Begitu masuk dalam kamar Nabila segera mengetik pesan ke pada Sunan yang juga langsung dibalas cepat.[Kenapa Mas seperti ini?][Ternyata aku tidak bisa melepaskanmu, Nabila][Apa Mas Sunan tidak bisa bicara dulu padaku sebelum menemui papa?][Kau tidak akan mengijinkanku]Nabila berhenti sebentar untuk berpikir.[Aku sedang coba memulai hubungan dengan seseorang Mas. Tolong hargai aku] ketik Nabila pada pesan berikutnya. Nabila setengah berbohong agar Sunan berhenti membuatnya seperti ini.[Tolong pikirkan lagi, Nabila][Aku tidak bisa] tutup Nabila dan ternyata Sunan malah menelpon. Seharusnya Nabila tidak mengangkat panggilan telepon tersebut."Mas, tolong ... ""Aku ingin bicara denganmu sekali lagi.""Bicara saja sekarang Mas!""Kita harus bertemu.""Aku tidak bisa."Kadang laki-laki memang semaunya sendiri jika punya keinginan."Tolong Nabila, kita bisa membicarakannya.""Aku sudah kehilangan keinginan untuk memikirkannya!" jawab Nabila dengan nada lebih tegas hingga seketika me
[Nabila,maaf minggu ini aku ada perjalanan kerja ke luar kota jadi sepertinya rencana kita kemarin aku tunda dulu, ya] pesan dari Raka yang cuma Nabila baca sekilas kemudian dia teruskan pada Moy.[Kau benar] pesan yang dikirim Nabila pada Moy setelah mengirim salinan pesan dari Raka.Mereka sudah sama-sama tahu jika Raka sedang coba mendekati Elice. Begitu membaca pesan dari Nabila Moy segera menelepon."Maafkan aku Nabila. Seharusnya aku lebih selektif memilihkan teman kencan untukmu.""Sudahlah, aku tidak apa-apa, itu wajar."Jika dibanding masalah Nabila yang lain perkara Raka adalah yang paling sepele. Memang Resiko jadi janda, banyak yang suka menggoda tapi jarang yang mau benar-benar serius bisa nerima apa adanya, apa lagi jika sudah ada anak. Nabila tidak menyalahkan Raka yang pastinya akan lebih pilih janda tajir, plus tanpa harus ikut mengurus anak orang dan membiayai hidupnya."Aku ingin fokus bekerja untuk Bagas, untuk masa depannya. Bukan karena aku sakit hati tapi karena
Nabila sudah bertekad untuk memulai hidup baru, hidup barunya bersama Bagas, cukup hanya dengan putranya. Nabila tidak hanya mulai melamar pekerjaan di beberapa perusahaan yang sesuai dasar pendidikannya, nabila juga menganti nomor teleponnya.Bahkan Riko tidak Nabila beri tahu nomor kotaknya yang baru. Nabila sudah masa bodoh dengan mantan suaminya, Nabila sudah lelah meminta hak Bagas, Nabila akan membesarkan Bagas seorang diri. Jika nanti Riko masih ingat dengan putranya, biarkan Riko yang datang sendiri dan itu hak Bagas untuk menerimanya atau tidak. Yang terpenting Nabila tidak pernah mengajarkan keburukan pada putranya, apalagi untuk membenci ayahnya.Untuk Sunan, Nabila juga sudah mengikhlaskan jika memang mereka tidak berjodoh. Tidak semua orang yang ingin bersama lantas bisa hidup berdua, setiap keputusan yang dipilih pastinya juga akan memiliki konsekuwensi masing-masing, seharusnya Sunan juga paham dengan pilihannya.Nabila sudah mendapat, beberapa panggilan interview, sambi
"Dia putra kakak perempuanku, aku yang membesarkannya sejak kakakku meninggal dan Noah masih berumur tujuh tahun." "Jadi kau walinya?" Elice masih mengangkat alis heran ketika menatap pria tampan di hadapannya. Marko adalah pria tinggi besar bertubuh atletis dengan tato naga di sepanjang lengan kanannya, siapapun tidak akan percaya jika pria seperti itu bisa membesarkan anak laki-laki. "Sekarang Noah sudah dua puluh tahun, aku tidak akan membelanya, karena jika ia salah maka dia juga akan tetap harus bertanggung jawab!" Elice mengangguk pasrah. Elice yang tadinya masih berapi-api murka pada pemuda yang telah menabrak papanya akhirnya tidak bisa lagi terus marah setelah tahu jika pemuda itu adalah keponakan dari teman kakaknya. "Aku ikut berduka atas kepergian papamu." Elice mendengar kepergian papa Marko dari kakaknya beberapa bulan lalu. "Papa sudah terlalu lama menderita karena kangker, mungkin ini jalan terbaik agar tidak merasakan sakit lagi." Kabarnya Marko juga yang merawat
Sepertinya Bagas benar-benar demam dan hidungnya mulai buntu karena Nabila lihat bibirnya terus terbuka untuk bernapas dari mulut hingga kering."Apa bisa kita berhenti di apotek sebentar? aku mau membelikan obat flu untuk Bagas.""Ya, tentu. Katakan saja di mana kita harus berhenti." Marko menoleh sebentar pada Nabila karena harus konsentrasi dengan jalanan yang sedang ramai."Setelah perempatan di depan ada apotek di kanan jalan."Marko cuma mengangguk kemudian memelankan musik country rock di dasbor mobilnya. Dear God dari Evenged Sevenfold masih mengalun pelan menemani mereka selama terjebak lampu merah. Marko terlihat mengikuti nadanya dengan ketukan jari di tepi kemudi. Setelah lolos dari lampu merah Marko mulai mengambil jalur kanan, dia juga mengurangi kecepatan untuk memperhatikan deretan ruko di sisi jalan."Itu yang di depan!" tunjuk Nabila pada plang apotek berlogo biru yang menyala terang.Marko membawa mobilnya masuk ke halaman apotek karena tidak boleh asal berhenti di p
Moy belum juga kembali dari perjalanannya padahal Senin besok Nabila harus datang ke kantor Elice. Meskipun Moy ikut senang dengan pekerjaan baru Nabila tapi rasanya tetap tidak enak jika Nabila tiba-tiba berhenti dari salon tanpa bicara langsung dengan Moy. Nabila juga sudah coba menelponnya sejak pagi tapi belum juga dijawab. [Moy, Senin besok aku akan mulai bekerja di kantor Elice] Nabila mengirim pesan. Sampai sore pesan yang Nabila kirim kepada Moy belum juga dibaca. [Apa kau baik-baik saja?] Nabila mengirim pesan lagi karena mulai khawatir. Seharusnya Moy sudah pulang dua hari lalu tapi sepertinya dia malah memperpanjang liburannya. Yang membuat Nabila cemas adalah mantan suami Moy, Dito datang beberapa kali ke salon untuk mencari Moy dan selalu marah-marah. Selama ini Moy jarang menceritakan masalah dengan mantan suaminya, dia lebih suka menyimak cerita Nabila. Padahal masalah Moy dan mantan suaminya juga tidak kalah rumit. Jika Nabila memiliki mantan suami yang tidak berta
"Kita mau ke mana dulu?" tanya Marko dengan nada sarkas."Jemput Bagas!" tegas Nabila tanpa bisa ditawar."Okai!" Marko langsung menjalankan Mobilnya.Walaupun baru saling kenal tapi tanpa sadar bersama Marko membuat Nabila tidak perlu merasa harus menjadi orang lain, mereka mengalir begitu saja. Sangat berbeda jauh dengan saat dirinya dulu baru pertama mengenal Sunan, Nabila akan terus berdebar-debar, asing, bahkan tindakan kecil saja membuat Nabila sangat canggung."Kau berbisnis dengan Elice?" Nabila mengisi kekosongan mereka dengan pertanyaan wajar."Ya, aku baru mulai di sini dan perusahaan Elice menawarkan kerja sama.""Kuharap kerja sama kalian lancar."Marko mengangguk kemudian mulai menyalakan pemutar musik. "Bilang jika kau tidak suka.""Tidak masalah, aku bukan pemilih.""Lusa aku juga akan ada meeting dengan Sunan.""Kenapa kau memberi tahuku?""Siapa tahu kau ingin tahu." Marko sengaja mengedikkan sebelah alis tebalnya."Kami tidak ada hubungan apa-apa.""Aku senang menden
Marko terlihat ikut jongkok di lantai membahas burung peliharaan papa Nabila yang sedang diberi makan serangga. Sebenarnya Marko tidak tahu masalah perburungan tapi sifat sok tahunya membuat orang yang dia ajak bicara merasa ikut dihargai minatnya. Marko berniat menyuapkan jangkrik kecil yang baru ikut-ikutan dia ambil dari dalam kotak. "Bersihkan dulu kaki dan bulunya," papa Nabila memberi tahu. "Di potong?" tanya Marko agak bingung. "Ya, seperti ini." Papa Nabila memberi contoh cara membersihkan bulu sayap dan memutilasi kaki-kakinya. "Oh, Tuhan!" Meskipun lengannya berotot besar tapi ternyata Marko tidak tega cuma hanya untuk memutilasi kaki serangga. Jangkrik yang sudah berada di genggaman Marko malah melompat. "Oh!" Marko kaget dan langsung berusaha menangkapnya dengan menepuk lantai sambil ikut melompat. Serangga kecil itu ternyata sangat lincah, beberapa kali Marko coba mendekapnya tapi tetap lolos. Bagas sampai tertawa melihat marko tidak bisa menangkap jangkriknya yang
Ketika Sunan masuk, dia syok melihat kehebohan tangis dua bayi sekaligus. Sunan malihat Elice sudah menggendong bayinya demikian pulan dengan Marko. Elice melahirkan di atas ranjang dan Nabila melahirkan di sofa."Apa yang terjadi?""Nabila ikut melahirkan karena stres melihat kondisi Elice." Moy yang menjawab sementara Marko masih gemetaran menggendong bayinya."Oh Tuhan!""Dia sehat." Elice tersenyum menunjukkan bayinya dan ternyata Sunan menangis meski tanpa suara isakan.Sunan segera memeluk Elice serta bayinya yang masih kemerahan."Biarkan Nabila yang memberi Nama.""Ya." Sunan terus mengangguk karena tidak perduli dengan apapun asal istrinya selamat."Bagaiman ini?" Marko bingung melihat bayinya menangis masih dengan tali plasenta yang membuat dia takut."Berikan padaku!" Moy meminta bayinya untuk dibawa pada bidan.Setelah memberikan bayinya pada Moy, Marko segera memeluk Nabila dan menciuminya sejadi-jadinya. Rasanya masih sulit dipercaya jika dia sendiri yang baru membantu pe
Nabila sedang melakukan panggilan video dengan Moy dan bayinya yang sekarang sudah berumur tiga bulan. Bayi cantik yang Elice beri nama Moza itu sudah pintar tersenyum dan membalas suara orang dewasa dengan dengungan. Nabila benar-benar gemas hingga tidak sabar menunggu kelahiran bayinya sendiri."OH ... anak perempuan memang mengemaskan!" Nabila melayangkan kecupan pada bayi montok yang menyeringaikan tawa di layar ponselnya."Tapi sepertinya ini laki-laki." Marko meraba perut Nabila yang kebetulan ada di sampingnya."Ini anak perempuan, aku bisa merasakannya!" Nabila ngotot.Setelah memiliki Bagas, sangat wajar jika Nabila sedang sangat menginginkan anak perempuan meski sampai sekarang Nabila sengaja belum mau mengetahui jenis kelamin bayinya."Apa Moza sudah bisa tengkurap?" Nabila melanjutkan obrolannya dengan Moy walaupun Marko terus mengganggu."Baru miring belum bisa terbalik.""Lihat Marko dia tersenyum padamu!" Nabila menghadapkan kameranya ke arah Marko yang sedang memangku l
"Kau tidak akan percaya jika sebenarnya sudah sejak lama aku menatapmu!"Elice berhenti mengunyah makanannya untuk balas menatap Sunan."Aku hanya tidak pernah berani berpikir kau akan mau menikah dengan pria sepertiku, mengandung darah dagingku, dan menghabiskan sarapan bersamaku."Dari dulu Sunan hanya standar, tidak sejenius Clavin yang dapat menahlukkan Elice."Kenapa kau berpikir seperti itu?" Elice juga masih kaget."Aku merasa bukan tipemu.""Siapa yang perduli!" tegas Elice persis seperti gayanya dari dulu.Elice memang tidak akan bertele-tele seperti kebanyakan wanita yang suka main perasaan. Tapi bukan berarti hati Elice tidak tersentuh dengan perhatian tulus yang selama ini diberikan Sunan. Elice hanya tidak pernah membahasnya.Mereka masih saling menatap sampai kemudian Elice kembali bicara lebih dulu."Boleh aku minta brokolimu?" Elice menunjuk potongan brokoli di piring Sunan yang belum dimakan."Kemari, biar kusuapkan." Sunan tersenyum sambil menepuk pahanya agar Elice d
Kehamilan Moy sudah memasuki bulan ke sembilan dengan perut bulat besar dan buah dada makin memadat kencang. Kehamilan anak perempuan ternyata justru membuat wanita terlihat semakin cantik. Moy sedang berbaring lembut di atas ranjang ketika Clavin bantu menarik melepas sisa gaun malamnya yang berbahan ringan. Mereka sedang disarankan untuk lebih banyak berhubungan intim mendekati masa-masa persalinan. "Apa kau tidak kesulitan bergerak?" Clavin ikut merangkak naik ke atas ranjang kemudian menyentuh lembut pada gumpalan buah dada wanitanya yang sedang membengkak penuh. "Tidak, ini masih nyaman." Moy juga mempersilahkan lelaki itu membuka kakinya untuk direntangkan. Clavin memperhatikan Moy sejenak, kemudian membelai ke lipatan lembutnya yang semakin hari semakin sesak untuk dimasuki pria. Clavin terus mengulas-ngulas puncak wanitanya sampai melembut hangat dan tiba-tiba menurunkan kepala untuk menyesap puncak kecilnya hingga mengejang. "Oh ...." Moy melenguh panjang. Rasanya sangat
Kehamilan Moy membuat kedua orang tua Clavin yang sudah lama menunggu keturunan dari putra tunggalnya ikut sangat bahagia dan tidak sabar. Kehamilan Moy sudah memasuki bulan ke enam dengan jenis kelamin bayi perempuan. Setelah resmi menikah bersama Clavin Moy juga selalu dimanja oleh keluarga suaminya. Moy merupakan anak tunggal yang dibesarkan oleh seorang janda, ayah Moy sudah tidak pernah perduli dengan kehidupan sulit mereka sejak bercerai dengan ibunya. Ibu Moy meninggal beberapa tahun lalu, Moy tidak punya sanak saudara lagi di ibukota. Moy berjuang sendiri untuk menjadi wanita mandiri meski dia cuma lulusan SMU dan berhasil sukses. "Istirahatlah jika kau capek." Clavin tahu Moy sudah sibuk dengan keluarganya sejak siang. "Biar aku saja yang menemani tamu." "Aku mau menunggu Nabila dulu." "Apa masih lama?" Clavin menengok arloji di pergelangan tangannya. "Sebentar lagi mereka sudah di jalan." "Jangan terlalu capek." Clavin menggosok puncak perut Moy yang makin membulat besa
"Bagaimana?" Marko sudah tidak sabar menunggu dua garis merah pada benda pipih yang sedang dipegang Nabila."Tunggu sebentar."Mereka sama-sama tegang setelah usaha keras siang dan malam penuh perjuangan."Ya!" Nabila segera menunjukkan dua garis merah yang langsung membuat Marko melompat untuk mengangkatnya."Oh, Tuhan ... terima kasih .... terimakasih ..." Marko terus menciumi perut Nabila yang dia angkat cukup tinggi seperti benda enteng kemudian membawanya berputar."Hentikan Marko! nanti anakmu pusing!"Marko masih terlalu bahagia hingga tidak bisa berhenti tersenyum bangga dengan dirinya sendiri."Terima kasih karena telah menjadikanku seorang ayah." Marko menurunkan Nabila untuk dia cium."Dia masih jentik kecil," Nabila mengingatkan."Berapa kira-kira usianya?" marko meraba perut Nabila."Mungkin sudah memasuki bulan ke dua."Nabila sudah terlambat satu bulan sejak menikah dua bulan lalu."Bagas harus tahu jika akan punya adik!" Marko menangkup pipi Nabila kemudian menciumnya
[Lusa aku akan kembali ke New York, apa malam ini aku boleh menginap?] pesan yang dikirim Noah untuk Elice tapi kebetulan Sunan yang membacanya. [Jangan ganggu istriku!] tegas Sunan dengan kalimat singkat. Mungkin karena kaget, Noah langung beralih menelpon. Sunan juga tidak segan untuk langung menjawab panggilan dari anak muda itu. "Di mana Elice?" tanya Noah begitu mendengar suara pria dewasa yang menjawab panggilan teleponnya. "Dia masih mandi." Sunan tidak berbohong. "Kau siapa?" Noah bertanya lagi karena masih penasaran. "Aku suaminya!" "Mustahil!" Noah tidak percaya. "Elice tidak pernah memberitahuku jika dia sudah menikah." "Sekarang aku yang memberitahumu!" Sunan terus mempertegas tanpa basa-basi. "Siapa?" tanya Elice yang baru keluar dari bilik kamar mandi dan melihat Sunan sedang menjawab panggilan teleponnya. "Keponakan Marko!" Sunan yakin Noah juga ikut mendengar percakapan mereka dari seberang telepon. "Berikan padaku?" Elice meminta ponselnya tapi tidak Sunan b
Tiba-tiba ponsel Nabila berbunyi dengan sebuah notifikasi pesan. "Moy, membubarkan grupnya!" Nabila terkejut. "Kenapa?" tanya Marko. "Aku tidak tahu, biar nanti aku telepon." Nabila memang tidak tahu dengan apa yang sedang bergulir, dia cuma terkejut jika Moy sampai membubarkan grup kesayangannya. "Bukankah kau ada meeting siang ini?" Nabila mengingatkan Marko. "Aku tidak akan lama dan akan segera pulang," Marko berbisik sambil memeluk Nabila dari belakang dan tidak berhenti menciumi sisi kening serta lehernya. Mereka berdua sedang berdiri di depan cermin meja wastafel setelah mandi bersama di tengah hari mumpung Bagas sedang tidur siang. "Cepatlah berpakaian, nanti kau terlambat." Nabil menoleh agar Marko bisa menggapai bibirnya. Mereka bertukar lumatan lembut saling mengais dan semuanya sedang terasa sangat manis untuk dinikmati. Marko dan Nabila adalah pasangan pengantin baru yang sedang lengket-lengketnya tidak ingin terpisah meski cuma sejengkal, tapi Elice tetap memaksa
Clavin benar-benar syok melihat Elice ada di apartemen Sunan, hari masih pagi, Elice kelihatan baru bangun dengan kemeja pria milik Sunan."Bagaimana kau bisa ada di sini?"Tatapan Clavin terus mengoreksi penampilan mantan istrinya sementara otak Elice sudah benar-benar padam tidak bisa berpikir. Clavin jelas melihat jejak cupang merah kemerahan bekas hisapan pria di kulit leher Elice. "Siapa yang datang?" tanya Sunan yang baru ikut menyusul ke depan dan langkahnya terhenti mendadak begitu melihat Clavin sudah berdiri di ambang pintu. Sunan masih menggenggam ponsel yang baru dia matikan dan cuma memakai celana pendek pria tanpa pakaian yang lain. "Apa yang kalian lakukan?" Elice dan Sunan benar-benar sudah tertangkap basah tidak bisa mengelak. Clavin segera menerobos masuk dan melihat celana dalam Elice yang masih tergeletak di samping sofa. Otak Clavin ikut padam membayangkan mantan istrinya telah dicumbu oleh sahabatnya sendiri. "Beri aku alasan yang masuk akal dengan semua in