"Lo enggak benar-benar suka sama si cupu kan? Selera lo jadi rendah sekarang?"
Serena melirik sinis laki-laki di depannya itu. Kepalanya sudah sakit karena kuis dadakan dari kelas barusan dan sekarang malah dihadang oleh manusia yang sangat terobsesi dengannya ini. Ingin sekali Serena melempar bola bowling ke kepala cowok itu. Ia pikir setelah setahun tak melihatnya laki-laki itu akan sembuh.
"Kalau Daffin rendah, lo apa? Barang gagal produksi?"
Adit membuang napas marah. "Apa sih yang lo lihat dari Daffin?"
Kucing depan kampus pun tahu bagaimana lebih-nya seorang Daffin dari cowok yang otaknya hanya sebatas tali bra perempuan. Serena jadi tertawa sarkas.
"Jauh banget kali kalau dibandingkan sama lo." Jawab Serena enteng.
Adit melotot tak terima. "Setahun enggak kuliah otak lo jadi korslet, yah? Lo bandingin gue sama cowok kuper itu?"
Serena setuju Daffin memang sangat-sangat kurang pergaulan. Itulah alasan satu-satunya yang paling masuk akal kenapa Serena belum pernah melihat Daffin sebelumnya.
"Dude, mau lo salto, kayang, rol depan, rol belakang pun gue nggak bakal mau sama lo. Jadi udah, ya? Kalau lo merasa bagus, sana cari cewek yang mau sama lo!"
Serena berlalu begitu saja setelah melontarkan omelan panjangnya. Kepalanya benar-benar sakit.
"Gue belum selesai ngomong!" Adit mengejar Serena.
Serana bingung apakah ia harus menyalahkan wajah cantiknya yang terlalu menyilaukan atau memang laki-laki itu saja yang tak waras. Cowok-cowok lain setelah Serena tolak pasti hanya akan tersenyum pahit kemudian berlalu begitu saja. Tapi Adit? Dia tidak menyerah hingga membuat Serena muak.
Pada awalnya Serena tertarik mendekati Adit karena laki-laki itu sangat ramah dan selalu tersenyum hangat. Sekarang? Serena bahkan langsung merasa merinding hanya karena melihat ujung hidung Adit.
Di saat seperti ini Serena ingin sekali Daffin melihatnya. Lihat bagaimana ia dikejar-kejar oleh pria. Lihat bagaimana seorang laki-laki itu harusnya bersikap ketika melihat seorang Serena. Bukannya malah melemparkan tatapan jengah dan berusaha kabur. Serena masih kesal mengingat sepanjang pesta kemarin Daffin melancarkan segala cara untuk terlepas darinya.
Serena tetap berjalan cepat nyaris berlari tak memedulikan panggilan keras di belakangnya. Dan seperti bak sebuah adegan film, di ujung koridor lagi-lagi Serena menabrak seseorang.
"Lo itu hidup untuk menabrak seseorang atau apa?!" Suara keras laki-laki yang tertabrak.
Serena membelalak tak percaya. Tumben sekali Tuhan mengabulkan doanya. Keinginannya untuk bertemu Daffin terwujud. Tapi kesenangan gadis itu tak bertahan lama ketika sadar akan Adit yang masih mengejarnya.
Serena menoleh kebelakang untuk memastikan Adit yang belum sampai ke koridor ini. Daffin hanya mengernyit aneh melihat Serena yang seperti sedang dikejar-kejar sesuatu. Dan laki-laki itu tak sempat melayangkan protes ketika sang gadis mendorongnya kembali masuk ke dalam pintu di belakangnya.
Toilet.
Serena membanting pintu toilet itu dan langsung menguncinya. Ingatkan Daffin untuk menjedotkan kepala perempuan di depannya itu ke dinding nanti.
"Seriously? What are you doing right now?!"
Serena tak mengindahkan Daffin, ia lebih memilih untuk memperhatikan sekitar memastikan tidak ada orang lain yang sedang berada di dalam toilet selain mereka. Hingga Serena baru sadar kalau toilet ini adalah toilet milik laki-laki.
Daffin mengetatkan gigi-nya gemas. "Serena!"
Gadis itu mendongak santai. "Apa, sih?"
"Lo yang apa! Minggir, gue mau keluar!" Suruh Daffin berusaha menahan kesal.
Serena malah meraih dagu Daffin, ia melihat sisi-sisi wajah Daffin bergantian. Laki-laki itu memalingkan wajah risih namun Serena kembali meraih wajahnya. Sekarang justru menangkupnya dengan kedua tangan. Sebenarnya laki-laki ini terbuat dari apa sampai bisa-bisanya memandang Serena jengah begini.
Daffin melotot. "Ngapain, sih?!"
"Diam, gue mau lihat muka lo dengan jelas. Sejelas-jelasnya."
Daffin menurut, ia diam. Tanpa disuruh matanya jatuh pada hidung runcing gadis itu. Beberapa detik hingga Serena menaikkan alisnya bingung. Merasa heran kenapa cowok itu tiba-tiba menurut.
"Tumben lo nggak protes?"
Daffin melengos pelan. "Lo pikir dari tadi gue ngapain? Paduan suara?"
Serena terkekeh pelan. Matanya masih terus menelisik tiap suduh wajah Daffin. Serena tak mengerti dari sudut mana bisa-bisanya Adit menyebut seorang Daffin itu culun. Dengan kacamatanya yang tebal, Serena justru merasa Daffin itu semakin tampan.
"Dengan wajah ini, lo beneran enggak punya cewek?"
Daffin memutar matanya malas namun tetap menanggapi. "Kalau ada kenapa? Mau lo labrak?"
"Dih? Gue bukan perusak hubungan orang." Ujar Serena tak setuju.
Daffin tertawa tak percaya. "Lo lupa udah berapa banyak hubungan yang putus karena lo?"
"Oh, ternyata lo seorang pendengar setia gosip-gosip gue juga."
"Pot bunga di sudut kampus ini aja tahu, kok." Sahut Daffin santai.
"Well, itu bukan salah gue. Lagian untuk apa mempertahankan hubungan dengan laki-laki brengsek yang langsung luluh cuma karena dikasih senyum?" Kata Serena menggebu. "Justru gue itu membantu mereka bebas dari laki-laki yang nggak punya kesetiaan." Lanjutnya.
Daffin hanya melemparkan tatapan tak pedulinya membuat Serena menyipitkan mata kesal. "Gue serius. Yang naksir sama lo? Mustahil enggak ada."
"Ada. Lo contohnya."
Serena jadi tersenyum manis. "Selain gue?"
"Enggak ada perempuan lain yang akan terang-terangan kayak lo. Jadi gue enggak tahu."
"Teman perempuan yang paling dekat?"
Daffin mendengus. "Nggak ada."
"Teman laki-laki?"
"Gue masih suka perempuan." Seloroh Daffin agak sedikit merasa jengkel.
"You know, biasanya diantara cowok itu saling—" Serena beralih untuk mencari ungkapan yang sesuai. "Berbagi informasi?"
"Nggak ada." Jawab Daffin tetap sama.
Serena mengulum bibir sejenak. "Enggak ada apa? Enggak ada yang suka atau enggak ada teman?"
"Both." Kata Daffin rendah dengan pandangan yang mulai turun menatap bibir gadis di hadapannya itu.
"Pasti lo terkucilkan ya di lingkungan kampus?" Tebak Serena tiba-tiba. Pemikiran itu muncul karena Daffin tak pernah terlihat berkumpul dengan teman-temannya di lingkungan kampus.
Daffin menggeleng pelan. "Gue cuma nggak mau bersusah payah untuk membuat orang-orang suka sama gue."
Serena mengangguk mengerti. "Oh, that's why he calls you culun."
Daffin kaya dan tampan namun Adit masih saja menyebutnya culun. Maka satu-satunya alasan yang paling mungkin adalah laki-laki itu dijauhi karena sifatnya yang sangat menyebalkan. Serena bisa mengerti itu. Memangnya siapa yang tahan menjalin hubungan pertemanan dengan makhluk menyebalkan yang tidak punya filter kata-kata seperti Daffin?
"Siapa?"
"Ada, orang gila yang ngejar-ngejar gue."
Daffin jelas tak peduli sama sekali dengan orang yang Serena bicarakan. Hening untuk sejenak dan tangan Serena yang masih setia menangkup rahang tajam Daffin.
Laki-laki itu menghela napas keras. "Seberapa keras pun gue mikir tetap aja enggak ketemu."
Serena menaikan alisnya tinggi. "What?"
"Alasan." Daffin menyelam ke dalam manik cokelat Serena. "Alasan lo begitu terobsesi sama gue." Terangnya.
"Why not?"
"Masih banyak laki-laki lain yang siap sedia tunduk di bawah kaki lo. Orang gila yang ngejar-ngejar lo contohnya."
"Gue lebih suka mengejar daripada dikejar."
"Dan gue berbeda dari cowok-cowok yang lo biasa kejar itu."
Serena tersenyum miring, sadar akan mata Daffin yang mengarah ke bibirnya. Tangannya menarik wajah Daffin mendekat hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan. "As long as you're straight and single. That's good enough."
"Konyol." Desis Daffin pelan.
"Atau jangan-jangan lo penggemar berat romansa yang berpegang teguh sama yang namanya cinta sejati?"
Daffin tak menjawab. Ia masih menatap lurus mata Serena yang mulai menyayu beriringan dengan bibir mereka yang semakin mendekat. Napas panas dua anak manusia itu beradu. Kedua tangan Daffin terulur untuk meraih pinggang ramping Serena.
Ceklek!
Mata Serena yang sudah hampir terpejam langsung terbuka lebar karena suara kunci pintu yang terbuka. Apalagi ketika laki-laki itu mengangkat sedikit tubuh Leona untuk bergeser dari depan pintu. Kemudian Daffin melangkah keluar begitu saja meninggalkannya dengan senyum mengejek.
Serena mematung sesaat untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Apa laki-laki itu baru saja berhasil mengelabui-nya?
Di depan pintu yang sedikit terbuka seakan mencemoohnya Serena tertawa terbahak-bahak. Daffin itu benar-benar sesuatu yang menarik dan hal itu membuat Serena makin ingin mengenggamnya.
***
Serena sudah tak tahu harus mencari Daffin kemana hari ini. Sejak pagi sudah tidak bisa menemukan laki-laki itu bahkan hanya sekedar siluet nya. Maka dari itu siang ini ia memutuskan untuk hadir di kelas Galendra karena ia yakin Daffin tidak akan membolos. Benar saja laki-laki sudah duduk manis di bangku pojok belakang.
Serena langsung menghambur ke bangku sebelah Daffin yang memang masih kosong. Tak mempedulikan sama sekali tatapan-tatapan dari seisi kelas yang terlempar padanya.
Entah apa yang harus Galendra rasakan saat ini. Haruskah ia senang karena Serena sudah mau menghadiri kelasnya atau haruskah ia tertawa pahit melihat atensi gadis itu yang sepenuhnya teralihkan pada Daffin.
"Lo diancam akan dicoret dari daftar keluarga apa gimana?" Sinis Daffin langsung.
Serena melemparkan tatapan bertanya. "What? Gue dateng karena pengen ketemu cowok gue kok."
Daffin hanya mendesah tertahan.
"Bukannya lo bilang kita ada project kelompok? Harusnya senang dong gue datang hari ini."
Daffin tetap diam tak menanggapi.
"Hellow? Gue ngomong sama manusia apa batu?"
"Babe." Panggil Serena
"Sayang?"
"Daffin."
"Woy, Anjing! Punya kuping nggak, sih?!"
Daffin menoleh sebal dengan kening berkerut. Kemudian tangannya memutar paksa kepala Serena yang sedang menghadapnya agar menghadap ke papan tulis di depan dengan gemas.
"Lihat sana. Serius, gue nggak mau diusir dari kelas karena bikin keributan."
Tapi Serena kembali menghadapkan tubuh ke Daffin. "Bagus kan? Kita bisa diusir bareng-bareng. Lagian apa faedahnya merhatiin Galendra di sana."
Daffin memutar matanya malas. "Nilai. Gue bukan anaknya yang punya kampus jadi IPK gue nggak bisa tiba-tiba—tring! Dapat empat koma nol."
"Lo nuduh nilai gue dikamuflase?" Hardik Serena agak kurang terima.
"Gue nggak bilang gitu." Daffin mengedikan bahunya cuek.
Serena merengut kecil tidak membalas. Ia menopang dagunya dan memperhatikan penjelasan Galendra di depan dengan acuh tak acuh. Mata Serena terang-terangan membalas tajam tatapan Galendra yang kadang terarah padanya. Seakan ingin menunjukan bahwa ia menghadiri kelas ini bukan karena menurut pada sang dosen.
Galendra membahas tentang tugas kelompok mereka. Tugas yang akan ia gunakan sebagai penilaian akhir semester nanti. Sehingga para mahasiswa harus melaporkan perkembangannya secara jelas.
Serena menoleh pada Daffin. "Lo udah buat rancangan konsep?"
"Sorry, tapi gue bukan tipe anggota yang suka kerja sendiri. Kalau konsepnya sudah ada berarti nama lo juga sudah gue coret."
Serena tersenyum kecil. "Bilang aja belom ada."
"Ya memang belom." Balas Daffin agak sewot. "Punya partner kelompok yang jago kenapa nggak gue manfaatkan?" Sindirnya balik.
"Kapitalis." Desis Serena rendah.
Daffin hanya melirik gadis itu sekilas tanpa mengatakan apa-apa. Serena mengigiti kukunya entah kenapa. Ia mencibir Galendra yang terlihat professional di sana. Apalagi dengan tatapan memuja yang para mahasiswi berikan. Intensitas penggemar dosen itu tidak berkurang meskipun kini di jari manisnya telah tersemat sebuah cincin pengikat.
Entah mulai kapan Serena merasa Daffin itu lebih manis dari Galendra. Apa sekarang ia sedang membandingkan dua laki-laki itu? Serena terkekeh tanpa suara. Ia melihat Galendra dan Daffin bergantian kemudian fokus sepenuhnya pada laki-laki di sampingnya.
"Nonton, yuk?" Ajak Serena tiba-tiba.
Daffin menoleh untuk memastikan indera pendengarnya tidak salah. "Pardon?"
Serena melengos pelan. "Gue mau ngajak lo nge-date."
Daffin mengibaskan tangannya cuek. "Ajak yang lain aja."
"Kalau ke apartement gue?" Pancing Serena sengaja.
"Thank you, next."
Serena mengumpat tanpa suara. Ia membenarkan posisi duduknya dan memilih untuk memainkan ponselnya. Sudah lama ia tak berselancar di sosial media. Serena memang terbiasa membalas direct message yang masuk dengan ramah. Fan Service katanya.
Gadis itu tenggelam dalam kegiatannya sendiri, sama sekali tak memperhatikan penjelasan Galendra. Bahkan dengan cuek mengisi asal post test yang diberikan. Hingga Galendra mengucapkan salam penutup dan kelas pun selesai.
Sama seperti mahasiswa lainnya, Serena juga langsung berdiri. Meraih tas-nya yang memang tidak ia buka sama sekali. Tapi ujung bajunya ditahan oleh Daffin membuat gadis itu kembali menoleh sambil mengernyit.
"Apa? Katanya nggak mau nge-date."
Daffin memutar matanya lelah. "Tugas kelompok."
Serena tersenyum manis tiba-tiba. Rasanya ada lampu kuning yang menyala di otaknya. "Yaudah, ayo kerjain di apartement gue." Ajaknya semangat.
"Nggak ada saran yang lebih buruk?" Sarkas Daffin.
Serena berpikir sejenak. "Hotel? Mau check-in?" Katanya sambil memainkan alis.
"Gue penasaran kepala lo itu isinya apa?" Gumam Daffin mulai sakit kepala.
"Apartemen gue atau nggak sama sekali. Gue tahu lo kesulitan ngerjainnya kan? Mau ngomong sama gue tapi gengsi. Cih,"
"Siapa yang kesulitan?!" Elakkan Daffin kurang setuju.
"Yaudah sana kerjain sendiri."
"Nama lo mau gue coret? Ini tugas akhir kalua lo lupa."
"Bodo amat. Gue ngulang semeter berapa kali pun nggak masalah. Kampus juga punya gue."
Daffin ternganga sedangkan Serena menyunggingkan senyum manisnya yang terasa kejam. Akhirnya laki-laki itu berdecak sebal sebelum kemudian menyamakan tingginya dengan Serena tiba-tiba.
"Fine! Ayo ke apartement lo!"
Serena berani jamin pada awalnya ia tak berniat sama sekali untuk mengajak Daffin datang ke tempatnya. Ajakan kencan yang ia lontarkan di kelas tadi juga hanya iseng semata. Apalagi perihal mengerjakan tugas, tak ada keinginan sama sekali.Tapi melihat bagaimana Daffin merespon membuat gadis itu jadi merasa tertantang. Tanpa berpikir atau ragu sedikit pun laki-laki itu terang-terangan menolak. Serena sudah menebak memang, ia pasti akan ditolak. Tapi ia tak menyangka kalau ditolak itu sebegini menggores harga dirinya.Maka di sinilah mereka sekarang. Di ruang tamu unit apartement Serena. Unit mewah dengan biaya sewa yang jelas tak ingin Daffin kira-kira.Bukannya Daffin memiliki pikiran yang agak melesat jauh ke mana-mana, tapi laki-laki itu telah mempersiapkan mental dan rohani-nya sejak pertama kali melangkahkan kaki dari pintu masuk. Karena jelas ini adalah Serena. Perempuan yang hobi menyerang kapan saja. Tapi diluar perkiraan, Serena tidak melakukan apa pun.
"Want to beg, eh?" Menelan umpatannya dalam hati, Serena berusaha mengatur dirinya sendiri. Gadis itu tidak menyukai situasi saat ini. Seharusnya ia yang memegang kendali. Harusnya ia yang membuat laki-laki itu frustasi. Kenapa justru sebaliknya? Tidak, Serena menolak untuk disebut frustasi. Gadis itu hanya sedang merutuki tubuhnya sendiri karena terlalu peka terhadap sentuhan. Sejak Serena mengambil gerakan untuk duduk di atasnya, Daffin sudah meraung dalam hati. Laki-laki itu memang tidak terlihat mengumbar apa-apa namun percayalah Daffin tetap seorang pria normal. Perempuan secantik Serena kini berada di pangkuannya, pria normal mana yang bisa baik-baik saja? Yang jelas bukan Daffin. Walau selalu menolak, faktanya laki-laki itu tidak pernah benar-benar menolak ketika Serena menyentuhnya. Daffin tahu dengan pasti menghadapi Serena itu harus dengan tenang mengikuti arus yang sengaja gadis itu buat. Dengan begitu maka kendali pun berhasil didapatkan. Tak mempedulikan cengkraman Sere
Bukan Daffin yang tidak bisa menahan umpatannya ketika bel apartement Serena berbunyi. Mau tak mau melepaskan rengkuhannya dari gadis itu dan meraup wajahnya agar bisa berpikir jernih. Serena berdiri di sana dengan muka tertekuk namun dalam hati merasa bersyukur karena ada yang mengganggu sehingga ia dan Daffin masih bisa bertahan di zona aman. "Lo berantakan," Daffin mengingatkan. Serena menunduk melihat kondisinya sendiri. Kemeja yang ia kenakan bagian kerahnya sudah terbuka hingga memperlihatkan bahunya. Serena membenarkan sedikit bentuk kemejanya dan menyisir helaian rambutnya dengan tangan. Kemudian langsung menuju pintu untuk melihat siapa yang berkunjung ke rumahnya. Melalui intercome, perempuan itu bisa melihat siapa orang di balik pintu. Serena membeku beberapa detik sebelum mengumpat kemudian. Galendra Wijaya ada di sana. Serena berani bertaruh, laki-laki itu pasti sudah berada di ambang kesabarannya sampai-sampai memutuskan untuk datang ke
Serena mengusap telinganya yang mulai terasa perih. Bukan luka sungguhan, hanya efek samping dari mendengarkan ocehan Bianca dan Sarah tentang progress skripsi mereka yang tak kunjung menemukan titik terang. Kena coretnya satu baris, omelannya satu alinea. Apalagi kalau satu bab hampir semua paragrafnya terdapat coretan merah. Bianca dan Sarah langsung ingat pada tuhan seketika.“Percuma gue punya teman pinter banget, IP-nya udah kayak jumlah member Blackpink tapi ternyata enggak bisa diandelin.”Serena nyaris melemparkan sumpitnya pada Bianca yang baru berbicara barusan. “Lo dapat judul juga dari gue heh, Maemunah!”“Iya ini gara-gara judul dari lo gue jadi serasa ketemu Dajjal tiap kali bimbingan!”Soalnya judul yang diusulkan oleh Serena itu menarik perhatian dosen pembimbing Bianca, tapi ternyata cukup rumit untuk dilaksanakan.“Gue bisa bantu untuk urusan programing, tapi kalau pembah
Sembari menunggu Sarah dan Bianca yang sedang berada di ruang bimbingan, Serena memutuskan untuk mengunjungi toilet yang tak jauh dari sana. Ia sedang ingin mengeluarkan sisa-sisa dari hasil metabolisme tubuhnya. Tidak lupa mengirimkan pesan pada Bianca dan Sarah kalau ia sedang berada di toilet. Padahal tadi dua temannya itu berjanji kalau bimbingan hari ini tidak akan berlangsung lama. Serena tahu Brian saat ini sedang bersama dengan Daffin karena tadi saat makan siang laki-laki itu memberitahunya. Sayangnya untuk sekarang Serena sedang tidak ada mood untuk mengganggu Daffin. Serena sadar ia tidak perlu susah-susah merajuk, soalnya Daffin juga tidak terlalu peduli. Menyelesaikan urusan metabolisme tubuhnya, seperti ritual wanita lain pada umumnya Serena bercemin kemudian. Ia mencuci tangannya dan mulai memperbaiki riasan diwajah walau sebenarnya kondisi make up-nya masih terlihat bagus. Tidak lupa menata kembali rambut panjangnya. Mencoba mengikatnya namun kemudian
Serena meneguk habis tequila dari gelasnya. Rasa pahit langsung menyebar di dalam mulut dan tenggorokannya terasa panas. Gadis itu memberi kode pada bartender yang sedang mengobrol dengan pelanggan lain untuk mengisi kembali gelasnya. Tapi laki-laki itu hanya mengedipkan sebelah matanya membuat Serena ikut memutar mata malas. Berusaha sabar menunggu, Serena mengetuk-ngetukkan pelan jari telunjuknya pada gelas dan pikirannya kembali melayang jauh. Tentang pertanyaan Daffin mengenai perasaannya. Satu pertanyaan singkat yang bahkan tak bisa Serena jawab. Dalam kepalanya Serena sudah siap untuk mengatakan ‘tidak’ namun pada kenyataannya gadis itu tak bisa mengutarakan apa-apa. Serena bahkan tidak tahu kenapa ia tidak bisa menjawab. Entah apa pun alasannya, satu yang pasti. Serena masih ingin berada di sekitar Daffin. Lalu, apakah perasaannya sungguhan? Serena menarik senyum separuh, tertawa sinis dalam hati. Sejak awal ia bahkan tidak tahu apa arti sebuah ‘perasa
Serena langsung melepaskan rengkuhannya pada Daniel dan memperhatikan wajah Daffin lamat-lamat. Kemudian cengir kudanya muncul begitu saja. Cukup bagi Daffin untuk mempertanyakan sebanyak apa yang sudah gadis itu minum.“Oh, lo Daffin ternyata. Bagus, deh. Bawa nih cewek lo, cari-in helikopternya sekalian!” Racau Daniel sekalian mendorong Serena makin mendekat pada Daffin. Laki-laki itu sendiri langsung melipir pergi kembali pada table-nya sambil terhuyung.Daffin mengernyit tapi tak ingin mengatakan apa pun. Tidak berniat juga untuk bertanya siapa dan apa hubungan cowok itu dengan Serena. Perhatian Daffin teralih karena lehernya terasa berat. Kini Serena telah bergelayut pada lehernya. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya.“Katanya enggak mau datang,” Serena mencebikan bibirnya.“Kata siapa?”Daffin sebisa mungkin mendorong wajah Serena menjauh karena sedikit terganggu dengan bau alk
Daffin nyaris mengeluarkan lagi kopi yang baru saja ia teguk ketika merasakan sepasang tangan melingari pinggangnya dari belakang disusul dengan bahunya yang terasa berat kemudian. Daffin menoleh dan agak terkejut karena ujung hidungnya bersentuhan dengan milik Serena. Gadis itu langsung mengulum senyum geli. “Morning?” “Udah enggak mau terbang lagi?” Serena hanya terkekeh tidak terganggu sama sekali dengan nada sarkas dari laki-laki itu. Moodnya sedang baik karena melihat Daffin masih berada di apartement-nya pagi ini. Daffin berhasil membawa Serena pulang dengan selamat ketika sudah hampir subuh. Maka dari itu Daffin tak lagi mempedulikan satu dan lain hal, ia langsung menjatuhkan dirinya pada sofa untuk memenuhi kebutuhan tidurnya. Untung hari ini Daffin tidak punya kelas pagi. “Lo dengar sesuatu?” “Hm, bel-nya bunyi. Paling yang biasa bersih-bersih. Lihat sana, suruh datang besok aja lagi.” Jawab Serena enteng. Daffin langs
Memang benar kata Bianca, film semi sama realita mah enggak ada apa-apanya. Serena sangat-sangat menyetujui statement itu ketika berhadapan dengan Daffin yang sedang dalam mode dominant seperti sekarang ini. Ketika kulit telanjangnya menyentuh dinginnya porcelain bathup kamar mandi, Serena lagi-lagi hanya bisa memasrahkan segalanya pada Daffin. Hangatnya air mengalir mulai terasa membasahi kain yang masih tersisa di badan. Serena bahkan tidak mau memikirkan lagi kapan dan bagaimana Daffin menyalakan air itu. “Bilang kalau kamu enggak nyaman,” Daffin membelai sisi wajah Serena. Tapi Serena malah melayangkan kecupan di bibir. “It is okay. No need to hold your feelings tho,” katanya sekaligus isyarat bagi Daffin agar tak perlu menahan diri. “Sure. I don't even trying.”Kalimat terakhir Daffin sebelum merobek kain terakhir Serena dan membuangnya keluar bathup. Serena langsung merasakan dua jari merambah ke dalam sana. Ia memekik dan melenguh kemudian. Lima jari Daffin melingkari lehe
Gue cabut, makasih buat tumpangannya. I'm better now, don't worry :) Serena membaca berkali-kali tulisan pada memo yang ada di genggamannya kurang lebih dalam lima menit pertama. Baru menit selanjutnya ia mengeluarkan ponsel dan men-dial nomor si penulis memo, Sarah. Dering demi dering terus terlewat namun jawaban tidak kunjung didapatkan. Tidak menyerah Serena mencoba sekali lagi, membiarkan memo yang ada di tangannya diambil alih oleh tangan lain. “Gue kira lo benar-benar enggak tahu dimana keberadaan Sarah.” Daffin bergumam setelah membaca kertas di tangannya. Rencananya sore ini mereka mampir ke unit Serena hanya untuk mengantarkan makanan kesukaan Sarah. Akan tetapi saat mengambil air minum untuk membasahi tenggorokan, Serena malah menemukan sepotong sticky note tertempel di lemari pendinginnya.Serena berdecak karena deringnya lagi-lagi tidak terjawab. “Kemana pula sih manusia ini?!”“Fase denial-nya udah selesai. Mungkin sekarang she wants to clean up everything.” “Kalau ju
“Enggak capek? Lo sering plank ya?” Serena bertanya heran karena selama ia berbicara panjang kali lebar, Daffin tidak sedikit pun bergeser dari posisinya. Bertahan di atas Serena dengan siku sebagai tumpuan. Sebenarnya cowok itu tidak terlalu mendengarkan karena fokus pada wajah Serena dan sibuk menaruh kecupan sesekali. Posisi yang rasanya terlalu intim hanya untuk sekedar ber-story telling, tapi berhubung mood Serena sedang bagus, ia tetap menceritakan hal-hal tentang hidupnya dari yang penting tak penting hingga yang benar-benar penting. “Lanjutin aja,” pinta Daffin sambil mengusap lembut garis rahang Serena dengan ibu jarinya. “Bokap kandung lo programmer juga?”Serena menggeleng samar. “He is an artist. Gue masterpiece-nya,” katanya bercanda sambil tertawa kecil tapi kemudian tersenyum sedih, “Sayang umurnya enggak panjang.”“I knew. Bokap lo meninggal waktu lo umur lima tahun kan? Makanya lo ikut tante Jane ke Indo,”Serena mengangkat kedua alisnya tinggi baru saja sadar akan
Serena mematung di anak tangga paling atas ketika melihat seorang gadis berambut pendek keluar dari pintu kamar Daffin. Literally perempuan tulen yang memakai dress one piece sedikit di atas paha. “Makasih, kak. Maaf kalau saya ngerepotin jangan kapok, ya kak,” Dari tempatnya Serena bisa mendengar suara halus gadis itu yang membuatnya bergidik. Ini bisa-bisanya ada ayam dateng darimana anjir?! “Iya, hati-hati.” Suara Daffin terdengar meskipun wujudnya tak terlihat. Serena menggeram dalam hati, semoga ini ayam jatoh keserimpet terus langsung jadi semur kecap! Sambil menaikan dagunya, Serena berjalan mendekat. Suara sepatunya cukup untuk mengalihkan perhatian si gadis ayam bahkan Daffin ikut menyembulkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Serena bersidekap, menatap gadis berambut pendek di depannya dari atas sampai bawah. “Kak Serena?” Serena mengangguk sambil tersenyum, tapi gadis itu justru membulatkan matanya merasa panik. Baru kemarin ia mendengar soal keributan di de
Sarah mencicipi sup ayam yang masih mendidih di atas kompor dengan penuh kekhawatiran. Setelah otaknya menerima rangsangan rasa, Sarah langsung mengernyit. Rasanya sangat jauh dari kata enak. Ia menghela napas panjang. Memang paling benar seharusnya menunggu Serena pulang saja. Agak tidak sesuai dengan tampang, tapi masakan Serena itu lezat. Sejak Sarah mengabarkan keadaannya pada Serena dan Bianca, perempuan itu tinggal di unit Serena. Tempat yang cukup jauh dari jangkauan Daniel, tanpa harus membuat khawatir orang tuanya. Terdengar suara password ditekan kemudian tak lama pintu terbuka. Senyum Sarah mereka langsung menyambut karena ia kira Serena yang pulang. “Ser, gue laper. Masak ayam tapi—” Yang datang ternyata bukan Serena, melainkan Brian. Cowok itu melihat Sarah dari atas sampai bawah sebelum menyunggingkan senyum. “Tapi apa? Gosong?” Senyum Sarah jadi menghilang. “Anyep, kak.” Sarah kembali ke dapur dan mematikan kompornya. “Ngapain ke sini?” “Mau lihat elo,” Brian men
Di lantai lima gedung jurusan Ilmu Komputer saat pagi hari itu biasanya santai, aman dan tentram karena rata-rata penghuninya adalah mahasiswa semester lanjut. Tapi pagi ini sebuah kebisingan tiba-tiba terdengar ke segala penjuru lantai lima menyebabkan setiap orang setidaknya melongokkan kepala agar bisa mengetahui penyebabnya. Teriakan kesakitan seorang laki-laki menggelegar memanggil mahasiswa di sana untuk berkerumun. “LEPAS DULU LEPAS SAKIT NYET INI RAMBUT GUE MAU COPOT!!!” Itu suara melengking Daniel yang sedang berusaha menarik lepas rambutnya dari genggaman Serena. Jadi akar permasalahannya bermula sejak kemarin, sepulangnya dari kosan Daffin, Serena mendapat telepon dari Sarah. Satu kalimat dari Sarah yang serta merta langsung membuat Serena untuk mendatangi temannya itu. Dan pagi harinya, ketika menemukan Daniel berada di depan lab komputer, Serena tanpa tedeng aling-aling langsung melompat pada laki-laki itu menjambak rambut Daniel sekuat tenaga. Daniel yang sebenarnya se
Setelah kemarin usahanya untuk mencari Daffin di sekitaran kampus tidak membuahkan hasil, hari ini Serena mendatangi kosan Daffin sebagai bentuk usaha selanjutnya. Walaupun nanti Daffin tidak mau membukakan pintu, setidaknya Serena bisa berteriak saja dari luar. Bodo amat, urusan imagenya yang hancur bisa belakangan.Karena kalau dipikir-pikir ini kan bukan sepenuhnya salah Serena. Serena juga sudah sering menyebut perkara mantan di depan Daffin. Hanya saja—ia tidak menyebutkan siapa orangnya. Kesalahan Serena hanya itu bukan? Urusan Galendra dengan Catherine itu tidak ada sangkut pautnya dengan Serena. Gadis itu juga tidak sama sekali mengganggu Catherine.Pokoknya Serena akan mengatakan semuanya di depan Daffin, terserah mau laki-laki itu dengarkan atau tidak. Sebagai seorang intelektual sudah seharusnya Daffin bisa memakai logika-nya untuk berpikir.Begitu pikir Serena sebelum pintu kosan Daffin langsung terbuka setelah ketukan pertama, menampilkan tubuh tinggi Daffin dalam balutan
Dalam beberapa hari ini Serena berusaha mencari ketenangannya sendiri, mengikuti saran Brian untuk tidak mendatangi Daffin sebelum urusannya dengan Galendra selesai. Toh itu bukan apa-apa, jelas yang terluka malam itu adalah Daffin, bukannya Serena. Harusnya Serena mampu, harusnya Serena bisa baik-baik saja, harusnya Serena bisa tenang, dan harusnya Serena tidak merasa sesak. Akan tetapi kenyataannya, Serena tidak baik-baik saja. Pikiran gadis itu melayang entah kemana. Membayangkan kalau saja malam itu tidak terjadi, atau minimal malam itu dia tidak mabuk sehingga bisa mengusir Galendra bukannya malah melampiaskan kerinduan. Kalau saya begitu, saat ini pasti Serena sedang menghabiskan waktunya bersama Daffin. Mereka akan memperdebatkan hal-hal tak penting, membahas apa saja selama detik masih terus berjalan. Sebagai seseorang yang sangat-sangat berlogika, Saat ini Serena sedang tidak bisa menggunakan logikanya. “Fix, berarti lo baper sama Daffin.” Celetuk Bianca enteng. Ketika me
Setelah mengantar Serena ke gedung apartementnya, Sarah kembali lagi ke night club karena Bianca masih ada di sana. Memang, di antara tiga serangkai itu, Sarah seringkali berperan sebagai ibu yang mengurus dan memastikan keselamatan anak-anaknya. Karena Bianca si childish dan Serena yang terlalu cuek.Tapi Sarah tidak bisa menemukan Bianca. Tadi Sarah meninggalkan Bianca yang masih sibuk di dance floor karena keadaan Serena sudah mabuk terlalu banyak. Dengan mata melotot, Sarah menginspeksi ruangan remang-remang itu hingga ke sudut mencari tanda-tanda eksistensi Bianca.“Takut banget gue mata lo lepas,”Bukannya Bianca malah ada si mantan. Sarah langsung melemparkan tatapan tajamnya.“Nyari Siapa?”“Yang jelas bukan nyari lo,” Sarah lanjut mengedarkan pandangannya.Daniel mengangkat alisnya tinggi dan merapatkan diri pada Sarah. “Kalau adanya gue gimana?”“Enggak minat,” Sarah menyikut tubuh Daniel agar menjauh.“Bianca dah kagak ada. Tadi udah balik, gue pesenin taksi,” kata Daniel e