum mengenal siapa Gadis Ular yang kamu nikahi selama ini!" Max memandang sengit wajah Allora yang terlihat ketakutan. Jari telunjuknya terulur ke arah gadis itu. "Kamu tau siapa yang menyebabkan hidupku hancur? Kamu tau siapa yang menyebabkan Camilla kehilangan bayinya dua kali? Kamu tau siapa yang menyebabkan Camilla kecelakaan?""Dia! Dia, Miller! Iblis Jalang itu yang melakukannya!" tukas Max menyambun
Camilla tertegun menatap anak laki-laki yang memakai kemeja bersuspender itu. "P-papa? Apa om ini papamu, Nak?" tanya Camilla. Dia merendahkan tubuhnya hingga setinggi anak laki-laki tersebut. Pria kecil itu mengangguk. "Ya, ini papaku. Tante siapa?"Sebelum Camilla menjawab, seorang wanita cantik bertubuh langsing dengan rambut cokelat berdiri di belakang anak itu. "Archie! Mama sudah bilang, jangan suka pergi sendiri! Nanti kalau hilang bagaimana!" Wanita itu terlihat cemas dan segera mengangkat Aaron junior ke dalam dekapannya. Kedua matanya bertemu dengan manik Camilla. Dia tersenyum. "Hahaha! Maaf, anakku ini memang suka keluyuran dan mengganggu orang lain. Maaf, ya, Nyonya."Camilla membalas senyuman wanita itu. "Oh, tidak apa-apa, kami sama sekali tidak merasa terganggu, kok."Anak laki-laki itu kembali menunjuk Aaron dengan jari mungilnya. "Mama, itu papa!"Mata wanita itu berlari ke arah pria yang terlihat gugup. "Aaron? Sedang apa kamu di sini? Apakah ini ... Oh, jangan
"Aku ingin kembali!" ucap seorang pria saat menemui seorang wanita yang sedang berjemur di tepi kolam renang sebuah hotel bintang lima. Wanita itu melepaskan kacamata hitamnya dan menatap pria yang berdiri sambil berkacak pinggang. "Why?"Pria itu menghela napas dan menjawab dengan nada gusar, "Oh, come on, Milla! Kita tidak mungkin satu bulan berada di sini hanya untuk sibuk masing-masing, kan?""Lalu? Toh, kita tetap bisa di sini, Miller! Apa alasanmu ingin kembali?" Wanita bernama Camilla itu mendesak supaya sang pria untuk tetap tinggal. Suara riak kolam renang serta cicit burung seakan menenggelamkan mereka berdua ke dalam pikiran masing-masing. Miller memandang kosong pada kolam renang. Tak lama, dia mengembuskan napasnya. "Kenapa kamu menahan kepergianku?""Aku tau ke mana kamu akan pulang dan aku tidak mau kamu pulang padanya." Camilla menjawab pertanyaan itu dengan datar. Dugaan Camilla memang benar. Miller akan kembali pada gadis yang pernah dinikahinya. "Karena kamu mas
Di saat hati Camilla carut marut, hati Allora justru sedang merindu. Gadis itu membutuhkan sosok pria yang dapat dia jadikan sebagai tempat bertumpu. Tidak seperti Dominic, yang hanya menjadikannya sebagai pemuas nafsu belaka. "Kapan kamu kembali, Max? Aku ingin bicara padamu. Aku sudah menunggumu di rumah kita." Allora menulis pesan singkat pada suaminya yang tak kunjung membalas. Setelah setengah hari berada di ruangan petugas keamanan, Allora menyerah. Dia kembali ke rumah dan memutuskan untuk menunggu Max di sana. Hatinya melonjak senang, saat dia mendengarkan suara mesin halus dari sebuah kendaraan. "Itu Max! Max! Max!"Gadis itu berlarian menyambut kedatangan suaminya. "Max, akhirnya kamu pulang juga!""Apa kamu tau aku sedang ada rapat penting? Apa kamu tau kalau semua pesan, telepon, dan kedatanganmu sungguh mengganggu dan membuatku tidak nyaman?" tanya Max bertubi-tubi. Allora memberengut. "Hei, ada apa denganmu, Max? Kamu bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk bicar
Desir semilir angin hangat menerpa lembut wajah seorang wanita yang tengah berjemur pagi hari itu. "Tenang sekali di sini. Rasanya aku tidak ingin pulang." Wanita itu terdengar berbicara dengan seorang pria. Pria itu tertawa. ("Hahaha! Apa kamu tidak ingin membagi pengalamanmu selama di sana?")"Aku sudah mengirimkan beberapa foto serta laporan kalau aku terus meminum obatku dengan baik," balas wanita itu dengan suaranya yang riang. Tak lama, datang seorang pria yang lain membawakan sehelai handuk serta segelas jus jeruk untuknya. "Asik sekali. Dengan siapa kamu berbicara, Milla?" tanya pria itu. Wanita itu menjawab tanpa suara. Bibirnya membentuk sebuah kata yang sulit dipahami oleh pria yang sedang bersamanya itu. "Hei, nanti akan kukabari lagi. See you when we meet again, Aaron." Wanita itu meletakkan ponselnya dan menyeruput jus jeruk yang dibawakan oleh pria yang kini duduk di sampingnya itu. "Cih! Itu doktermu atau kekasihmu?" Pria itu mencebik sembari menyugar rambutnya
"Max, kita perlu bicara! Aku akan ke kantormu hari ini. Ayo, kita bertemu!" Allora menulis pesan kepada Max pagi hari itu. Setelah mendengar penjelasan dari Dominic Cortez tentang sekretaris pribadinya suaminya yang baru, Gladys Knight, Allora pun memutuskan untuk pergi menemui Max. Mungkinkah Max tidak tahu tentang Gladys Knight? Tidak mungkin Max tidak mencari tahu! Benak Allora menjadi lebih berisik dari sebelumnya. Tanpa menunggu balasan dari Max, gadis itu segera pergi ke perusahaan suaminya itu. Sebelum pergi, Dominic sempat mengatakan sesuatu yang menambah beban pikiran Allora. "Kamu cemburu? Hehehe, kupikir kamu tidak punya hati, Sayang, tapi, ternyata aku salah." Dominic terkekeh. Saat itu, Allora hanya terdiam tanpa benar-benar mendengarkan kelakar dari pria bertubuh kekar itu. Diamnya Allora menjadi pertanda kalau ucapan Dominic mengandung kebenaran."Aku tidak tau apakah aku mencintai dia atau tidak! Tapi, aku tidak suka dengan kedekatan mereka!" Allora bermonolog d
Selama beberapa hari, Allora terus mencari tahu tentang siapa itu Gladys Knight. Menurut Allora, Gladys adalah sosok yang misterius dan sulit sekali mendapatkan informasi tentang dirinya."Huft! Ke mana lagi aku harus mencari tentang Gladys Knight yang sombong itu!" keluh Allora suatu hari. Biasanya, jika dia sedang banyak pikiran, dia akan pergi menemui Dominic. Walaupun hanya bercinta, tetapi, pria itu sanggup membuat aktivitas itu menjadi menyenangkan. Namun, hari itu dia tidak ingin bersama dengan tuan Cortez. "Aarrgghh! Kepalaku pusing!""Kalau dia hanya ingin membantu Max, mengapa dia mau berhubungan dengan Max? Pasti ada sesuatu yang dia inginkan, kan?" Allora memiringkan kepalanya. Tak lama, gadis itu kembali mengerang sambil memijat pelipisnya. "Arrghh! Sialan!"Lama dia duduk terdiam dengan hanya ditemani oleh sebatang rokok yang menyala. "Aku butuh teman!"Sudah lama, dia tidak mendengar kabar dari Miller. Yang dia tahu, Miller dan Camilla sedang berlibur satu bulan lama