"Oh ya? Boleh tunjukkan buktinya bahwa Bu Rika ini menjual anak tirinya?" Tanya Polisi. Bara menunjukkan handphone almarhum papanya, di situ masih terdapat semua chat semasa almarhum masih hidup. Om Anton: "Hutang Abdurrahman sudah lunas, sekarang giliran hutangmu, jika kamu tidak mau membayar, maka serahkan Alana padaku."Bu Rika: "Tidak, aku tidak akan menyerahkan dia padamu. Dia sumber penghasilanku selama ini," Om Anton: "Aku akan membayarmu 200 juta, dan hutangmu kuanggap lunas."Bu Rika: "Wah, oke, Om Anton mau menikahinya kapan? Aku bakal mempersiapkan acaranya."Om Anton: "Besok aku akan membawa penghulu, beritahu bocahnya, pastikan dia harus mau, kalau tidak mau, sekap saja,"Bu Rika: "Baik."Polisi membaca cuplikan chat antara Pak Anton dan Bu Rika di hadapan semua yang ada di situ, Alana terkejut bukan kepalang, tanpa sadar dia mengepalkan tangan, dan menatap nyalang kearah ibu tirinya. "Berarti hutang Papa sudah lunas? Dan Mama tetap memanfaatkan aku untuk melunasi hut
Pegawai butik menyapa kedatangan Bara dengan sangat ramah, bahkan sampai membungkukkan badan juga. Lalu tiba-tiba dari arah dalam muncul seorang perempuan cantik dan berpenampilan fashionable. "Hai Bara, akhirnya kamu sampai sini juga. Hmm ini cewek kamu?" Sapa perempuan modus itu tak kalah ramah dari para penjaga butik. "Tidak, Kak. Saya hanya AR...." "Melinda, tolong siapkan baju yang sudah aku pesan buat Alana." Bara memotong pembicaraan Alana dengan berbicara kepada Melinda. "Baik, ayo masuk, Alana."Alana mengikuti langkah Melinda, sang pemilik butik. Dan sesampainya di dalam ruangan, dia di suguhi sebuah dress berbahan silk dan panjang di bawah lutut, dia juga disuruh memakai high heels berwarna silver. Kakinya yang jenjang dan berkulit putih bersih semakin terlihat cantik. Ya Tuhan cantik sekali.... " Puji Melinda berdecak kagum melihat penampilan Alana sekarang. "Ah, Kak Melinda bercanda." Ujar Alana. Baginya Melinda memang berlebihan karena dia jauh lebih modis dandanan
"Ciyee yang semalam habis diajak kencan Babang tamfan...." Goda Bik Indah pagi ini kala Alana membantu pekerjaan di dapur. "Apaan sih, Bik." Alana tersipu sampai merona merah pipinya. Semalam ternyata Bik Sari dan Bik Indah belum tidur pas dia pulang bersama Bara. "Sepertinya dia suka sama kamu loh, Nduk. Terlihat dari caranya melihatmu, dia juga akhir-akhir ini terlihat ceria." Ujar Bik Sari. "Ah, tidak usah terlalu berlebihan lah Bibik ini. Kak Bara orang terhormat, Alana hanya ART di rumahnya.""Ya siapa tahu dong, Nduk. Takdir Tuhan kan kita tidak tahu. Sebagai ganjaran atas segala kesulitan hidup yang menimpamu selama ini."Alana hanya diam. Baginya kisah cinderella yang hanya rakyat jelata dan dipersunting oleh Pangeran tampan hanya ada dalam cerita dongeng saja. Dalam dunia nyata, semua akan tetap mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot. Seperti biasa, pagi ini Alana berangkat kuliah bersama Bara. Karena cowok tersebut sekalian menuju ke cafe yang sudah dia dirikan selama
Alana hanya diam mendengar ucapan bernada ancaman dari Grace. Bukan karena tidak setuju, namun karena dia tidak suka dengan Grace yang seolah merasa berkuasa terhadap Bara."Sekali lagi aku ingatkan, kamu hanya ART di sini. Tidak lebih! Kamu tidak ada apa-apanya dibanding aku! Bara tidak mungkin mau sama kamu yang kumal dan kuno! Semua tipe cewek idaman Bara ada padaku, ngerti kamu?" Grace menunjuk-nunjuk muka Alana. Suaranya tertahan, mungkin takut ada yang mendengarkan.Alana hanya mengangguk. Lalu setelah Gracia turun tangga, Alana segera masuk ke kamar Bara untuk mengantarkan kopi.Wajah Bara masih terlihat garang, sisa-sisa kemarahan terhadap Gracia masih terlihat pada guratan wajahnya. Alana yang hendak menanyakan perihal macb**k air yang ada di kamarnya, jadi urung. Bara tampak menakutkan, sepertinya jika ditanyain mungkin bukannya dijawab tapi malah diterkam."Ini kopinya, Kak Bara." Ujar Alana pelan dan sopan. Dan lelaki kulkas yang sedang marah itu hanya melirik sebentar, ta
"Hai Bara, aku Sashi." Perempuan cantik itu mengulurkan tangannya yang putih mulus ke arah Bara. Bara hanya melirik sebentar, disambutnya uluran tangan tersebut dengan ogah-ogahan. Setelah itu dilepasnya lagi. Bara kini memalingkan muka, dan memilih memandangi pemandangan luar resto melalui kaca. "Bara, Sashi ini lulusan London Bussiness School, loh. Dia piawai mengurus usaha Papanya. Selain cantik, dia juga pintar." Kirana memuji kelebihan Sashi. "Ah, Mbak Kirana bisa saja. Aku masih belajar, Mbaak...." Ujar Sashi dengan suara lembut, namun di telinga Bara terdengar seperti suara lelembut, eh. "Masih belajar saja keren banget, omset perusahaan milik Papamu meroket tajam, terus bagaimana kalau sudah menguasai semuanya?" Ujar Kirana lagi. Yang terus memuji Sashi agar Bara yang duduk di hadapan mereka semakin terpikat. Kedua makhluk cantik itu terus mengobrol, sedangkan Bara malah asyik menghabiskan steaknya, setelah itu cowok kulkas itu malah memasang headset di kedua telinganya,
Kirana tidak berhenti mengomel sampai mobil berbelok menuju rumah besar mereka. Dia menyayangkan Bara yang sangat cerdas dan hebat berbisnis, namun begitu menyedihkan dalam urusan percintaan."Alana mungkin cantik, tapi dia tidak cocok denganmu, dia tidak sepadan dengan kita" Pungkas Kirana sebelum turun dari mobil."Memang menikah dengan yang sepadan menjamin kebahagiaan?""Bara, berpikirlah realistis. Usaha Papa butuh dukungan, kita akan membuat usaha semakin besar dengan cara menjadikan Sashi sebagai istrimu, dengan begini harapannya perusahaan kita semakin berkibar.""Berarti tujuan menikah demi perusahaan Papa?" Ujar Bara sinis."Berpikir realistis, Bara." Setelah itu, Kirana turun."Om, kok gak sama Kak Alana?" Sapa Starla setelah Bara memasuki rumah. "Belum pulang dia." Jawab Bara sambil mengelus kepala ABG itu."Huft, aku butuh bantuannya menyelesaikan tugas matematika." Starla menggaruk kepalanya."Kamu kan bisa tanya guru les kamu, Sayang?" Tiba-tiba Kirana sudah berdiri ta
Kirana tidak ingin Nyonya Yulia semakin menyayangi Alana, dan meminta supaya Bara menikahinya. Untuk itulah dia berniat mengusir Alana saat ini juga. Bel rumah berbunyi, Kirana berjalan membukakan pintu. Dan setelah pintu terbuka, seorang Ibu-ibu berpakaian rapi menyembul di balik pintu tersebut. "Selamat siang, Nyonya. Benarkah ini kediaman Nyonya Yulia dan putrinya Starla?" Tanya wanita tersebut dengan sopan, bahkan sambil membungkukkan badannya. "Iya, dengan siapa?" Kirana mengernyitkan dahinya. "Saya Miss Berlin, yang akan menjadi guru les Nona Starla." Jawab perempuan berusia 40 tahunan itu. "Oh, silakan masuk, Miss. Biar saya panggil Starla." Kirana langsung menyilakan Miss Berlin agar duduk di ruang tengah bawah tangga. Persis seperti Miss Deva jika duduk dan mengajari Starla. "Alana, tolong buatkan minuman buat Miss Berlin ya, dia itu guru les Starla yang baru, lukisan S2 universitas of Buckingham. Kemampuannya tidak diragukan lagi. Jauh pokoknya sama yang hanya berijaza
Betapa sakit hati Alana mendengar penuturan Den Ayu Kirana. Namun apa boleh buat, dia sudah diberhentikan oleh majikannya, harus tahu diri. Dan segera pergi meninggalkan rumah ini. "Terimakasih, Den Ayu. Maaf selama ini sudah banyak membuat kesalahan di rumah ini. Dan saya mau pamitan sekarang juga. Besok pagi aku pasti akan pergi." Ujar Alana. "Bagus kalau kamu tahu diri, sekarang beresi semua barang-barangmu, dicek juga jangan sampai ada yang tertinggal. Setelah ini istirahat, agar besok bisa bangun pagi-pagj buta."Alana keluar dari ruangan milik Kirana dengan hati yang gundah, namun setidaknya setelah ini dia bakal bebas, tidak ada lagi yang mengatur hidupnya, meskipun harus bingung cari kontrakan lagi. ***Pagi ini suasana rumah Nyonya Yulia heboh, semua panik akan ketidak berapaan Alana. Padahal tadi malam gadis itu masih terlihat asyik ngobrol dengan Bik Indah, Bik Sari, dan Bik Rindi."Masak Bibik tidak tahu kemana perginya? Padahal Bibik kalau bangun pagi-pagi buta loh!" T
Satu tahun telah berlalu. Alana dan teman-temannya sudah menyelesaikan program pertukaran mahasiswa yang ditugaskan kepada mereka. Banyak sekali ilmu-ilmu yang diraih selama berada di negri Singapura. Tentang bagaimana suasana belajar di sana, dan juga kehidupan sehari-harinya. Banyak bertemu dengan orang baru, banyak berkenalan dan tukar pikiran dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, membuat Alana semakin melek dengan keadaan. Membuat pikirannya semakin terbuka, bahwa ternyata dunia itu sangat luas, ternyata diluar sana banyak orang yang memiliki toleransi begitu tinggi, ternyata dirinya bisa diterima oleh dunia, ternyata banyak yang bersikap ramah terhadapnya, ternyata di luar sana. dirinya begitu dihargai. Sangat bertolak belakang dengan kehidupannya sebelumnya, yang mana terlalu banyak sisi kelam yang dia lalui, sehingga sempat membuatnya ingin bunuh diri karena dunia yang tidak ramah padanya. "Ah, seandainya aku tidak nekat melarikan diri kala itu, mungkin hidupku han
" Barang-barangmu sudah kebawa semua?" Nata bertanya memastikan bahwa koper Alana sudah terisi semua barang yang seharusnya dia bawa. "Sudah masuk koper semua, Nat." Jawab Lana. " Kamu tidak ingin berpamitan dengan siapapun?" Tanya Nata lagi. "Nanti aku pamitan sama kamu, kalau pesawatnya sudah datang." "Orang lain, ehm... Kak Bara misalnya?" Nata mencoba menggoda Alana. "Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi," Alana menjawab dengan getir. "Maaf, aku cuma bercanda. Dah yuk, kita berangkat sekarang. Takut ketinggalan pesawat." Ujar Nata. Mereka keluar dari kontrakan Lana. Lana tidak lupa mengunci dan menyerahkan kuncinya pada ibu kost. "Semoga ilmu yang kamu dapatkan dari negri seberang berkah ya, Alana. Kalau akan kembali nanti, hubungi Ibu lagi saja. Ibu carikan kamar buat kamu." Ujar Ibu kost tatkala Alana berpamitan akan ke luar negri, guna mengikuti program pertukaran mahasiswa. "Amin. Terima kasih, Bu." Jawab Alana. Nata dan Alana lalu menuju ke mobil milik Nata yang sed
"Ini warungnya?" Tanya Nata. "Ya." Alana lalu turun dari atas motor Nata. Setelah itu melepas helm yang dikenakannya. Mereka berdua lalu memasuki warung yang selalu ramai pembeli tersebut. Mata Alana lalu menangkap sosok tua pemilik warung yang selama ini berjasa padanya. Dia berniat untuk mendatangi Bu Mirah, sang pemilik warung. Namun niat itu dia urungkan, Bu Mirah tampak sibuk melayani orang yang hendak membayar makanan yang dijualnya. "Sepertinya enak-enak semua ya, menunya." Ujar Nata sambil melihat berbagai macam lauk yang berderet rapi di balik meja etalase. "Iya, enak kok. Apalagi kalau lagi lapar begini." Jawab Lana. "Yang paling enak yang mana?" Bisik Nata lagi. "Itu tuh, ayam kecapnya enak, manis, gurih. Tapi tergantung selera sih." Jawab Lana. Tiba-tiba ingatannya berputar pada beberapa bulan lalu, saat dia masih bekerja di sini. Hampir setiap hari sebelum pulang, Bu Mirah menyuruhnya makan terlebih dahulu. Dan melarang membawa pulang makanan seperti pekerja lain.
"Sory, aku tidak mau!" Jawab Mischa dengan cepat dan lantang. "Kamu harus mau! Jika tidak, maka kamu akan kuteriaki habis mencuri di warungku!" Ancam Bu Mirah. Karena diancam seperti itu, Mischa jadi takut, sepertinya orang tua dihadapannya ini memang suka nekat. Galaknya setengah mati. Bikin nyalinya menciut. Mischa mau tidak mau berjalan masuk ke warung Bu Mirah, sesampainya di dalam dia dihadang oleh tatapan para karyawan orang tua tersebut dengan tatapan heran. Semua karyawannya pasti sudah tahu Mischa dan juga wataknya yang sombong serta tidak tahu sopan santun. Apalagi mereka semua masih ingat akan kejadian kemarin dimana Mischa dengan mulut besarnya membuat keributan di warung ini. Namun hari ini anehnya dia tampak begitu tunduk terhadap Bu Mirah. "Bik Yem, ini aku carikan tukang cuci piring baru, Bibik hari ini mending bantu saya njualin di depan saja." Ujar BU Mirah sambil melirik ke arah Mischa. Bik Yem tentu saja kaget. Dia yang biasa bekerja dengan gesit mencuci semu
Untuk sesaat, Mischa kembali dibuat semakin terkejut. Bagaimana bisa hutang mamanya tidak dibayarkan selama setahun? Bukankah mamanya habis menerima uang 200 juta? Ah, petugas bank ini pasti mengada-ada. Dia pasti mau mencari keuntungan sendiri dengan meminta tagihan kesini. Pagi-pagi sudah mau cari ribut rupanya. Tidak sadar dia dengan siapa berhadapan? "Heh! Yang benar saja kamu mau menyita rumah ini?? Mamaku pasti sudah melunasinya, dia habis mendapatkan uang 200 juta. Kamu mau cari gara-gara? Mau ambil keuntungan sendiri, kan?? Hayo ngaku!!" Hardik Mischa. Petugas itu tidak bereaksi sama sekali dengan kemarahan Mischa, wajah mereka tetap saja datar, dan kemudian menunjukkan surat penyitaan kepada Mischa, surat tersebut berstempel dan bertanda tangan resmi dari bank BNK. "Ini kalau tidak percaya. Sebaiknya Nona segera mengosongkan isi rumah ini, dan pergi sekarang juga. Karena rumah ini sudah kami lelang." Jawab Petugas itu, tidak gentar sedikitpun dengan hardikan Mischa. Lagian
Selepas Mischa pergi dari warung, semua menghela nafas lega, Bu Mirah meminta maaf kepada semua pengunjung atas ketidak nyamanan mereka makan di warung hari ini, akibat ulah si mantan napi yang tidak dididik dengan baik oleh orang tuanya. "Maaf ya semuanya, dia memang gadis yang tidak memiliki sifat yang baik, dia juga baru keluar dari penjara, sekarang dia mau pergi ke bank mengambil uang katanya, entah uang siapa yang dia ambil. Konon Mamanya banyak uang, tapi hampir tiap hari didatangi oleh debt collector untuk menagih utang." Bu Mirah menjelaskan kepada para pengunjung warung sambil terkekeh, sehingga ada beberapa yang menimpali. "Oalah, masih muda kelakuannya seperti demit. Mau jadi apa dia nanti? Apa ya ada lelaki yang bakal mau menikahinya?" Ujar Bu Romlah, salah satu pengunjung warung. "Entahlah, sepertinya kelakuannya itu menurun dari ibunya. Ibunya kan juga tidak ada akhlak, buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Ujar Bu Warni menimpali. "Semoga dia segera mendapatkan hiday
Mischa membuka laci meja di kamar Mamanya, tempat biasa Bu Rika menaruh dompet. Dan benar saja, dompet yang doa cari tergeletak di laci tersebut. Dengan penuh kegirangan, Mischa ambil dompet tersebut, di timang-timangnya karena sepertinya isinya tebal sekali. Ah, pasti ini uang, pikirnya. Namun, betapa terkejutnya dia, yang membuat tebal dompet Mamanya ternyata adalah kertas-kertas berbagai catatan hutang, yang ada beberapa diantaranya sudah lunas, namun ada juga yang belum lunas. Hanya terdapat selembar uang sepuluh ribu rupiah, itupun bentuknya sudah sangat lusuh, selisih dompet yang dia pegang. "Sialan! Di mana sih sebenernya Mama menaruh uang-uangnya?? Setelah mendapat uang 200 juta dari Om Anton itu apa sekarang sudah habis? Atau jangan-jangan dia tabung di bank?" Batin Mischa. Dalam hati Mischa, dia membenarkan dugaannya sendiri, bahwa Mamanya pasti menyimpan uang tersebut di Bank. Tidak mungkin uang sekoper yang diberikan leh Om Anton itu langsung habis. Ya, aku akan tany
Alana menutup bukunya. Pelajaran bersama Dosen Aris memang mampu memeras otak. Sepertinya membeli es teh harga tiga ribuan mampu mendinginkan otaknya yang kemebul."Alana," Tiba-tiba Pak Aris memanggilnya. Membuat Alana menghentikan langkah, dan menghampiri dosen tersebut."Iya, Pak Aris. Ada apa?" Tanya Alana."Begini, aku ada tawaran job untuk kamu. Kamu mau tidak mengajar di bimbel milik saya? Untuk jadwalnya bisa sepulang dari kampus. Kalau dari sini jaraknya sekitar 4 kilometer. Kalau bawa motor sendiri lebih cepet."Bagai tersiram air pegunungan di gurun Sahara. Tawaran dari Pak Aris itu seperti jawaban atas do'anya semalam."Daripada keluyuran tidak jelas kan mending ngajar di bimbel saja, dapet duit, jadi tidak ngandelin kiriman ortu dari kampung. Gimana, mau tidak?"[Ya Alloh, ternyata Allah memay benar-benar Maha Baik. Disaat membutuhkan, dia datang membawa pertolongannya.]"Gimana, mau nggak? Malah bengong kayak sapi ompong?" Tanya Pak Aris yang memperhatikan ekspresi Alana
"Tidak apa-apa. Aku mau pindah kerja saja di tempat yang lebih nyaman. Kamu ada info lowongan nggak?" Tanya Alana. "Mana tahu aku hal-hal begituan. Kamu mau kerja lagi?" Tanya Nata. Alana menghela nafasnya. Lalu menghembuskannya lagi. "Kalau aku tidak kerja, nanti kebutuhanku mau di penuhi oleh siapa?" Ujar Lana, dengan tatapan mata kosong."Maaf, kalau boleh tahu, memang Bapak Ibumu kemana?" Nata yang seketika langsung paham dengan kondisi Alana, bertanya dengan hati-hati. "Sudah nggak ada. Aku bisa kuliah juga karena dapat beasiswa. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari, aku harus kerja juga, kan? Makanya aku harus segera mendapatkan pekerjaan lagi kalau masih pengen hidup." Cerita Alana. Nata mengangguk tanda paham. "Maaf, Alana. Aku kira selama ini kamu bilang kalau yang antar jemput kamu itu adalah majikanmu, aku tidak percaya. Lagian mana ada sih majikan mau mengantar jemput karyawannya. Baru kali ini saja sepertinya di muka bumi ini. Aku kira dia itu kakakmu." Ujar Nata.