Setelah tiga hari dan dokter mengatakan Anne boleh pulang keesokan harinya, pagi itu Luciano mengemas semua barang-barang Anne dan kebutuhan si kecil. Sementara baby Zhafran berada berada dalam gendongan Anne. senyum yang tak berhenti melekat di wajah Anne membuatnya ikut tersenyum. Ia sudah memasukkan barang terakhir dan menarik resleting tas bepergian lalu menghampiri Anne.“Kau sudah siap?”Anne mengangkat wajahnya dan mengangguk. Luciano menarik kursi roda mendekat ke ranjang pasien dan mendudukkan Anne di sana.“Aku tidak membutuhkan benda ini, Luciano.”“Kalau begitu aku yang akan mengendongmu dan perawat yang akan menggendong baby Zha?”“Itu lebih memalukan.”Salah satu alis Luciano tertarik ke atas. “Kau tak suka kugendong?”Wajah Anne memerah. Ya, setiap kali Luciano menggendongnya, pria itu akan membawanya ke tempat tidur. Ia menyukainya. Hanya saya, berbeda cerita jika di hadapan umum.“Bawa kemari baby Zha.” Anne mengulurkan tangan ke arah ranjang demi mengalihkan pembicar
Begitu memasuki kamarnya, Faraz tersentak kaget menemukan Ibra yang melangkah keluar dari dalam kamar mandinya. Dengan keheranan yang melapisi wajahnya, ia berhenti di tengah ruangan dan keduanya saling menatap. Merasa terusik karena hanya dirinya yang canggung sementara Ibra tampak begitu tenang. "Kau di sini?" Faraz mengalihkan pandangannya dari dada Ibra yang dihiasi percikan air. Berdeham membasahi tenggorokan.Ibra mengangguk merapatkan lilitan handuknya di pinggang sambil mengusap-usap rambutnya yang masih meneteskan air kemudian berjalan ke ruang ganti. Faraz mengekor di belakang, bersidekap sambil menyandarkan bahu di pinggiran pintu. Mengamati Ibra yang membuka lemari pakaiannya, tampak memilah-milah pakaian yang digantung mengambil salah satu yang tepat berada di hadapannya dan mengenakannya."Kau tidak marah?""Apakah aku punya alasan untuk marah?" Ibra menatap ke arah gorden di ruang ganti yang terbuka lebar, menampilkan pemandangan langit yang cerah. Ya apartemen Faraz b
Author punya cerita baru yang akan update tiap hari, nih. Jangan lupa mampir juga, ya. Ceritanya ga kalah seru kok. “Ternyata kau di sini.” Suara penuh kelegaan muncul di belakang Megan. Memutar pundak wanita itu yang sejak tadi mengabaikan keramaian pesta di balik punggung dengan menyendiri di balkon. “Bisakah kau membawakanku satu gelas lagi?” Megan menyodorkan gelas kosongnya pada Jelita. Manager yang merapal sebagai asisten pribadinya. Jelita mengambil gelas itu dan meletakkannya di samping pot tanaman. “Aku akan memberimu satu botol. Tapi setelah kau ikut denganku." “Ke mana?” Senyum Jelita terlihat begitu mencurigakan. “Aku tahu apa yang kaupikirkan. Tapi kali ini tidak, Je. Aku sedang tak berminat menemui siapa pun. Aku ingin waktu untuk diriku sendiri.” Jelita mengembuskan napasnya yang panjang dengan bosan. “Kau selalu membutuhkannya kapan pun kau ingin.” “Dan aku menginginkannya se …” “Ayo.” Jelita menarik lengan Megan sebelum wanita itu menyelesaikan kalimat
"Jadi, sekarang kau sudah tahu apa yang akan kau lakukan, kan?" Anne tak sabar jika harus menunggu makan malam mereka selesai untuk membicarakan permasalahan ini.Dengan mulut yang masih dipenuhi nasi, wajah Ibra terangkat. Menatap Anne yang duduk di seberang meja. Meletakkan sendok dan garpu dengan setengah membanting. Sorot kedua matanya menusuk tajam, jika wanita itu tidak segera mendapatkan jawaban, maka bisa dipastikan sendok dan garbu maupun piring yang ada di hadapan Anne melayang ke arahnya."Ya, aku sudah tahu," jawab Ibra sembari mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya. Membuat jawabannya tidak terdengar begitu jelas."Apa?"Ibra menelan semua makanannya, meneguk air putih di gelas dan kembali menatap wajah Anne. "M-menurutmu apa yang harus kulakukan?"Anne mendelik galak. "Menikah."Ibra menelan ludahnya. "Tidak semudah itu menikah, Anne. Apalagi dengan pria yang tidak kucintai.""Pria?""Wanita maksudku," koreksi Ibra buru-buru. "Kau tahu bagaimana rasanya menikah dengan pri
Anne merasa tak nyaman dengan tatapan Luciano yang terus melekat padanya dari balik cermin. Pria itu berdiri bersandar di tiang ranjang dengan kedua tangan bersilang dada, menghadap ke arahnya yang duduk di kursi rias. Baru saja selesai membersihkan wajah dan hendak menyisir rambut. Menatap lurus ke arahnya.“Ada apa?” Anne kembali meletakkan sisirnya di meja, memutar tubuh menghadap sang suami. “Apakah ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?”Luciano tak langsung menjawab, matanya menyipit berusaha mendalami ekspresi di wajah sang istri. “Jika kau hanya boleh memilih satu orang, apakah kau akan memilihku?”“Aku tak mengerti apa maksud pertanyaanmu, Luciano.”Luciano menegakkan punggung, melangkah mendekati Anne tanpa melepaskan tatapan pria itu dari kedua mata sang istri. Seolah tak puas hanya menemukan kepolosan di sana. Ingin sekali ia membuka setiap lapisan perasaan di hati Anne kepadanya dan memastikan semuanya hanya miliknya. “Perhatianmu terlalu berlebihan padanya, Anne.
“Kau bertengkar dengan Luciano?” tanya Ibra begitu duduk di samping Anne yang melamun menatap halaman belakang luas yang tak menarik. Menyodokkan lengannya pada siku wanita itu.Anne mendesah pelan, sudah tiga hari ia dan Luciano tak saling menyapa. Pria itu mengabaikan dirinya. Meski terkadang keduanya sama-sama berada di ruang tidur baby Zha, tetap saja pria itu tak bicara padanya.“Bagaimana dengan kencan butamu?”Pertanyaan tersebut segera mengubah senyum Ibra melengkung ke bawah. “Ehmm, kau butuh saran untuk memperbaiki hubunganmu dan Luciano?” tanyanya secepat mungkin mengalihkan pembicaraan.Anne memutar tubuh, sepenuhnya menghadap Ibra yang segera menghindari tatapan penuh interogasinya. “Kau melarikan diri di tengah kencan? Melakukan sesuatu yang konyol? Atau bahkan tidak datang?”Mata Ibra segera mengerjap gugup. Ketiga tebakan Anne benar adanya. Ya, hari pertama ia sengaja pergi di tengah acara makan tersebut, menumpahkan jus ke bajunya yang membuat teman kencannya angkat k
Terima kasih untuk para pembaca yang masih mengikuti kisah Luciano dan Anne. Yang telah memberikan dukungan dan semangat hingga cerita ini memenangkan kontes 'Dari Terpaksa Jadi Ada Rasa' yang diadakan oleh GoodNovel dan mendapatkan ranking ke 2 Sebagai bentuk apresiasi GoodNovel pada pembaca setia cerita ini, pihak GoodNovel menghadiahkan koin pada pembaca. Dan author memutuskan memberikan hadiah tersebut pada kak adelputri_0517. Yang telah menunjukkan apresiasi terbesarnya dalam cerita 'Gadis Kecil Kesayangan sang Presdir' Untuk kak adelputri_0517, harap hubungin kontak wa 082352183117 dan kirim screenshoot username dan userid untuk klaim hadiah. Terima kasih banyak untuk semuanya. Sehat dan sukses selalu untuk kalian. Salam L...
Perintah Luciano terlambat dititahkan begitu mobil yang ditumpangi Anne sudah keluar dari gerbang. Luciano bergegas berpakaian dan berlari turun ke lantai satu. Langsung menuju carport dan melaju dengan kecepatan tinggi. Salah satu penjaga gerbang mengarahkannya untuk berbelok ke kanan. Menekan pedal gas dalam-dalam.Kejengkelannya pada Anne bercampur dengan kekesalan pada dirinya sendiri yang terlambat menyadari maksud kalimat wanita itu sebelum keluar kamar mandi.Tak sampai lima menit, dari kejauhan ia berhasil menemukan mobil Anne yang ditumpangi Anne. Akan tetapi ada yang janggal ketika mobilnya bergerak semakin dekat. Mobil Anne berhenti di tepi jalan. Jantungnya serasa melompat keluar dari dalam dadanya. Ban mobilnya berdecit keras ketika ia menekan rem dalam-dalam tepat di depan mobil Anne. Sengaja menghalangi jika Anne mencoba kabur lagi meski ia lebih dicemaskan mobil Anne yang berhenti seperti ini.Ada kelegaan melihat bagian belakang dan depan mobil yang terlihat baik-baik
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela