“Kau bilang menemukan sesuatu?” cecar Luciano begitu duduk di kursinya. Faraz dan kepala pengawal juga beberapa anak buahnya sudah berdiri menunggu di depan meja. “Apa kau menemukan sinyal posisinya?” Faraz mengangguk. Meletakkan mac di hadapan Luciano dan menunjuk titik merah yang sudah ditandai di peta. “Sudah melewati luar kota. Aku sudah menyuruh beberapa orang untuk mengecek lokasinya secara langsung. Kita akan mendapatkan kabar dalam sepuluh menit.” Mata Luciano menyipit ketika mengamati lokasi tersebut dengan seksama. “Bukankah ini …” Faraz mengangguk. “Arah salah satu vilamu di pegunungan. Tapi hanya beberapa saat, sinyalnya kembali menghilang. Berada di luar radius kembali.” “Itu vila keluarga. Lionel tak mungkin ke sana.” Luciano yakin itu. Jika semudah itu ditemukan, Lionel tak mungkin bermain-main dengannya serumit ini. “Aku akan ke sana untuk memeriksa sesuatu, pasti ada alasan kenapa sinyalnya tertangkap di sana.” Luciano meletakkan mac di tangannya kembali ke meja.
Anne tak tahu berapa lama keduanya berada dalam perjalanan. Saat terbangun dari pingsannya, ia sudah berada di dalam mobil. Duduk di jok depan dengan sabuk pengaman dan kursi yang dimiringkan demi posisi baringnya yang nyaman. Tangannya menyentuh pelipis dan mengerang pelan oleh rasa pusing yang datang, juga lapar. Tubuhnya benar-benar lemah dan menerima makanan dari Eshan jelas memiliki resiko yang lebih membahayakan. Di sampingnya, Eshan duduk di balik kemudi dan sibuk fokus ke arah jalanan. “Kau sudah bangun?” Anne tak menjawab, pandangannya sibuk mengamati daerah sekitar. Tetapi ia hanya bisa melihat pohon-pohon dan jalanan berumput di depan juga belakang. “Di mana ini, Eshan?” tanyanya meski yakin jawaban pria itu hanya akan membuat firasat buruk di dadanya semakin tak terkendali. Anne belum pernah melihat pohon selebat ini dan sebanyak ini. Sejauh mata memandang, hanya kedua hal itu yang bisa ia lihat. “Aku membeli beberapa makanan untukmu di minimarket satu jam yang lalu. Mi
“Kau ingin ke mana?” Anne menggeleng. “Entahlah. Ke luar negeri? Ke ujung dunia? Ke tempat yang tak akan ditemukan siapa pun. Tempat di mana tak ada siapa pun yang akan mengenali kita berdua.” “Ke tempat di mana tidak ada yang akan menghalangi cinta kita,” tambah Eshan dengan seulas senyum. Jemari tangannya yang terselip di jari-jari Anne semakin mengetat. Ia menoleh dan Anne mengangguk setuju dengan kalimat tambahannya. “Kehidupan macam apa yang kau inginkan?” Anne tampak berpikir sejenak. Senyum tersemat di bibirnya ketika benaknya mulai membayangkan mimpi dan harapan untuk cinta mereka. “Rumah yang sederhana, taman bunga dan halaman belakang yang luas. Tak ada yang kubutuhkan selain bersamamu.” Eshan tersenyum, tampak membayangkan sesaat lalu mengangguk lagi. “Kau akan menjadi ibu rumah tangga yang baik dan aku akan bekerja. Setiap sore aku akan pulang dan melihat senyummu sebagai penghilang kepenatan. Kita akan selalu bersama.” Wajah Anne memucat ketika mengingat percakapanny
Wajah Luciano mengeras dengan kedua tangan yang terkepal hingga buku-buku jarinya memucat menemukan pemandangan di hadapannya. Tempat tidur yang berantakan, juga nampan berisi menu sarapan yang tak tersentuh. Bahkan dilengkapi segelas susu. “Cari apapun yang bisa ditemukan,” perintah Luciano, berusaha keras mempertahankan kewarasan dan kejernihan pikirannya. Dua pengawal yang berdiri di belakangnya bergegas menggeledah, begitu pun denganI Ibra yang mendekati tempat tidur. Matanya yang jeli mulai mengamati tempat tidur. Spreinya tampak berantakan tetapi selimutnya masih rapi terlipat di ujung tempat tidur meski ujungnya kusut. Ada satu bantal yang jatuh di samping kaki ranjang, kemudian … Ibra membungkuk, mengambil sapu tangan berwarna putih dan mengambilnya dengan hati-hati. “Obat bius,” ucapnya setelah mengendusnya pelan lalu menjauhkan benda itu dari hidung. Meski tak terlalu tahu, ia mengenali satu hal ini. Luciano mendekat dan mengamati sejenak. Membenarakan dugaan Ibra. Dan s
“Ada apa?” Suara Luciano menajam dengan tatapan Ibra yang sejak tadi mengamatinya dengan jelas. Seolah memang sengaja mengusiknya. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” Bukannya keberaniannya mengkerut, Ibra malah menyipitkan mata. “Perasaanku saja atau kau merasa tenang kita tak menemukan apa pun di ruangan itu?” Luciano mengerjap. Belum pernah seseorang menebak, apalagi membaca rautnya setangkas Ibra. Dan itu benar-benar melukai harga dirinya.Ya, tak bisa ia pungkiri setiap bertanya pada anak buahnya , ia menahan napas dan berharap agar tak menemukan benda itu. Hanya itu harapannya untuk melepaskan Anne dari kegilaan Lionel. Ia sudah menyamarkan benda itu, berharap Lionel tak mengendusnya. “Apakah sekarang itu penting?” Luciano menutupi kebenaran tuduhan Ibra atau kepala pria itu akan semakin membesar setelah semua hasil penyelidikan pria itu yang memuaskan. Bahkan lebih memuaskan. Apakah karena Ibra termotivasi oleh Anne? Siapa yang tahu pria ini memiliki perasaan lebih pada Anne
Anne menggenggam bandul kalung yang berisi mutiara berwarna dusty rose di pangkal lehernya. Tersembunyi di balik baju pasiennya yang tak pernah digantinya sejak kemarin. Matanya terpejam dan satu-satunya orang yang memenuhi pikirannya hanyalah Luciano. ‘Apa pun yang terjadi, jangan sampai kalung ini jauh darimu.’ Anne tiba-tiba teringat kata-kata Luciano ketika menghadiahkan kalung ini kepadanya. Sekarang ia menyadari, seolah Luciano bisa menduga hal semacam ini akan terjadi dan … ia tak tahu apakah ini hanyalah harapan dalam keputus asaannya ataukah Luciano memang menyimpan sesuatu di kalung ini. Anne sangat berharap pada pilihan kedua. Hanya Lucianolah satu-satunya orang yang bisa diharapkan akan menolongnya. Ya, Luciano pasti menyelipkan sesuatu di balik kalung ini. Genggaman tangannya membuka, matanya menyipit mencoba mengamati bandul kalung tersebut lebih dalam. Cukup lama, tapi ia tak bisa menemukan apa pun. Lagipula ia tak terlalu paham dengan hal semacam ini. Satu kali,
Anne sudah mengambil satu suapan dan mendekatkan ke mulutnya ketika tiba-tiba tersadar. Menjatuhkan sendok tersebut ke meja dan melompat berdiri. Kembali ke tempat tidur. Ia merasa sesuatu yang buruk sedang menunggunya. Kedua tangannya memeluk perutnya. Terduduk dengan lemas di pinggiran tempat tidur dan lagi-lagi satu-satunya nama yang tak berhenti disebutkan dalam hatinya hanyalah Luciano. Setidaknya jika tidak menginginkan dirinya, Luciano masih memiliki nurani sebagai ayah dari anak kandungannya. Anne tak berani memikirkan, bagaimana Luciano akan menemukan tempat ini. Eshan merencanakan semua ini dengan begitu matang dan terencana dengan rapi. Berapa lama ia harus bertahan dalam kelaparan ini? Cepat atau lambat, rasa lapar atau makanan Eshanlah yang akan membuat anaknya terbunuh. Bahkan ia tak berani menyentuh setetes pun air putih yang tersedia di gelas. Tenggorokannya benar-benar kering dan ia tahu inilah yang diinginkan oleh pria itu agar dirinya menyerah. Pandangan Anne be
Eshan yang menyadari keheranan tersebut segera teringat. “Ah, ingatanmu belum kembali, ya.” Kernyitan Anne semakin dalam. Eshan mengungkit ingatan itu lagi. “Jangan pikirkan lagi.” Eshan mengibaskan telapak tangannya di depan wajah dan menyandarkan punggung di sandaran kursi. “Berhenti tentangku. Aku ingin tahu, apa yang dilakukan Luciano sehingga kau tiba-tiba lebih menginginkannya daripada aku? Apakah … dia masih suka memaksa dan berpikir bahwa apa pun yang diinginkan pasti akan di dapatkan?” Lagi-lagi Eshan melontarkan pertanyaan tersebut seolah pria itu memahami dengan baik siapa Luciano. “Apa yang membuat berubah? Apa kau sungguh menyukainya?” Kepala Anne bergerak ke bawah dengan sendirinya. Kedua matanya menatap lurus mata Eshan dan menjawab, “Aku baru menyadarinya. Bahwa apa yang kurasakan padanya selama ini karena aku menyukainya.” Pengakuan tersebut seketika membekukan ekspresi di wajah Eshan. Cemburu? Tentu saja. Anne benar-benar mengatakan dengan mulut wanita itu send
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela